Anda di halaman 1dari 476

I.

LATAR BELAKANG HUKUM PERLIN-DUNGAN


ANAK
A. Pengertian Perlindungan Anak
B. Masalah Perlindungan Anak
C. Sebab-Sebab Timbulnya Hukum Perlin-
dungan Anak

II.ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN ANAK


A. Asas Perlindungan Anak
1. Pancasila dan UUD 1945
2. Prinsip Dasar Konvensi Hak-Hak
Anak
III.PERLINDUNGAN ANAK DALAM BEBERA-PA
ASPEK HUKUM
A. Hukum Perdata
B. Hukum Pidana
C. Hukum Internasional
D. Penyelenggaraan Perlindungan Anak
IV. LATAR BELAKANG PERLINDUNGAN
PEREMPUAN
A. Pengertian Perlindungan Perempuan
B. Masalah dan Sebab Timbulnya Hukum
Perlindungan Perempuan
V. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Kekerasan Fisik
B. Kekerasan Psikis
C. Kekerasan Ekonomi
VI. PERLINDUNGAN WANITA DARI KEKE-RASAN
DALAM RUMAH TANGGA DARI ASPEK HUKUM
PIDANA
I. LATAR BELAKANG HUKUM PERLIN-DUNGAN ANAK
A. Pengertian Perlindungan Anak
B. Masalah Perlindungan Anak
C. Sebab-Sebab Timbulnya Hukum Perlin-
dungan Anak

II.ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN ANAK


A. Asas Perlindungan Anak
1. Pancasila dan UUD 1945
2. Prinsip Dasar Konvensi Hak-Hak
Anak
Darwin Prinst Hukum Anak Indonesia Bandung:
PT Citra Aditya Bakti
Bathlimus Perlindungan Hukum Terhadap Anak
dalam Konflik Bersenjata. Makalah pada
Penataran Hukum Humaniter dan HAM
Gatot Supramono Hukum Acara Pengadilan
Anak Jakarta: Djambatan
Muhammad Joni, Zulhaida Z. Tanamas Aspek
Hukum Pelindungan Anak dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak Bandung: PT Cipta Aditya
Bakti
Sholeh Soeaidy, Zulkhaidir Dasar Hukum
Perlindungan Anak Jakarta: Novindo Pus-taka
Mandiri
Zulbaidi Kekerasan dalam Rumah Tangga Jakarta:
Rajawali
Soni Herman Perlindungan Hukum Kekeras-an
dalam Rumah Tangga Bandung: Bina Aksara

UNDANG-UNDANG
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindung-an Anak
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapus-an
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Konvensi Hak-Hak Anak
Dan lain-lain
SILABUS HUKUM PERLINDUNGAN ANAK

I.LATAR BELAKANG HUKUM PERLINDUNGAN


ANAK
A. Sebab-Sebab Timbulnya Hukum Perlindung-
an Anak
B. Pengertian Perlindungan Anak
C. Pengertian Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum
SEBAB-SEBAB TIMBULNYA HUKUM
PERLINDUNGAN ANAK
• Anak sbg kelangsungan hidup bangsa shg perlu
diatur hukum untuk menjamin tumbuh
kembang anak serta hak-haknya;
• Dampak perkembangan pembangunan yg ce-
pat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan
informasi;
• Dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan tek-
nologi serta perubahan gaya dan cara hidup yg
berpengaruh thd nilai dan perilaku anak;
• Perhatian dunia Internasional melalui Konven-
si Hak-Hak Anak (convention on the right of
the child) selanjutnya diratifikasi dgn Kepres
No. 36 Tahun 1990.
UU yg Mengatur Perlindungan Anak
• UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak
• UU No. 17 tahun 2016 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1
tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU
No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Menjadi UU
• UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
Hukum Perlindungan Anak adalah aturan hukum
yang memberikan perlindungan kepada anak
dari aspek hukum perdata, hukum pidana dan
hukum perburuhan.
Dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 35 Tahun 2014
dikatakan Perlindungan Anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tum-buh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
PENGERTIAN ANAK
1. Anak adalah seseorang yg belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan (Pasal 1 angka 1 UU
No. 35 Tahun 2014);
2. Anak Yg Berhadapan Dengan Hukum adalah
anak yg berkonflik dgn hukum, anak yg men-
jadi korban tindak pidana, dan anak yg men-
jadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 2 UU
No. 11 Tahun 2012);
No. 11 Tahun 2012);
3. Anak yg berkonflik dgn hukum yg selanjutnya
disebut anak adalah anak yg telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yg diduga melakukan
tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU No. 11
Tahun 2012);
4. Anak yg menjadi korban tindak pidana yg
selanjutnya disebut anak korban adalah anak
yg belum berumur 18 (delapan belas) tahun yg
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/
atau kerugian ekonomi yg disebabkan oleh
tindak pidana (Pasal 1 angka 4 UU No. 11 Ta-hun
2012);
5. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yg
selnjutnya disebut anak saksi adalah anak yg
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yg
dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pe-meriksaan di
sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana
yg didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri
(Pasal 1 angka 5 UU No. 11 Tahun 2012)
Perlindungan Anak
• Perlindungan anak diberikan dalam bentuk hak
kepada anak
• Hak-Hak yg diberikan kepada anak:
1. Berhak untuk beribadah menurut agamanya,
berpikir dan berekspresi sesuai dgn tingkat
kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang
tua atau wali
2. Berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakat;
3. Berhak mendapatkan perlindungan di satuan
pendidikan dari kejahatan seksual dan
kekerasan yg dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, peserta sesama peseta didik
dan/atau pihak lain;
4.Anak penyandang disabilitas berhak
memperoleh pendidikan luar biasa;
5.Anak yang memiliki keunggulan berhak
mendapatkan pendidikan khusus;
6.Setiap anak penyandang disabilitas berhak
memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan
taraf pemeliharaan kesejahteraan sosial;
7.Berhak diatur oleh orang tuanya sendiri,
kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum
yg sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak
dan merupakan pertimbanan terakhir;
8.Anak yang dipisahkan dari orangtuanya berhak:
a. bertemu langsung
PERLINDUNGAN ANAK DALAM UU SISTEM
PERLINDUNGAN ANAK
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan
berdasarkan asas (Pasal 2 UUSPPA):
a. perlindungan;
b. keadilan;
c. non diskriminasi;
d. kepentingan terbaik bagi Anak;
e. penghargaan terhadap pendapat Anak;
f.kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g.pembinaan dan pembimbingan Anak;
h.proporsional;
i.perampasan kemerdekaan dan pemidanaan
sebagai upaya terakhir; dan
j.penghindaran pembalasan.
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan
proses penyelesaian perkara Anak yang
berhadapan dengan hukum, mulai tahap
penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
Setiap Anak dalam proses peradilan pidana
berhak (Pasal 3 UUSPPA):
a.diperlakukan secara manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan
lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau
perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi,
serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur
hidup;
g.tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara,
kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam
waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan
Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam
sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali
dan orang yang dipercaya oleh Anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m.memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak
cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p.memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Sistem Peradilan Pidana Anak wajib
mengutamakan pendekatan Keadilan
Restoratif
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara
tindak pidana dengan melibatkan pelaku,
korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak
lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan
bukan pembalasan.
Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi:
a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
b.persidangan Anak yang dilakukan oleh
pengadilan di lingkungan peradilan umum;
dan
c.pembinaan, pembimbingan, pengawasan,
dan/atau pendampingan selama proses
pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah
menjalani pidana atau tindakan.
menjalani pidana atau tindakan.
Menurut Pasal 5 ayat (3) UUNo. 11 tahun 2012
tentang SPPA, dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak wajib diupayakan Diversi.
Diversi dilaksanakan pada penyidikan,
penuntutan dan persidangan pengadilan.
DIVERSI
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara
Anak dari proses peradilan pidana ke proses di
luar peradilan pidana.
Diversi bertujuan:
a. mencapai perdamaian antara korban dan
Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses
peradilan;
c.menghindarkan Anak dari perampasan
kemerdekaan;
d.mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e.menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Menurut Pasal 7 ayat (2) UUSPPA Diversi
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana
Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah
dengan melibatkan Anak dan orang
tua/Walinya, korban dan/atau orang
tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan
pendekatan Keadilan Restoratif.
Dalam hal diperlukan, musyawarah dapat
melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial,
dan/atau masyarakat.
Proses Diversi wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
melakukan Diversi harus mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur Anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
d.dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Kesepakatan Diversi harus mendapatkan
persetujuan korban dan/atau keluarga Anak
Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya,
kecuali untuk:
a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. tindak pidana ringan;
c. tindak pidana tanpa korban; atau
d.nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah
minimum provinsi setempat.
Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak
pidana yang berupa pelanggaran, tindak
pidana ringan, tindak pidana tanpa korban,
atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai
upah minimum provinsi setempat dapat
dilakukan oleh penyidik bersama pelaku
dan/atau keluarganya, Pembimbing
Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan
tokoh masyarakat.
Kesepakatan Diversi dilakukan oleh Penyidik atas
rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan
dapat berbentuk:
a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b. rehabilitasi medis dan psikososial;
c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
d.keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan
di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3
(tiga) bulan; atau
e.pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk,
antara lain:
a.perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
c.keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan
di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3
(tiga) bulan; atau
d. pelayanan masyarakat.
Hasil kesepakatan dituangkan dalam bentuk
kesepakatan Diversi.
Hasil kesepakatan Diversi disampaikan oleh
atasan langsung pejabat yang bertanggung
jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke
pengadilan negeri sesuai dengan daerah
hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari sejak kesepakatan dicapai untuk
memperoleh penetapan.
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan
Diversi.
Penetapan disampaikan kepada Pembimbing
Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau
Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak
ditetapkan.
Setelah menerima penetapan, Penyidik menerbitkan
penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut
Umum menerbitkan penetapan penghentian
penuntutan.
Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal:
a. proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau
b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.
Pengawasan atas proses Diversi dan
pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan
berada pada atasan langsung pejabat yang
bertanggung jawab di setiap tingkat
pemeriksaan.
Selama proses Diversi berlangsung sampai
dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan,
Pembimbing Kemasyarakatan wajib
melakukan pendampingan, pembimbingan,
dan pengawasan.
Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakn
dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing
Kemasyarakatan segera melaporkannya
kepada pejabat yang bertanggung jawab.
Pejabat yang bertanggung jawab wajib
menindaklanjuti laporan dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari.
Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan
proses Diversi, tata cara, dan koordinasi
pelaksanaan Diversi diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
PIDANA DAN TINDAKAN
Pasal 69 ayat (1) UUSPPA mengatakan, anak
hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai
tindakan berdasarkan ketentuan dalam
UUSPPA.
Anak yang belum berusia 14 (empat belas)
tahun hanya dapat dikenai tindakan.
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak,
atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan
atau yang terjadi kemudian dapat
dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan
kemanusiaan
Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak
meliputi:
a. pengembalian kepada orang tua/Wali;
b. penyerahan kepada seseorang;
c. perawatan di rumah sakit jiwa;
d. perawatan di LPKS;
e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/
e.atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah
atau badan swasta;
f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. perbaikan akibat tindak pidana.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1
tahun.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya,
kecuali tindak pidana diancam dengan pidana
penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan
sebagaimana dimaksud di atas diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Tindakan penyerahan Anak kepada seseorang
dilakukan untuk kepentingan Anak yang
bersangkutan.
Tindakan perawatan terhadap Anak
dimaksudkan untuk membantu orang tua/Wali
dalam mendidik dan memberikan
pembimbingan kepada Anak yang
bersangkutan.
2. Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat.
Apabila dalam hukum materiil diancam pidana
kumulatif berupa penjara dan denda, pidana
denda diganti dengan pelatihan kerja.
Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang
melanggar harkat dan martabat Anak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata
cara pelaksanaan pidana diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pidana peringatan merupakan pidana ringan
yang tidak mengakibatkan pembatasan
kebebasan anak.
Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh
Hakim dalam hal pidana penjara yang
dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun.
Dalam putusan pengadilan mengenai pidana
dengan syarat ditentukan syarat umum dan
syarat khusus.
Syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah Anak tidak akan melakukan tindak
pidana lagi selama menjalani masa pidana
dengan syarat.
Syarat khusus adalah untuk melakukan atau
tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan
dalam putusan hakim dengan tetap
memperhatikan kebebasan Anak.
Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama
daripada masa pidana dengan syarat umum.
Jangka waktu masa pidana dengan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama
3 (tiga) tahun.
Selama menjalani masa pidana dengan syarat,
Penuntut Umum melakukan pengawasan dan
Pembimbing Kemasyarakatan melakukan
pembimbingan agar Anak menempati
persyaratan yang telah ditetapkan.
Selama Anak menjalani pidana dengan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Anak harus
mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun.
Dalam hal Hakim memutuskan bahwa Anak dibina di
luar lembaga, lembaga tempat pendidikan dan
pembinaan ditentukan dalam putusannya.
Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa
keharusan:
a. mengikuti program pembimbingan dan
penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina;
b. mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau
c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol,
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan
alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya.
Jika selama pembinaan anak melanggar syarat
khusus, pejabat pembina dapat mengusulkan
kepada hakim pengawas untuk
memperpanjang masa pembinaan yang
lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua)
kali masa pembinaan yang belum
dilaksanakan.
Pidana pelayanan masyarakat merupakan
pidana yang dimaksudkan untuk mendidik
Anak dengan meningkatkan kepeduliannya
pada kegiatan kemasyarakatan yang positif.
Jika Anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian
kewajiban dalam menjalankan pidana
pelayanan masyarakat tanpa alasan yang sah,
pejabat pembina dapat mengusulkan kepada
hakim pengawas untuk memerintahkan Anak
tersebut mengulangi seluruh Pidana
pelayanan masyarakat merupakan pidana
yang dimaksudkan untuk mendidik Anak dengan
meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan
kemasyarakatan yang positif.
Jika Anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian
kewajiban dalam menjalankan pidana
pelayanan masyarakat tanpa alasan yang sah,
pejabat pembina dapat mengusulkan kepada
hakim pengawas untuk memerintahkan Anak
tersebut mengulangi seluruh atau sebagian
pidana pelayanan masyarakat yang dikenakan
terhadapnya.
Pidana pelayanan masyarakat untuk Anak
dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan
paling lama 120 (seratus dua puluh) jam.
Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan
kepada Anak paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 2 (dua) tahun.
Dalam hal Anak dijatuhi pidana pengawasan,
Anak ditempatkan di bawah pengawasan
Penuntut Umum dan dibimbing oleh
Pembimbing Kemasyarakatan.
Pidana pelatihan kerja dilaksanakan di lembaga
yang melaksanakan pelatihan kerja yang
sesuai dengan usia Anak.
Pidana pelatihan kerja dikenakan paling singkat
3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.

Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan


dalam hal Anak melakukan tindak pidana
berat atau tindak pidana yang disertai dengan
kekerasan.
Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan
terhadap Anak paling lama 1/2 (satu perdua)
dari maksimum pidana penjara yang
diancamkan terhadap orang dewasa.
Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku
terhadap Anak.
Ketentuan mengenai pidana penjara dalam
KUHP berlaku juga terhadap Anak sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang
ini.
Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan
di tempat pelatihan kerja atau lembaga
pembinaan yang diselenggarakan, baik oleh
pemerintah maupun swasta.
Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan
apabila keadaan dan perbuatan Anak tidak
membahayakan masyarakat.
Pembinaan dalam lembaga dilaksanakan paling
singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan.
Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan
di tempat pelatihan kerja atau lembaga
pembinaan yang diselenggarakan, baik oleh
pemerintah maupun swasta.
Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan
apabila keadaan dan perbuatan Anak tidak
membahayakan masyarakat.
Pembinaan dalam lembaga dilaksanakan paling
singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 24 (dua
puluhempat) bulan.
Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari
lamanya pembinaan di dalam lembaga dan
tidak kurang dari 3 (tiga) bulan berkelakuan
baik berhak mendapatkan pembebasan
bersyarat
Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila
keadaan dan perbuatan Anak akan
membahayakan masyarakat.
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa.
Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak
berumur 18 (delapan belas) tahun.
Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari
lamanya pembinaan di LPKA dan
berkelakuan baik berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat.
Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan
sebagai upaya terakhir.
Jika tindak pidana yang dilakukan Anak
merupakan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
ACARA PERADILAN ANAK
Pasal 16 UUSPPA mengatakan ketentuan
beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku
juga dalam acara peradilan pidana anak,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang
ini.
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib
memberikan perlindungan khusus bagi Anak
yang diperiksa karena tindak pidana yang
dilakukannya dalam situasi darurat.
Perlindungan khusus dilaksanakan melalui
penjatuhan sanksi tanpa pemberatan.
Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban,
dan/atau Anak Saksi, Pembimbing
Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional
dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik,
Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya wajib
memperhatikan kepentingan terbaik bagi
Anak dan mengusahakan suasana
kekeluargaan tetap terpelihara.
Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak
Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan
di media cetak ataupun elektronik.
Identitas sebagaimana dimaksud meliputi nama
Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi,
nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain
yang dapat mengungkapkan jati diri Anak,
Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.
• Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak
sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun
dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak
yang bersangkutan melampaui batas umur 18
(delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap
diajukan ke sidang Anak.
• Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas)
tahun melakukan atau diduga melakukan tindak
pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional mengambil
keputusan untuk:
a.menyerahkannya kembali kepada orang
tua/Wali; atau
b.mengikutsertakannya dalam program
pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di
instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik
di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6
(enam) bulan.
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan program pendidikan, pembinaan,
dan pembimbingan kepada Anak.
Dalam hal hasil evaluasi Anak dinilai masih
memerlukan pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan lanjutan, masa pendidikan,
pembinaan, dan pembimbingan dapat
diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
Instansi pemerintah dan LPKS wajib
menyampaikan laporan perkembangan anak
kepada Bapas secara berkala setiap bulan.
• Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan
tata cara pengambilan keputusan serta
program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
• Penyidik, Penuntut Umum, Hakim,
Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas
lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak
Korban, dan/atau Anak Saksi tidak memakai
toga atau atribut kedinasan.
• Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib
diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh
Pembimbing Kemasyarakatan atau
pendamping lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
• Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak
Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh
orang tua dan/atau orang yang dipercaya
oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau
Pekerja Sosial.
• Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau
terdakwa perkara yang sedang diperiksa, tidak
berlaku bagi orang tua.
• Anak yang melakukan tindak pidana bersama-
sama dengan orang dewasa atau anggota
Tentara Nasional Indonesia diajukan ke
pengadilan Anak, sedangkan orang dewasa
atau anggota Tentara Nasional Indonesia
diajukan ke pengadilan yang berwenang
• Register perkara Anak dan Anak Korban wajib
dibuat secara khusus oleh lembaga yang
menangani perkara Anak.
• Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman
register perkara anak sebagaimana dimaksud
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PENYIDIKAN
• Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan
oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
• Pemeriksaan terhadap Anak Korban atau Anak
Saksi dilakukan oleh Penyidik sebagaimana
dimaksud di atas.
• Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai
• Penyidik sebagaimana dimaksud di atas
meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai penyidik;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan
memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang
peradilan Anak.
• Dalam hal belum terdapat Penyidik yang
memenuhi persyaratan tugas penyidikan
dilaksanakan oleh penyidik yang melakukan
tugas penyidikan tindak pidana yang dilakukan
oleh orang dewasa
• Dalam melakukan penyidikan terhadap
perkara Anak, Penyidik wajib meminta
pertimbangan atau saran dari Pembimbing
Kemasyarakatan setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan.
• Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat
meminta pertimbangan atau saran dari ahli
pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama,
Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga
Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya.
• Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap
Anak Korban dan Anak Saksi, Penyidik wajib
meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial
Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial
setelah tindak pidana dilaporkan atau
diadukan.
• Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib
diserahkan oleh Bapas kepada Penyidik dalam
waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam setelah permintaan penyidik
diterima.
• Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam
waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah
penyidikan dimulai.
• Proses Diversi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah dimulainya Diversi.
• Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai
kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita
acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi
kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat
penetapan.
• Dalam hal Diversi gagal, Penyidik wajib
melanjutkan penyidikan dan melimpahkan
perkara ke Penuntut Umum dengan
melampirkan berita acara Diversi dan laporan
penelitian kemasyarakatan.
• Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna
kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua
puluh empat) jam.
• Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam
ruang pelayanan khusus Anak.
• Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak
belum ada di wilayah yang bersangkutan,
Anak dititipkan di LPKS.
• Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan
secara manusiawi dengan memperhatikan
kebutuhan sesuai dengan umurnya.
• Biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di
LPKS dibebankan pada anggaran kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang sosial.
• Dalam melaksanakan penyidikan, Penyidik
berkoordinasi dengan Penuntut Umum.
• Koordinasi dilakukan dalam waktu paling lama
1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak
dimulai penyidikan.
• Penahanan terhadap Anak tidak boleh
dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan
dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa
Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan
menghilangkan atau merusak barang bukti,
dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
• Penahanan terhadap Anak hanya dapat
dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun
atau lebih; dan
b. diduga melakukan tindak pidana dengan
ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau
lebih.
• Syarat penahanan harus dinyatakan secara
tegas dalam surat perintah penahanan.
• Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani,
rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi.
• Untuk melindungi keamanan Anak, dapat
dilakukan penempatan Anak di LPKS
• Penahanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 untuk kepentingan penyidikan
dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari.
• Jangka waktu penahanan sebagaimana
dimaksud atas permintaan Penyidik dapat
diperpanjang oleh Penuntut Umum paling
lama 8 (delapan) hari.
• Dalam hal jangka waktu sebagaimana
dimaksud telah berakhir, Anak wajib dikeluar-
kan demi hukum.
• Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS.
• Dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat
dilakukan di LPKS setempat.
• Dalam hal penahanan dilakukan untuk
kepentingan penuntutan, Penuntut Umum dapat
melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari.
• Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud
di atas permintaan Penuntut Umum dapat
diperpanjang oleh Hakim pengadilan negeri
paling lama 5 (lima) hari.
• Dalam hal jangka waktu sebagaimana
dimaksud telah berakhir, Anak wajib
dikeluarkan demi hukum.
• Dalam hal penahanan dilakukan untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, Hakim dapat melakukan
penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari.
• Jangka waktu sebagaimana dimaksud atas
permintaan Hakim dapat diperpanjang oleh
ketua pengadilan negeri paling lama 15 (lima
belas) hari.
• Dalam hal jangka waktu sebagaimana
dimaksud telah berakhir dan Hakim belum
memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan
demi hukum.
• Penetapan pengadilan mengenai penyitaan
barang bukti dalam perkara Anak harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) hari.
• Dalam hal penahanan dilakukan untuk
kepentingan pemeriksaan di tingkat banding,
Hakim Banding dapat melakukan penahanan
paling lama 10 (sepuluh) hari.
• Jangka waktu sebagaimana dimaksud atas
permintaan Hakim Banding dapat
diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi
paling lama 15 (lima belas) hari.
• Dalam hal jangka waktu sebagaimana
dimaksud telah berakhir dan Hakim Banding
belum memberikan putusan, Anak wajib
dikeluarkan demi hukum.
• Dalam hal penahanan terpaksa dilakukan
untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat
kasasi, Hakim Kasasi dapat melakukan
penahanan paling lama 15 (lima belas) hari.
• Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atas permintaan Hakim Kasasi dapat
diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung
paling lama 20 (dua puluh) hari.
• Dalam hal jangka waktu sebagaimana
dimaksud telah berakhir dan Hakim Kasasi
belum memberikan putusan, Anak wajib
dikeluarkan demi hukum.
• Pejabat yang melakukan penangkapan atau
penahanan wajib memberitahukan kepada
Anak dan orang tua/Wali mengenai hak
memperoleh bantuan hukum.
• Dalam hal pejabat tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud,
penangkapan atau penahanan terhadap Anak
batal demi hukum.
• Penuntutan terhadap perkara Anak dilakukan
oleh Penuntut Umum yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.
• Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai
Penuntut Umum meliputi:
a.telah berpengalaman sebagai penuntut umum;
b.mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan
memahami masalah Anak; dan
c.telah mengikuti pelatihan teknis tentang
peradilan Anak.
• Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum
yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud tugas penuntutan dilaksanakan oleh
penuntut umum yang melakukan tugas
penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan
oleh orang dewasa.
• Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi
paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima
berkas perkara dari Penyidik.
• Diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
• Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai
kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan
berita acara
• Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada
ketua pengadilan negeri untuk dibuat
penetapan.
• Dalam hal Diversi gagal, Penuntut Umum
wajib menyampaikan berita acara Diversi dan
melimpahkan perkara ke pengadilan dengan
melampirkan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan.
• Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
perkara Anak dilakukan oleh Hakim yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas
usul ketua pengadilan negeri yang
bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi.
• Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai
meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai hakim dalam
lingkungan peradilan umum;
b.mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan
memahami masalah Anak; dan
c.telah mengikuti pelatihan teknis tentang
peradilan Anak.
• Dalam hal belum terdapat Hakim yang
memenuhi persyaratan tugas pemeriksaan di
sidang Anak dilaksanakan oleh hakim yang
melakukan tugas pemeriksaan bagi tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.
• Hakim memeriksa dan memutus perkara Anak
dalam tingkat pertama dengan hakim tunggal.
• Ketua pengadilan negeri dapat menetapkan
pemeriksaan perkara Anak dengan hakim
majelis dalam hal tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau
lebih atau sulit pembuktiannya.
• Dalam setiap persidangan Hakim dibantu oleh
seorang panitera atau panitera pengganti
PERLINDUNGAN ANAK
DALAN KONVENSI HAK
ANAK
PRINSIP PERLINDUNGAN
ANAK
Dalam Konvensi Internasional tentang Hak Anak
yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36
Tahun 1990, terdapat 4 Prinsip Perlindungan Anak
yaitu:
1. Prinsip Non Diskriminasi
Negara menghormati dan menjamin
hak,-hak yang ditetapkan di dalam kon
vensi bagi setiap anak yang berada
dalam wilayah hukum mereka tanpa
diskriminasi dalam bentuk apapun,
tanpa memandang ras, warna kulit
jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan
politik atau pandangan-pandangan lain,
asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial,
status kepemilikan, cacat atau tidak, kela-
hiran atau status lainnya, baik dari diri si
anak atau dari orang tua atau walinya yang
sah (Pasal 2 ayat 1 Knvensi)
Negara akan mengambil semua langkah yang
perlu untuk menjamin agar anak dilin-dungi
dari semua diskriminasi atau hukum-an
berdasarkan status, kegiatan, pendapat
yang dikemukakan atau keyakinan
dari orang tua anak, walinya yang sah
atau anggota keluarganya (Pasal 2
ayat 2 Konvensi)
2. Prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak
(best interest of the child)
Dalam semua tindakan yang menyang
kut anak yang dilakukan lembaga ke-
sejahteraan sosial pemerintah mau-
pun swasta, lembaga peradilan, lem-
baga pemerintah atau badan legislatif
maka kepentingan terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan utama (Pasal 3 Kon-
vensi)
Kepentingan terbaik bagi anak sebagai pa-
ramount importance (memperoleh periori-tas
tertinggi) dalam setiap keputusan yang
menyangkut anak. Tanpa prinsip ini, usaha
untuk melindungi anak akan terkendala.
3. Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup
dan Perkembangan (the right to live, suvival
and development)
Negara mengakui bahwa setiap anak
memiliki hak yang melekat atas
kehidupan (Pasal 6 ayat 1 Konvensi)
Negara menjamin sampai batas
maksimal kelangsungan hidup dan
perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2
Konvensi)
4. Prinsip Penghargaan Terhadap Penda-
pat Anak (respect for the views of the
child)
Negara menjamin anak mempunyai pandang-
an sendiri dan memperoleh hak menyatakan
pandangan-pandangan secara bebas dalam
semua hal yang mempengaruhi anak dan
pandangan tersebut akan dihargai sesuai
dengan tingkat usia dan kematangan anak.
FAKTOR ANAK
BERKONFLIK DENGAN HUKUM

1. Anak yang berkonflik dengan hukum meru


pakan istila yang biasa digunakan bagi anak
yang melakukan perilaku menyim-pang dan
nakal. Dalam kriminologi anak tersebut
disebut juvenile delinquency
2. Juvenile delinquency adalah perbuatan anti
sosial yang dilakukan oleh anak atau rema ja,
yang apabila dilakukan oleh orang de-
wasa, maka dikualifikasikan sebagai
kejahatan (Fuad Hasan).
3.Terdapat 2 motivasi atau penyebab
anak melakukan kenakalan sehingga
berkonflik dengan hukum menurut
Romli atmasasmita yaitu:
a. Motivasi Ekstrinsik berupa:
a.1. Faktor Intelegensia yaitu anak
delinquent pada umumnya
mempunyai intelegensia lebih
rendah dan ketinggalan dalam
pencapaian hasi skolastik (prestasi
sekolah rendah). Dengan kecerdasan
yang rendah dan wawasan sosial yg
kurang tajam, mereka mudah sekali
tersesat oleh ajakan buruk untuk
jadi delinquent;
a.2. Faktor Usia. Stepen Hurwitz menga-
takan usia adalah faktor yang paling
penting menjadi penyebab anak me-
lakukan kejahatan. Anak yang mela-
kukan kenakalan antara 15 – 18 th.
a.3. Faktor Kelamin. Paul W Tappan me-
ngatakan kenakalan anak dpat di-
lakukan oleh anak laki-laki maupun
oleh anak perempuan tetapi dalam
prakteknya anak laki-laki yang ba-
nyak melakukan kejahatan.
a.4. Faktor Kedudukan Anak Dalam Ke-
luarga. Perlakuan orang tua terha-
dap anak bisa menyulitkan anak da
lam bergaul yang bisa mengakibat-
kan frustasi dan cenderung berbuat
jahat.
2. Motivasi Instrinsik berupa:
a. Keluarga yang Broken;
b. Pendidikan dan Sekolah;
c. Pergaulan Anak;
d. Pengaruh Mass Media.
TERIMA KASIH
5. Masalah Perlindungan Anak
a. Kondisi Anak
b. Situasi Lingkungan
1) Opini tentang Perlakuan Anak
2) Eksploitasi
3) Penelantaran Terhadap Anak
6.Sebab Timbulnya Hukum Perlindungan Anak
a.bahwa anak adalah amanah dan
karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya
b.bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi
muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,
memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan
sifat khusus yang menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara pada masa depana.
Keberadaan Anak sebagai Aset
Bangsa
c.bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul
tanggung jawab tersebut, maka ia perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,
baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak
mulia, perlu dilakukan upaya perlindung-
an serta untuk mewujudkan kesejahtera-an anak
dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan
hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa
diskriminasi;
7.Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan
Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-
prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup,
dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
8.Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,
demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
•  
9. Posisi Perlindungan Anak
a. Dalam kandungan
b. Secara umum
c. Berhadapan dengan hukum
d. Sebagai tersangka, terdakwa dan ter-
pidana
Posisi Perlindungan Anak
a. Dalam kandungan
b. Secara umum
c. Berhadapan dengan hukum
d. Sebagai tersangka, terdak-
wa dan terpidana
Perlindungan Anak dalam Peradilan

Anak Nakal adalah :


a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lain yang hidup
dan berlaku dalam masyara-kat yang
bersangkutan
KEKHUSUSAN PERADILAN
TERHADAP ANAK

1. Penegak Hukum khusus bagi


anak (Penyidik, Jaksa Penuntut
Umum, dan Hakim)

2. Orang
tua, Pembimbing
Kemasyarakatan, Penasihat Hukum
Anak
3. Bila anak belum berumur 8 tahun, diserahkan
kembali kepada orangtua, wali atau orang tua
asuh bila mereka bisa membina

4. Penyidik menyerahkan kepada


Depsos setelah mendengar
pertimbangan Pembimbing
Kemasyarakatan bila orang tua, wali
atau orang tua asuh tidak bisa
membina
5. Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Penyidik dan
Petugas Lainnya tidak pakai toga/pakaian dinas

6. Sidang dlm pintu tertutup


7. Putusan berupa pidana atau tindakan
(Pasal 22)

8. Pidana terhadap anak berupa Pidana Pokok


dan Tambahan
9. Pidana pokok berupa pidana
penjara, kurungan, denda dan
pidana pengawasan
10. Pidana tambahan berupa
perampasan barang-barang
tertentu dan atau pembayaran
ganti rugi
Tindakan terhadap Anak
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau
orang tua asuh (dapat ditambah teguran dan
syarat tambahan yang dite-tapkan oleh hakim);
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti
pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau
Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak
di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja.
Pidana Penjara

Maksi Setengah dari ancaman maksimum


mum orang dewasa

Tidak boleh dijatuhkan


Mati
terhadap anak

Se
umur
Tidak boleh dijatuhkan
Hidup terhadap anak
Pidana Penjara tidak boleh Lebih
dari 10 tahun

Diancam pidana mati,


Anak belum berumur 12 tahun
maka hanya
dijatuhakan satu
tindakan

Therhadap ½
ancaman pidana
Pidana Kurungan
maksimum orang
dewasa
Pidana Denda ½ dewasa

Paling lama 90
Latihan hari
Kerja
Subsider

Tidak Lebih
4 jam sehari
Pidana Bersyarat
Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila
pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua)
tahun
Pidana bersyarat ditentukan syarat umum dan syarat
khusus.
Syarat umum ialah bahwa Anak Nakal tidak akan
melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa
pidana bersyarat.
Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak
melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan
hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak
memakai toga Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak atau pakaian dinas.

Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek


daripada masa pidana bersyarat bagi syarat umum

Pidana bersyarat paling lama 3 (tiga) tahun

Jaksa melakukan pengawasan

Pembimbing Kemasyarakatan melakukan


bimbingan agar Anak Nakal menepati persyaratan
yang telah ditentukan
Anak Nakal yang menjalani pidana
bersyarat dibimbing oleh Balai
Pemasyarakatan dan berstatus
sebagai Klien Pemasyarakatan.
Selama Anak Nakal berstatus
sebagai Klien Pemasyarakatan
dapat mengikuti pendidikan
sekolah
Pidana Pengawasan
Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan
kepada Anak Nakal paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 2 (dua) tahun
Pengawasan dilakukan dengan menempatkan
anak di bawah pengawasan Jaksa dan
bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan.
Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara
pelaksanaan pidana pengawasan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah
PERLINDUNGAN ANAK
DARI ASPEK PERDATA
DOR
Pengertian Perlindungan Anak

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk


menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
PERLINDUNGAN HAK ANAK
HAK-HAK ANAK
1.Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 4).
2.Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai
identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5)
3.Setiap anak berhak untuk beribadah menurut
agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecer-
dasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua
(Pasal 6)
4.Setiap anak berhak untuk mengetahui orang
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri (Pasal 7 ayat 1)
 Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak
dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau
anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut
berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh
atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 7 ayat 2)
5.Setiap anak berhak memperoleh pelayanan
kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8)
6.Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya
dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya (Pasal 9 ayat 1)
Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga
berhak memperoleh pendidikan luar biasa,
sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga
berhak mendapatkan
pendidikan khusus (Pasal 9 ayat 2)
7.Setiap anak berhak menyatakan dan didengar
pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya demi pengembangan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan
kepatutan (Pasal 10)
8. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi
sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11)
Setiap anak yang menyandang cacat berhak
memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal
12)
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang
tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:
a.diskriminasi;
b.eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c.penelantaran;
d.kekejaman, kekerasan, dan pengani-
ayaan;
e.ketidakadilan; dan
f.perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak
melakukan segala bentuk perlakuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang
tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau
aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari :
a.penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b.pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c.pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d.pelibatan dalam peristiwa yang mengandung
unsur kekerasan; dan
e.pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang
tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh
kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana
penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a.mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan
penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b.memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;
dan
c.membela diri dan memperoleh keadilan di depan
pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam
sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan
seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak
dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
tindak pidana berhak mendapatkan bantuan
hukum dan bantuan lainnya.
KEWAJIBAN
ANAK
Dalam UU No.23 Tahun 2002

a.menghormati orang tua, wali, dan guru;


b.mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi
teman;
c.mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d.menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya;
dan
e.melaksanakan etika dan akhlak yang mulia
KEWAJIBAN DAN
TANGGUNG
Dalam UU No.23 Tahun 2002
JAWAB
PERLINDUNGAN
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga,
dan orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak (pasal
20)
Kewajiban dan Tanggungjawab
Negara dan Pemerintah

1.Negara dan pemerintah berkewajiban dan


bertanggung jawab menghormati dan menjamin
hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya
dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran
anak, dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21)
2.Negara dan pemerintah berkewajiban dan
bertanggung jawab memberikan dukungan sarana
dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22)
3. Negara dan pemerintah menjamin perlindungan,
pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memper-hatikan hak dan kewajiban orang tua,
wali, atau orang lain yang secara hukum
bertanggung jawab terhadap anak(23/1)
Negara dan pemerintah mengawasi pe-
nyelenggaraan perlindungan anak
(Pasal 23 ayat 2)
4.Negara dan pemerintah menjamin
anak untuk mempergunakan
haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan
tingkat kecerdasan anak (Pasal 24)
 
Kewajiban dan Tanggungjawab
Masyarakat

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat


terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui
kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 25)
 
KEWAJIBAN / TJ
AYAH - IBU
RUMAH

ANAK
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Orang Tua dan Keluarga

Orang tua berkewajiban dan bertang-gung jawab


untuk :
a.mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi anak;
b.menumbuhkembangkan anak sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c.mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-
anak (Pasal 26 ayat 1)
Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui
keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak
dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Pasal 26 ayat 2)
KEDUDUKAN
ANAK
Dalam UU No.23 Tahun 2002

Identitas Anak
Pasal 27
(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan
sejak kelahirannya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada
surat keterangan dari orang yang menyaksikan
dan/atau membantu proses kelahiran.
(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak
diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui
keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk
anak tersebut didasarkan pada keterangan orang
yang menemukannya.
 
Pasal 28
(1)  Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab
pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan
serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.
(2)  Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya
permohonan.
(3)  Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak dikenai biaya.
(4)  Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat
pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Anak yang Dilahirkan dari
Perkawinan Campuran
Pasal 29
(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara
warga negara Republik Indonesia dan warga
negara asing, anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut berhak memperoleh
kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak
untuk memilih atau berdasarkan putusan
pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu
dari kedua orang tuanya.
(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana
dimaksud dalam  ayat (2), sedangkan anak belum
mampu menentukan pilihan dan ibunya
berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi
kepentingan terbaik anak atau atas permohonan
ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status
kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak
tersebut.
PERLINDUNGAN ANAK
DALAN KONVENSI HAK
ANAK
PRINSIP PERLINDUNGAN
ANAK
Dalam Konvensi Internasional tentang Hak Anak
yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36
Tahun 1990, terdapat 4 Prinsip Perlindungan Anak
yaitu:
1. Prinsip Non Diskriminasi
Negara menghormati dan menjamin
hak,-hak yang ditetapkan di dalam kon
vensi bagi setiap anak yang berada
dalam wilayah hukum mereka tanpa
diskriminasi dalam bentuk apapun,
tanpa memandang ras, warna kulit
jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan
politik atau pandangan-pandangan lain,
asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial,
status kepemilikan, cacat atau tidak, kela-
hiran atau status lainnya, baik dari diri si
anak atau dari orang tua atau walinya yang
sah (Pasal 2 ayat 1 Knvensi)
Negara akan mengambil semua langkah yang
perlu untuk menjamin agar anak dilin-dungi
dari semua diskriminasi atau hukum-an
berdasarkan status, kegiatan, pendapat
yang dikemukakan atau keyakinan
dari orang tua anak, walinya yang sah
atau anggota keluarganya (Pasal 2
ayat 2 Konvensi)
2. Prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak
(best interest of the child)
Dalam semua tindakan yang menyang
kut anak yang dilakukan lembaga ke-
sejahteraan sosial pemerintah mau-
pun swasta, lembaga peradilan, lem-
baga pemerintah atau badan legislatif
maka kepentingan terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan utama (Pasal 3 Kon-
vensi)
Kepentingan terbaik bagi anak sebagai pa-
ramount importance (memperoleh periori-tas
tertinggi) dalam setiap keputusan yang
menyangkut anak. Tanpa prinsip ini, usaha
untuk melindungi anak akan terkendala.
3. Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup
dan Perkembangan (the right to live, suvival
and development)
Negara mengakui bahwa setiap anak
memiliki hak yang melekat atas
kehidupan (Pasal 6 ayat 1 Konvensi)
Negara menjamin sampai batas
maksimal kelangsungan hidup dan
perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2
Konvensi)
4. Prinsip Penghargaan Terhadap Penda-
pat Anak (respect for the views of the
child)
Negara menjamin anak mempunyai pandang-
an sendiri dan memperoleh hak menyatakan
pandangan-pandangan secara bebas dalam
semua hal yang mempengaruhi anak dan
pandangan tersebut akan dihargai sesuai
dengan tingkat usia dan kematangan anak.
FAKTOR ANAK
BERKONFLIK DENGAN HUKUM

1. Anak yang berkonflik dengan hukum meru


pakan istila yang biasa digunakan bagi anak
yang melakukan perilaku menyim-pang dan
nakal. Dalam kriminologi anak tersebut
disebut juvenile delinquency
2. Juvenile delinquency adalah perbuatan anti
sosial yang dilakukan oleh anak atau rema ja,
yang apabila dilakukan oleh orang de-
wasa, maka dikualifikasikan sebagai
kejahatan (Fuad Hasan).
3.Terdapat 2 motivasi atau penyebab
anak melakukan kenakalan sehingga
berkonflik dengan hukum menurut
Romli atmasasmita yaitu:
a. Motivasi Ekstrinsik berupa:
a.1. Faktor Intelegensia yaitu anak
delinquent pada umumnya
mempunyai intelegensia lebih
rendah dan ketinggalan dalam
pencapaian hasi skolastik (prestasi
sekolah rendah). Dengan kecerdasan
yang rendah dan wawasan sosial yg
kurang tajam, mereka mudah sekali
tersesat oleh ajakan buruk untuk
jadi delinquent;
a.2. Faktor Usia. Stepen Hurwitz menga-
takan usia adalah faktor yang paling
penting menjadi penyebab anak me-
lakukan kejahatan. Anak yang mela-
kukan kenakalan antara 15 – 18 th.
a.3. Faktor Kelamin. Paul W Tappan me-
ngatakan kenakalan anak dpat di-
lakukan oleh anak laki-laki maupun
oleh anak perempuan tetapi dalam
prakteknya anak laki-laki yang ba-
nyak melakukan kejahatan.
a.4. Faktor Kedudukan Anak Dalam Ke-
luarga. Perlakuan orang tua terha-
dap anak bisa menyulitkan anak da
lam bergaul yang bisa mengakibat-
kan frustasi dan cenderung berbuat
jahat.
2. Motivasi Instrinsik berupa:
a. Keluarga yang Broken;
b. Pendidikan dan Sekolah;
c. Pergaulan Anak;
d. Pengaruh Mass Media.
TERIMA KASIH
BAB X
PERAN MASYARAKAT
Pasal 72
(1)Masyarakat berhak memperoleh ke-sempatan
seluas-luasnya untuk ber-peran dalam
perlindungan anak.
(2)Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan oleh orang
perseorangan,lembaga perlindungan anak,
lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya
masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga
keagamaan, badan usaha, dan media massa
Pasal 73
Peran masyarakat dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
KOMISI PERLINDUNGAN
ANAK INDONESIA
BAB XI
Pasal 74  
Dalam rangka meningkatkan efektivitas
penyelenggaraan perlindungan anak, dengan
undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan
Anak Indonesia yang bersifat independen.

Pasal 75 
(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 2
(dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris,
dan 5 (lima) orang anggota
(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama,
tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga
swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok
masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
 
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk masa
jabatan 3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan
organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.  
Pasal 76  
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :  
a.melakukan sosialisasi seluruh ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan anak, mengumpulkan
data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan,
pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak;
b.memberikan laporan, saran, masukan, dan
pertimbangan kepada Presiden dalam rangka
perlindungan anak. 
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, disingkat
KPAI, adalah lembaga independen Indonesia
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas
penyelenggaraan perlindungan anak.
Keputusan Presiden Nomor 36/1990, 77/2003
dan 95/M/2004 merupakan dasar hukum
pembentukan lembaga ini.
Anggota KPAI pusat terdiri dari 9 orang berupa 1
orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 5
anggota. Susunan Kepengurusan KPAI saat ini
adalah : Ketua  : Dra. Hj. Badriyah Fayumi, Lc.,
MA Wakil Ketua  : Apong Herlina, SH., MH
Wakil Ketua  : Dr. Iswamdi Mourbas, SKM.,
MPPM Sekretaris  : Maria Advianti, SP Anggota
 : Dr. H.M Asrorun Niam Sholeh, MA Anggota  :
Arnisah Vonna, SH.,MKN Anggota  : M. Ihsan,
Msi Anggota  : Dra. Latifah Iskandar Anggota  :
Dra. Hj. Maria Ulfah Anshor
Pasal 1 Kepres 77 Tahun 2003
Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud
dengan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia adalah lembaga yang bersifat
independen yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dalam rangka
meningkatkan efektifitas penyelenggaraan
perlindungan anak
• Pasal 2
• Komisi Perlindungan Anak Indonesia
berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan
• Republik Indonesia.
Pasal 3
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mempunyai tugas :
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-
undangan yang
berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan
informasi,
menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan,
pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan
anak;
b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada
Presiden dalam
rangka perlindungan anak.
• Pasal 4
• Susunan keanggotaan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia terdiri dari :
• a. 1 (satu) orang Ketua;
• b. 2 (dua) orang Wakil Ketua;
• c. 1 (satu) orang Sekretaris;
• d. 5 (lima) orang Anggota.
• Pasal 5
• Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam
• Pasal 4 terdiri dari unsur :
• a. pemerintah;
• b. tokoh agama;
• c. tokoh masyarakat;
• d. organisasi sosial;
• e. organisasi kemasyarakatan;
• f. organisasi profesi;
• g. lembaga swadaya masyarakat;
• h. dunia usaha; dan
• i. kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
• Pasal 6
• (1) Pengisian jabatan dalam susunan keanggotaan
Komisi Perlindungan Anak
• Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dipilih
dan dilaksanakan sendiri
• oleh para anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
• (2) Ketentuan mengenai tata cara pengisian jabatan
sebagaimana dimaksud dalam
• ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komisi
Perlindungan Anak Indonesia
• Pasal 7
• (1)Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia dibantu oleh
• Sekretariat.
• (2)Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dipimpin oleh Kepala Sekretariat, yang
dalam melaksanakan tugasnya secara
fungsional bertanggungjawab kepada Komisi
Perlindungan Anak Indonesia.
• (3) Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
• oleh satu unit kerja yang berada di lingkungan
Kantor Menteri Negara
• Pemberdayaan Perempuan, yang ditetapkan
oleh Menteri Negara Pemberdayaan
• Perempuan setelah mendapat persetujuan dari
Menteri Negara Pendayagunaan
• Aparatur Negara.
• Pasal 8
• (1) Untuk menunjang pelaksanaan tugas, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia dapat
• membentuk kelompok kerja.
• (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan,
tugas, dan tata kerja Kelompok Kerja
• sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
oleh Komisi Perlindungan Anak
• Indonesia.
• Pasal 9
• (1) Apabila dipandang perlu dalam menunjang
pelaksanaan tugasnya, Komisi
• Perlindungan Anak Indonesia dapat membentuk
Perwakilan di Daerah.
• (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembentukan Perwakilan sebagaimana dimaksud
• dalam ayat (1) ditetapkan oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia
• Pasal 10
• Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh
• Presiden setelah mendapat pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik
• Indonesia.
• Pasal 11
• Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia diangkat untuk masa jabatan 3
• (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk
1 (satu) kali masa jabatan
• Pasal 13
• (1) Dalam hal Pegawai Negeri Sipil duduk dalam keanggotaan
Komisi Perlindungan
• Anak Indonesia sebagai unsur Pemerintah, Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan
• diberhentikan dari jabatan organiknya tanpa kehilangan statusnya
sebagai Pegawai
• Negeri Sipil.
• (2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dinaikkan
• pangkatnya setiap kali setingkat lebih tinggi tanpa terikat jenjang
pangkat, sesuai
• dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
• (3) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberhentikan dengan
• hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila
telah mencapai batas usia pensiun
• dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai
dengan ketentuan peraturan
• perundang-undangan yang berlaku.
• Pasal 14
• Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia yang berhenti sebelum
• berakhirnya masa jabatan diatur dalam
Peraturan Tata Tertib Komisi Perlindungan
• Anak Indonesia.
• Pasal 15
• (1) Pelaksanaan tugas Komisi Perlindungan
Anak Indonesia dilakukan dengan
• mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
• (2) Laporan, saran, masukan, dan
pertimbangan kepada Presiden disampaikan
atas
• dasar kesepakatan anggota Komisi
Perlindungan Anak Indonesia
• Pasal 16
• Apabila dipandang perlu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia
dapat melakukan
• kerjasama dengan instansi Pemerintah, baik Pusat maupun
Daerah, organisasi
• masyarakat, para ahli, dan pihak-pihak lain yang dipandang
perlu.
• Pasal 17
• Mekanisme kerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia
didasarkan pada prinsip
• pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas, kredibilitas,
efektifitas, dan efisiensi
• Pasal 18
• Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme
kerja Komisi Perlindungan Anak
• Indonesia diatur dalam Peraturan Tata Tertib
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
PERLINDUNGAN ANAK
DARI ASPEK PIDANA
1. Bentuk Perlindungan Hukum Pidana yang
dilakukan adalah dengan membuat tindak pidana
terhadap perbuatan yang memberikan
perlindungan terhadap anak yaitu dalam BAB XII
tentang KETENTUAN PIDANA Pasal 77 s/d 90 UU
No. 23 Tahun 2002
2. Pasal 77  
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
tindakan :  
a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan
anak mengalami kerugian, baik materiil maupun
moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b.penelantaran terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami sakit atau
penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
 
c.dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Pasal 78  
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan
anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak
yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak
tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama   5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 79  
Setiap orang yang melakukan pengangkatan
anak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).  
Pasal 80  
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman,
kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp
72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). 
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).  
 
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).  
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orang tuanya.
Pasal 81  
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat  3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain.  
Pasal 82  
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).  
TUGAS
1. Buat Penyelenggaraan Perlindungan Anak
menurut UU No. 23 Tahun 2002
2. Buat dengan tulisan tangan
3. Buat dalam kertas folio atau kertas buku
4. Dikumpulkan pada pertemuan yang
selanjutnya atau yang akan datang
5. Dikumpulkan pada saat kuliah akan
dimulai, sesudah itu tidak diterima lagi,
apalagi sudah terlambat berhari-hari.
TERIMA KASIH
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Asas dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
a. Perlindungan;
b. Keadilan;
c. Non diskriminasi;
d. Kepentingan terbaik bagi Anak;
e. Penghargaan terhadap pendapat Anak;
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g. Pembinaan dan pembimbingan Anak;
h. Proporsional;
i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai
upaya terakhir; dan
j. Penghindaran pembalasan.
Hak Setiap Anak dalam proses peradil-an pidana
a.Diperlakukan secara manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya;
b.Dipisahkan dari orang dewasa;
c.Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain
secara efektif;
d.Melakukan kegiatan rekreasional;
e.Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau
perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi,
serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f.Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur
hidup;
g.Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali
sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang
paling singkat;
h.Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak
yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang
yang tertutup untuk umum;
i.Tidak dipublikasikan identitasnya;
j.Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan
orang yang dipercaya oleh Anak;
k.Memperoleh advokasi sosial;
l.Memperoleh kehidupan pribadi;
m.Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak
cacat;
n.Memperoleh pendidikan;
o.Memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p.Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
• Hak Anak yang sedang menjalani masa
pidana
• a. mendapat pengurangan masa pidana;
• b. memperoleh asimilasi;
• c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga;
• d. memperoleh pembebasan bersyarat;
• e. memperoleh cuti menjelang bebas;
• f. memperoleh cuti bersyarat; dan
• g. memperoleh hak lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
• 5 (lima) prinsip kunci dari restorative justice
• Restorative justice invites full participation and
consensus (restoratitive justice mengundang
partisipasi penuh dan konsesus)
• Restoratitive justice seeks to heal what is broken
(restorative justice berusaha menyembuhkan
kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya
tindakan tindak pidana yang dilakukan anak).
• Restorative justice seeks full and direct
accuntability (restorative justice memberikan
pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara
utuh).
•  Restorative justice seeks to recinite what has
been devided (restorative justice mencarikan
penyatuan kembali kepada warga masyarakat
yang telah terpisah atau terpecah karena
tindak kriminal).
• Restorative justice seeks to strengthen the
community in order to prevent further harms
(restorative justice memberikan ketahanan
kepada masyarakat agar dapat mencegah
terjadinya tindakan kriminal berikutnya).
• Konsep restorative justice harus memperhatikan beberapa
hal
• Kejahatan yang dilakukan anak pada dasarnya merupakan
konflik antar individu-individu yang mengahasilkan
ketelukaan pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri
hanya secara efek lanjutannya merupakan pelanggaran
hukum;
• Tujuan lebih penting dari proses sistem peradilan pidana
haruslah melakukan rekonsiliasi para pihak yang bertujuan
untuk memperbaiki kerusakan yang ada pada korban akibat
dari kriminal yang terjadi;
• Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi
partisipasi aktif dari korban, pelaku dan masyarakat dan
bukan didominasi oleh negara dengan pelanggaran dari
proses penyelesaikan.
• Tujuan dari restorative justice
• Mempertemukan pihak korban, pelaku dan
masyarakat dalam satu pertemuan;
• Mencari jalan keluar terhadap penyelesaian;
• Memulihkan kerugian yang telah terjadi.
• Terdapat 4 jenis/macam praktik yang menjadi
pionir penerapan restorative justice yaitu:
• Victim Offender Mediation (VOM)
• Family group Conferencing (FGC)
• Circles
• Reparative Board / Youth Panel
• Dalam Sistem Pidana Wajib Diupayakan Diversi:
• Wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif;
• Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi:
• Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini;
• persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di
lingkungan peradilan umum; dan
• pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau
pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau
tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
• Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan
Diversi (Pasal 5 UU No. 11 Tahun 2012)
• Tujuan Diversi Menurut UU No. 11 Tahun
2012
• a. mencapai perdamaian antara korban dan
Anak;
• b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses
peradilan;
• c. menghindarkan Anak dari perampasan
kemerdekaan;
• d. mendorong masyarakat untuk
berpartisipasi; dan
• e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada
Anak.
• Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
proses Diversi:
• a. Proses Diversi dilakukan melalui
musyawarah dengan melibatkan Anak dan
orang tua/Walinya, korban dan/atau orang
tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan
pendekatan Keadilan Restoratif.
• b.Dalam hal diperlukan, musyawarah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial,
dan/atau masyarakat.
• c.Proses Diversi wajib memperhatikan:
• - kepentingan korban;
• - kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
• - penghindaran stigma negatif;
• - penghindaran pembalasan;
• - keharmonisan masyarakat; dan
• - kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
• Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
melakukan Diversi harus
mempertimbangkan:
• a. kategori tindak pidana;
• b. umur Anak;
• c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas;
dan
• d. dukungan lingkungan keluarga dan
masyarakat (Pasal 9 ayat 1 UU No. 11 Tahun
2012)
• Kesepakatan Diversi harus mendapatkan
persetujuan korban dan/atau keluarga Anak
Korban serta kesediaan Anak dan
keluarganya, kecuali untuk:
• a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
• b. tindak pidana ringan;
• c. tindak pidana tanpa korban; atau
• d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai
upah minimum provinsi setempat (Pasal 9
ayat 2 UU No. 11 Tahun 2012)
• Beberapa hal dalam pengawasan dan
pelaksanaan
• a. Pengawasan atas proses Diversi dan
pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan
berada pada atasan langsung pejabat yang
bertanggung jawab di setiap tingkat
pemeriksaan.
• b. Selama proses Diversi berlangsung sampai
dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan,
Pembimbing Kemasyarakatan wajib
melakukan pendampingan, pembimbingan,
dan pengawasan.
• Kesepakatan Diversi
• Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan
tindak pidana yang berupa pelanggaran,
tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa
korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih
dari nilai upah minimum provinsi setempat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku
dan/atau keluarganya, Pembimbing
Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan
tokoh masyarakat.
•  Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas
rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan
dapat berbentuk:
• pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
• rehabilitasi medis dan psikososial;
• penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
• keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan
di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3
(tiga) bulan; atau
• pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
• Hasil Kesepakatan Dversi Berbentuk
• perdamaian dengan atau tanpa ganti
kerugian;
• penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
• keikutsertaan dalam pendidikan atau
pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS
paling lama 3 (tiga) bulan; atau
• pelayanan masyarakat.
• Proses Peradilan Pidana Anak Dilanjutkan
Dalah Hal:
• a. proses Diversi tidak menghasilkan
kesepakatan; atau
• b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan
(Pasal 13 UU No. 11 Tahun 2012)
• c. Dalam hal kesepakatan Diversi tidak
dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan,
Pembimbing Kemasyarakatan segera
melaporkannya kepada pejabat yang
bertanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada a.
• d. Pejabat yang bertanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
menindaklanjuti laporan dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari (Pasal 14 UU No. 11 Tahun
2012)
HUKUM PERLINDUNGAN
TERHADAP PEREMPUAN

OLEH
FADILLAH SABRI, SH.MH.
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah jaminan yang diberikan oleh negara
untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga, menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 2 UUPKDRT
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-
Undang ini meliputi:
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan
keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;
dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga
dan menetap dalam rumah tangga tersebut
HUKUM PERLINDUNGAN
PEREMPUAN

Oleh
Fadillah Sabri
*UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasa Dalam Rumah Tangga (PKDRT),
• Ketentuan Pidana diatur dalam Bab VIII Pasal 44 s/d
53 UU PKDRT,
• Tindak Pidana:
a. Tindak Pidana Kekerasan Fisik
dlm Pasal 44,
b. Tindak Pidana Kekerasan Psikis
dlm Pasal 45,
c. Tindak Pidana Kekerasan Seksual
dlm Pasal 46 dan 47,
d. Tindak Pidana Penelantaran Ru-
mah Tangga dlm Pasal 49.
*Tindak Pidana Kekerasan Fisik (Pasal 44 ayat 4),
Psikis (Pasal 45 ayat 2) dan seksual (Pasal 46)
merupakan Delik Aduan (lihat Pasal 51, 52 dan
53)
HUKUM PERLINDUNGAN
PEREMPUAN
(UU No. 23 Tahun 2004
Tentang PKDRT)

Oleh
Fadillah Sabri
I. LATAR BELAKANG HUKUM PERLIN-DUNGAN ANAK
A. Pengertian Perlindungan Anak
B. Masalah Perlindungan Anak
C. Sebab-Sebab Timbulnya Hukum Perlin-
dungan Anak

II.ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN ANAK


A. Asas Perlindungan Anak
1. Pancasila dan UUD 1945
2. Prinsip Dasar Konvensi Hak-Hak
Anak
III.PERLINDUNGAN ANAK DALAM BEBERA-PA
ASPEK HUKUM
A. Hukum Perdata
B. Hukum Pidana
C. Hukum Internasional
D. Penyelenggaraan Perlindungan Anak
IV. LATAR BELAKANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN
A. Pengertian Perlindungan Perempuan
B. Masalah dan Sebab Timbulnya Hukum
Perlindungan Perempuan
V. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Kekerasan Fisik
B. Kekerasan Psikis
C. Kekerasan Ekonomi
VI. PERLINDUNGAN WANITA DARI KEKE-RASAN
DALAM RUMAH TANGGA DARI ASPEK HUKUM
PIDANA
I. LATAR BELAKANG HUKUM PERLIN-DUNGAN ANAK
A. Pengertian Perlindungan Anak
B. Masalah Perlindungan Anak
C. Sebab-Sebab Timbulnya Hukum Perlin-
dungan Anak

II.ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN ANAK


A. Asas Perlindungan Anak
1. Pancasila dan UUD 1945
2. Prinsip Dasar Konvensi Hak-Hak
Anak
Darwin Prinst Hukum Anak Indonesia Bandung:
PT Citra Aditya Bakti
Bathlimus Perlindungan Hukum Terhadap Anak
dalam Konflik Bersenjata. Makalah pada
Penataran Hukum Humaniter dan HAM
Gatot Supramono Hukum Acara Pengadilan
Anak Jakarta: Djambatan
Muhammad Joni, Zulhaida Z. Tanamas Aspek
Hukum Pelindungan Anak dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak Bandung: PT Cipta Aditya
Bakti
Sholeh Soeaidy, Zulkhaidir Dasar Hukum
Perlindungan Anak Jakarta: Novindo Pus-taka
Mandiri
Zulbaidi Kekerasan dalam Rumah Tangga Jakarta:
Rajawali
Soni Herman Perlindungan Hukum Kekeras-an
dalam Rumah Tangga Bandung: Bina Aksara

UNDANG-UNDANG
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindung-an Anak
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapus-an
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Konvensi Hak-Hak Anak
Dan lain-lain
Pengertian
Hukum Perlindungan Perempuan (Wanita) adalah
aturan hukum yang mengatur hak korban dan
tindak pidana yang memberikan perlindungan
kepada perempuan (wanita).
UU yang mengatur adalah:
1.UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
2.UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO)
Pengertian Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat
KDRT) adalah kekerasan yang dilakukan di
dalam rumah tangga baik oleh suami maupun
oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian
besar korban KDRT adalah kaum perempuan
(istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun
ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-
orang yang tersubordinasi di dalam rumah
tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah
orang yang mempunyai hubungan darah,
perkawinan,
persusuan, pengasuhan, perwalian dengan
suami, dan anak bahkan pembatu rumah
tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus
KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban
karena terpaut dengan struktur budaya,
agama dan sistem hukum yang belum
dipahami. Padahal perlindungan oleh negara
dan masyarakat bertujuan untuk memberi
rasa aman terhadap korban serta menindak
pelakunya.
BENTUK KEKERASAN
1. Kekerasan fisik
• Cedera berat
• Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
• Pingsan
• Luka berat pada tubuh korban dan atau luka
yang sulit disembuhkan atau yang
menimbulkan bahaya mati
• Kehilangan salah satu panca indera.
• Mendapat cacat.
• Menderita sakit lumpuh.
• Terganggunya daya pikir selama 4 minggu
lebih
• Gugurnya atau matinya kandungan seorang
perempuan
• Kematian korban.
• Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar,
menjambak, mendorong, dan perbuatan
lainnya yang mengakibatkan:
-Cedera ringan
-Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam
kategori berat
-Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat
dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.
2. Kekerasan psikis
Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan
pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan dan penghinaan,
dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan
isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina; penguntitan;
kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik,
seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya
bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat
berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
• Gangguan tidur atau gangguan makan atau
ketergantungan obat atau disfungsi seksual
yang salah satu atau kesemuanya berat dan
atau menahun.
• Gangguan stres pasca trauma.
• Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba
lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
• Depresi berat atau destruksi diri
• Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak
dengan realitas seperti skizofrenia dan atau
bentuk psikotik lainnya
• Bunuh diri
• Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan
pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan dan penghinaan,
dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan
isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
yang merendahkan atau menghina; penguntitan;
ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang
masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan
psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di
bawah ini:
• Ketakutan dan perasaan terteror
• Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak
• Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi
seksual
• Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala,
gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
• Fobia atau depresi temporer
3. Kekerasan seksual
• Kekerasan seksual berat, berupa:
• Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti
meraba, menyentuh organ seksual, mencium
secara paksa, merangkul serta perbuatan lain
yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror,
terhina dan merasa dikendalikan.
• Pemaksaan hubungan seksual tanpa
persetujuan korban atau pada saat korban
tidak menghendaki.
• Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak
disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
• Pemaksaan hubungan seksual dengan orang
lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan
tertentu.
• Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku
memanfaatkan posisi ketergantungan korban
yang seharusnya dilindungi.
• Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan
atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan
sakit, luka,atau cedera.
• Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan
seksual secara verbal seperti komentar verbal,
gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan
atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah,
gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya
yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan
atau menghina korban.
• Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan
dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan
seksual berat.
4. Kekerasan ekonomi
• Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi,
manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
• Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
• Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
• Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan
korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda
korban.
• Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya
sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak
berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya.
Bentuk-bentuk KDRT
Bentuk-bentuk KDRT adalah (Pasal 5):
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat (Pasal 6)
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang
berupa pemaksaan hubungan seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak
wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):
a. Pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap
salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku
bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9)
PENYEBAB KDRT
• Penyebab KDRT adalah:
• Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang
setara
• Masyarakat menganggap laki-laki dengan
menanamkan anggapan bahwa laki-laki harus kuat,
berani serta tanpa ampun
• KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial,
tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri
• Pemahaman keliru terhadap ajaran agama,
sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh
menguasai perempuan
Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa
ada tiga teori utama yang mampu
menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori
biologis, teori frustasi-agresi, dan teori
kontrol.
1.Teori biologis menjelaskan bahwa manusia,
seperti juga hewan, memiliki suatu instink
agressif yang sudah dibawa sejak lahir.
Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia
mempunyai suatu keinginan akan kematian
yang mengarahkan manusia untuk menikmati
tindakan melukai dan membunuh orang lain dan
dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan
bahwa manusia memiliki instink untuk
menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang
sering mengarahkan pada perilaku konflik antar
pribadi yang penuh kekerasan.
Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan
kekerasan adalah sangat berguna untuk survive.
Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok
untuk membuat keturunan dan survive,
sementara itu manusia atau hewan yang kurang
agresif memungkinkan untuk mati
satu demi satu. Agresi pada hakekatnya
membantu untuk menegakkan suatu sistem
dominan, dengan demikian memberikan
struktur dan stabilitas untuk kelompok.
Beberapa ahli teori biologis berhipotesis
bahwa hormon sek pria menyebabkan
perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli
teori belajar berteori bahwa perbedaan
perilaku agresif terutama disebabkan oleh
perbedaan sosialisasi terhadap pria dan
wanita
2. teori frustasi agresi menyatakan bahwa
kekerasan sebagai suatu cara untuk
mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi
frustasi. Teori ini berasal dari suatu pendapat
yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi
sering menjadi terlibat dalam tindakan agresif.
Orang frustasi sering menyerang sumber
frustasinya atau memindahkan frustasinya ke
orang lain. Misalnya. Seorang remaja (teenager)
yang diejek oleh orang lain mungkin membalas
dendam, sama halnya seekor binatang
kesayangan yang digoda. Seorang
pengangguran yang tidak dapat mendapatkan
pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya.
Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori
ini tidak menjelaskan mengapa frustasi mengarahkan
terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah orang,
tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar
tindakan agresif dan kekerasan nampak tidka
berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang
pembunuh yang pofesional tidak harus menjadi
frustasi untuk melakukan penyerangan. Walaupun
teori frustasi-agresi sebagian besar dikembangkan
oleh para psikolog, beberapa sosiolog telah
menarpkan teori untuk suatu kelompok besar.
Mereka memperhatikan perkampungan miskin dan
kotor di pusat kota dan dihuni oleh kaum minoritas
telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi.
Mereka berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan
kesmepatan, dan ketidakadilan lainnya di wilayah ini
sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk
semua menginginkan semua banda yang mereka
lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta tak ada hak
yang sah sedikitpun untuk menggunakannya.
Akibatnya, mereka frustasi dan berusaha untuk
menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan
yang masuk akal terhadap angka kekarasan yang
tinggi bagi penduduk minoritas
3.teori ini menjelaskan bahwa orang yang
hubungannya dengan orang lain tidak
memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk
terpaksa berbuat kekerasan ketika usahanya
untuk berhubungan dengan orang lain
menghadapi situasi frusstasi. Teori ini berpegang
bahwa orang yang memiliki hubungan erat
dengan orang lain yang sangat berarti cenderung
lebih mampu dengan baik mengontrol dan
mengendalikan perilakunya yang impulsif.
Travis Hirschi memberikan dukungan kepada
teori ini melalui temuannya bahwa remaja
putera yang memiliki sejarah prilaku agresif
secara fisik cenderung tidak memiliki
hubungan yang dekat dengan orang lain.
Selain itu juga dinyatakan bahwa kekerasan
mengalami jumlah yang lebih tinggi di antara
para eks narapidana dan orang-orang lain
yang terasingkan dari teman-teman dan
keluarganya daripada orang-orang Amerika
pada umumnya.
Setelah memperhatikan ketiga teori tersebut,
kiranya variasi kekerasan di masyarakat untuk
sementara ini disebabkan oleh tiga faktor
tersebut. Bagaimana dengan penyebab
munculnya KDRT, lebih khususnya di Indonesia.
Menurut hemat saya, KDRT di Indonesia
ternyata bukan sekedar masalah ketimpangan
gender. Hal tersebut acapkali terjadi karena:
• Kurang komunikasi, Ketidakharmonisan
• Alasan Ekonomi
• Ketidakmampuan mengendalikan emosi
• Ketidakmampuan mencari solusi masalah
rumah tangga apapun, dan juga
• Kondisi mabuk karena minuman keras dan
narkoba.
Dampak KDRT
Marianne James, Senior Research pada Australian
Institute of Criminology (1994), menegaskan
bahwa KDRT memiliki dampak yang sangat berarti
terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan
kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan
masalah, maupun fungsi mengatasi masalah dan
emosi. Adapun dampak KDRT secara rinci akan
dibahas berdasarkan tahapan perkembangannya
sebagai berikut:
1. Dampak terhadap Anak berusia bayi Usia bayi
seringkali menunjukkan keterbatasannya dalam
kaitannya dengan kemampuan kognitif dan
beradaptasi. Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa
anak bayi yang menyaksikan terjadinya
kekerasan antara pasangan bapak dan ibu sering
dicirikan dengan anak yang memiliki kesehatan
yang buruk kebiasaan tidur yang jelek, dan
teriakan yang berlebihan. Bahkan kemungkinan
juga anak itu menunjukkan penderitaan yang
serius. Hal ini berkonsekuensi logis terhadap
kebutuhan
dasarnya yang diperoleh dari ibunya ketika
mengalami gangguan yang sangat berarti. Kondisi
ini pula berdampak lanjutan bagi ketidaknormalan
dalam pertumbuhan dan perkembangannya yang
sering kali diwujudkan dalam problem emosinya,
bahkan sangat terkait dengan persoalan
kelancaran dalam berkomunikasi.
2. Dampak terhadap anak kecil dalam tahun kedua
fase perkembangan, anak anak mengembangkan
upaya dasarnya untuk mengaitkan penyebab
perilaku dengan ekspresi emosinya.
Penelitian Cummings dkk (1981) menilai
terhadap expresi marah dan kasih sayang yang
terjadi secara alamiah dan berpura-pura.
Selanjutnya ditegaskan bahwa ekspresi marah
dapat menyebabkan bahaya atau kesulitan pada
anak kecil. Kesulitan ini semakin menjadi lebih
nampak, ketika ekspresi verbal dibarengi dengan
serangan fisik oleh anggota keluarga lainnya.
Bahkan banyak peneliti berhipotesis bahwa
penampilan emosi yang kasar dapat
mengancam rasa aman anak dalam kaitannya
dengan lingkungan sosialnya.
Pada tahun ketiga ditemukan bahwa anak yang
merespon dalam interaksinya dengan
kemarahan, maka yang ditimbulkannya adalah
adanya sikap agresif terhadap teman sebayanya.
Yang menarik bahwa anak laki-laki cenderung
lebih agresif daripada anak-anak perempuan
selama simulasi, sebaliknya anak perempuan
cenderung lebih distress daripada anak laki-laki.
Selanjutnya dapat dikemukakan pula bahwa
dampak KDRT terhadap anak usia muda (anak
kecil) sering digambar kan dengan problem
perilaku, seperti seringnya sakit,
memiliki rasa malu yang serius, memiliki self-
esteem yang rendah, dan memiliki masalah
selama dalam pengasuhan, terutama masalah
sosial, misalnya : memukul, menggigit, dan suka
mendebat.
3.Dampak terhadap Anak usia pra sekolah
Cumming (1981) melakukan penelitian tentang
KDRT terhadap anak-anak yang berusia TK, pra
sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya
bahwa Anak-anak yang memperoleh rasa
distress pada usia sebelumnya dapat
diidentifikasi tiga tipe
reaksi perilaku. Pertama, 46%-nya menunjukkan
emosi negatif yang diwujudkan dengan perilaku
marah yang diikuti setelahnya dengan rasa sedih
dan berkeinginan untuk menghalangi atau
campur tangan. Kedua, 17% nya tidak
menunjukkan emosi, tetapi setelah itu mereka
marah. Ketiga, lebih dari sepertiganya,
menunjukkan perasaan emosional yang tinggi
(baik positif maupun negatif) selama
berargumentasi. Keempat, mereka bahagia,
tetapi sebagian besar di antara mereka
cenderung menunjukkan sikap
agresif secara fisik dan verbal terhadap teman
sebayanya. Berdasarkan pemeriksaan terhadap 77
anak, Davis dan Carlson (1987) menemukan anak-
anak TK yang menunjukkan perilaku reaksi agresif dan
kesulitan makan pada pria lebih tinggi daripada
wanita. Hughes (1988) melakukan penelitian
terhadap ibu dan anak-anak yang usia TK dan non TK
baik dari kelompok yang tidak menyaksikan KDRT
maupun yang menyaksikan KDRT. Disimpulkan bahwa
kelompok yang menyaksikan KDRT menunjukkan
tingkat distress yang jauh lebih tinggi, dan kelompok
anak-anak TK menunjukkan perilaku distres yang
lebih tinggi daripada anak-anak non - TK.
E Lange (1986) melalui pengamatannya bahwa
KDRT berdampak terhadap kompetensi
perkembangan sosial - kognitif anak usia
prasekolah. Ini dapat dijelaskan bahwa anak –
anak prasekolah yang dipisahkan secara sosial
dari teman sebayanya, bahkan tidak
berkesempatan untuk berhubungan dengan
kegiatan atau minat teman sebayanya juga,
maka mereka cenderung memiliki beberapa
masalah yang terkait dengan orang dewasa.
5. Dampak terhadap Anak usia SD Jaffe dkk (1990)
menyatakan bahwa pada usia SD, orangtua merupakan
suatu model peran yang sangat berarti. Baik anak pria
maupun wanita yang menyaksikan KDRT secara cepat
belajar bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling
tepat untuk menyelesaikan konflik dalam hubungan
kemanusiaan. Mereka lebih mampu ,mengekspresikan
ketakutan dan kecemasannya berkenaan dengan
perilaku orangtuanya. Hughes (1986) menemukan
bahwa anak-anak usia SD seringkali memiliki kesulitan
tentang pekerjaan sekolahnya, yang diwujudkan
dengan prestasi akademik yang jelek, tidak ingin pergi
ke sekolah, dan kesulitan dalam konsentrasi.
Wolfe et.al, 1986: Jaffe et.al, 1986,
Christopoulus et al, 1987 menguatkan melalui
studinya, bahwa anak-anak dari keluarga yang
mengalami kekerasan domistik cenderung
memiliki problem prilaku lebih banyak dan
kompetensi sosialnya lebih rendah daripada
keluarga yang tidak mengalami kekerasan dalam
rumah tangga. Sementara studi yang dilakukan
terhadap anak-anak Australia, (Mathias et.al,
1995) sebanyak 22 anak dari usia 6 sd 11 tahun
menunjukkan bahwa kelompok anak-anak yang
secara historis
mengalami kekerasan dalam rumah angganya
cenderung mengalami problem perilaku pada
tinggi batas ambang sampai tingkat berat,
memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata,
memiliki kemampuan membaca di bawah usia
kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada
tingkat menengah sampai dengan tingkat
tinggi.
6. Dampak terhadap Anak remaja
Pada usia ini biasanya kecakapan kognitif dan
kemampuan beradaptasi telah mencapai
suatu fase perkembangan yang meliputi
dinamika keluarga dan jaringan sosial di luar
rumah, seperti kelompok teman sebaya dan
pengaruh sekolah. Dengan kata lain, anak-
anak remaja sadar bahwa ada cara-cara yang
berbeda dalam berpikir, merasa, dan
berperilaku dalam kehidupan di dunia ini.
Misalnya studi Davis dan Carlson (1987)
menyimpulkan bahwa hidup dalam keluarga
yang penuh kekarasan cenderung dapat
meningkatkan kemungkinan menjadikan isteri
yang tersiksa, sementara itu Hughes dan Barad
(1983) mengemukakan dari hasil studinya bahwa
angka kejadian kekerasan yang tinggi dalam
keluarga yang dilakukan oleh ayah cenderung
dapat menimulkan korban kekerasan, terutama
anak-anaknya. Tetapi ditekankan pula oleh
Rosenbaum dan O’Leary (1981) bahwa tidak
semua anak yang hidup kesehariannya dalam
hubungan yang penuh kekerasa akan mengulangi
pengalaman itu. Artinya bahwa seberat apapun
kekerasan
yang ada dalam rumah tangga, tidak
sepenuhnya kekerasan itu berdampak kepada
semua anak remaja, tergantung ketahanan
mental dan kekuatan pribadi anak remaja
tersebut. Dari banyak penelitian menunjukkan
bahwa konflik antarkedua orangtua yang
disaksikan oleh anak-anaknya yang sudah
remaja cenderung berdampak yang sangat
berarti, terutama anak remaja pria cenderung
lebih agresif, sebaliknya anak remaja wanita
cenderung lebih dipresif.
Upaya Penanganan KDRT
Secara psikologis dan pedagogis ada tiga
pendekatan yang dapat dilakukan untuk
menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan
preventif.
1. Pendekatan Preventif:
a.Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk
dapat menerapkan cara mendidik dan
memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
b.Memberikan keterampilan tertentu kepada
anggota keluarga untuk secepatnya
melaporkan ke pihak lain yang diyakini
sanggup memberikan pertolongan, jika
sewaktu-waktu terjadi KDRT.
c. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri
dari perbuatan yang mengundang terjadinya
KDRT.
d.Membangun kesadaran kepada semua
anggota keluarga untuk takut kepada akibat
yang ditimbulkan dari KDRT.
e.Membekali calon suami istri atau orangtua
baru untuk menjamin kehidupan yang
harmoni, damai, dan saling pengertian,
sehingga dapat terhindar dari perilaku KDRT.
f.Melakukan filter terhadap media massa, baik
cetak maupun elektronik, yang menampilkan
informasi kekerasan.
g.Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan
anak sesuai dengan jenis kelamin, kondisi, dan
potensinya.
h.Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli
terhadap siapapun yang terkena KDRT, tanpa
sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap
korban KDRT.
i.Mendorong dan menfasilitasi pengembangan
masyarakat untuk lebih peduli dan responsif
terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di
lingkungannya.
2. Pendekatan Kuratif:
a.Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku
KDRT sesuai dengan jenis dan tingkat berat atau
ringannya pelanggaran yang dilaku-
kan, sehingga tidak hanya berarti bagi pelaku
KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota
masyarakat lainnya.
b. Memberikan incentive bagi setiap orang yang
berjasa dalam mengurangi, mengeliminir, dan
menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara
berarti, sehingga terjadi proses kehidupan yang
tenang dan membahagiakan.
c.Menentukan pilihan model penanganan KDRT
sesuai dengan kondisi korban KDRT dan nilai-nilai
yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga
penyelesaiannya memiliki efektivitas yang tinggi.
d. Membawa korban KDRT ke dokter atau
konselor untuk segera mendapatkan
penanganan sejak dini, sehingga tidak terjadi
luka dan trauma psikis sampai serius.
e. Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang
dilandasi dengankasih sayang dan
keselamatan korban untuk masa depannya,
sehingga tidak menimbulkan rasa dendam
bagi pelakunya.
f.Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera
mungkin melakukan pertaubatan diri kepada
Allah swt, akan kekeliruan dan kesalahan
dalam berbuat kekerasan dalam rumah
tangga, sehingga dapat menjamin rasa aman
bagi semua anggota keluarga.
g.Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan
tegas terhadap setiap praktek KDRT dengan
mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga
tidak berdampak jelek bagi kehidupan
masyarakat.
Upaya pemenuhan hak-hak korban KDRT
• Upaya-upaya dalam pemenuhan hak-hak korban
KDRT harus diakui kehadiran UU PKDRT
membuka jalan bagi terungkapnya kasus KDRT
dan upaya perlindungan hak-hak korban.
Dimana, awalnya KDRT dianggap sebagai wilayah
privat yang tidak seorang pun di luar lingkungan
rumah tangga dapat memasukinya. Lebih kurang
empat tahun sejak pengesahannya pada tahun
2004, dalam perjalanannya UU ini masih ada
beberapa pasal yang tidak menguntungkan bagi
perempuan korban kekerasan. PP No. 4 tahun
2006 tentang Pemulihan merupakan peraturan
pelaksana dari UU ini, yang diharapkan
mempermudah proses implementasi UU
sebagaimana yang tertera dalam mandat UU ini.
• Selain itu, walaupun UU ini dimaksudkan
memberikan efek jera bagi pelaku KDRT,
ancaman hukuman yang tidak mencantumkan
hukuman minimal dan hanya hukuman
maksimal sehingga berupa ancaman hukuman
alternatif kurungan atau denda terasa terlalu
• ringan bila dibandingkan dengan dampak yang
diterima korban, bahkan lebih menguntungkan
bila menggunakan ketentuan hukum
sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Apalagi
jika korban mengalami cacat fisik, psikis, atau
bahkan korban meninggal. Sebagai UU yang
memfokuskan pada proses penanganan hukum
pidana dan penghukuman dari korban, untuk
itu, perlu upaya strategis di luar diri korban guna
mendukung dan memberikan perlindungan bagi
korban dalam rangka mengungkapkan kasus
KDRT yang menimpanya
HAK-HAK KORBAN
Korban berhak mendapatkan:
a.Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial,
atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan
dari pengadilan;
b.Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban;
d.Pendampingan oleh pekerja sosial dan
bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani (Pasal 10)
*Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Untuk melaksanakannya dilakukan sbb:
a. Merumuskan kebijakan tentang Penghapus-
an kekerasan dalam rumah tangga;
b.Menyelenggarakan komunikasi, informasi,
dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah
tangga;
c.Menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi
tentang kekerasan dalam rumah tangga;
d.Menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan
dalam rumah tangga serta menetapkan
standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif
gender
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap
korban, pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan fungsi dan tugas masingmasing
dapat melakukan upaya:
a.Penyediaan ruang pelayanan khusus di
kantor kepolisian;
b.Penyediaan aparat, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
c.Pembuatan dan pengembangan sistem dan
mekanisme kerja sama program pelayanan
melibatkan pihak yang mudah diakses oleh
korban; dan
d.Memberikan perlindungan bagi pendamping,
saksi, keluarga, dan teman korban.
• Peran serta masyarakat dilakukan dalam hal
setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai
dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan
penetapan perlindungan (Pasal 15)
TINDAK PIDANA PKDRT
* Ketentuan Pidana diatur dalam Bab VIII Pasal
44 s/d 53 UU PKDRT,
• Tindak Pidana:
a. Tindak Pidana Kekerasan Fisik dlm Pasal 44,
b. Tindak Pidana Kekerasan Psikis dlm Pasal 45,
c. Tindak Pidana Kekerasan Seksual dlm Pasal
46 dan 47,
d.Tindak Pidana Penelantaran Rumah Tangga
dlm Pasal 49.
*Tindak Pidana Kekerasan Fisik (Pasal 44 ayat 4),
Psikis (Pasal 45 ayat 2) dan seksual (Pasal 46)
merupakan Delik Aduan (lihat Pasal 51, 52 dan
53)
• Pasal 44
(1)Setiap orang yang melakukan perbuatan
kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban,
dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak
Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah)
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)
Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan
kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
9.000.000,00 (sembilan juta rupiah)
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau
denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah)
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan
kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau
denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah)
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a. pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap
salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang
menetap dalam rumah tangganya melakukan
hubungan seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling sedikit
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau
denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus rupiah)
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan
korban mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-
kurangnya selama 4 (empat) minggu terus
menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut,
gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun
dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah) dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah
tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud
Pasal 9 ayat (2)
TERIMA KASIH
Terminologi istilah perdagangan orang termasuk
hal yang baru hal baru di Indonesia. Fenomena
tentang perdagangan orang telah ada sejak
tahun 1949, yaitu sejak ditandatanganinya
Convention on Traffic in Person. Hal ini kemudian
berkembang ketika banyak laporan tentang
terjadinya tindakan perdagangan perempuan
pada Beijing Plat Form of Action yang dilanjutkan
dengan Convention on Elimination of All Form of
Descrimination Agains Women (CEDAW) dan
telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan. Kemudian dipertegas dalam agenda Global
Alliance Agains Traffic in Women (GAATW) di Thailand
tahun 1994.
Perdagangan orang bertentangan dengan hak asasi manusia
karena perdagangan prang melalui cara ancaman,
pemaksaan, penculikan, penipuan, kecurangan,
kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan serta
bertujuan prostitusi, pornografi, kekerasan atau
eksploitasi, kerja paksa, perbudakan atau praktik-praktik
serupa. Jika salah satu cara tersebut di atas terpenuhi,
maka terjadi perdagangan orang yang termasuk sebagai
kejahatan yang melanggar hak asasi manusia.
Pada tanggal 26-28 Februari 2002, di Bali telah
diadakan Konferensi Regional Asia tentang
perdagangan orang. Dalam konferensi tersebut
dinyatakan bahwa korban terbesar adalah
perempuan dan anak. Negara-negara peserta
menyepati untuk melakukan tindakan
pemberantasan perdagangan orang. Disadari
bahwa perempuan adalah kelompok strategis
dari keberlanjutan generasi karena perempuan
mempunyai fungsi reproduksi dengan
melahirkan keturunan dan merupakan kelompok
yang menentukan kualitas keluarga,
sedangkan anak adalah tunas, potensi, dan
kelompok strategis bagi keberlanjutan bangsa
di masa depan yang memiliki ciri-ciri dan sifat
yang khusus yang harus dipenuhi dan dijamin
hak-haknya agar terlindungi tumbuh
kembangnya, kelangsungan hidupnya dan
terlindung dari deskriminasi, kekerasan, dan
eksploitasi.
Ketentuan mengenai larangan perdagangan
orang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal
294 KUHP menentukan mengenai larangan
perdagangan wanita dan anak laki-laki belum
dewasa dan mengkualifikasikan tindakan
tersebut sebagai kejahatan.
Unsur pengertian perdagangan orang
1.Perbuatan berupa: merekrut, mengangkut,
memindahkan, menyembunyikan atau
menerima;
2.Sarana (cara) untuk mengendalikan korban:
ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk
kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan
atau pemberian/penerimaan pembayaran atau
keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas korban.
3.Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi
atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja
paksa, perbudakan, penghambaan dan
pengambilan organ tubuh.
TERIMA KASIH
Macam Delik
1. Delik Formil
2. Delik Biasa

Anda mungkin juga menyukai