Anda di halaman 1dari 16

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

PENGERTIAN PERLINDUNGAN ANAK

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar
setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan
anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.

Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anakadalah


segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpastisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak
dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan
memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan
penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara
wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya.

Pengertian Menurut Ahli

Arif Gosita mengatakan bahwa hukum perlindungan anak adalah hukum tertulis
maupun tidak tertulis yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya.

Bismar Siregar mengatakan bahwa aspek hukum perlindungan anak, lebih dipusatkan
kepada hak-hak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum yuridis
anak belum dibebani kewajiban.

H. de Bie merumuskan kinderrecht (Aspek hukum Anak) sebagai keseluruhan ketentuan


hukum yang mengenai perlindungan, bimbingan, dan peradilan anak dan remaja, seperti yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana serta peraturan pelaksanaannya.

J. E. Doek dan Mr. H. M.A.Drewes memberi pengertian jogdrecht (hukum anak muda)
dalam 2 (dua) pengertian; masing-masing pengertian luas dan pengertian sempit. Dalam
pengertian luas; segala aturan hidup yang memberi perlindungan kepada mereka yang belum
dewasa dan memberi kemungkinan bagi mereka untuk berkembang. Dalam pengertian sempit;
meliputi perlindungan hukum yang terdapat dalam ketentuan hukum pidana (regels van
strafrecht), ketentuan hokum Acara (procesrechtelijke regels).
DEFINISI ANAK
Anak dalam Aspek Kriminologi
Perlindungan hukum terhadap anak diupayakan sejak awal, yakni sejak dari janin dalam
kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan
perlindungan anak, perlu adanya peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak,
lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi
sosial, dunia usaha, media massa dan lembaga pendidikan.

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Penanganan perkara pidana terhadap anak tentunya beda dengan penanganan perkara
terhadap usia dewasa, penanganan terhadap anak tersebut bersifat khusus karena itu diatur
pula dalam peraturan tersendiri. Pemahaman terhadap proses penanganan perkara anak
tentunya mungkin masih ada sebahagian kalangan masyarakat yang belum mengerti atau
paham, sehingga kadang-kadang memunculkan penilaian bermacam-macam, malah yang lebih
fatal bilamana terjadi salah penilaian bahwa penanganan terhadap anak khususnya anak yang
berkonflik hukum mendapatkan perlakuan istimewa dan ada juga yang menganggap anak tidak
bisa dihukum padahal tidak sejauh itu, hanya saja proses penanganannya diatur secara khusus.

Perlu dipahami bahwa terkait dengan penanganan anak yang berhadapan hukum
tersebut tentunya didasarkan pada beberapa ketentuan perundang-undangan yang bersifat
khusus yakni antara lain sebagai berikut:

 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,


sebelumnya Undang Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-
Undang;
 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan
Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun;
 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Diversi dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak;
 Peraturan Jaksa Agung No. 06/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanan Diversi.
Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak
yang berhadapan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah
menjalani proses pidana yang berdasarkan perlindungan, keadilan, non diskriminasi,
kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya
terakhir dan penghindaran balasan (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam sistem peradilan pidana anak bahwa terhadap anak adalah anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban dan anak yang menjadi saksi dalam tindak pidana.
Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang yang telah berumur 12 tahun tetapi
belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana; Anak yang menjadi korban
adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang mengalami penderitaan fisik,
mental dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana; Anak yang menjadi saksi
adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan proses hukum mulai tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan atau dialami.

Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun dan
diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur 18 tahun tetapi belum
mencapai umur 21 tahun anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 20 Undang-Undang RI
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Selanjutnya dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan
tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, mengambil keputusan untuk
menyerahkanan kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan,
pembinaan pada instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang
menangani bidang kesejateraan sosial (Pasal 21 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak jo, Pasal 67 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015
tentang Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun).

Kalau dalam perkara dewasa (usia 18 tahun ke atas) setiap tingkatan pemeriksaan tidak
perlu didampingi orang tua/wali namun dalam perkara anak berhadapan hukum perlu
didampingi orang tua/wali.

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana anak yakni Penyidik, Penuntut
Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial

 Penyidik adalah Penyidik Anak;


 Penuntut Umum adalah Penuntut Umum Anak;
 Hakim adalah Hakim Anak;
 Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang
melaksanakan penelitian kemsyarakatan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan
terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana;
 Pekerja Sosial adalah seseorang yang bekerja baik pada lembaga pemerintah maupun
swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam
pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, dan atau pengalaman praktik
pekerjaan sosial untuk melaksanakan masalah sosial;

Proses Penyidikan dan Penuntutan terhadap Perkara Anak

Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan keputusan kepala


kepolisian atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian RI sedangkan penuntutan
dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Dalam melakukan penyelidiikan terhadap perkara
anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran-saran dari pembimbing
kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan kemudian Balai Penelitian
Kemasyarakatan wajib menyerahkan hasil penelitian kemasyarakatan paling lama 3 hari sejak
permintaan penyidik.

Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak korban penyidik wajib meminta laporan
sosial dari pekerja sosial atau tenaga kesejahtaraan sosial setelah tindak pidana dilaporkan;
selanjutnya terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang berkonflik hukum (ABH) pada
tingkat penyidikan, penuntutan dan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan wajib
diupayakan diversi.

Proses Pemeriksaan Anak

Penyidik, Penuntut Umum, Pembimbing Kemasyarakatan dan atau pemberi bantuan


hukum dan petugas lainnya dalam memeriksa perkara anak, anak korban dan atau anak saksi
tidak memakai toga atau atribut kedinasan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), kemudian dalam setiap tingkatan pemeriksaan anak
wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau
pendamping dengan ketentuan yang berlaku;

Bahwa terkait penahanan terhadap anak (Pasal 32 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak) adalah sebagai berikut:
 Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal memperoleh jaminan dari
orang tua atau lembaga bahwa anak tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti
atau merusak barang bukti atau tidak akan mengulangi tindak pidana;
 Penahananan dapat dilakukan dengan syarat:
- Umur anak 14 (empat belas) tahun;
- Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara selama 7 tahun atau
lebih.

Penahanan terhadap anak tentunya berbeda pula dengan terdakwa {dewasa} dan
terhadap penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum tersebut yakni sebagai berikut:

1. Penahanan oleh Penyidik paling lama 7 hari dan dapat diperpanjang oleh Penuntut
Umum, selama 8 hari; sedangkan terhadap terdakwa dewasa 20 hari dengan
perpanjangan 40 hari;
2. Penahanan oleh Penuntut Umum, paling lama 5 hari kemudian dapat diperpanjang oleh
Hakim selama 5 hari sedangkan terhadap terdakwa dewasa 20 Hari dan diperpanjang
selama 30 hari;
3. Penahanan Hakim selama 10 hari kemudian diperpanjang selama 15 hari oleh Ketua PN,
sedangkan terdakwa dewasa adalah 30 hari dan dapat diperpanjang selama 60 hari.

Proses pemeriksaan pada sidang pengadilan

Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap anak dalam tingkat pertama dilakukan


dengan hakim tunggal, namun Ketua Pengadilan dalam pemeriksaan perkara anak dengan
hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam pidana penjara 7 tahun atau lebih sulit
pembuktiannya. Hakim dalam memeriksa perkara anak dalam sidang anak dinyatakan tertutup
untuk umum kecuali pembacaan putusan. Kemudian dalam peroses persidangan (Pasal 55
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) Hakim wajib
memerintahkan orang tua/wali atau pendamping atau pemberi bantuan hukum lainnya; dalam
hal orang tua,wali atau pendamping tidak hadir, sidang dilanjutkan dengan didampingi advokat
atau pemberi bantuan hukum lainnya dan atau pembimbing kemsyarakatan.

Bahwa pada saat memeriksa anak korban atau anak saksi, hakim dapat memerintahkan
agar anak dibawa keluar (Pasal 58 Undang-Undang R.I. Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak). Dalam hal anak korban atau anak saksi tidak dapat untuk memberikan
keterangan di depan sidang pengadilan, hakim dapat memerintahkan anak korban atau anak
saksi didengar keterangannya di luar persidangan melalui perekaman elektronik yang dilakukan
oleh pembimbing kemasyarakatan dengan dihadiri penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat
atau pemberi bantuan hukum, melalui pemeriksaan jarak jauh atau teleconference (Pasal 58
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Hakim sebelum menjatuhkan putusan memberikan kesempatan kepada orang


tua/wali/pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak, kemudian pada
saat pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat
tidak dihadiri oleh anak.

Penjatuhan hukuman terhadap anak yang berkonflik hukum dapat dikenakan pidana
dan tindakan, dan anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini.

Bahwa terhadap anak yang berkonflik hukum yang belum berusia 14 tahun hanya dapat
dikenai tindakan bukan pemidanaan, yang meliputi pengembalian kepada orang tua,
penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, dan perawatan di Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau
pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta dan pencabutan Surat Ijin
Mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidananya. Sedangkan anak yang sudah berusia 14
tahun ke atas tersebut dapat saja dijatuhi pidana dengan macam-macam pidana sebagaimana
dalam Pasal 71 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, yakni sebagai berikut:

1. Pidana pokok yang terdiri dari a. pidana peringatan; b. pidana bersyarat (pembinaan
pada lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan); c. pelatihan kerja; d. pembinaan
dalam lembaga dan penjara;
2. Pidana tambahan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,
pemenuhan kewajiban adat.

Apabila dalam hukum materil seorang anak yang berkonflik hukum diancam pidana
kumulatif berupa pidana penjara dan denda, maka pidana denda diganti denan pelatihan kerja
paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun. Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan
terhadap anak paling lama ½ dari maksimun pidana penjara yang diancamkan terhadap orang
dewasa (Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak), sedangkan terhadap ketentuan minimum khusus pidana penjara tidak berlaku
terhadap anak (Pasal 79 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak).

Penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum ditempatkan pada Lembaga


Penempatan Anak Sementara (LPAS), sedangkan tempat anak menjalani masa pidananya
ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Kemudian terhadap tempat anak
mendapatkan pelayanan sosial berada pada Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
(LPKS).

Terhadap putusan Hakim pada tingkat pertama, baik anak yang berkonflik hukum
mapun Penuntut Umum tentunya dapat melakukan upaya hukum selanjutnya yakni banding,
kasasi dan peninjauan kembali.

Terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang berkonflik hukum, yakni anak korban
dan anak saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BENTUK PIDANA POKOK DAN PIDANA TAMBAHAN

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) hukuman/pidana dibedakan


menjadi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pengaturan ini terdapat dalam Pasal 10
KUHP yang mengatakan bahwa pidana terdiri atas:

1. pidana pokok yaitu:


a. pidana mati,
b. pidana penjara,
c. pidana kurungan,
d. pidana denda,
e. pidana tutupan.

2. pidana tambahan yaitu:


a. pencabutan beberapa hak tertentu,
b. perampasan barang yang tertentu,
c. pengumuman putusan hakim.

Pengaturan mengenai pidana tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan


perundang-undangan lainnya. KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa pidana tambahan
tersebut terbatas pada 3 bentuk di atas saja. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”) sebagaimana yang telah diubah
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi misalnya, diatur juga mengenai
pidana tambahan lainnya selain dari 3 bentuk tersebut, seperti:
1. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu
pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
2. pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda yang dikorupsi;
3. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
dan
4. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta


Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 36) menjelaskan bahwa selain
hukuman pokok, maka dalam beberapa hal yang ditentukan dalam undang-undang dijatuhkan
pula (ditambah) dengan salah satu dari hukuman tambahan. Hukuman tambahan gunanya
untuk menambah hukuman pokok, jadi tak mungkin dijatuhkan sendirian.
Pada prinsipnya memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri sendiri
tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan dari sesuatu hal yang
pokok. Akan tetapi dalam beberapa hal atas prinsip tersebut terdapat pengecualian.
R. Sianturi dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya” mengatakan dalam sistem KUHP ini pada dasarnya tidak dikenal kebolehan
penjatuhan pidana tambahan mandiri tanpa penjatuhan pidana pokok (hal 455), akan tetapi
dalam perkembangan penerapan hukum pidana dalam praktik sehari-hari untuk menjatuhkan
pidana tidak lagi semata-mata bertitik berat pada dapat dipidananya suatu tindakan, akan
tetapi sudah bergeser kepada meletakkan titik berat dapat dipidananya terdakwa (hal 456). Hal
inilah yang mendasari pengecualian tersebut
Dalam KUHP pengecualian tersebut terdapat dalam Pasal 39 ayat (3) jo. Pasal 45 dan 46,
serta Pasal 40. Pasal tersebut intinya mengatur jika terhadap terdakwa dinyatakan bersalah
akan tetapi karena atas dirinya tidak dapat dijatuhi hukuman dengan alasan di bawah umur
atau tidak waras, maka terhadap barang-barang tertentu yang terkait dengan tindak pidana
yang dilakukan dapat rampas oleh Negara.
Pengecualian atas prinsip tersebut juga terdapat dalam beberapa aturan di luar KUHP.
Dalam Pasal 38 ayat (5) UU 31/1999 dikatakan bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia
sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan
perampasan barang-barang yang telah disita.
PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM TINDAK PIDANA ANAK
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana anak yakni Penyidik, Penuntut
Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial
 Penyidik adalah Penyidik Anak;
 Penuntut Umum adalah Penuntut Umum Anak;
 Hakim adalah Hakim Anak;
 Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang
melaksanakan penelitian kemsyarakatan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan
terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana;
 Pekerja Sosial adalah seseorang yang bekerja baik pada lembaga pemerintah maupun
swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam
pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, dan atau pengalaman praktik
pekerjaan sosial untuk melaksanakan masalah sosial;

ASAS-ASAS DALAM TINDAK PIDANA ANAK


Anak yang diduga ataupun sebagai pelaku tindak pidana, penanganannya didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Undang-
Undang SPPA). Setiap kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku, berlaku sebuah sistem
peradilan pidana anak yang secara keseluruhan harus memperhatikan sebagaimana dimuat
dalam Undang-Undang SPPA. Mengingat bahwa yang dimaksud dengan sistem paradilan pidana
anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum,
mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana,
sebagai komponen atau subsistem dari sistem peradilan pidana anak, setiap aparatur penegak
hokum yaitu Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan harus memperhatikan asas-asas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang SPPA. Sistem peradilan pidana anak, didasarkan pada asas-
asas sebagaimana dimaksud Pasal 2 UndangUndang SPPA, menyatakan bahwa:
Setiap peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas-asas:
1. Perlindungan
Pelindungan meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari
tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis.
2. Keadilan
Keadilan adalah bahwa setiap penyelesaian perkara Anak harus mencerminkan
rasa keadilan bagi Anak.
3. Non diskriminasi
Non diskriminasi adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum
Anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau mental. Kaitannya dengan
Anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak, perlakukan terhadap
anak sebagi pelaku tindak pidana dan anak sebagai korban, harus diperlakukan tanpa
adanya diskriminasi. Baik anak sebagai pelaku ataupun anak sebagai korban tindak
pidana harus mendapatkan perlindungan.
4. Kepentingan terbaik bagi anak
Kepentingan terbaik bagi Anak adalah segala pengambilan keputusan harus
selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak. Setiap
keputusan yang diambil terhadap anak yang beradapada proses peradilan harus
merupakan suatu kepentingan terbaik bagi anak yang disesuaikan dengan kebutuhan
anak.
5. Penghargaan terhadap pendapat anak
Penghargaan terhadap pendapat Anak adalah penghormatan atas hak Anak
untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan,
terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan Anak. Anak sebagai pelaku
tindak pidana harus diberikan kesempatan dalam berpendapat sebagai bentuk tanggung
jawab anak atas segala perbuatan yang telah dilakukannya.
6. Kelangsungan hidup dalam tumbuh kembang anak
Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak adalah hak asasi yang paling
mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga,
dan orang tua.
7. Pembinaan dan pembimbingan anak
Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan,
profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar
proses peradilan pidana.
Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan
keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak.
8. Proporsional
Proporsional adalah segala perlakuan terhadap Anak harus memperhatikan
batas keperluan, umur, dan kondisi Anak. Penangana kasus anak sebagai pelaku tindak
pidana berdasarkan Undang-Undang SPPA, erat berkaitan dengan berat ringannya
perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau
yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan aparat penegak hukum
dalam penanganan kasus Anak sebagai pelaku tindak pidana.
9. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir (ultimum
remedium)
Perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir adalah pada dasarnya
Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan
penyelesaian perkara. Pasal 3 Huruf g Undang-Undang SPPA menyatakan bahwa
perampasan kemerdekaan dan pemidanaan tersebut disamping sebagai upaya terakhir
harus dilakukan dalam waktu yang paling singkat.
10. Penghindaran pembalasan
Penghindaran pembalasan adalah prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam
proses peradilan pidana. Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam
mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hokum didasarkan pada Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Undang-Undang
SPPA). Undang-Undang SPPA menegaskan bahwa penyelesaian kasus anak yang diduga
ataupun sebagai pelaku tindak pidana tidak hanya melalui proses peradian yang apabila
terbukti secara sah dan meyakinkan berakhir pada penjatuhan sanksi.
Khusus terhadap Anak sebagai pelaku tindak pidana, sebelum masuk pada
proses peradilan para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat dalam rangka
penghindaran pembalasan wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur
pengadilan, yakni melalui diversi berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.

KEADILAN RESTORATIF
Keadilan restoratif atau restorative justice sebagai konsep pemidanaan bermaksud
menemukan jalan untuk menegakkan sistem pemidanaan yang lebih adil dan berimbang,
misalnya antara kepentingan pelaku dan korban. Akan tetapi, restorative justice tidak hanya
merumuskan tujuan pemidanaan, namun yang tidak kalah pentingnya adalah mekanisme
mencapai tujuan.
Demi tercapainya tujuan pemidanaan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
SPPA, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang SPPA menentukan bahwa sistem peradilan
pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restorative. Dipergunakannya frasa,
“sistem peradilan pidana anak” dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang SPPA, berarti bahwa
mekanisme pencapaian tujuan dalam sistem peradilan pidana anak yang mengutamakan
keadilan restoratif tidak hanya ditujukan kepada hakim saja, tetapi juga ditujukan kepada
penyidik, penuntut umum dan lembaga pemasyarakatan sebagai suatu sistem. Penanganan
perkara anak yang ditujukan kepada salah satu dari alat penegak hukum tersebut, sudah tentu
tidak dapat lagi disebut penanganan perkara anak yang mengutamakan sistem peradilan pidana
anak.
Pentingnya peran keadilan restoratif dalam penanganan kasus Anak, Pasal 1 angka 6
Undang-Undang SPPA, menjelaskan bahwa keadilan restorative adalah penyelesaian perkara
tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain
yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Undang-Undang SPPA tidak menjelaskan ketentuan lebih lanjut tentang apa yang
dimaksud dengan “keadilan Restoratif”, kecuali dalam penjelasan umum Undang-Undang SPPA
bahwa keadilan restorative merupakan suatu proses diversi. Artinya semua pihak yang terlibat
dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu
kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban,
anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan
menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
Menurut Bagir Manan, bahwa: Secara konseptual restorative juctice berisi gagasan dan prinsip,
antara lain berikut ini:
1) Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, serta kelompok masyarakat
untuk menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban,
dan masyarakat sebagai stakeholder yang bekerja bersama dan langsung berusaha
menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win win soletions).
2) Mendorong pelaku bertanggung jawab terhadap korban atau peristiwa atau tindak
pidana yang telah menimbulkan cedera atau kerugian terhadap korban. Selanjutnya
membangun tanggung jawab untuk tidak mengulangi lagi perbuatan pidana yang
pernah dilakukannya.
3) Menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai bentuk pelanggaran
hukum, melainkan sebagai pelanggaran oleh seseorang (sekelompok orang) terhadap
seseorang (sekelompok orang). Dengan demikian, sudah semestinya pelaku diarahkan
pada pertanggungjawaban terhadap korban, bukan mengutamakan
pertanggungjawaban hukum.
4) Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang
lebih informal dan personal daripada penyelesaian dengan cara-cara yang formal (kaku)
dan inpersonal.

Berdasarkan uraian sebagaimana dimaksud oleh Bagir Manan dapat dipahami bahwa
adanya model restorative justice dalam penyelesaian kasus pidana, tidak semua peristiwa
pidana harus diselesaikan melalui jalur peradilan yang kaku tanpa melihat kerugian yang
diderita oleh korban. Berbeda dengan model retributive justice yang hanya menekankan
pembalasan terhadap pelaku tanpa melihat besar kerugian yang diderita korban, restorative
justice memberikan kesempatan terhadap pelaku untuk menebus kesalahannya berhadapan
langsung dengan pihak korban atas dasar niat baik berusaha untuk merundingkan dan
memahami kerugian yang diderita korban guna menghasilkan kesepakatan dalam rangka
memulihkan keadaan.
Proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan
diversi yaitu pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan
secara mausyawarah, dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan
keadaan. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan
hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua
perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan
keseimbangan atau pemulihan keadaan.
Ditekankannya restorative justice dalam Undang-Undang SPPA, kaitannya dalam
pembahasan ini yaitu Anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak, dalam
hal penyelesaiannya dilaksanakan dengan pendekatan restoratif justice. Pendekatan restorative
justice dalam Undang-Undang SPPA, dimana posisi korban dan pelaku yang masih sama-sama
dalam kategori anak, harus diperlakukan dengan tanpa adanya diskriminasi dari tindakan yang
dapat menghambat tumbuh kembang anak. Penggunaan konsep “restorative justice” diarahkan
agar berkurangnya jumlah Anak yang ditangkap, ditahan, dijatuhi pidana penjara, serta
menghapuskan stigma/ label pada Anak dan mengembalikan Anak menjadi manusia normal
sehingga diharapkan dapat berguna baik bagi keluarga maupun bagi masa depan nusa dan
bangsa. Tentang makna restorative justice, Yeni Widowaty berpendapat bahwa:
Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi. Restorasi
meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa
didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat
menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk
menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-
kesepakatan lainnya. Hal ini menjadi penting karena proses pemidanaan konvensional tidak
memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk
berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka.
Munculnya restorative justice merupakan permulaan awal penyelesaian kasus pidana
dalam mencapai keadilan yang sesungguhya, dengan mempertemukan pihak korban dan
pelaku guna menghasilkan kesepakatan yang sama-sama adil bagi kedua belah pihak, tanpa ada
pihak yang merasa dirugikan atau sebagai korban ketidakadilan hukum di negara hukum.
Menurut Braithwaite, restorative justice adalah proses di mana semua pihak yang
terkena dampak ketidakadilan memiliki kesempatan untuk mendiskusikan bagaimana mereka
telah dipengaruhi oleh ketidakadilan dan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan untuk
memperbaiki kerusakan tersebut. Terkait kejahatan, restorative justice dalah tentang gagasan
bahwa karena kejahatan menimbulkan rasa sakit, maka keadilan harus menyembuhkan. Oleh
karena itu pertemuan dengan mereka yang telah terluka dan dengan orang-orang yang telah
menderita kerugian yang harus menjadi pusat proses.
Proses restotarive justice yang dilakukan dengan musyawarah pemulihan keadaan,
apabila tidak mencapai kesepakatan baru dilakukan penyelesaian melalui jalur peradilan.
Diterapkannya model restorative justice melalui jalur peradilan tidak menghapus asas-asas yang
terdapat dalam sistem peradilan pidana Anak. Proses peradilan dalam rangka penyelesaian
kasus pidana Anak harus bersifat memulihkan dan bukan merupakan pembalasan. Artinya,
perkara betul-betul ditangani aparat penegak hukum yang mempunyai minat, perhatian,
dedikasi dan memahami masalah Anak serta tetap memperhatikan penahanan dan penjatuhan
sanksi berupa pembatasan kebebasan Anak dilakukan sebagai pilihan terakhir (ultimum
remedium) dengan mengindahkan asas-asas sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
SPPA.
Berkaiatan dengan keadilan restoratif, dalam Undang-Undang SPPA tidak terlepas
adanya pengaturan diversi. Tanpa adanya diversi, keadilan restoratif dalam pananganan Anak
sebagai pelaku tindak pidana tidak akan tercapai. Pentingnya diversi dalam rangka mewujudkan
keadilan restoratif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang SPPA, perlu dipaparkan
tentang diversi dalam penanagan kasus Anak.

DIVERSI
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana di
luar proses peradilan pidana, dan terhadap proses tersebut dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun;
2. Dan bukan pengulangan tindak pidana;
Selanjutnya selain ketentuan tersebut, berlaku pula terhadap anak yang didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa
pula dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk
dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan) (Pasal 7 PERMA
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk antara lain:
a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling
lama 3 (tiga) bulan; atau
d. pelayanan masyarakat; yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi;

Diversi bertujuan:
 Mencapai perdamaian anatara korban dan anak;
 Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan;
 Menghindarkan anak dari dari perampasan kemerdekaan;
 Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi ;
 Dan menanamkan rasa tanggung jawab pada anak;

Dalam proses Diversi itu sendiri tentunya ada pihak yang dilibatkan yakni anak, orang
tua, korban, dan atau orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial
profesional berdasarkan pendekatan keadilan restorative justice yang mengadung arti bahwa
penyelesain perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban dan pihak-pihak lain terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula.
Dari hasil kesepakatan diversi: perdamaian dapat berupa: dengan atau ganti kerugian,
penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikut sertaan dalam pendidikan/pelatihan
dilembaga pendidikan atau LPKS, pelayanan masyarakat. Dalam hal kesepakatan tercapai, maka
setiap pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan diversi untuk diterbitkan
penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penghentian pemeriksaan perkara dan
bilamana tercapai maka proses pemeriksaan dilanjutkan. Selanjutnya dalam hal tidak terjadi
kesepakatan dalam waktu yang ditentukan maka pembimbing kemasyakatan segera
melaporkan kepada pejabat untuk menindaklanjuti proses pemeriksaan.

ASAS-ASAS
Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak menyebut secara
khusus bahwa pengadilan anak didasarkan atas asas-asas apa saja, tetapi dalam Undang-
undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak hal tersebut tertuang dalam
Pasal 2 yang berbunyi:
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. pelindungan;
b. keadilan;
c. nondiskriminasi;
b. kepentingan terbaik bagi Anak;
c. penghargaan terhadap pendapat Anak;
d. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
e. pembinaan dan pembimbingan Anak;
f. proporsional;
g. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
h. penghindaran pembalasan.
Asas-asas tersebut dicantumkan dalam Pasal 2 adalah demi terjaminnya hak-hak anak
dalam Sistem Peradilan.
PENGERTIAN ORANG TUA
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan
hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang
tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk
mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan
bermasyarakat. Pengetahuan yang pertama diterima oleh anak adalah dari orang tuanya.
Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak juga sebagai penyebab
berkenalnya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian
hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya dahulu. Jadi,
orang tua atau ibu dan bapak memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas
pendidikan anak-anak.
Sejak seorang anak lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia
meniru perangai ibunya dan biasanya seorang anak lebih cinta kepada ibunya, apabila ibu itu
menjalankan tugasnya dengan baik dan penuh kasih sayang. Ibu merupakan orang yang mula -
mula dikenal anak dan menjadi temannya dan yang pertama untuk dipercayainya.
Adapun penjelasan sedikit tentang Tanggung jawab orang tua terhadap anakadalah
sebagai berikut:
1. Memelihara dan membesarkannya. Tanggung jawab ini merupakan
dorongan alami untuk dilaksanakan, karena anak memerlukan makan, minum dan
perawatan, agar ia dapat hidup secara berkelanjutan.
2. Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah dari
berbagai gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat membahayakan
dirinya.
3. Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi
hidupnya, sehingga apabila ia telah dewasa, ia mampu berdiri sendiri dan membantu
orang lain serta melaksanakan kekhalifahannya
4. Membahagiakan anak untuk dunia akhirat dengan memberinya pendidikan agama
sesuai dengan ketentuan Allah sebagai tujuan akhir hidup muslim. Kesadaran akan
tanggung jawab mendidik dan membina anak secara terus menerus perlu
dikembangkan kepada setiap orang tua, mereka juga perlu dibekali teori-teori
pendidikan modern sesuai dengan perkembangan zaman.

Anda mungkin juga menyukai