Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan pemberian dari Tuhan yang tak ternilai harganya, hadirnya seorang
anak dalam sebuah keluarga merupakan sebuah kebahagiaan bagi sebagian besar orang.
Yang dimaksud dengan anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah “Manusia yang
masih kecil.”1 Adapun pengertian tentang anak yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.” 2
Lebih lanjut, pengertian tentang anak juga tercantum dalam Konvensi Tentang Hak-hak Anak,
yakni:
“Yang dimaksud anak dalam Konvensi ini adalah setiap orang yang berusia di bawah
18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia
dewasa dicapai lebih awal.”3
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak adalah seseorang yang belum
dewasa, seorang anak yang terlahir kedunia ini memiliki harkat dan martabat yang melekat
dalam dirinya sebagai manusia seutuhnya, sehingga wajib mendapatkan perlindungan khusus.
Anak berhak menjalani kehidupan yang layak, bahagia dengan rasa aman dalam proses
tumbuh kembangnya, tanpa gangguan dan ancaman dari orang lain, baik itu orang yang lebih
dewasa atau anak lain disekitarnya.
Dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
dijelaskan bahwa, orang tua adalah sosok yang memiliki tanggung jawab utama dalam upaya

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia.


2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014. Nomor 297. Tambahan Lembaran negara nomor 5606.
3 United Nations Convention on the Rights of the Child Tahun 1989.

1
2

melindungi serta mendidik anak mereka, agar terwujudnya kesejahteraan anak. Orang tua
memiliki kewajiban penuh dalam memelihara serta mendidik anak-anaknya, sampai mereka
dikatakan dewasa dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.4 Karena keluarga merupakan
tempat pendidikan pertama bagi seorang anak yang memiliki peran penting dalam tahap
tumbuh kembang anak. Orang tua diharapkan mampu memberikan pendidikan moral dasar
serta menciptakan lingkungan tempat tinggal yang baik dalam tahapan tumbuh kembang
anak. Anak yang dibesarkan di suasana konflik seperti ketidak harmonisan dalam rumah
tangga cenderung akan mengalami kegelisahan jiwa yang berdampak terhadap perilaku anak.
Biasanya, anak akan terdorong untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang termasuk
dalam kategori kenakalan anak. Saat ini, tidak sedikit anak yang melakukan perbuatan-
perbuatan yang melawan hukum atau melakukan tindak pidana. Hal demikian dapat
diakibatkan oleh berbagai faktor, terdapat dua macam faktor yang mengakibatkan seorang
anak terdorong untuk melakukan suatu perbuatan melawan hukum yakni faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang positif akan tumbuh menjadi
anak yang ceria, lincah, bersemangat dan kecerdasan otak mereka berkembang dengan baik.
Apabila seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang harmonis, lingkungan tempat tinggal
yang ramah anak serta pergaulan yang baik akan berpengaruh positif pula pada kepribadian
serta kemampuan sosial emosional mereka. Sebaliknya, apabila seorang anak tumbuh di
lingkungan pergaulan, tempat tinggal maupun keluarga yang kurang baik dan banyak
memberikan pengaruh negatif, maka kemungkinan besar akan berpengaruh terhadap
perkembangan sosial emosional serta kepribadiannya. Karena pada usia dini, anak cenderung
melakukan pengamatan dan merekam apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan kedalam
memori otak mereka. Sehingga anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan pengaruh
negatif yang tinggi akan mengakibatkan kepribadian anak juga menjadi negatif.
Selain faktor lingkungan, kepribadian pada anak dapat pula terbentuk melalui
tontonan, bacaan dan juga permainan (video game). Banyak orang tua yang memberikan
anak mereka fasilitas untuk dapat menonton video, film dan juga bermain game berupa
gadget atau komputer sebagai sarana rekreasi atau hiburan bagi anak mereka. Namun,
keputusan yang demikian apabila tidak diimbangi dengan pengawasan dan bimbingan ekstra
juga akan berdampak buruk bagi anak. Anak akan cenderung menghabiskan waktu mereka
berjam-jam didepan gadget atau komputer untuk mengakses hal-hal yang mereka senangi.
Biasanya, anak akan meniru apa yang telah mereka saksikan dan mainkan, entah itu sesuatu

4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979. Nomor 32. Tambahan
Lembaran negara nomor 3143.
3

yang positif maupun negatif. Apabila hal yang demikian ini terus terjadi maka akan berdampak
pada perilaku sosial anak5.
Dalam hal ini, kedudukan keluarga memiliki peran penting dalam proses
perkembangan emosional anak, karena dapat dikatakan bahwa keluarga adalah tempat
pendidikan utama bagi anak. Maka dari itu, sebisa mungkin keluarga harus menciptakan
lingkungan yang dapat membantu anak dalam tumbuh. Jika seorang anak melakukan suatu
tindakan yang menyimpang dari norma sosial, maka hal pertama yang dapat dilihat adalah
bagaimana pendidikan di dalam keluarganya, keluarga yang gagal memberikan pendidikan
moral yang baik, akan membuat anak cenderung melakukan hal-hal yang menjurus ke
tindakan kenakalan, kejahatan, atau kriminal.
Saat ini, terdapat banyak sekali kasus pelanggaran hukum atau kenakalan anak
yang terjadi di Indonesia, anak-anak yang melakukan perbuatan melawan hukum/
bermasalah dengan hukum ini, berdasarkan penjelasan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dapat
disebut dengan Anak yang Berhadapan dengan Hukum atau ABH. Penyebutan ini tidak hanya
berlaku bagi anak-anak yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, namun juga
terhadap mereka yang menjadi korban tindak pidana, dan juga anak yang menjadi saksi
pidana.
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak menjelaskan bahwa: “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut
dengan Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” 6
Dalam undang-undang tersebut telah ditetapkan batas usia pertanggungjawaban
pidana pada anak yakni dimulai dari usia 12 tahun sampai 18 tahun. Apabila seorang anak
berusia di bawah 12 tahun namun telah melakukan suatu tindakan yang tergolong kedalam
tindak pidana, maka Ia dinyatakan tidak atau belum dapat bertanggung jawab secara hukum
dan akan dikembalikan kepada orang tua atau walinya.
Anak perlu dilindungi agar tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri,
lingkungan sekitar, orang lain termasuk kawan sebayanya. Karena, di era globalisasi seperti
sekarang ini tidak sedikit kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak-anak. Tindakan
pelanggaran norma-norma hukum maupun norma sosial yang berlaku sehingga dapat

5 Fithri Azni, Pengaruh Bermain Game Online Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak, Pendidikan Luar Sekolah, Volume 5, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, 2017, hlm. 111.

6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012. Nomor 153.
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5332.
4

berakibat buruk terhadap perkembangan pribadi anak-anak usia dibawah 18 tahun ini dapat
disebut sebagai Juvenile Delinquency atau kenakalan anak dan bukanlah kejahatan anak.
Karena, bagaimanapun juga anak adalah anak tidak sama dengan orang dewasa yang apabila
ditinjau dari sisi psikologi kondisi mental dan kejiwaannya masih belum stabil.
Salah satu jenis kenakalan anak yang mendominasi diantara jenis-jenis kenakalan
lainnya adalah kekerasan yang dilakukan oleh anak. Kekerasan yang dilakukan oleh anak ini
beragam jenisnya dan dapat berupa kekerasan fisik maupun psikis. Berdasarkan data yang
dihimpun dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyatakan bahwa dalam
rentang waktu 2016-2020 telah terjadi 655 kasus anak yang berhadapan dengan hukum
karena menjadi pelaku kekerasan. Yang mana, 506 anak diantaranya melakukan kekerasan
fisik dan 149 anak melakukan kekerasan psikis.7 Kekerasan yang dilakukan anak ini biasanya
ditujukan untuk merendahkan harkat dan martabat dari korbannya, hal demikian ini dapat
dikenal juga sebagai perilaku perundungan atau yang sering juga disebut dengan bullying.
Perundungan atau bullying merupakan sebuah perilaku yang bersifat mengintimidasi yang
dilakukan oleh seseorang atau lebih yang dapat mengancam keselamatan fisik maupun psikis
dari korbannya. Para pelaku bullying biasanya mengincar korban yang dianggap lebih lemah
dari dirinya, memiliki kekurangan atau keunikan yang membuat korban tampak berbeda dari
anak lainnya. Tindakan ini dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui dunia maya (daring), tindakannya dapat berupa penghinaan terhadap korban,
menyuruh korban untuk melakukan tindakan tertentu, hingga menyakiti atau menyerang
korban secara fisik dan psikis atau kombinasi dari ketiganya8. Tindakan bullying ini kerap kali
dijumpai di kalangan anak-anak usia sekolah yang masih dibawah umur, baik dalam
lingkungan pendidikan maupun diluar lingkungan pendidikan. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, terdapat 37.381 laporan terkait kasus
bullying sepanjang tahun 2011 hingga 2019, yang mana 2.473 kasus diantaranya terjadi di
dunia pendidikan. Selain itu Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD)
dalam riset Programme for International Students Assessment (PISA) pada Tahun 2018
menyatakan, sebanyak 41,1 persen murid di Indonesia mengaku pernah menjadi korban
bullying9. Bullying dapat terjadi kapan saja, biasanya tindakan ini terjadi ketika anak tidak
mendapat pengawasan dari orang tua seperti saat berada di lingkungan sekolah atau
lingkungan bermainnya.

7 Reza Pahlevi, 29 Juli 2022, Ini Jumlah Anak-Anak yang Jadi Pelaku Kekerasan di Indonesia, Databoks. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/29/ini-
jumlah-anak-anak-yang-jadi-pelaku-kekerasan-di-indonesia .
8 Evita Monica Chrysan, Yiska Marva Rohi, dan Dini Saputri F., Penerapan Sanksi Tindakan Anak yang Melakukan Bullying dalam Perspektif Sistem Peradilan
Pidana Anak, Hukum Magnum Opus, Volume 3, Universitas Airlangga, Surabaya, 2020.
9 Ayunda Pininta Kasih, 20 Maret 2021, 41 Persen Murid Indonesia Alami “Bully”, Siswa SMA Buat Aplikasi Atasi Trauma, Kumparan (online)
https://www.kompas.com/edu/read/2021/03/20/084259871/41-persen-murid-indonesia-alami-bully-siswa-sma-buat-aplikasi-atasi-trauma?page=all.
5

Bullying terbagi menjadi empat yakni bullying verbal, bullying sosial, bullying fisik serta
bullying yang terjadi melalui media sosial. Bullying yang terjadi di masyarakat biasanya
melibatkan anak-anak dengan usia sebaya. Perilaku ini tidak hanya berdampak buruk bagi
korban melainkan juga terhadap pelaku itu sendiri. Faktor penyebab anak melakukan bullying
ini dapat bermacam-macam, apalagi di era perkembangan zaman seperti sekarang ini tidak
menutup kemungkinan bagi anak untuk mengakses apa saja di internet, mulai dari tontonan,
permainan atau games, dan juga bacaan yang mengakibatkan anak termotivasi untuk
melakukan tindakan kekerasan seperti bullying ini. Selain itu juga faktor lingkungan tempat
tinggal maupun pergaulan juga turut menjadi penyebab seorang anak dapat melakukan tindak
kekerasan bullying ini. Mengingat dampak bullying yang sedemikian besarnya baik terhadap
pelaku maupun korban, disini peran keluarga sangat dibutuhkan, karena selain menjadi
tempat pendidikan pertama bagi anak, keluarga juga lah orang yang paling dekat dan
mengerti anak. Sehingga untuk menghindari terjadinya kasus kekerasan seperti bullying ini
terulang terjadi kepada anak-anak orang tua harus mampu memberikan pendidikan moral
yang tepat kepada anaknya sejak dini.
Kemudian, menurut data yang diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia,
kasus bullying yang terjadi di Indonesia didominasi oleh anak-anak Sekolah Dasar. Batas usia
pertanggungjawaban anak khususnya dalam kasus perundungan atau bullying ini dianggap
terlalu tinggi karena, berdasarkan fakta yang ada di masyarakat, kasus bullying di dominasi
oleh anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) yang berada pada rentang usia 7-12 tahun.10 Namun,
anak-anak dibawah usia 12 tahun yang telah melakukan tindakan bullying yang tergolong
dalam kategori tindak pidana kekerasan ini tidak dapat dijatuhi pidana maupun dikenai
tindakan, anak-anak pelaku bullying yang masih berusia 12 tahun tidak diapa-apakan dan
hanya dikembalikan kepada orang tua atau wali masing-masing. Hal tersebut sesuai dengan
apa yang termaktub dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak:
“Dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional mengambil keputusan untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di
instansi pemerintahan atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan
sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.”

10 Mahar Prastiwi, 25 Oktober 2021, Data KPAI: Kasus Perundungan Paling Banyak Terjadi pada Siswa SD, Kompas (Online)
https://www.kompas.com/edu/read/2021/10/25/112503471/data-kpai-kasus-perundungan-paling-banyak-terjadi-pada-siswa-sd?page=all
6

Apabila anak yang melakukan tindak pidana kekerasan dalam kasus bullying ini, tidak
diberikan sanksi serta pendidikan moral yang tepat, maka tidak menutup kemungkinan bahwa
anak akan melakukan tindakan serupa yang bahkan mungkin bisa lebih parah di kemudian
hari, padahal anak telah dipersiapkan untuk menjadi generasi penerus bangsa yang bermoral
baik.
Tidak sedikit contoh kasus perundungan oleh anak-anak yang berakibat fatal pada
korbannya. Adapun kasus nyata dari tindak pidana kekerasan bullying ini adalah, kasus di
Tasikmalaya, seorang bocah kelas 5 SD berumur 11 tahun meninggal dunia akibat depresi
setelah mengalami perundungan oleh teman-teman seumurannya. Ia dipaksa untuk
melakukan persetubuhan dengan seekor kucing dan kegiatan tersebut direkam oleh ponsel
para pelaku. Tidak hanya itu saat masih hidup, korban juga bercerita kepada orangtuanya jika
Ia kerap kali dipukuli oleh para pelaku. Mirisnya lagi, seminggu sebelum korban meninggal,
videonya saat dipaksa bersetubuh dengan kucing diunggah oleh para pelaku ke dunia maya,
mengakibatkan korban mengalami depresi, hingga tak mau makan dan minum sama sekali.
Korban kemudian dilarikan kerumah sakit karena mengeluhkan tenggorokannya yang terasa
sakit, namun setelah beberapa saat dirawat di rumah sakit anak tersebut pun meninggal. Para
pelaku terdiri dari beberapa orang dan rata-rata berumur sama dengan korban yakni 11
tahun.11 Dalam kasus ini, para pelaku tidak diberikan tindakan apapun karena memang masih
berusia 11 tahun yang mana artinya, masih belum bisa bertanggung jawab sesuai apa yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Kasus lainnya terjadi di Kota Malang, Jawa Timur. Seorang bocah di bully oleh teman-
teman bermainnya, kemudian aksi tersebut direkam dan disebarkan melalui media sosial.
Dalam video, tampak seorang anak laki-laki yang sedang dilempar dan dipukul beberapa kali
dengan menggunakan bantal oleh anak-anak lain yang ada dalam video tersebut. Kemudian
korban dilumuri bedak hingga dilucuti pakaiannya, ketika pakaiannya hanya tersisa celana
dalam saja, tangan dan kakinya dipegangi oleh teman-temannya, bocah tersebut pun tampak
menangis akibat terus-menerus mengalami perundungan. Menurut keterangan ibu korban,
anaknya sudah beberapa kali mendapatkan perundungan dari teman bermainnya tersebut.
Bahkan, korban sering dipalak uang sebesar 5000 rupiah, yang dipakai oleh para pelaku untuk
membeli rokok atau miras. Tak hanya sampai disitu, korban juga pernah dicekoki miras dan
ada bekas sundutan rokok di tubuhnya. Dampak dari bullying tersebut, korban sering
mengalami mimisan, diduga akibat kecemasan dan rasa takut yang berlebihan, hingga tidak

11 CNN Indonesia, 27 Juli 2022, Kasus Bullying di Tasikmalaya 3 Tersangka Dikembalikan ke Orang Tua, CNN Indonesia (Online)
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220727154327-12-826933/kasus-bullying-di-tasikmalaya-3-tersangka-dikembalikan-ke-orang-tua
7

mau pergi ke sekolah. Ibu korban mengaku sudah memaafkan, namun menolak jika nantinya
akan diadakan upaya damai karena melihat penderitaan yang dialami oleh putranya
tersebut.12
Dari kasus-kasus perundungan yang terjadi tersebut, bullying tidak boleh dianggap
remeh dan hanya gurauan diantara anak-anak saja, maka dari itu, ditegaskan bahwa perlu
adanya perbaikan pada sistem peradilan pidana anak yang tetap memperhatikan unsur
perlindungan terhadap anak agar pelaku bullying dapat memperoleh tindakan serta
pembinaan yang tepat oleh Lembaga terkait, namun tidak terkesan mencederai harkat dan
martabat anak karena inti dari Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pendidikan, percuma saja
bila hukum ditingkatkan namun tidak terdapat unsur pendidikan, dalam hal ini perlu adanya
tindakan tegas dari Lembaga-lembaga terkait sehingga mampu memberikan pendidikan atau
edukasi moral yang tepat kepada anak-anak pelaku bullying.
Kemudian yang tak kalah pentingnya ialah, upaya rehabilitasi yang diberikan kepada
korban perundungan dan juga keluarga korban pasca kejadian juga perlu mendapatkan
perhatian khusus sesuai dengan upaya perlindungan anak agar mental korban dapat pulih
dan tidak mengganggu proses tumbuh kembangnya. Perbaikan sistem ini perlu dilakukan
karena dampak daripada bullying ini sangatlah fatal dan nyata adanya, apabila tidak
mendapatkan perhatian khusus maka akan berdampak juga pada keberlangsungan bangsa
dan negara ini karena seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa anak adalah
generasi penerus bangsa yang kelak akan melanjutkan pembangunan bangsa ini.
Berangkat dari latar belakang yang telah disebutkan di atas, sehingga membuat
peneliti tertarik untuk mengangkat kasus ini sebagai penelitian dengan judul “TINJAUAN
YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM KASUS BULLYING (STUDI KASUS DI UNIT PPA
POLRES BATU)”.
B. Orisinalitas Penelitian

No Nama Peneliti dan Judul dan tahun Rumusan masalah


asal instansi penelitian

1. Resti Amelia PERLINDUNGAN HUKUM 1.Bagaimana


(Universitas Negeri TERHADAP PELAKU DAN perlindungan hukum
Semarang) KORBAN BULLYING DI terhadap Pelaku dan
INDONESIA (2020) Korban tindak pidana

12Sylvianita Widyawati, 2 September 2022, Kasus Perundungan Siswa SMP di Kota Malang, Ibu Korban Tidak Mau Damai, Tribun news (Online)
https://suryamalang.tribunnews.com/2022/09/02/kasus-perundungan-siswa-smp-di-kota-malang-ibu-korban-tidak-mau-damai
8

Bullying di Indonesia
menurut Undang-Undang
Perlindungan anak?
2. Bagaimana formulasi
hukum pidana yang
seharusnya dalam
menanggulangi tindak
pidana Bullying di
Indonesia?

2. Etty Wahyuningsih PENEGAKAN HUKUM 1.Bagaimanakah


(Universitas Islam PIDANA TERHADAP ANAK penegakan hukum pidana
Indonesia) PELAKU TINDAK PIDANA terhadap anak pelaku
PERUNDUNGAN DI tindak pidana
WILAYAH HUKUM perundungan dengan
KEPOLISIAN RESOR penganiayaan di
PURWOREJO (2021) Kepolisian Resor
Purworejo?
2. Apa factor-faktor
penyebab gagalnya
proses diversi dalam
penyelesaian kasus
perundungan dengan
penganiayaan di
Kepolisian Resor
Purworejo?

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap anak sebagai pelaku Tindak Pidana


Kekerasan dalam kasus bullying di Kota Batu?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban hukum terhadap anak sebagai pelaku Tindak
Pidana Kekerasan dalam kasus bullying di Kota Batu?
3. Apakah sanksi atau Tindakan tepat yang dapat diterapkan terhadap anak sebagai
pelaku Tindak Pidana Kekerasan dalam kasus bullying di Kota Batu?
9

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap anak sebagai pelaku Tindak Pidana
Kekerasan dalam kasus bullying di Kota Batu.
2. Untuk mengetahui penerapan hukum terhadap anak sebagai pelaku Tindak Pidana
Kekerasan dalam kasus bullying di Kota Batu.
3. Untuk mengetahui sanksi atau tindakan tepat yang dapat diterapkan terhadap anak
sebagai pelaku Tindak Pidana Kekerasan dalam kasus bullying di Kota Batu.

E. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan pertimbangan para pembuat kebijakan dan perancang peraturan
perundangan terhadap isu perundungan yang marak terjadi di kalangan anak-anak.
2. Sebagai acuan penulisan penelitian hukum agar dikembangkan lebih lanjut oleh
peneliti selanjutnya.
3. Sebagai bahan pertimbangan Pemerintah daerah agar lebih memperhatikan terkait
masalah sosial yang kerap terjadi di kalangan anak-anak sehingga dapat menciptakan
lingkungan yang lebih ramah anak.
4. Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran penelitian.
BAB II
Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Umum Tentang Anak


1. Pengertian Anak

Anak adalah anugerah dari Tuhan yang harus dilindungi dan dirawat dengan sebaik
mungkin sebagai bentuk syukur orang tua terhadap Tuhannya. Anak juga merupakan harapan
bangsa, karena kelak akan melanjutkan roda pembangunan negara di masa yang akan
datang, yang harus dilindungi harkat serta martabatnya. Dalam Pasal 1 Konvensi Hak-Hak
Anak yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 20 November 1989, menyebutkan bahwa
anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas tahun kecuali
berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak menetapkan bahwa kedewasaan
dicapai lebih cepat13. Pengertian tentang anak dibahas lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa:
“anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang
masih dalam kandungan”14
Selanjutnya, pengertian tentang anak juga terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
menyatakan bahwa, yang termasuk sebagai anggota keluarga adalah suami, istri, dan juga
anak.15 Karena, anak terlahir dari sebuah hubungan antara pria dan wanita yang selanjutnya
disebut sebagai hubungan perkawinan, kemudian anak yang terlahir dari hasil hubungan
perkawinan yang sah ini disebut sebagai anak sah. Selain itu, terdapat juga anak yang terlahir
bukan dari suatu hubungan perkawinan yang sah, anak ini mendapat status sebagai anak

13 United Nations Convention on the Rights of the Child Tahun 1989.


14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014. Nomor 297. Tambahan Lembaran Negara Nomor 5606.
15 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004. Nomor 95. Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4419.

15
16

tidak sah atau anak haram. Namun sejatinya, semua anak baik yang terlahir dari hubungan
perkawinan yang sah maupun tidak sah tetaplah seorang anak yang memiliki hak di dunia
dan harus dilindungi oleh semua orang. Selama anak tersebut masih menjadi tanggung jawab
kedua orang tuanya maka masih disebut sebagai anak. Pengertian yang berbeda-beda
tentang anak apabila ditinjau dari segi usianya dalam undang-undang tersebut didasarkan
pada waktu, tempat dan keperluannya, hal inilah yang kemudian mempengaruhi batasan
umur pada anak.
Dari segi biologis terdapat beberapa sebutan dalam tahap perkembangan manusia
yakni bayi/ balita, anak, remaja, pemuda dan dewasa. Terdapat pula penggolongan usia anak
yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan yakni:
1. Usia 0 sampai 5 tahun disebut sebagai usia bayi/ balita;
2. Usia 5 tahun sampai 10 tahun disebut sebagai usia anak-anak;
3. Usia 10 tahun sampai 20 tahun disebut sebagai usia remaja;
4. dan usia 20 tahun sampai 30 tahun merupakan tahap usia menjelang dewasa16

Lain halnya bila ditinjau dari perspektif Psikologi, tahap perkembangan psikologi anak
terbagi menjadi tiga bagian yakni:
1. Atitima atau tahap perkembangan psikologi anak pada 3 tahun pertama;
2. Altima atau tahap perkembangan psikologi anak pada masa 5 tahun pertama;
3. dan perkembangan psikologi anak tengah yang dimulai dari usia 6-12 tahun.

Kemudian, perkembangan psikologi pada remaja dibagi menjadi periode early childhood atau
periode remaja awal, dan Late Adolescent atau periode remaja akhir. Apabila dalam perspektif
hukum anak dianggap dibawah umur apabila belum mencapai usia 18 tahun, lain halnya
dalam sudut pandang psikologi, anak dianggap berusia dibawah umur mulai dari usia 3-12
tahun. Anak telah dianggap memasuki fase remaja apabila telah berusia diatas 12 tahun,
selain telah terjadinya perubahan fisik, kondisi kognisi dan moral anak sudah mengalami
perkembangan.

2. Hak dan Kewajiban Anak


Setiap anak yang terlahir ke dunia ini memiliki hak yang melekat pada dirinya sejak
masih berada di dalam kandungan. Berdasarkan hasil Sidang Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa pada tanggal 20 November 1959, telah disahkan Deklarasi tentang Hak-Hak Anak

16 Rika Apriani Minggulina Damanik, Hukum Pertanggungjawaban Pidana Anak Dalam Batasan Usia: Analisis Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012, Al-Qanun: Jurnal Kajian Sosial dan Hukum Islam, Volume 1, UIN Sumatera Utara, Medan,
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/alqanun/article/view/7536/3376
17

yang mewajibkan setiap orang harus memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Dalam
deklarasi tersebut, disebutkan 10 asas terkait hak-hak anak, yakni:
1. Anak memiliki hak atas segala hak-hak yang tercantum dalam ketentuan
deklarasi ini. Semua anak, tak terkecuali, tanpa memandang ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, kebangsaan, kelas sosial,
kekayaan atau kemiskinan, kelahiran, atau status lain dalam diri mereka sendiri
atau dalam keluarga mereka, harus dijamin hak-haknya.
2. Anak berhak atas perlindungan khusus dan diberi kesempatan untuk
berkembang secara fisik, mental, moral, intelektual, dan sosial dalam keadaan
sehat dan normal, sesuai dengan harkat dan martabatnya, menurut undang-
undang dan peraturan lainnya. Kepentingan terbaik bagi anak harus
diutamakan dalam pelaksanaan hukum.
3. Seorang anak berhak memiliki nama dan kewarganegaraan sejak lahir.
4. Anak berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam kesehatan yang baik, yang
harus dijamin secara sosial. Hal ini memerlukan perawatan dan perlindungan
khusus bagi anak dan ibunya, baik sebelum maupun setelah kelahiran. Anak
berhak atas makanan, tempat tinggal, istirahat dan perawatan kesehatan yang
layak.
5. Anak cacat fisik, mental dan sosial karena penyakit tertentu memerlukan
pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus.
6. Kasih sayang dan pengertian diperlukan untuk perkembangan kepribadian
anak yang optimal dan harmonis. Jika memungkinkan, ia harus tumbuh di
bawah asuhan dan tanggung jawab orang tuanya dan melakukan segala upaya
untuk menjaga kesehatan fisik dan mentalnya dalam suasana yang penuh
kasih. Anak-anak di bawah usia 5 tahun tidak boleh dipisahkan dari ibunya.
Otoritas lokal dan negara bagian memiliki kewajiban untuk memberikan
perawatan khusus kepada anak-anak yang tidak memiliki keluarga atau yang
tidak mampu. Diharapkan pemerintah atau pihak lain memberikan bantuan
keuangan kepada anak-anak dari keluarga besar.
7. Anak-anak berhak atas pendidikan wajib gratis setidaknya di tingkat dasar.
Untuk memungkinkan mereka meningkatkan pengetahuan umum mereka dan
mengembangkan keterampilan, pendapat pribadi, dan tanggung jawab moral
dan sosial sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna,
atas dasar kesempatan yang sama, Anak harus mendapatkan perlindungan.
Kepentingan anak harus dibimbing oleh mereka yang bertanggung jawab atas
18

pengasuhan dan perawatan anak yang bersangkutan. Tanggung jawab utama


terletak pada orang tua. Anak-anak harus memiliki kesempatan untuk bermain
dan rekreasi untuk tujuan pendidikan, dan masyarakat serta pemerintah terkait
harus berusaha untuk meningkatkan pelaksanaan hak ini.
8. Anak-anak harus diprioritaskan untuk mendapat perlindungan dan dukungan
dalam situasi apapun.
9. Anak harus dilindungi dari segala bentuk penelantaran, kekerasan dan
eksploitasi. Anak seharusnya tidak menjadi subjek transaksi komersial. Anak-
anak tidak boleh bekerja sebelum usia tertentu atau terlibat dalam pekerjaan
yang dapat membahayakan kesehatan atau pendidikan mereka atau
mempengaruhi perkembangan fisik, mental atau moral mereka.
10. Anak harus dilindungi dari tindakan yang mengarah pada diskriminasi sosial,
agama atau bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Mereka harus menyadari
sepenuhnya bahwa energi dan bakat mereka harus dicurahkan untuk orang-
orang di sekitar mereka, dan harus dipupuk dalam semangat pemahaman
internasional, toleransi dan persahabatan, perdamaian dan persaudaraan
universal.
Di Indonesia, pelaksanaan perlindungan hak anak sesuai dengan Deklarasi PBB
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 1
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 mengatur bahwa: "Kesejahteraan anak adalah suatu
tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Usaha
kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin
terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak."
Pada tanggal 20 November 1989, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
menyetujui Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan
Presiden Nomor 36 tahun 1990. Konferensi menetapkan, antara lain: Larangan penyiksaan,
perlakuan atau hukuman kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup dan penahanan
sewenang-wenang atau perampasan kebebasan anak-anak (Pasal 37). Hak anak yang dituduh
atau ditemukan melakukan pelanggaran untuk dihormati hak asasinya, khususnya dalam
proses peradilan atau bantuan hukum lainnya dalam mempersiapkan dan mengajukan
pembelaan. Prinsip-prinsip hukum dan kelembagaan sedapat mungkin dihindari (Pasal 40).
3. Anak Berhadapan dengan Hukum
Berdasarkan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Anak yang Berhadapan
19

dengan Hukum adalah anak yang berkonflik atau bermasalah dengan hukum , termasuk anak
yang menjadi korban suatu tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana:
a. Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Anak yang Berkonflik dengan Hukum ini dalam Sistem Peradilan Pidana disebut
dengan Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, namun belum berumur 18
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
b. Anak Korban
Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut sebagai
Anak Korban adalah mereka yang belum berumur 18 tahun yang mengalami
penderitaan fisik, mental , dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh suatu
tindak pidana.
c. Anak Saksi
Kemudian, yang disebut dengan Anak Saksi adalah anak yang menjadi saksi
suatu perbuatan pidana yang dapat memberikan keterangan dalam penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan yang terjadi dalam suatu sidang pengadilan tentang
perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

4. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosional Anak


Biasanya, anak akan terdorong untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang
termasuk dalam kategori kenakalan anak. Saat ini, tidak sedikit anak yang melakukan
perbuatan-perbuatan yang melawan hukum atau melakukan tindak pidana. Hal demikian
dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, terdapat dua macam faktor yang mengakibatkan
seorang anak terdorong untuk melakukan suatu perbuatan melawan hukum yakni faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Yang tergolong dalam faktor intrinsik yang mendorong anak
melakukan suatu kenakalan adalah17:
a) Faktor Intelegensi atau biasa disebut juga dengan kecerdasan yang dimiliki
seseorang, adalah kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan serta
memahami sesuatu. Seringkali, anak yang melakukan kenakalan anak atau perbuatan
melawan hukum adalah mereka yang memiliki kecerdasan lebih rendah, serta
tertinggal dalam pencapaian hasil belajar di sekolah. Seorang anak yang memiliki
intelegensi rendah akan mudah terbawa arus untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang bersifat negatif.

17Wagiati Sutedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak (Edisi Revisi), PT. Revika Aditama, Bandung, 2017, hlm 16.
20

b) Faktor Usia sangat berpengaruh terhadap tindakan seorang anak. Biasanya, anak
yang mulai memasuki usia remaja akan memiliki rasa ingin tahu yang lebih dan ingin
mencoba melakukan hal-hal baru yang menantang sehingga mudah terpengaruh
untuk melakukan suatu kenakalan atau hal-hal yang bertentangan dengan hukum.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) masa
remaja terbagi menjadi tiga tahapan yakni masa remaja awal 10-14 tahun, remaja
menengah 15-17 tahun, dan remaja akhir 18-19 tahun18. Pada usia ini anak juga masih
memiliki perkembangan hormon yang kurang stabil, sehingga anak yang berusia 10-
19 tahun seringkali melakukan tindakan yang diluar kewajaran akibat dari masa
transisi yang sedang dialaminya.
c) Faktor Kelamin, baik anak laki-laki maupun perempuan pada dasarnya memiliki
kecenderungan yang sama untuk melakukan sebuah kenakalan anak. Namun dalam
kenyataannya, anak laki-laki lebih banyak melakukan kenakalan anak dibandingkan
dengan anak perempuan.
d) Faktor Kedudukan Anak dalam Keluarga, yakni urutan kelahiran anak dalam
sebuah keluarga. Kenakalan anak kebanyakan dilakukan oleh anak tunggal atau anak
pertama dalam keluarga.19 Ini dapat terjadi karena anak tunggal atau anak satu-
satunya dalam sebuah keluarga cenderung sering mendapatkan pemenuhan
kebutuhan yang berlebihan, mendapat pengawasan ekstra dari kedua orangtuanya,
serta perhatian yang berlebih. Hal ini mengakibatkan seorang anak ketika terjun ke
masyarakat dan tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan akan mencari jalan
pintas agar keinginannya tersebut dapat terpenuhi.
Selain faktor intrinsik tersebut, terdapat juga faktor ekstrinsik atau dorongan dari luar diri
seorang anak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, meliputi:
a. Faktor Keluarga
b. Faktor Pendidikan dan Sekolah
c. Faktor Pergaulan Anak
d. Faktor Media Massa/ Media Sosial
Banyak faktor dorongan dari luar diri anak yang mengakibatkan tidak terhindarnya anak dari
kenakalan
a) Faktor Keluarga, anak pertama kali mendapatkan pendidikan dari dalam
keluarganya. Apabila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang

18 MAJID, Akbar Syamsul. Pengaruh Bimbingan Orang Tua Terhadap Perilaku Sosial Remaja Madya Di Desa Tigajuru Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara. 2022. PhD
Thesis. IAIN KUDUS.
19 Wagiati Sutedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak (Edisi Revisi), PT. Revika Aditama, Bandung, 2017, hlm 19.
21

kurang baik, tidak menutup kemungkinan anak akan cenderung melakukan hal-hal
yang negatif. Sebaliknya, anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang baik akan
melakukan hal-hal yang positif akibat pengaruh dari ajaran dan didikan dari orang tua
dan keluarganya. Kenakalan anak seringkali berawal dari keluarganya, tidak semua
orang yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal yang buruk akan turut melakukan
kejahatan atau kenakalan. Selain itu, anak yang tumbuh dalam keluarga yang kurang
harmonis atau biasa disebut sebagai broken home berkemungkinan besar untuk
melakukan kenakalan anak.20 Seperti anak yang orangtuanya bercerai, salah satu atau
kedua orang tuanya telah meninggal, tidak mendapatkan perhatian cukup dari kedua
orang tua, atau keluarga yang sering berkonflik di dalam rumah dapat membuat anak
mengalami kegoncangan mental sehingga terdorong untuk melakukan hal-hal negatif.
Anak-anak yang terluka karena keluarganya akan menyakiti diri sendiri dengan cara
melakukan kenakalan anak yang tidak biasa dilakukan, mereka sebenarnya tahu
bahwa apa yang mereka lakukan tersebut tidak baik, namun tetap melakukannya
dengan harapan bahwa apa yang dilakukannya dapat melukai keluarganya juga. Anak-
anak dalam situasi keluarga broken home ingin mendapatkan perhatian dari
orangtuanya serta minta dipahami dengan cara melakukan sebuah kenakalan.
b) Faktor Pendidikan dan Sekolah, dalam hal ini, sekolah dianggap juga memiliki
peran penting dalam upaya memberikan pendidikan baik akademik maupun
pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan, sekolah merupakan tempat pendidikan kedua
bagi anak, setelah keluarga. Bertambahnya kasus pelanggaran hukum atau kenakalan
anak yang terjadi secara tidak langsung membuktikan bahwa ada yang salah dalam
sistem pendidikan di sekolah. Anak-anak banyak menghabiskan waktunya dari pagi
hingga sore, hampir setiap hari di sekolah, tentu saja mereka harus berinteraksi
langsung dengan teman, dan juga guru di sekolah. Hal ini turut membentuk karakter
seorang anak. Tidak sedikit guru yang kurang memperhatikan pergaulan anak-anak di
sekolah dan menganggap kenakalan anak sebagai hal yang biasa, sehingga angka
kenakalan pada anak pun dapat mengalami peningkatan.
c) Faktor Pergaulan Anak, anak yang kurang pengawasan orang tua yang dapat
diakibatkan oleh berbagai faktor biasanya cenderung untuk bergaul dengan siapa saja
untuk menemukan sosok atau kelompok yang dirasa mampu memahami dirinya. Anak-
anak yang tidak mendapatkan perhatian lebih dari orang tuanya kemungkinan akan
bertemu dengan teman-teman yang tergolong sebagai anak nakal dan termotivasi

20 Ibid, hlm.20
22

untuk melakukan hal yang sama dengan teman-temannya tersebut. Dalam hal ini,
peran orang tua sangat diperlukan untuk mengembalikan anak ke jalan yang benar.
d) Pengaruh Media Massa atau Media Sosial, seiring berkembangnya zaman,
informasi dapat diakses dari mana saja entah itu dari buku bacaan, tontonan, informasi
yang diakses melalui internet, media sosial, atau bahkan dari game dapat ikut
membentuk karakter seorang anak. Anak yang mengisi waktu senggangnya dengan
membaca, menyaksikan atau bermain game yang mengandung nilai-nilai negatif dan
tanpa pendampingan juga berkemungkinan besar memiliki keinginan untuk melakukan
hal yang sama di kemudian hari.

B. Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana


1. Tindak Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memuat definisi Tindak
Pidana. Pengertian Tindak Pidana dapat ditemukan dalam doktrin atau ilmu
pengetahuan. Menurut buku yang ditulis oleh Profesor Wirono Prodjodikoro “Azaz-azaz
Hukum Pidana”, yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Profesor Simons, dari Utrecht-Belanda,
dalam bukunya “Heerboek Vna Het Nedherlands Trafrecht”, mengatakan bahwa tindak
pidana adalah suatu perbuatan yang diancam dengan pelanggaran hukum dan
dilakukan oleh orang yang cakap.
Profesor E. Mezger mengatakan bahwa tindak pidana adalah syarat untuk
adanya pidana. J. Baumann menyatakah tindak pidana adalah tindakan yang dilarang
oleh aturan hukum dan terdapat ancaman terhadap mereka yang melanggar larangan
tersebut. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu norma
hukum dan dapat diancam dengan hukum, tetapi pada saat yang sama harus diingat
bahwa larangan itu meliputi situasi atau peristiwa yang disebabkan oleh perbuatan
manusia. Menurut H.B Vos, tindak pidana, yaitu perbuatan yang pada umumnya
dilarang dan diancam dengan pidana kecuali ada alasan untuk menghapuskan tindak
pidana tersebut.21
Menurut pendapat Prof. Simon, dalam sebuah tindak pidana terdapat beberapa
unsur-unsur yang dapat dikelompokkan kedalam unsur subjektif dan objektif. Unsur
objektif Tindak Pidana meliputi22:
1. Perbuatan orang;

21 Masruchin Ruba’i, dkk, Buku Ajar Hukum Pidana, Media Nusa Creative, Malang, 2015, hlm.80.
22 Ibid, hlm.81
23

2. Akibat yang nampak dari perbuatan tersebut


3. Kemungkinan adanya akibat yang menyertai perbuatan tersebut
Sedangkan unsur subjektif Tindak Pidana meliputi:
1. Orang yang dapat bertanggung jawab;
2. Adanya kesalahan.
Dalam KUHP dijelaskan, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak
pidana apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan manusia;
2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum;
3. Adanya kesalahan;
4. Orang yang berbuat harus dapat bertanggung jawab.

2. Tindak Pidana Anak


Suatu tindakan melawan norma-norma hukum atau norma yang berlaku dalam
masyarakat tidak dapat dikatakan sebagai suatu Tindak Pidana atau Kejahatan melainkan
Juvenile Delinquency atau Kenakalan Anak. Juvenile memiliki arti young, atau anak-anak, anak
muda yang berdasarkan karakteristiknya berbeda dengan orang dewasa, sedangkan
Delinquency berarti doing wrong, atau melakukan suatu tindakan yang salah, bertentangan
dengan norma-norma yang berlaku.23 Tim proyek Juvenile Delinquency Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, memberikan rumusan Juvenile Delinquency sebagai berikut: Setiap
tindakan atau perilaku anak yang bertentangan dengan hukum yang berlaku di suatu negara
yang dianggap dan ditafsirkan sebagai perilaku yang tercela oleh masyarakat itu sendiri. Romli
Atmasasmita juga memberikan rumusan terkait Juvenile Delinquency sebagai berikut:
Juvenile Delinquency adalah setiap tindakan atau perilaku anak yang belum menikah di
bawah usia 18 tahun yang melanggar norma hukum yang berlaku dan yang dapat
membahayakan perkembangan karakter anak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, Juvenile Delinquency adalah tindakan-tindakan
atau perbuatan yang melanggar norma hukum maupun norma sosial, yang dilakukan oleh
anak-anak usia muda. Beberapa perilaku anak yang dapat tergolong ke dalam Juvenile
Delinquency24 adalah:
1. Kebut-kebutan di jalanan yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas;
2. Membuat keributan atau keonaran di lingkungan masyarakat;
3. Tawuran atau perkelahian antar kelompok;

23 Wagiati Sutedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak (Edisi Revisi), PT. Revika Aditama, Bandung, 2017.
24Ibid, hlm.12
24

4. Membolos sekolah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar norma;


5. Mabuk-mabukan, kecanduan obat-obatan terlarang (Narkoba), Perjudian atau
melakukan taruhan;
6. Perkosaan, tindakan-tindakan pelecehan seksual, homoseksualitas, komersialitas seks;
7. Pengguguran janin serta pembunuhan bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin;
8. Pencurian, perampokan, penjambretan, penodongan, pemerasan, perampasan;
9. Tindakan radikal dan ekstrim dengan kekerasan;
10. Melakukan tindak kekerasan, pembunuhan dengan cara meracun, menusuk, dan lain
sebagainya.
Kenakalan pada anak atau Juvenile Delinquency dapat terjadi karena beberapa hal dan
biasanya terdapat beberapa perilaku mencolok pada anak yang dapat disebut sebagai gejala-
gejala kenakalan anak sebagai berikut:
1. Merasa memiliki harga diri yang tinggi dan berkeinginan untuk menonjolkan dirinya,
anak muda memiliki emosi dan mental yang belum stabil, sehingga seringkali
melakukan tindakan yang gegabah.
2. Memiliki energi yang masih berlimpah dan menggebu-gebu sehingga terkadang
disalurkan kepada hal-hal negatif.
3. Suka menonjolkan diri dengan cara mencari perhatian.
4. Senang bergerombol dengan teman seusianya, ketika sudah berkumpul merasa diri
lebih kuat, aman dan berani untuk melakukan hal-hal baru dalam hidupnya.
5. Sedang mencari identitas diri yang baru, atau dalam proses pencarian jati diri yang
dianggap sesuai dengan dirinya, sehingga terdorong untuk mencoba untuk melakukan
berbagai hal.
Hal-hal tersebut diatas dapat terjadi pada anak-anak akibat dari fase transisi yang
dihadapi oleh anak yang banyak mengakibatkan anak mengalami pergolakan batin, tidak
dapat mengontrol emosi dan cenderung menggebu-gebu dalam mengambil keputusan.
C. Tinjauan Umum Tindak pidana Bullying
1. Pengertian Bullying
Terdapat beberapa jenis kekerasan yang kerap terjadi pada anak yakni: kekerasan
fisik, kekerasan psikis, kekerasan sosial hingga kekerasan seksual. Pelaku tindak kekerasan
pada anak ini bisa terjadi dimana saja baik di lingkungan sekolah, keluarga dan lain-lain.
Kekerasan pada anak bisa dilakukan oleh orang lain yang lebih dewasa ataupun seusia dengan
anak tersebut. Salah satu jenis tindak kekerasan yang marak terjadi antar anak khususnya
anak-anak di bawah umur adalah perundungan atau biasa disebut dengan bullying.
25

Perundungan atau bullying merupakan sebuah perilaku yang bersifat mengintimidasi yang
dilakukan oleh seseorang atau lebih yang dapat mengancam keselamatan fisik maupun psikis
dari korbannya. Para pelaku bullying biasanya mengincar korban yang dianggap lebih lemah
dari dirinya atau dianggap memiliki kekurangan. Tindakan ini dapat dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui dunia maya (daring), tindakannya dapat berupa
penghinaan terhadap korban, menyuruh korban untuk melakukan tindakan tertentu, hingga
menyakiti atau menyerang korban secara fisik dan psikis atau kombinasi dari ketiganya.25
Tindakan bullying ini kerap kali dijumpai di kalangan anak-anak usia sekolah yang masih
dibawah umur, baik dalam lingkungan pendidikan maupun diluar lingkungan pendidikan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, terdapat 37.381
laporan terkait kasus bullying sepanjang tahun 2011 hingga 2019, yang mana 2.473 kasus
diantaranya terjadi di dunia pendidikan. Selain itu Organisation of Economic Co-operation and
Development (OECD) dalam riset Programme for International Students Assessment (PISA)
pada Tahun 2018 menyatakan, sebanyak 41,1 persen murid di Indonesia mengaku pernah
menjadi korban bullying26. Biasanya, anak-anak yang menjadi korban perundungan ini,
merupakan mereka yang memiliki perbedaan latar belakang ras, agama, ekonomi/ sosial atau
faktor psikologis. Kemudian faktor penyebab anak dapat melakukan perundungan terhadap
sesamanya yakni karena kurangnya edukasi moral untuk saling menghargai sesama dari
lingkungan dimana anak tersebut tumbuh dan berkembang. Selain itu, meningkatnya angka
bullying yang terjadi dilakukan oleh anak dibawah umur merupakan akibat pengaruh negatif
teknologi dan informasi yang membuat setiap anak dapat dengan mudah melakukan berbagai
hal seperti bermain game yang mengandung unsur-unsur kekerasan, menonton video atau
film yang belum sepatutnya mereka saksikan dan lain sebagainya. Sehingga peran orang tua,
guru, masyarakat di sekitar anak hingga pemerintah sangat dibutuhkan dalam upaya
membimbing, membina serta mengawasi tumbuh kembang anak agar terhindar dari pengaruh
buruk lingkungannya.
Walaupun telah diatur di dalam Undang-Undang tetap masih banyak sekali terjadi
kasus bullying yang terus bertambah setiap harinya. Seperti halnya kasus bullying yang baru
saja terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang menimpa seorang bocah lelaki kelas 5 SD yang
baru berusia 11 tahun berinisial FH. Dalam kasus bullying ini, FH mengalami kekerasan fisik,
seksual dan juga psikologis yang dilakukan oleh teman-temannya yang juga masih di bawah
umur. Perilaku bullying yang terjadi pada FH ini diketahui setelah video berdurasi 50 detik

25 Evita Monica Chrysan, Yiska Marva Rohi, dan Dini Saputri F., Penerapan Sanksi Tindakan Anak yang Melakukan Bullying dalam Perspektif Sistem
Peradilan Pidana Anak, Hukum Magnum Opus, Volume 3, Universitas Airlangga, Surabaya, 2020.
26 Ayunda Pininta Kasih, 20 Maret 2021, 41 Persen Murid Indonesia Alami “Bully”, Siswa SMA Buat Aplikasi Atasi Trauma, Kumparan (online)
https://www.kompas.com/edu/read/2021/03/20/084259871/41-persen-murid-indonesia-alami-bully-siswa-sma-buat-aplikasi-atasi-trauma?page=all.
26

yang direkam oleh para pelaku saat membully FH tersebar ke media sosial. Dalam video
tersebut, terlihat dua orang yang memegangi kaki kucing, kemudian pakaian korban dilucuti
kemudian dipaksa berhubungan badan dengan hewan tersebut. Akibat dari peristiwa tersebut,
korban mengalami depresi berat hingga tidak mau makan, minum dan kondisi fisiknya
menurun. Korban sempat mendapatkan perawatan di rumah sakit namun nyawa korban tak
tertolong. Menurut keterangan yang didapatkan dari Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan
RSUD SMC Kabupaten Tasikmalaya, Adi Widodo, dari hasil pemeriksaan medis, FH mengalami
suspect depresim thypoid, dan peradangan otak. Korban juga mengalami tifus, dan demam
tinggi hingga tak sadarkan diri yang mengakibatkan nyawanya tak tertolong. Hingga kini telah
ditetapkan tiga orang tersangka dalam kasus tersebut setelah dilakukan gelar perkara.
Namun, terhadap ketiganya tidak dilakukan penahanan karena para pelaku masih dibawah
umur. Ketiga pelaku ini dikembalikan kepada orang tuanya setelah dilakukan upaya diversi,
selain itu ancaman hukuman terhadap pelaku yakni di bawah 7 tahun serta para pelaku telah
berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama di masa mendatang27. Pengembalian
ketiga tersangka kepada orang tua masing-masing ini diambil untuk memudahkan
pengawasan dan agar tidak berdampak terhadap psikologis korban.
Dari kasus tersebut, terbukti bahwa betapa kompleks dan rumitnya permasalahan
bullying yang terjadi. Menurut Randall (1997, dalam Randall, 2002)28 yang dimaksud dengan
bullying adalah tindakan agresif yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk
mengakibatkan ketidaknyamanan fisik dan psikologi terhadap orang lain. Pengertian ini
menyoroti faktor-faktor yang memotivasi pengganggu dan memberikan gambaran tentang
jenis-jenis kekerasan di balik perilaku mereka. Ada beberapa bentuk bullying mulai dari
bullying secara fisik, verbal, penyerangan psikologis dan segala jenis tindakan yang mampu
membahayakan dan mengakibatkan korbannya merasa tidak nyaman, dilakukan secara
berulang kali, serta dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan lebih daripada korbannya.
Ditinjau dari bentuknya, terdapat jenis direct bullying yaitu ketika seorang anak dihina,
dipukul, diganggu oleh anak lain, dapat berupa kekerasan fisik maupun non- fisik. Kemudian
selanjutnya yakni indirect bullying yang bersifat tak terlihat langsung oleh mata namun
dampaknya juga buruk bagi korban, seperti bullying yang dilakukan dengan media internet
atau biasa disebut sebagai cyberbullying atau relational bullying29.

27 BBC Indonesia, 24 Juli 2022, Kasus Bullying yang Tewaskan Siswa SD di Tasikmalaya, KPAI Menduga Pelaku Terpapar Konten Pornografi, Kompas.com (Online)
https://regional.kompas.com/read/2022/07/24/060600878/kasus-bullying-yang-tewaskan-siswa-sd-di-tasikmalaya-kpai-menduga-pelaku
28 Nurul Hidayati, Bullying pada Anak: Analisis dan Alternatif Solusi, INSAN, Volume 14, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah, Gresik, 2012
https://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-artikel%205-14-1.pdf
29 Ibid
27

2. Bullying Pada Anak


Anak-anak yang biasa menjadi korban bullying adalah mereka yang dirasa memiliki
perbedaan dengan anak-anak lainnya. Karakteristik eksternal yang biasanya terdapat pada
korban bullying adalah perbedaan fisik yang mencolok, seperti badan yang lebih kecil dari
anak-anak lain seusianya, perbedaan kebudayaan, keyakinan dan lain sebagainya, memiliki
keterbatasan tertentu, keterbelakangan mental atau bahkan memiliki kemampuan dan bakat
istimewa. Kemudian, untuk karakteristik internal yang terdapat pada korban bullying biasanya
adalah mereka yang memiliki self esteem yang rendah, memiliki gangguan kecemasan,
pemalu, pendiam dan tidak memiliki banyak teman. Para pelaku bullying menganggap mereka
sebagai sosok yang lemah, sehingga lebih mudah untuk diganggu. Selain itu, anak-anak yang
cenderung bersikap pasif pada saat dilakukan perundungan adalah sasaran empuk bagi para
pelaku bullying.
Biasanya, para pelaku bullying memiliki kemampuan mengontrol emosi yang rendah,
mereka cenderung meledak-ledak dan mudah terpancing amarah serta seringkali
menunjukkan perilaku bermusuhan walaupun tidak ada anak yang memusuhinya. Para pelaku
bullying adalah mereka yang mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah,
mereka juga memiliki sikap dominasi serta kurang berempati. Berdasarkan penelitian, para
pelaku bullying ini juga biasanya berasal dari keluarga yang kurang memberikan Pendidikan
moral baik terhadap mereka. Kebanyakan, orang tua pelaku bullying kurang memperhatikan
pola asuh yang benar terhadap anak mereka. Seperti tidak memberikan konsekuensi tertentu
apabila anak melakukan kesalahan atau melanggar peraturan, kurang memberikan bimbingan
terhadap makna perilaku yang baik dan tidak baik, serta kurang disiplin dalam mendidik anak.
Pola asuh yang demikian secara tidak langsung memupuk anak agar berperilaku menyimpang
dan melakukan bullying kepada anak lain.

3. Dampak dan Bahaya Bullying


Teman sebaya (peer group) merupakan sesuatu yang melekat dan penting bagi anak.
Namun, terkadang teman sebaya juga dapat mengakibatkan stress tersendiri bagi seorang
anak karena perlakuan tidak baik yang mereka dapatkan dari teman sebayanya. Seperti
perilaku mengolok-olok bentuk fisik tertentu, yang dilakukan oleh teman sebaya terhadap
seorang anak, komentar negatif teman sebaya terhadap kondisi tertentu dan lain sebagainya.
Perilaku yang demikian ini mengakibatkan seorang anak yang awalnya merasa biasa saja dan
tidak terlalu memikirkan kondisi tersebut menjadi stress karena komentar negatif dari teman
sebayanya tersebut. Selain itu, bullying yang melibatkan kekerasan di dalamnya dapat
mengakibatkan trauma mendalam serta luka batin terhadap korban. Perilaku kekerasan dan
28

negative yang terus menerus didapatkan oleh anak, memiliki dampak yang sangat negative,
mulai dari timbulnya depresi, masalah kecemasan, menurunnya prestasi akademik karena
susah berkonsentrasi dan mengingat sesuatu karena terus menerus dihantui perasaan takut
atas perilaku bullying yang telah dan mungkin akan dialaminya. Tak jarang, korban bullying
yang menjadi depresi berat karena parahnya perilaku bullying yang mereka dapatkan. Pada
ujungnya, sang anak dapat mempertimbangkan untuk melakukan upaya bunuh diri agar tidak
lagi mendapatkan perilaku buruk. Seperti kasus yang telah diungkapkan sebelumnya, bocah
lelaki berusia 11 tahun di Tasikmalaya, mengalami depresi berat hingga meninggal dunia
karena mendapatkan perilaku bullying yang tidak manusiawi oleh teman-teman sebayanya.
Walaupun tidak semua kasus bullying dapat berujung fatal, namun apabila
diperhatikan fenomena bullying yang marak terjadi di kalangan anak-anak usia sekolah ini
bagaikan fenomena gunung es yang terlihat kecil di permukaan tetapi terdapat berbagai
macam masalah yang terkadang tidak dapat dideteksi oleh para guru maupun orang tua dan
bahkan hal semacam ini seringkali dianggap sepele oleh orang dewasa. Anak-anak yang
mendapatkan perlakuan bullying mungkin dapat menutupi atas apa yang mereka lalui, karena
takut semakin parahnya bullying yang ia dapat apabila dia melapor kepada orang dewasa atau
guru. Anak-anak seperti ini apabila tidak mendapatkan bimbingan dan penanganan yang baik
tidak menutup kemungkinan bila kelak dia akan tumbuh menjadi pribadi yang terlihat kuat
dan normal tetapi secara psikologis dia adalah sosok yang rentan.
Bullying yang terjadi di masyarakat biasanya melibatkan anak-anak dengan usia
sebaya. Perilaku perundungan atau bullying ini tidak hanya berdampak buruk bagi korban
melainkan juga terhadap pelaku itu sendiri. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA)30, dampak bullying terhadap korban adalah:
a. Menurunnya rasa percaya diri;
b. Muncul perasaan tidak biasa yang mengganggu seperti gangguan kecemasan, frustasi,
kesepian dan merasa dijauhi dalam kehidupan sosialnya;
c. Depresi hingga berpotensi untuk melakukan bunuh diri;
d. Menurunnya rasa kepercayaan kepada orang lain.
Kemudian, dampak bullying yang dapat terjadi pada pelaku sebagaimana yang disampaikan
oleh Kemen PPPA adalah:
a. Hilangnya rasa berempati kepada sesama;
b. Beranggapan bahwa bullying adalah hal yang wajar dilakukan;
c. Berpotensi untuk melakukan tindak kejahatan atau berbuat kriminal;

30KumparanMOM, 7 Agustus 2021, Dampak Bullying bagi Korban dan Pelaku yang Perlu Orang Tua Waspadai, Kumparan
(Online)https://kumparan.com/kumparanmom/dampak-bullying-bagi-korban-dan-pelaku-yang-perlu-orang-tua-waspadai-1wHeDmLtVkD/1
29

d. Merasa diri hebat apabila telah melakukan perundungan.31

4. Dasar Hukum Perlindungan Anak atas Tindak Pidana Bullying.


Tindakan bullying dan semacamnya ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 76 C Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA) yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan menyuruh melakukan,
atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.”
Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap orang atau sekelompok orang tidak diperbolehkan
untuk melakukan Tindakan kekerasan terhadap anak dalam bentuk bullying mengingat
dampak yang ditimbulkan sangatlah buruk.

D. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang Perlindungan Anak


Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus mendapatkan perhatian serta
perlindungan ekstra terutama dalam pemenuhan hak-haknya. Seorang anak harus mendapat
jaminan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya baik secara fisik, psikis, mental
dan social. Berdasarkan Konvensi Hak Anak (KHA) yang dilaksanakan pada tahun 1989,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mewajibkan setiap pemerintah untuk menjamin hak-
hak anak yang dikelompokkan kedalam empat kategori hak dasar yakni:
a. Hak untuk bertahan hidup (Survival rights);
b. Hak untuk tumbuh dan berkembang (development rights);
c. Hak atas perlindungan (protection rights);
d. Dan Hak untuk berpartisipasi (participation rights)32
Indonesia sendiri telah meratifikasi terkait pedoman dari KHA tersebut melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Melalui peraturan tersebut, Indonesia telah mengakui hak-
hak anak tersebut sebagai bagian dari hak asasi manusia, juga telah sepakat untuk
memastikan bahwa seluruh hak-hak anak telah terpenuhi, dihormati dan juga dilindungi.
Untuk mengimplementasikan hal tersebut ke dalam masyarakat, Indonesia telah membentuk
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan anak merupakan segala upaya yang dilakukan dalam melahirkan
keadaan agar setiap anak mendapatkan hak dan melaksanakan kewajiban bagi pertumbuhan

31 Ibid
32Nadia Ayu Febriani, Amalia Diamaninta, Sekar Anggun Gading Pinilih, Tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemenuhan Hak
Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, Diponegoro Law Journal, Vol. 10, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, 2021,hlm.417.
30

serta perkembangan anak secara baik dalam hal fisik, psikis dan social. Usaha untuk
melindungi hak-hak anak telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan
diterapkan dalam berbagai kebijakan sosial lainnya.
Ketentuan Pasal 28 B Ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi”.
Apa yang diatur dalam ketentuan tersebut telah menjelaskan bahwa setiap anak berhak untuk
hidup dengan nyaman tanpa rasa takut dari adanya ancaman kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi dalam bentuk apapun. Selain itu, perlindungan terhadap hak-hak anak juga
terdapat dalam ketentuan Pasal 28 D ayat 1 UUD NRI Tahun1945 yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”.
Walaupun perlindungan terhadap anak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak, nyatanya masih banyak hak-hak anak yang dilanggar dengan menjadi
korban kekerasan, Tindakan eksploitasi, diskriminasi dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
Sehingga diharapkan bahwa tanggung jawab dalam upaya perlindungan anak ini bukan hanya
menjadi peran bagi orang tua, namun juga dibutuhkan Kerjasama dari seluruh elemen
masyarakat dengan cara ikut serta memberikan sosialisasi serta edukasi terkait hak anak dan
peraturan perundang-undangan yang melindungi anak, melaporkan kepada pihak berwenang
apabila terdapat penyimpangan yang terjadi terhadap hak-hak anak, turut melakukan
pemantauan serta pertanggung jawab dalam penyelenggaraan perlindungan anak,
menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang anak, tidak memberikan cap
negatif terhadap korban pelanggaran hak anak dan memberikan kesempatan terhadap anak
agar dapat menyuarakan pendapatnya.

E. Sistem Peradilan Pidana Anak


Berdasarkan ketentuan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, seorang anak yang
belum mencapai usia akil baligh atau 16 tahun yang melakukan suatu tindak pidana tidak
dapat dilakukan pemidanaan dan dikembalikan ke orangtua dengan pertimbangan
memperhatikan faktor psikologis sang anak. Apabila sang anak yang berusia dibawah 16
tahun ini harus dijatuhi pidana maka hakim dapat menjatuhkan pidana maksimum pidana
pokok yang selanjutnya dikurangi sepertiga dari hukuman yang seharusnya. Apabila suatu
kejahatan diperbuat hingga mengakibatkan diancam dengan hukuman mati, maka hakim
31

cukup memberikan hukuman paling lama selama 15 tahun penjara. Ketentuan tersebut
didasarkan pada Pasal 47 KUHP.
Sebelum kenakalan anak bullying ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang pengadilan anak. Kemudian, setelah diterbitkan Undang-Undang Perlindungan Anak
pada tahun 2002, istilah kenakalan anak diubah menjadi Anak yang Berkonflik dengan Hukum
(ABH). Kemudian istilah ABH kini juga terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Seorang anak yang dianggap berhadapan
dengan hukum (ABH) adalah mereka telah melakukan sebuah Tindakan yang dilarang atau
telah diatur dalam Undang-Undang. Terdapat kenakalan anak yang masih dianggap dalam
batas wajar, tetapi juga ada kenakalan anak yang sifatnya membahayakan orang lain hingga
mampu mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Hukum pidana yang ada berfungsi untuk mengatur terkait pertanggungjawaban
seseorang dalam tindakannya karena dalam melakukan suatu Tindakan, seseorang dianggap
sadar dan mengetahui bahwa hal yang Ia perbuat dilarang oleh Undang-Undang. Perilaku
bullying yang dilakukan oleh anak-anak ini termasuk dalam kategori Juvenile Delinquency,
yang berarti anak-anak yang melanggar kaidah hukum yang berlaku secara ringan.33 Menurut
pendapat Alder, beberapa ciri anak yang dapat dikategorikan kedalam Juvenile Delinquency
adalah mereka yang bertindak sehingga mengganggu keamanan lingkungan sekitar,
berperilaku arogan, melakukan intimidasi dan pengeroyokan, dan lain-lain.34 Dalam hal ini,
bullying yang dilakukan oleh anak telah mengandung unsur Juvenile delinquency karena
mereka telah melakukan kekerasan, pemerasan, mengintimidasi, mengancam sehingga
menimbulkan perasaan takut terhadap korbannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, anak
yang melakukan Tindakan bullying hingga berhadapan dengan hukum ini dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan pengenaan pidana pokok berupa
peringatan dari Lembaga pembinaan anak, pidana yang bersyarat seperti diberikan
pembinaan agar anak-anak bermasalah dengan hukum ini memiliki nilai moral yang baik,
melakukan pelayanan terhadap masyarakat atau diberikan pelatihan kerja, kemudian jalan
terakhir yang ditempuh adalah dimasukkan kedalam penjara anak. Yang mana, pemidanaan
yang dijatuhkan terhadap anak ini relative lebih ringan daripada yang diberlakukan terhadap
orang dewasa.

33 Dewa Krisna Prasada, Pengaturan Delik Pidana Terkait Tindakan Bullying Bagi Anak di Bawah Umur, Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan, Volume 4
No.2, Majalah Hindu Times, Denpasar-Bali, 2019.
34 Ibid
32

Menurut pendapat dari Rimm Sylvia35, anak-anak harus mulai belajar tentang
tanggung jawab sejak mereka berusia dua tahun, meskipun orang tua akan sedikit kesulitan
dalam mengajarkan tanggung jawab kepada anak karena hal tersebut merupakan sesuatu
yang baru. Beberapa kebiasaan yang dapat diterapkan untuk memupuk rasa tanggung jawab
pada anak sejak dini dapat dimulai dengan meminta mereka untuk membereskan mainan
setelah digunakan, mencuci tangan sebelum makan,membereskan tempat tidur mereka, dan
bentuk tanggung jawab kecil lainnya. Sikap tanggung jawab pada anak usia dini merupakan
salah satu aspek perkembangan sosial emosional. Pada usia 6 sampai dengan 11 tahun adalah
masa tumbuh kembang anak yang tidak hanya mengalami perkembangan pada segi fisik
melainkan juga perkembangan sosial emosional mereka.36
Memasuki usia 5-6 tahun terdapat beberapa perkembangan sosial emosional yang mencolok
pada anak seperti:
1. Anak mulai mampu berinteraksi dengan teman sebaya maupun orang dewasa dengan
lebih baik. Melalui teman sebayanya anak dapat melakukan interaksi terkait
kemampuan yang mereka miliki dan mulai mampu membedakan mana perilaku yang
baik atau kurang baik menurut mereka.
2. Anak mulai mampu mengembangkan sifat percaya diri yang ada dalam dirinya yang
mana hal ini sangat dipengaruhi oleh dukungan lingkungan sekitarnya seperti orang
tua, guru maupun kerabat. Bentuk sikap percaya diri pada anak usia 5-6 tahun
biasanya meliputi hal-hal seperti berani bertanya kepada orang lain, mampu
menyampaikan pendapat secara sederhana, mampu menentukan keputusan,
menceritakan sesuatu secara sederhana dan mulai muncul rasa mandiri seperti makan,
mandi atau mengenakan pakaiannya sendiri.
3. Anak mampu menunjukkan emosi yang wajar seperti menangis dan tertawa. Anak
yang memiliki permasalahan di dalam rumah biasanya terbawa sampai ke kehidupan
sosialnya di luar rumah.
4. Mampu berperilaku disiplin dan menaati peraturan yang ada.
5. Anak mulai dapat bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat olehnya.37

Pada usia ini, anak sudah banyak mendapat contoh agar mereka dapat bertanggung
jawab terhadap diri mereka sendiri dan terhadap apa yang telah mereka lakukan. Seperti
halnya belajar bertanggung jawab untuk merapikan kasur setelah bangun tidur, merapikan

35 Jihan Salsabila, Studi Tentang Sikap Tanggung Jawab Anak Usia 5-6 Tahun Di TK Fajar Cemerlang Sei Mencirim, Jurnal Golden age, Volume 5 No.2,
Universitas Hamzanwadi, Medan, 2021

36 M. Arif Khoiruddin, Perkembangan Anak Ditinjau Dari Kemampuan Sosial Emosional, Institut Agama Islam Tribakti Kediri, Volume 29 No.2, Kediri, 2018.
37 Ibid
33

mainan setelah digunakan, membersihkan peralatan makan setelah digunakan, mengerjakan


pekerjaan rumah atau PR yang diberikan oleh guru mereka di sekolah, dan meminta maaf
pada orang lain apabila telah melakukan kesalahan. Salah satu perilaku yang juga
mengedukasi anak untuk bertanggung jawab pada anak juga nampak pada saat mereka akan
diberikan sanksi atau hukuman apabila mereka terlambat datang kesekolah. Seperti tidak
boleh memasuki gerbang sekolah apabila bel masuk telah berbunyi, dihukum untuk
membersihkan halaman sekolah, menulis surat permintaan maaf dan lain sebagainya. Hal ini
membuktikan bahwa sebenarnya sejak anak berusia 5 sampai 6 tahun telah belajar apa itu
arti tanggung jawab. Sehingga, pemberian sanksi atau hukuman atas kesalahan yang telah
mereka perbuat bukanlah suatu hal yang asing bagi anak-anak di usia tersebut.

F. Tinjauan Umum Tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian
Republik Indonesia
Dalam menanangani kasus kekerasan atau tindak kriminal yang terjadi pada
perempuan dan juga anak, pihak kepolisian telah membentuk suatu unit khusus dalam
memberikan perlindungan hukum. Hal tersebut sesuai dengan bunyi dari Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Kepolisian Republik Indonesia (Perkap) No. 10 Tahun 2017 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Lingkungan Kepolisian Republik
Indonesia sebagai berikut:
“Unit Pelayanan Perempuan dan Anak selanjutnya disebut Unit PPA adalah Unit yang
bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak
yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya.” 38
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak ini adalah sebuah Unit dalam satuan kepolisian yang
sengaja dibentuk untuk memberikan pelayanan berupa perlindungan terhaadap anak dan
perempuan yang menjadi korban kejahatan maupun anak dan perempuan yang menjadi
pelaku tindak pidana.

38 Rifki Radityo, Peran Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) Polresta Padang Dalam Rangka Perlindungan Terhadap Anak yang Berkonflik
dengan Hukum Berdasarkan Prinsip Restorative Justice, Skripsi tidak diterbitkan, Padang, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2019, hlm. 4.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan laporan skripsi ini adalah
penelitian hukum empiris, yang dilakukan dengan cara menganalisis serta
mengidentifikasi hukum sebagai perilaku nyata (law in action), tidak hanya
berdasarkan kepada peraturan yang ada namun juga mengkombinasikan dengan
pelaksanaannya sesuai kondisi nyata yang ada di masyarakat. Pendekatan hukum ini
dilakukan dengan cara melakukan studi di lapangan untuk mengetahui penerapan
sistem penanganan tindak pidana kekerasan dalam kasus bullying oleh anak-anak,
yang dilakukan unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Batu, serta
memberikan masukan positif sebagai sarana optimalisasi sistem penanganan yang
berjalan saat ini.
2. Metode Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Sosiologis (Sosio Legal
Research). Pendekatan yuridis adalah penelitian yang mengkaji masalah dengan cara
meneliti dari segi ilmu hukum39. Kemudian, pendekatan Sosiologis dalam penelitian ini
adalah sebuah penelitian yang dilakukan berdasarkan kondisi nyata di lapangan atau
masyarakat dengan tujuan untuk menemukan fakta, yang dilanjutkan dengan
menemukan masalah, kemudia menuju pada identifikasi masalah, dan diakhi dengan
penyelesaian masalah.
Dalam penelitian ini, yang dikatakan sebagai pendekatan yuridis adalah pengkajian
terkait aspek-aspek hukum pidana materiil yang berada daalaam ruang lingkup

39 Ronny Hanitjio, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurumetri, Ghlmia Indonesia Jakarta, 1998, hlm 65.

40
41

kejahatan kekerasan, yang dilakukan oleh anak-anak dalam kasus bullying.


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. Kemudian yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis adalah pengkajian
terhadap kondisi faktual yang ada di Polres Batu, mengenai upaya penanganan pelaku
tindak pidana kekerasan (bullying) yang sudah dan akan dilakukan dalam rangka
meminimalisir perilaku bullying pada anak di Kota Batu.
Adapun subjek penelitian ini adalah terkait peran Lembaga kepolisian Kota Batu
serta hukum yang berlaku di Masyarakat. Kemudian objek dari penelitian ini adalah
berhubungan dengan peran Lembaga terkait dalam hal ini unit PPA (Perlindungan
Perempuan dan Anak) Polres Batu dalam menangani kasus bullying yang terjadi. Selain
itu juga terhadap anak-anak, baik itu anak sebagai pelaku atau anak sebagai korban.
3. Alasan Pemilihan Lokasi
Lokasi penelitian skirpsi ini dilakukan di Polres Kota Batu. Alasannya adalah
sesuai dengan hasil prasurvey yang dilakukan oleh penulis lakukan sebelumnya, bahwa
Polres Batu adalah salah satu institusi kepolisian yang menangani kasus tindak pidana
kekerasan (bullying) yang dilakukan oleh anak-anak. Sesuai dengaan judul yang
penulis gunakan. Selain itu, pemilihan lokasi juga untuk lebih menunjang kualitas
penelitian yang didukung dengan data yang lengkap, akurat, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
4. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan permasalahan yang
akan dikaji ddigolongkan kedalam dua jenis yakni:
a. Data Primer:
Data Primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara, yang
diperoleh langsung dari informan di lokasi penelitian. Data primer yang
didapatkan berasal dari lokasi penelitian yakni Polres Batu yang berhubungan
langsung dengan penelitian serta dapat memberikan data yang akurat. Selain
itu, penulis juga memperoleh data primer dari hasil observasi atau pengamatan
terhadap anak-anak yang menjadi pelaku serta korban bullying untuk
mengetahui perilaku anak-anak yang cenderung melakukan serta menjadi
korban bullying agar dapat menemukan akar permasalahan yang ada di
masyarakat.
b. Data Sekunder:
Data sekunder dalam suatu penelitian adalah data yang berhubungan
dengan objek yang dibahas dalam penelitian, dapat bersumber dari literatur,
42

dokumen-dokumen, jurnal, artikel, buku ajar, arsip, laporan dan lain-lain yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian. Data sekunder dalam
penelitian ini diperoleh dari studi kepustakaan, peraturan perundang-
undangan, dan literatur lain berupa buku, jurnal, serta penelitian-penelitian
terdahulu terkaait permasalahan yang dibahas.
Dalam memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini,
penulis memperoleh dari dua sumber data, yakni: Sumber data Primer yang
diperoleh dari hasil wawancara dengan para pihak terkait dalam hal ini pihak
kepolisian, yang mempunyai wewenang dalam penanganan kasus bullying

5. Teknik Mengumpulkan Data


Teknik mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terbagi kedalam dua
jenis, yakni data primer dan data sekunder.

a. Data Primer:
Untuk memeperoleh data sekunder, penulis akan melakukan wawancara
kepada sumber data primer. Wawancara adalah Teknik memperoleh data
dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung kepada informan atau
narasumber melalui suatu proses interaksi atau percakapan. Teknik wawancara
yang dipilih penulis dalam hal ini adalah wawancara bebas yang dilakukan
dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan
penelitian ini. Tanya jawab dilakukan secara sistematis terkait penanganan
kasus bullying oleh anak-anak yang sudah dan akan diterapkan oleh unit PPA
Polres Batu.
b. Data Sekunder:
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan studi
kepustakaan yakni mengumpulkan serta mempelaajari litaratur-literatur yang
berhubungan dengan penelitian sebagai bahan pembanding dan kajian
Pustaka. Studi kepustakaan yang dilakukan penulis dilakukan dengan cara
mengumpulkan artikel jurnal, skripsi atau thesis terdahulu melalui internet,
perpustakaan serta Pusat dokumentasi dan Informasi Hukum (PDIH) Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya.
Selain itu juga, peneliti melakukan studi dokumentasi dengan cara
mengumpulkan data dari dokumen serta arsip-arsip dari pihak terkait dengan
43

cara menyalin, mencatat dan meringkas data yang berhubungan dengan


penelitian.
6. Populasi, Sampel, dan Teknik Mengumpulkan Sampel
a. Populasi:
Populasi adalah sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian,
yang dapat berupa orang, hewan, tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa,
sikap hidup dan sebagainya, yang dapat dijadikan sebagai data pada
penelitian.40 Populasi dalam penelitian ini adalah pihak kepolisian Polres Batu
yang bertugas dalam Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) serta anak-
anak yang masih berusia di bawah 18 tahun.
b. Sampel:
Sampel adalah yang mewakilkan setiap unit atau kelas serta Sebagian
yang terdapat dalam populasi.41 Sampel dalam penelitian ini adalah petugas
kepolisian Polres Batu dalam unit PPA yang pernah menangani kasus bullying
yang dilakukan oleh anak-anak, serta mengamati atau observasi terhadap anak
sebagai pelaku maupun anak sebagai korban.
c. Responden:
Responden merupakan individu yang akan memberikan respons
terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, yang mana data yang
diperoleh di lapangan kemudian diolah untuk selanjutnya ditafsirkan, dianalisis,
disusun, dijabarkan, untuk memperoleh jawaban kesimpulan dari suatu
masalah yang diajukan melalui pemikiran logis serta mendapatkan pemikiran
mengenai suatu permasalahan yang terjadi melalui pemikiran kritis lalu
menemukan suatu jawaban melalui pemikiran yang radikal.
7. Teknik Analisis Data
Metode pengolahan data yang digunakan adalah mengumpulkan data-data
yang diperoleh dari penelitian lapangan, peraturan perundang-undangan, dan buku-
buku serta jurnal yang diolah serta dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif.
Data-data kemudian dilakukan pemisahan sesuai dengan permasalahan sehingga
dapat memperoleh data yang relevan sesuai dengan perumusan masalah yang dikaji.
B. Definisi Operasional
a. Sistem Peradilan Pidana Anak:

40 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Prenada Media, Jakarta, 2004, Hlm 109.
41 Ibid, Hlm. 112
44

Adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang behadapan


dengan hukum, mulai dari tahap penyidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
b. Bullying atau Perundungan:
Adalah segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan
dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau
berkuasa terhadpa orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan
secara terus menerus.
c. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Polri) :
Adalah unit yang bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk
perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan
dan penegakan hukum terhadap pelakunya.
d. Pendidikan Moral:
Adalah usaha nyata dalam membentuk moralitas anak didik menjadi
generasi bangsa yang takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bermoral.
e. Rehabilitasi:
Rehabilitasi adalah pemulihan atau penyembuhan dari keadaan
sekarang kembali kepada keadaan semula.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang
45

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan


atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 297, Tambahan
Lembaran negara nomor 5606.
United Nations Convention on the Rights of the Child Tahun 1989.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979, Nomor 32, Tambahan
Lembaran negara nomor 3143.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012, Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5332.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 95,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4419.

Buku

Wagiati Sutedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak (Edisi Revisi), PT. Revika Aditama,
Bandung, 2017.

Masruchin Ruba’i, dkk, Buku Ajar Hukum Pidana, Media Nusa Creative, Malang, 2015.

Ronny Hanitjio, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurumetri, Ghlmia Indonesia


Jakarta, 1998.

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Prenada Media, Jakarta, 2004.

Artikel dalam Jurnal

Evita Monica Chrysan, Yiska Marva Rohi, dan Dini Saputri F, Penerapan Sanksi Tindakan
Anak yang Melakukan Bullying dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana
Anak, Hukum Magnum Opus, Volume 3, Universitas Airlangga, Surabaya, 2020.

Rika Apriani Minggulina Damanik, Hukum Pertanggungjawaban Pidana Anak Dalam


Batasan Usia: Analisis Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012, Al-Qanun: Jurnal Kajian Sosial dan Hukum Islam, Volume 1, UIN
Sumatera Utara, Medan,
2020.http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/alqanun/article/view/7536/3376
46

Fithri Azni, Pengaruh Bermain Game Online Terhadap Perkembangan Sosial


Emosional Anak, Pendidikan Luar Sekolah, Volume 5, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, 2017.

Evita Monica Chrysan, Yiska Marva Rohi, dan Dini Saputri F., Penerapan Sanksi Tindakan
Anak yang Melakukan Bullying dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana
Anak, Hukum Magnum Opus, Volume 3, Universitas Airlangga, Surabaya, 2020.

Nurul Hidayati, Bullying pada Anak: Analisis dan Alternatif Solusi, INSAN, Volume 14,
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah, Gresik,
2012 https://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-artikel%205-14-1.pdf

Nadia Ayu Febriani, Amalia Diamaninta, Sekar Anggun Gading Pinilih, Tugas Komisi
Perlindungan Anak Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemenuhan Hak
Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Diponegoro Law Journal, Vol. 10, Fakultas Hukum, Universitas
Diponegoro, 2021.

Dewa Krisna Prasada, Pengaturan Delik Pidana Terkait Tindakan Bullying Bagi Anak
di Bawah Umur, Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan, Volume 4 No.2, Majalah
Hindu Times, Denpasar-Bali, 2019.

Jihan Salsabila, Studi Tentang Sikap Tanggung Jawab Anak Usia 5-6 Tahun Di TK
Fajar Cemerlang Sei Mencirim, Jurnal Golden age, Volume 5 No.2, Universitas
Hamzanwadi, Medan, 2021.

M. Arif Khoiruddin, Perkembangan Anak Ditinjau Dari Kemampuan Sosial


Emosional, Institut Agama Islam Tribakti Kediri, Volume 29 No.2, Kediri, 2018.

Rifki Radityo, Peran Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) Polresta
Padang Dalam Rangka Perlindungan Terhadap Anak yang Berkonflik
dengan Hukum Berdasarkan Prinsip Restorative Justice, Skripsi tidak
diterbitkan, Padang, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2019.
47

Skripsi, Tesis, atau Disertasi

MAJID, Akbar Syamsul, Pengaruh Bimbingan Orang Tua Terhadap Perilaku Sosial
Remaja Madya Di Desa Tigajuru Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara,
PhD Thesis, IAIN KUDUS, 2022.

Internet

Reza Pahlevi, 29 Juli 2022, Ini Jumlah Anak-Anak yang Jadi Pelaku Kekerasan di
Indonesia, Databoks. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/29/ini-
jumlah-anak-anak-yang-jadi-pelaku-kekerasan-di-indonesia .

Ayunda Pininta Kasih, 20 Maret 2021, 41 Persen Murid Indonesia Alami “Bully”, Siswa SMA
Buat Aplikasi Atasi Trauma, Kumparan (online)
https://www.kompas.com/edu/read/2021/03/20/084259871/41-persen-murid-
indonesia-alami-bully-siswa-sma-buat-aplikasi-atasi-trauma?page=all.

Hutri Dirga Harmonis, 7 Agustus 2021, Dampak Bullying bagi Korban dan Pelaku yang Perlu
Orang Tua Waspadai, Kumparan (Online)
https://kumparan.com/kumparanmom/dampak-bullying-bagi-korban-dan-pelaku-
yang-perlu-orang-tua-waspadai-1wHeDmLtVkD/1

Mahar Prastiwi, 25 Oktober 2021, Data KPAI: Kasus Perundungan Paling Banyak Terjadi
pada Siswa SD, Kompas (Online)
https://www.kompas.com/edu/read/2021/10/25/112503471/data-kpai-kasus-
perundungan-paling-banyak-terjadi-pada-siswa-sd?page=all

CNN Indonesia, 27 Juli 2022, Kasus Bullying di Tasikmalaya 3 Tersangka Dikembalikan ke


Orang Tua, CNN Indonesia
(Online)https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220727154327-12-826933/kasus-
bullying-di-tasikmalaya-3-tersangka-dikembalikan-ke-orang-tua

Sylvianita Widyawati, 2 September 2022, Kasus Perundungan Siswa SMP di Kota Malang,
Ibu Korban Tidak Mau Damai, Tribun news
(Online)https://suryamalang.tribunnews.com/2022/09/02/kasus-perundungan-siswa-
smp-di-kota-malang-ibu-korban-tidak-mau-damai
48

KumparanMOM, 7 Agustus 2021, Dampak Bullying bagi Korban dan Pelaku yang Perlu Orang
Tua Waspadai, Kumparan (Online) https://kumparan.com/kumparanmom/dampak-
bullying-bagi-korban-dan-pelaku-yang-perlu-orang-tua-waspadai-1wHeDmLtVkD/1

Anda mungkin juga menyukai