UNDANG-UNDANG
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindung-an Anak
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapus-an
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Konvensi Hak-Hak Anak
Dan lain-lain
SILABUS HUKUM PERLINDUNGAN ANAK
2. Orang
tua, Pembimbing
Kemasyarakatan, Penasihat Hukum
Anak
3. Bila anak belum berumur 8 tahun, diserahkan
kembali kepada orangtua, wali atau orang tua
asuh bila mereka bisa membina
Se
umur
Tidak boleh dijatuhkan
Hidup terhadap anak
Pidana Penjara tidak boleh Lebih
dari 10 tahun
Therhadap ½
ancaman pidana
Pidana Kurungan
maksimum orang
dewasa
Pidana Denda ½ dewasa
Paling lama 90
Latihan hari
Kerja
Subsider
Tidak Lebih
4 jam sehari
Pidana Bersyarat
Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila
pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua)
tahun
Pidana bersyarat ditentukan syarat umum dan syarat
khusus.
Syarat umum ialah bahwa Anak Nakal tidak akan
melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa
pidana bersyarat.
Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak
melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan
hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak
memakai toga Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak atau pakaian dinas.
ANAK
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Orang Tua dan Keluarga
Identitas Anak
Pasal 27
(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan
sejak kelahirannya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada
surat keterangan dari orang yang menyaksikan
dan/atau membantu proses kelahiran.
(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak
diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui
keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk
anak tersebut didasarkan pada keterangan orang
yang menemukannya.
Pasal 28
(1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab
pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan
serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.
(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya
permohonan.
(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak dikenai biaya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat
pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Anak yang Dilahirkan dari
Perkawinan Campuran
Pasal 29
(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara
warga negara Republik Indonesia dan warga
negara asing, anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut berhak memperoleh
kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak
untuk memilih atau berdasarkan putusan
pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu
dari kedua orang tuanya.
(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak belum
mampu menentukan pilihan dan ibunya
berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi
kepentingan terbaik anak atau atas permohonan
ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status
kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak
tersebut.
PERLINDUNGAN ANAK
DALAN KONVENSI HAK
ANAK
PRINSIP PERLINDUNGAN
ANAK
Dalam Konvensi Internasional tentang Hak Anak
yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36
Tahun 1990, terdapat 4 Prinsip Perlindungan Anak
yaitu:
1. Prinsip Non Diskriminasi
Negara menghormati dan menjamin
hak,-hak yang ditetapkan di dalam kon
vensi bagi setiap anak yang berada
dalam wilayah hukum mereka tanpa
diskriminasi dalam bentuk apapun,
tanpa memandang ras, warna kulit
jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan
politik atau pandangan-pandangan lain,
asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial,
status kepemilikan, cacat atau tidak, kela-
hiran atau status lainnya, baik dari diri si
anak atau dari orang tua atau walinya yang
sah (Pasal 2 ayat 1 Knvensi)
Negara akan mengambil semua langkah yang
perlu untuk menjamin agar anak dilin-dungi
dari semua diskriminasi atau hukum-an
berdasarkan status, kegiatan, pendapat
yang dikemukakan atau keyakinan
dari orang tua anak, walinya yang sah
atau anggota keluarganya (Pasal 2
ayat 2 Konvensi)
2. Prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak
(best interest of the child)
Dalam semua tindakan yang menyang
kut anak yang dilakukan lembaga ke-
sejahteraan sosial pemerintah mau-
pun swasta, lembaga peradilan, lem-
baga pemerintah atau badan legislatif
maka kepentingan terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan utama (Pasal 3 Kon-
vensi)
Kepentingan terbaik bagi anak sebagai pa-
ramount importance (memperoleh periori-tas
tertinggi) dalam setiap keputusan yang
menyangkut anak. Tanpa prinsip ini, usaha
untuk melindungi anak akan terkendala.
3. Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup
dan Perkembangan (the right to live, suvival
and development)
Negara mengakui bahwa setiap anak
memiliki hak yang melekat atas
kehidupan (Pasal 6 ayat 1 Konvensi)
Negara menjamin sampai batas
maksimal kelangsungan hidup dan
perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2
Konvensi)
4. Prinsip Penghargaan Terhadap Penda-
pat Anak (respect for the views of the
child)
Negara menjamin anak mempunyai pandang-
an sendiri dan memperoleh hak menyatakan
pandangan-pandangan secara bebas dalam
semua hal yang mempengaruhi anak dan
pandangan tersebut akan dihargai sesuai
dengan tingkat usia dan kematangan anak.
FAKTOR ANAK
BERKONFLIK DENGAN HUKUM
Pasal 75
(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 2
(dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris,
dan 5 (lima) orang anggota
(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama,
tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga
swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok
masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk masa
jabatan 3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan
organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 76
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :
a.melakukan sosialisasi seluruh ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan anak, mengumpulkan
data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan,
pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak;
b.memberikan laporan, saran, masukan, dan
pertimbangan kepada Presiden dalam rangka
perlindungan anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, disingkat
KPAI, adalah lembaga independen Indonesia
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas
penyelenggaraan perlindungan anak.
Keputusan Presiden Nomor 36/1990, 77/2003
dan 95/M/2004 merupakan dasar hukum
pembentukan lembaga ini.
Anggota KPAI pusat terdiri dari 9 orang berupa 1
orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 5
anggota. Susunan Kepengurusan KPAI saat ini
adalah : Ketua : Dra. Hj. Badriyah Fayumi, Lc.,
MA Wakil Ketua : Apong Herlina, SH., MH
Wakil Ketua : Dr. Iswamdi Mourbas, SKM.,
MPPM Sekretaris : Maria Advianti, SP Anggota
: Dr. H.M Asrorun Niam Sholeh, MA Anggota :
Arnisah Vonna, SH.,MKN Anggota : M. Ihsan,
Msi Anggota : Dra. Latifah Iskandar Anggota :
Dra. Hj. Maria Ulfah Anshor
Pasal 1 Kepres 77 Tahun 2003
Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud
dengan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia adalah lembaga yang bersifat
independen yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dalam rangka
meningkatkan efektifitas penyelenggaraan
perlindungan anak
• Pasal 2
• Komisi Perlindungan Anak Indonesia
berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan
• Republik Indonesia.
Pasal 3
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mempunyai tugas :
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-
undangan yang
berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan
informasi,
menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan,
pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan
anak;
b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada
Presiden dalam
rangka perlindungan anak.
• Pasal 4
• Susunan keanggotaan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia terdiri dari :
• a. 1 (satu) orang Ketua;
• b. 2 (dua) orang Wakil Ketua;
• c. 1 (satu) orang Sekretaris;
• d. 5 (lima) orang Anggota.
• Pasal 5
• Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam
• Pasal 4 terdiri dari unsur :
• a. pemerintah;
• b. tokoh agama;
• c. tokoh masyarakat;
• d. organisasi sosial;
• e. organisasi kemasyarakatan;
• f. organisasi profesi;
• g. lembaga swadaya masyarakat;
• h. dunia usaha; dan
• i. kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
• Pasal 6
• (1) Pengisian jabatan dalam susunan keanggotaan
Komisi Perlindungan Anak
• Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dipilih
dan dilaksanakan sendiri
• oleh para anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
• (2) Ketentuan mengenai tata cara pengisian jabatan
sebagaimana dimaksud dalam
• ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komisi
Perlindungan Anak Indonesia
• Pasal 7
• (1)Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia dibantu oleh
• Sekretariat.
• (2)Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dipimpin oleh Kepala Sekretariat, yang
dalam melaksanakan tugasnya secara
fungsional bertanggungjawab kepada Komisi
Perlindungan Anak Indonesia.
• (3) Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
• oleh satu unit kerja yang berada di lingkungan
Kantor Menteri Negara
• Pemberdayaan Perempuan, yang ditetapkan
oleh Menteri Negara Pemberdayaan
• Perempuan setelah mendapat persetujuan dari
Menteri Negara Pendayagunaan
• Aparatur Negara.
• Pasal 8
• (1) Untuk menunjang pelaksanaan tugas, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia dapat
• membentuk kelompok kerja.
• (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan,
tugas, dan tata kerja Kelompok Kerja
• sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
oleh Komisi Perlindungan Anak
• Indonesia.
• Pasal 9
• (1) Apabila dipandang perlu dalam menunjang
pelaksanaan tugasnya, Komisi
• Perlindungan Anak Indonesia dapat membentuk
Perwakilan di Daerah.
• (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembentukan Perwakilan sebagaimana dimaksud
• dalam ayat (1) ditetapkan oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia
• Pasal 10
• Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh
• Presiden setelah mendapat pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik
• Indonesia.
• Pasal 11
• Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia diangkat untuk masa jabatan 3
• (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk
1 (satu) kali masa jabatan
• Pasal 13
• (1) Dalam hal Pegawai Negeri Sipil duduk dalam keanggotaan
Komisi Perlindungan
• Anak Indonesia sebagai unsur Pemerintah, Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan
• diberhentikan dari jabatan organiknya tanpa kehilangan statusnya
sebagai Pegawai
• Negeri Sipil.
• (2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dinaikkan
• pangkatnya setiap kali setingkat lebih tinggi tanpa terikat jenjang
pangkat, sesuai
• dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
• (3) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberhentikan dengan
• hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila
telah mencapai batas usia pensiun
• dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai
dengan ketentuan peraturan
• perundang-undangan yang berlaku.
• Pasal 14
• Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia yang berhenti sebelum
• berakhirnya masa jabatan diatur dalam
Peraturan Tata Tertib Komisi Perlindungan
• Anak Indonesia.
• Pasal 15
• (1) Pelaksanaan tugas Komisi Perlindungan
Anak Indonesia dilakukan dengan
• mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
• (2) Laporan, saran, masukan, dan
pertimbangan kepada Presiden disampaikan
atas
• dasar kesepakatan anggota Komisi
Perlindungan Anak Indonesia
• Pasal 16
• Apabila dipandang perlu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia
dapat melakukan
• kerjasama dengan instansi Pemerintah, baik Pusat maupun
Daerah, organisasi
• masyarakat, para ahli, dan pihak-pihak lain yang dipandang
perlu.
• Pasal 17
• Mekanisme kerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia
didasarkan pada prinsip
• pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas, kredibilitas,
efektifitas, dan efisiensi
• Pasal 18
• Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme
kerja Komisi Perlindungan Anak
• Indonesia diatur dalam Peraturan Tata Tertib
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
PERLINDUNGAN ANAK
DARI ASPEK PIDANA
1. Bentuk Perlindungan Hukum Pidana yang
dilakukan adalah dengan membuat tindak pidana
terhadap perbuatan yang memberikan
perlindungan terhadap anak yaitu dalam BAB XII
tentang KETENTUAN PIDANA Pasal 77 s/d 90 UU
No. 23 Tahun 2002
2. Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
tindakan :
a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan
anak mengalami kerugian, baik materiil maupun
moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b.penelantaran terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami sakit atau
penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
c.dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan
anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak
yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak
tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 79
Setiap orang yang melakukan pengangkatan
anak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 80
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman,
kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp
72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orang tuanya.
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain.
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
TUGAS
1. Buat Penyelenggaraan Perlindungan Anak
menurut UU No. 23 Tahun 2002
2. Buat dengan tulisan tangan
3. Buat dalam kertas folio atau kertas buku
4. Dikumpulkan pada pertemuan yang
selanjutnya atau yang akan datang
5. Dikumpulkan pada saat kuliah akan
dimulai, sesudah itu tidak diterima lagi,
apalagi sudah terlambat berhari-hari.
TERIMA KASIH
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Asas dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
a. Perlindungan;
b. Keadilan;
c. Non diskriminasi;
d. Kepentingan terbaik bagi Anak;
e. Penghargaan terhadap pendapat Anak;
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g. Pembinaan dan pembimbingan Anak;
h. Proporsional;
i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai
upaya terakhir; dan
j. Penghindaran pembalasan.
Hak Setiap Anak dalam proses peradil-an pidana
a.Diperlakukan secara manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya;
b.Dipisahkan dari orang dewasa;
c.Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain
secara efektif;
d.Melakukan kegiatan rekreasional;
e.Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau
perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi,
serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f.Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur
hidup;
g.Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali
sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang
paling singkat;
h.Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak
yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang
yang tertutup untuk umum;
i.Tidak dipublikasikan identitasnya;
j.Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan
orang yang dipercaya oleh Anak;
k.Memperoleh advokasi sosial;
l.Memperoleh kehidupan pribadi;
m.Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak
cacat;
n.Memperoleh pendidikan;
o.Memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p.Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
• Hak Anak yang sedang menjalani masa
pidana
• a. mendapat pengurangan masa pidana;
• b. memperoleh asimilasi;
• c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga;
• d. memperoleh pembebasan bersyarat;
• e. memperoleh cuti menjelang bebas;
• f. memperoleh cuti bersyarat; dan
• g. memperoleh hak lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
• 5 (lima) prinsip kunci dari restorative justice
• Restorative justice invites full participation and
consensus (restoratitive justice mengundang
partisipasi penuh dan konsesus)
• Restoratitive justice seeks to heal what is broken
(restorative justice berusaha menyembuhkan
kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya
tindakan tindak pidana yang dilakukan anak).
• Restorative justice seeks full and direct
accuntability (restorative justice memberikan
pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara
utuh).
• Restorative justice seeks to recinite what has
been devided (restorative justice mencarikan
penyatuan kembali kepada warga masyarakat
yang telah terpisah atau terpecah karena
tindak kriminal).
• Restorative justice seeks to strengthen the
community in order to prevent further harms
(restorative justice memberikan ketahanan
kepada masyarakat agar dapat mencegah
terjadinya tindakan kriminal berikutnya).
• Konsep restorative justice harus memperhatikan beberapa
hal
• Kejahatan yang dilakukan anak pada dasarnya merupakan
konflik antar individu-individu yang mengahasilkan
ketelukaan pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri
hanya secara efek lanjutannya merupakan pelanggaran
hukum;
• Tujuan lebih penting dari proses sistem peradilan pidana
haruslah melakukan rekonsiliasi para pihak yang bertujuan
untuk memperbaiki kerusakan yang ada pada korban akibat
dari kriminal yang terjadi;
• Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi
partisipasi aktif dari korban, pelaku dan masyarakat dan
bukan didominasi oleh negara dengan pelanggaran dari
proses penyelesaikan.
• Tujuan dari restorative justice
• Mempertemukan pihak korban, pelaku dan
masyarakat dalam satu pertemuan;
• Mencari jalan keluar terhadap penyelesaian;
• Memulihkan kerugian yang telah terjadi.
• Terdapat 4 jenis/macam praktik yang menjadi
pionir penerapan restorative justice yaitu:
• Victim Offender Mediation (VOM)
• Family group Conferencing (FGC)
• Circles
• Reparative Board / Youth Panel
• Dalam Sistem Pidana Wajib Diupayakan Diversi:
• Wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif;
• Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi:
• Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini;
• persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di
lingkungan peradilan umum; dan
• pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau
pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau
tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
• Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan
Diversi (Pasal 5 UU No. 11 Tahun 2012)
• Tujuan Diversi Menurut UU No. 11 Tahun
2012
• a. mencapai perdamaian antara korban dan
Anak;
• b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses
peradilan;
• c. menghindarkan Anak dari perampasan
kemerdekaan;
• d. mendorong masyarakat untuk
berpartisipasi; dan
• e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada
Anak.
• Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
proses Diversi:
• a. Proses Diversi dilakukan melalui
musyawarah dengan melibatkan Anak dan
orang tua/Walinya, korban dan/atau orang
tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan
pendekatan Keadilan Restoratif.
• b.Dalam hal diperlukan, musyawarah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial,
dan/atau masyarakat.
• c.Proses Diversi wajib memperhatikan:
• - kepentingan korban;
• - kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
• - penghindaran stigma negatif;
• - penghindaran pembalasan;
• - keharmonisan masyarakat; dan
• - kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
• Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
melakukan Diversi harus
mempertimbangkan:
• a. kategori tindak pidana;
• b. umur Anak;
• c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas;
dan
• d. dukungan lingkungan keluarga dan
masyarakat (Pasal 9 ayat 1 UU No. 11 Tahun
2012)
• Kesepakatan Diversi harus mendapatkan
persetujuan korban dan/atau keluarga Anak
Korban serta kesediaan Anak dan
keluarganya, kecuali untuk:
• a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
• b. tindak pidana ringan;
• c. tindak pidana tanpa korban; atau
• d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai
upah minimum provinsi setempat (Pasal 9
ayat 2 UU No. 11 Tahun 2012)
• Beberapa hal dalam pengawasan dan
pelaksanaan
• a. Pengawasan atas proses Diversi dan
pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan
berada pada atasan langsung pejabat yang
bertanggung jawab di setiap tingkat
pemeriksaan.
• b. Selama proses Diversi berlangsung sampai
dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan,
Pembimbing Kemasyarakatan wajib
melakukan pendampingan, pembimbingan,
dan pengawasan.
• Kesepakatan Diversi
• Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan
tindak pidana yang berupa pelanggaran,
tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa
korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih
dari nilai upah minimum provinsi setempat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku
dan/atau keluarganya, Pembimbing
Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan
tokoh masyarakat.
• Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas
rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan
dapat berbentuk:
• pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
• rehabilitasi medis dan psikososial;
• penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
• keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan
di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3
(tiga) bulan; atau
• pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
• Hasil Kesepakatan Dversi Berbentuk
• perdamaian dengan atau tanpa ganti
kerugian;
• penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
• keikutsertaan dalam pendidikan atau
pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS
paling lama 3 (tiga) bulan; atau
• pelayanan masyarakat.
• Proses Peradilan Pidana Anak Dilanjutkan
Dalah Hal:
• a. proses Diversi tidak menghasilkan
kesepakatan; atau
• b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan
(Pasal 13 UU No. 11 Tahun 2012)
• c. Dalam hal kesepakatan Diversi tidak
dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan,
Pembimbing Kemasyarakatan segera
melaporkannya kepada pejabat yang
bertanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada a.
• d. Pejabat yang bertanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
menindaklanjuti laporan dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari (Pasal 14 UU No. 11 Tahun
2012)
HUKUM PERLINDUNGAN
TERHADAP PEREMPUAN
OLEH
FADILLAH SABRI, SH.MH.
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah jaminan yang diberikan oleh negara
untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga, menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 2 UUPKDRT
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-
Undang ini meliputi:
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan
keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;
dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga
dan menetap dalam rumah tangga tersebut
HUKUM PERLINDUNGAN
PEREMPUAN
Oleh
Fadillah Sabri
*UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasa Dalam Rumah Tangga (PKDRT),
• Ketentuan Pidana diatur dalam Bab VIII Pasal 44 s/d
53 UU PKDRT,
• Tindak Pidana:
a. Tindak Pidana Kekerasan Fisik
dlm Pasal 44,
b. Tindak Pidana Kekerasan Psikis
dlm Pasal 45,
c. Tindak Pidana Kekerasan Seksual
dlm Pasal 46 dan 47,
d. Tindak Pidana Penelantaran Ru-
mah Tangga dlm Pasal 49.
*Tindak Pidana Kekerasan Fisik (Pasal 44 ayat 4),
Psikis (Pasal 45 ayat 2) dan seksual (Pasal 46)
merupakan Delik Aduan (lihat Pasal 51, 52 dan
53)
HUKUM PERLINDUNGAN
PEREMPUAN
(UU No. 23 Tahun 2004
Tentang PKDRT)
Oleh
Fadillah Sabri
I. LATAR BELAKANG HUKUM PERLIN-DUNGAN ANAK
A. Pengertian Perlindungan Anak
B. Masalah Perlindungan Anak
C. Sebab-Sebab Timbulnya Hukum Perlin-
dungan Anak
UNDANG-UNDANG
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindung-an Anak
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapus-an
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Konvensi Hak-Hak Anak
Dan lain-lain
Pengertian
Hukum Perlindungan Perempuan (Wanita) adalah
aturan hukum yang mengatur hak korban dan
tindak pidana yang memberikan perlindungan
kepada perempuan (wanita).
UU yang mengatur adalah:
1.UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
2.UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO)
Pengertian Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat
KDRT) adalah kekerasan yang dilakukan di
dalam rumah tangga baik oleh suami maupun
oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian
besar korban KDRT adalah kaum perempuan
(istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun
ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-
orang yang tersubordinasi di dalam rumah
tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah
orang yang mempunyai hubungan darah,
perkawinan,
persusuan, pengasuhan, perwalian dengan
suami, dan anak bahkan pembatu rumah
tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus
KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban
karena terpaut dengan struktur budaya,
agama dan sistem hukum yang belum
dipahami. Padahal perlindungan oleh negara
dan masyarakat bertujuan untuk memberi
rasa aman terhadap korban serta menindak
pelakunya.
BENTUK KEKERASAN
1. Kekerasan fisik
• Cedera berat
• Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
• Pingsan
• Luka berat pada tubuh korban dan atau luka
yang sulit disembuhkan atau yang
menimbulkan bahaya mati
• Kehilangan salah satu panca indera.
• Mendapat cacat.
• Menderita sakit lumpuh.
• Terganggunya daya pikir selama 4 minggu
lebih
• Gugurnya atau matinya kandungan seorang
perempuan
• Kematian korban.
• Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar,
menjambak, mendorong, dan perbuatan
lainnya yang mengakibatkan:
-Cedera ringan
-Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam
kategori berat
-Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat
dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.
2. Kekerasan psikis
Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan
pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan dan penghinaan,
dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan
isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina; penguntitan;
kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik,
seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya
bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat
berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
• Gangguan tidur atau gangguan makan atau
ketergantungan obat atau disfungsi seksual
yang salah satu atau kesemuanya berat dan
atau menahun.
• Gangguan stres pasca trauma.
• Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba
lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
• Depresi berat atau destruksi diri
• Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak
dengan realitas seperti skizofrenia dan atau
bentuk psikotik lainnya
• Bunuh diri
• Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan
pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan dan penghinaan,
dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan
isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
yang merendahkan atau menghina; penguntitan;
ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang
masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan
psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di
bawah ini:
• Ketakutan dan perasaan terteror
• Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak
• Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi
seksual
• Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala,
gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
• Fobia atau depresi temporer
3. Kekerasan seksual
• Kekerasan seksual berat, berupa:
• Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti
meraba, menyentuh organ seksual, mencium
secara paksa, merangkul serta perbuatan lain
yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror,
terhina dan merasa dikendalikan.
• Pemaksaan hubungan seksual tanpa
persetujuan korban atau pada saat korban
tidak menghendaki.
• Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak
disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
• Pemaksaan hubungan seksual dengan orang
lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan
tertentu.
• Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku
memanfaatkan posisi ketergantungan korban
yang seharusnya dilindungi.
• Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan
atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan
sakit, luka,atau cedera.
• Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan
seksual secara verbal seperti komentar verbal,
gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan
atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah,
gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya
yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan
atau menghina korban.
• Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan
dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan
seksual berat.
4. Kekerasan ekonomi
• Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi,
manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
• Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
• Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
• Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan
korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda
korban.
• Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya
sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak
berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya.
Bentuk-bentuk KDRT
Bentuk-bentuk KDRT adalah (Pasal 5):
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat (Pasal 6)
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang
berupa pemaksaan hubungan seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak
wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):
a. Pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap
salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku
bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9)
PENYEBAB KDRT
• Penyebab KDRT adalah:
• Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang
setara
• Masyarakat menganggap laki-laki dengan
menanamkan anggapan bahwa laki-laki harus kuat,
berani serta tanpa ampun
• KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial,
tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri
• Pemahaman keliru terhadap ajaran agama,
sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh
menguasai perempuan
Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa
ada tiga teori utama yang mampu
menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori
biologis, teori frustasi-agresi, dan teori
kontrol.
1.Teori biologis menjelaskan bahwa manusia,
seperti juga hewan, memiliki suatu instink
agressif yang sudah dibawa sejak lahir.
Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia
mempunyai suatu keinginan akan kematian
yang mengarahkan manusia untuk menikmati
tindakan melukai dan membunuh orang lain dan
dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan
bahwa manusia memiliki instink untuk
menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang
sering mengarahkan pada perilaku konflik antar
pribadi yang penuh kekerasan.
Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan
kekerasan adalah sangat berguna untuk survive.
Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok
untuk membuat keturunan dan survive,
sementara itu manusia atau hewan yang kurang
agresif memungkinkan untuk mati
satu demi satu. Agresi pada hakekatnya
membantu untuk menegakkan suatu sistem
dominan, dengan demikian memberikan
struktur dan stabilitas untuk kelompok.
Beberapa ahli teori biologis berhipotesis
bahwa hormon sek pria menyebabkan
perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli
teori belajar berteori bahwa perbedaan
perilaku agresif terutama disebabkan oleh
perbedaan sosialisasi terhadap pria dan
wanita
2. teori frustasi agresi menyatakan bahwa
kekerasan sebagai suatu cara untuk
mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi
frustasi. Teori ini berasal dari suatu pendapat
yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi
sering menjadi terlibat dalam tindakan agresif.
Orang frustasi sering menyerang sumber
frustasinya atau memindahkan frustasinya ke
orang lain. Misalnya. Seorang remaja (teenager)
yang diejek oleh orang lain mungkin membalas
dendam, sama halnya seekor binatang
kesayangan yang digoda. Seorang
pengangguran yang tidak dapat mendapatkan
pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya.
Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori
ini tidak menjelaskan mengapa frustasi mengarahkan
terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah orang,
tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar
tindakan agresif dan kekerasan nampak tidka
berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang
pembunuh yang pofesional tidak harus menjadi
frustasi untuk melakukan penyerangan. Walaupun
teori frustasi-agresi sebagian besar dikembangkan
oleh para psikolog, beberapa sosiolog telah
menarpkan teori untuk suatu kelompok besar.
Mereka memperhatikan perkampungan miskin dan
kotor di pusat kota dan dihuni oleh kaum minoritas
telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi.
Mereka berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan
kesmepatan, dan ketidakadilan lainnya di wilayah ini
sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk
semua menginginkan semua banda yang mereka
lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta tak ada hak
yang sah sedikitpun untuk menggunakannya.
Akibatnya, mereka frustasi dan berusaha untuk
menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan
yang masuk akal terhadap angka kekarasan yang
tinggi bagi penduduk minoritas
3.teori ini menjelaskan bahwa orang yang
hubungannya dengan orang lain tidak
memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk
terpaksa berbuat kekerasan ketika usahanya
untuk berhubungan dengan orang lain
menghadapi situasi frusstasi. Teori ini berpegang
bahwa orang yang memiliki hubungan erat
dengan orang lain yang sangat berarti cenderung
lebih mampu dengan baik mengontrol dan
mengendalikan perilakunya yang impulsif.
Travis Hirschi memberikan dukungan kepada
teori ini melalui temuannya bahwa remaja
putera yang memiliki sejarah prilaku agresif
secara fisik cenderung tidak memiliki
hubungan yang dekat dengan orang lain.
Selain itu juga dinyatakan bahwa kekerasan
mengalami jumlah yang lebih tinggi di antara
para eks narapidana dan orang-orang lain
yang terasingkan dari teman-teman dan
keluarganya daripada orang-orang Amerika
pada umumnya.
Setelah memperhatikan ketiga teori tersebut,
kiranya variasi kekerasan di masyarakat untuk
sementara ini disebabkan oleh tiga faktor
tersebut. Bagaimana dengan penyebab
munculnya KDRT, lebih khususnya di Indonesia.
Menurut hemat saya, KDRT di Indonesia
ternyata bukan sekedar masalah ketimpangan
gender. Hal tersebut acapkali terjadi karena:
• Kurang komunikasi, Ketidakharmonisan
• Alasan Ekonomi
• Ketidakmampuan mengendalikan emosi
• Ketidakmampuan mencari solusi masalah
rumah tangga apapun, dan juga
• Kondisi mabuk karena minuman keras dan
narkoba.
Dampak KDRT
Marianne James, Senior Research pada Australian
Institute of Criminology (1994), menegaskan
bahwa KDRT memiliki dampak yang sangat berarti
terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan
kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan
masalah, maupun fungsi mengatasi masalah dan
emosi. Adapun dampak KDRT secara rinci akan
dibahas berdasarkan tahapan perkembangannya
sebagai berikut:
1. Dampak terhadap Anak berusia bayi Usia bayi
seringkali menunjukkan keterbatasannya dalam
kaitannya dengan kemampuan kognitif dan
beradaptasi. Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa
anak bayi yang menyaksikan terjadinya
kekerasan antara pasangan bapak dan ibu sering
dicirikan dengan anak yang memiliki kesehatan
yang buruk kebiasaan tidur yang jelek, dan
teriakan yang berlebihan. Bahkan kemungkinan
juga anak itu menunjukkan penderitaan yang
serius. Hal ini berkonsekuensi logis terhadap
kebutuhan
dasarnya yang diperoleh dari ibunya ketika
mengalami gangguan yang sangat berarti. Kondisi
ini pula berdampak lanjutan bagi ketidaknormalan
dalam pertumbuhan dan perkembangannya yang
sering kali diwujudkan dalam problem emosinya,
bahkan sangat terkait dengan persoalan
kelancaran dalam berkomunikasi.
2. Dampak terhadap anak kecil dalam tahun kedua
fase perkembangan, anak anak mengembangkan
upaya dasarnya untuk mengaitkan penyebab
perilaku dengan ekspresi emosinya.
Penelitian Cummings dkk (1981) menilai
terhadap expresi marah dan kasih sayang yang
terjadi secara alamiah dan berpura-pura.
Selanjutnya ditegaskan bahwa ekspresi marah
dapat menyebabkan bahaya atau kesulitan pada
anak kecil. Kesulitan ini semakin menjadi lebih
nampak, ketika ekspresi verbal dibarengi dengan
serangan fisik oleh anggota keluarga lainnya.
Bahkan banyak peneliti berhipotesis bahwa
penampilan emosi yang kasar dapat
mengancam rasa aman anak dalam kaitannya
dengan lingkungan sosialnya.
Pada tahun ketiga ditemukan bahwa anak yang
merespon dalam interaksinya dengan
kemarahan, maka yang ditimbulkannya adalah
adanya sikap agresif terhadap teman sebayanya.
Yang menarik bahwa anak laki-laki cenderung
lebih agresif daripada anak-anak perempuan
selama simulasi, sebaliknya anak perempuan
cenderung lebih distress daripada anak laki-laki.
Selanjutnya dapat dikemukakan pula bahwa
dampak KDRT terhadap anak usia muda (anak
kecil) sering digambar kan dengan problem
perilaku, seperti seringnya sakit,
memiliki rasa malu yang serius, memiliki self-
esteem yang rendah, dan memiliki masalah
selama dalam pengasuhan, terutama masalah
sosial, misalnya : memukul, menggigit, dan suka
mendebat.
3.Dampak terhadap Anak usia pra sekolah
Cumming (1981) melakukan penelitian tentang
KDRT terhadap anak-anak yang berusia TK, pra
sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya
bahwa Anak-anak yang memperoleh rasa
distress pada usia sebelumnya dapat
diidentifikasi tiga tipe
reaksi perilaku. Pertama, 46%-nya menunjukkan
emosi negatif yang diwujudkan dengan perilaku
marah yang diikuti setelahnya dengan rasa sedih
dan berkeinginan untuk menghalangi atau
campur tangan. Kedua, 17% nya tidak
menunjukkan emosi, tetapi setelah itu mereka
marah. Ketiga, lebih dari sepertiganya,
menunjukkan perasaan emosional yang tinggi
(baik positif maupun negatif) selama
berargumentasi. Keempat, mereka bahagia,
tetapi sebagian besar di antara mereka
cenderung menunjukkan sikap
agresif secara fisik dan verbal terhadap teman
sebayanya. Berdasarkan pemeriksaan terhadap 77
anak, Davis dan Carlson (1987) menemukan anak-
anak TK yang menunjukkan perilaku reaksi agresif dan
kesulitan makan pada pria lebih tinggi daripada
wanita. Hughes (1988) melakukan penelitian
terhadap ibu dan anak-anak yang usia TK dan non TK
baik dari kelompok yang tidak menyaksikan KDRT
maupun yang menyaksikan KDRT. Disimpulkan bahwa
kelompok yang menyaksikan KDRT menunjukkan
tingkat distress yang jauh lebih tinggi, dan kelompok
anak-anak TK menunjukkan perilaku distres yang
lebih tinggi daripada anak-anak non - TK.
E Lange (1986) melalui pengamatannya bahwa
KDRT berdampak terhadap kompetensi
perkembangan sosial - kognitif anak usia
prasekolah. Ini dapat dijelaskan bahwa anak –
anak prasekolah yang dipisahkan secara sosial
dari teman sebayanya, bahkan tidak
berkesempatan untuk berhubungan dengan
kegiatan atau minat teman sebayanya juga,
maka mereka cenderung memiliki beberapa
masalah yang terkait dengan orang dewasa.
5. Dampak terhadap Anak usia SD Jaffe dkk (1990)
menyatakan bahwa pada usia SD, orangtua merupakan
suatu model peran yang sangat berarti. Baik anak pria
maupun wanita yang menyaksikan KDRT secara cepat
belajar bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling
tepat untuk menyelesaikan konflik dalam hubungan
kemanusiaan. Mereka lebih mampu ,mengekspresikan
ketakutan dan kecemasannya berkenaan dengan
perilaku orangtuanya. Hughes (1986) menemukan
bahwa anak-anak usia SD seringkali memiliki kesulitan
tentang pekerjaan sekolahnya, yang diwujudkan
dengan prestasi akademik yang jelek, tidak ingin pergi
ke sekolah, dan kesulitan dalam konsentrasi.
Wolfe et.al, 1986: Jaffe et.al, 1986,
Christopoulus et al, 1987 menguatkan melalui
studinya, bahwa anak-anak dari keluarga yang
mengalami kekerasan domistik cenderung
memiliki problem prilaku lebih banyak dan
kompetensi sosialnya lebih rendah daripada
keluarga yang tidak mengalami kekerasan dalam
rumah tangga. Sementara studi yang dilakukan
terhadap anak-anak Australia, (Mathias et.al,
1995) sebanyak 22 anak dari usia 6 sd 11 tahun
menunjukkan bahwa kelompok anak-anak yang
secara historis
mengalami kekerasan dalam rumah angganya
cenderung mengalami problem perilaku pada
tinggi batas ambang sampai tingkat berat,
memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata,
memiliki kemampuan membaca di bawah usia
kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada
tingkat menengah sampai dengan tingkat
tinggi.
6. Dampak terhadap Anak remaja
Pada usia ini biasanya kecakapan kognitif dan
kemampuan beradaptasi telah mencapai
suatu fase perkembangan yang meliputi
dinamika keluarga dan jaringan sosial di luar
rumah, seperti kelompok teman sebaya dan
pengaruh sekolah. Dengan kata lain, anak-
anak remaja sadar bahwa ada cara-cara yang
berbeda dalam berpikir, merasa, dan
berperilaku dalam kehidupan di dunia ini.
Misalnya studi Davis dan Carlson (1987)
menyimpulkan bahwa hidup dalam keluarga
yang penuh kekarasan cenderung dapat
meningkatkan kemungkinan menjadikan isteri
yang tersiksa, sementara itu Hughes dan Barad
(1983) mengemukakan dari hasil studinya bahwa
angka kejadian kekerasan yang tinggi dalam
keluarga yang dilakukan oleh ayah cenderung
dapat menimulkan korban kekerasan, terutama
anak-anaknya. Tetapi ditekankan pula oleh
Rosenbaum dan O’Leary (1981) bahwa tidak
semua anak yang hidup kesehariannya dalam
hubungan yang penuh kekerasa akan mengulangi
pengalaman itu. Artinya bahwa seberat apapun
kekerasan
yang ada dalam rumah tangga, tidak
sepenuhnya kekerasan itu berdampak kepada
semua anak remaja, tergantung ketahanan
mental dan kekuatan pribadi anak remaja
tersebut. Dari banyak penelitian menunjukkan
bahwa konflik antarkedua orangtua yang
disaksikan oleh anak-anaknya yang sudah
remaja cenderung berdampak yang sangat
berarti, terutama anak remaja pria cenderung
lebih agresif, sebaliknya anak remaja wanita
cenderung lebih dipresif.
Upaya Penanganan KDRT
Secara psikologis dan pedagogis ada tiga
pendekatan yang dapat dilakukan untuk
menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan
preventif.
1. Pendekatan Preventif:
a.Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk
dapat menerapkan cara mendidik dan
memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
b.Memberikan keterampilan tertentu kepada
anggota keluarga untuk secepatnya
melaporkan ke pihak lain yang diyakini
sanggup memberikan pertolongan, jika
sewaktu-waktu terjadi KDRT.
c. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri
dari perbuatan yang mengundang terjadinya
KDRT.
d.Membangun kesadaran kepada semua
anggota keluarga untuk takut kepada akibat
yang ditimbulkan dari KDRT.
e.Membekali calon suami istri atau orangtua
baru untuk menjamin kehidupan yang
harmoni, damai, dan saling pengertian,
sehingga dapat terhindar dari perilaku KDRT.
f.Melakukan filter terhadap media massa, baik
cetak maupun elektronik, yang menampilkan
informasi kekerasan.
g.Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan
anak sesuai dengan jenis kelamin, kondisi, dan
potensinya.
h.Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli
terhadap siapapun yang terkena KDRT, tanpa
sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap
korban KDRT.
i.Mendorong dan menfasilitasi pengembangan
masyarakat untuk lebih peduli dan responsif
terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di
lingkungannya.
2. Pendekatan Kuratif:
a.Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku
KDRT sesuai dengan jenis dan tingkat berat atau
ringannya pelanggaran yang dilaku-
kan, sehingga tidak hanya berarti bagi pelaku
KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota
masyarakat lainnya.
b. Memberikan incentive bagi setiap orang yang
berjasa dalam mengurangi, mengeliminir, dan
menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara
berarti, sehingga terjadi proses kehidupan yang
tenang dan membahagiakan.
c.Menentukan pilihan model penanganan KDRT
sesuai dengan kondisi korban KDRT dan nilai-nilai
yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga
penyelesaiannya memiliki efektivitas yang tinggi.
d. Membawa korban KDRT ke dokter atau
konselor untuk segera mendapatkan
penanganan sejak dini, sehingga tidak terjadi
luka dan trauma psikis sampai serius.
e. Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang
dilandasi dengankasih sayang dan
keselamatan korban untuk masa depannya,
sehingga tidak menimbulkan rasa dendam
bagi pelakunya.
f.Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera
mungkin melakukan pertaubatan diri kepada
Allah swt, akan kekeliruan dan kesalahan
dalam berbuat kekerasan dalam rumah
tangga, sehingga dapat menjamin rasa aman
bagi semua anggota keluarga.
g.Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan
tegas terhadap setiap praktek KDRT dengan
mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga
tidak berdampak jelek bagi kehidupan
masyarakat.
Upaya pemenuhan hak-hak korban KDRT
• Upaya-upaya dalam pemenuhan hak-hak korban
KDRT harus diakui kehadiran UU PKDRT
membuka jalan bagi terungkapnya kasus KDRT
dan upaya perlindungan hak-hak korban.
Dimana, awalnya KDRT dianggap sebagai wilayah
privat yang tidak seorang pun di luar lingkungan
rumah tangga dapat memasukinya. Lebih kurang
empat tahun sejak pengesahannya pada tahun
2004, dalam perjalanannya UU ini masih ada
beberapa pasal yang tidak menguntungkan bagi
perempuan korban kekerasan. PP No. 4 tahun
2006 tentang Pemulihan merupakan peraturan
pelaksana dari UU ini, yang diharapkan
mempermudah proses implementasi UU
sebagaimana yang tertera dalam mandat UU ini.
• Selain itu, walaupun UU ini dimaksudkan
memberikan efek jera bagi pelaku KDRT,
ancaman hukuman yang tidak mencantumkan
hukuman minimal dan hanya hukuman
maksimal sehingga berupa ancaman hukuman
alternatif kurungan atau denda terasa terlalu
• ringan bila dibandingkan dengan dampak yang
diterima korban, bahkan lebih menguntungkan
bila menggunakan ketentuan hukum
sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Apalagi
jika korban mengalami cacat fisik, psikis, atau
bahkan korban meninggal. Sebagai UU yang
memfokuskan pada proses penanganan hukum
pidana dan penghukuman dari korban, untuk
itu, perlu upaya strategis di luar diri korban guna
mendukung dan memberikan perlindungan bagi
korban dalam rangka mengungkapkan kasus
KDRT yang menimpanya
HAK-HAK KORBAN
Korban berhak mendapatkan:
a.Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial,
atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan
dari pengadilan;
b.Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban;
d.Pendampingan oleh pekerja sosial dan
bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani (Pasal 10)
*Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Untuk melaksanakannya dilakukan sbb:
a. Merumuskan kebijakan tentang Penghapus-
an kekerasan dalam rumah tangga;
b.Menyelenggarakan komunikasi, informasi,
dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah
tangga;
c.Menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi
tentang kekerasan dalam rumah tangga;
d.Menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan
dalam rumah tangga serta menetapkan
standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif
gender
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap
korban, pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan fungsi dan tugas masingmasing
dapat melakukan upaya:
a.Penyediaan ruang pelayanan khusus di
kantor kepolisian;
b.Penyediaan aparat, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
c.Pembuatan dan pengembangan sistem dan
mekanisme kerja sama program pelayanan
melibatkan pihak yang mudah diakses oleh
korban; dan
d.Memberikan perlindungan bagi pendamping,
saksi, keluarga, dan teman korban.
• Peran serta masyarakat dilakukan dalam hal
setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai
dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan
penetapan perlindungan (Pasal 15)
TINDAK PIDANA PKDRT
* Ketentuan Pidana diatur dalam Bab VIII Pasal
44 s/d 53 UU PKDRT,
• Tindak Pidana:
a. Tindak Pidana Kekerasan Fisik dlm Pasal 44,
b. Tindak Pidana Kekerasan Psikis dlm Pasal 45,
c. Tindak Pidana Kekerasan Seksual dlm Pasal
46 dan 47,
d.Tindak Pidana Penelantaran Rumah Tangga
dlm Pasal 49.
*Tindak Pidana Kekerasan Fisik (Pasal 44 ayat 4),
Psikis (Pasal 45 ayat 2) dan seksual (Pasal 46)
merupakan Delik Aduan (lihat Pasal 51, 52 dan
53)
• Pasal 44
(1)Setiap orang yang melakukan perbuatan
kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban,
dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak
Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah)
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)
Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan
kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
9.000.000,00 (sembilan juta rupiah)
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau
denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah)
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan
kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau
denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah)
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a. pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap
salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang
menetap dalam rumah tangganya melakukan
hubungan seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling sedikit
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau
denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus rupiah)
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan
korban mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-
kurangnya selama 4 (empat) minggu terus
menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut,
gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun
dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah) dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah
tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud
Pasal 9 ayat (2)
TERIMA KASIH
Terminologi istilah perdagangan orang termasuk
hal yang baru hal baru di Indonesia. Fenomena
tentang perdagangan orang telah ada sejak
tahun 1949, yaitu sejak ditandatanganinya
Convention on Traffic in Person. Hal ini kemudian
berkembang ketika banyak laporan tentang
terjadinya tindakan perdagangan perempuan
pada Beijing Plat Form of Action yang dilanjutkan
dengan Convention on Elimination of All Form of
Descrimination Agains Women (CEDAW) dan
telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan. Kemudian dipertegas dalam agenda Global
Alliance Agains Traffic in Women (GAATW) di Thailand
tahun 1994.
Perdagangan orang bertentangan dengan hak asasi manusia
karena perdagangan prang melalui cara ancaman,
pemaksaan, penculikan, penipuan, kecurangan,
kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan serta
bertujuan prostitusi, pornografi, kekerasan atau
eksploitasi, kerja paksa, perbudakan atau praktik-praktik
serupa. Jika salah satu cara tersebut di atas terpenuhi,
maka terjadi perdagangan orang yang termasuk sebagai
kejahatan yang melanggar hak asasi manusia.
Pada tanggal 26-28 Februari 2002, di Bali telah
diadakan Konferensi Regional Asia tentang
perdagangan orang. Dalam konferensi tersebut
dinyatakan bahwa korban terbesar adalah
perempuan dan anak. Negara-negara peserta
menyepati untuk melakukan tindakan
pemberantasan perdagangan orang. Disadari
bahwa perempuan adalah kelompok strategis
dari keberlanjutan generasi karena perempuan
mempunyai fungsi reproduksi dengan
melahirkan keturunan dan merupakan kelompok
yang menentukan kualitas keluarga,
sedangkan anak adalah tunas, potensi, dan
kelompok strategis bagi keberlanjutan bangsa
di masa depan yang memiliki ciri-ciri dan sifat
yang khusus yang harus dipenuhi dan dijamin
hak-haknya agar terlindungi tumbuh
kembangnya, kelangsungan hidupnya dan
terlindung dari deskriminasi, kekerasan, dan
eksploitasi.
Ketentuan mengenai larangan perdagangan
orang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal
294 KUHP menentukan mengenai larangan
perdagangan wanita dan anak laki-laki belum
dewasa dan mengkualifikasikan tindakan
tersebut sebagai kejahatan.
Unsur pengertian perdagangan orang
1.Perbuatan berupa: merekrut, mengangkut,
memindahkan, menyembunyikan atau
menerima;
2.Sarana (cara) untuk mengendalikan korban:
ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk
kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan
atau pemberian/penerimaan pembayaran atau
keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas korban.
3.Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi
atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja
paksa, perbudakan, penghambaan dan
pengambilan organ tubuh.
TERIMA KASIH
Macam Delik
1. Delik Formil
2. Delik Biasa