Anda di halaman 1dari 56

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG

MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan Rahmatnya yang telah
diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul:
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI
KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN”
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana strata satu pada
Fakultas Hukum Universits Muhammadiyah Jember.
Penulis dalam menulis skripsi telah berusaha dengan segala kemampuan yang ada menyusun
dan menyelesaikan penulisan skripsi ini, akan tetapi karena terbatasnya kemampuan, baik waktu
maupun pengalaman, dengan demikian penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga
penulis dapat mengerti dan mengetahui kekurangan-kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
E. Keranga Konseptual
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penelitian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI


KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN
A. Tinjauan Umum Mengenai Anak Dibawah Umur
B. Tinjauan Umum Mengenai Pencabulan
C. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap tindak pidana kriminal disamping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban
dapat berupa pelaku kriminal, maupun korban yang timbul akibat dari tindak pidana yang
dilakukan oleh pihak lain. Korban tindak pidana merupakan pihak yang menderita dalam suatu
peristiwa pidana. Begitu juga dengan korban pencabulan yang menderita akibat tindakan pidana
yang dialaminya. Oleh sebab itu perlu kiranya diketahui sejauh mana korban telah memperoleh
perlindungan hukum sebagaimana yang diharapkan.
Perlindungan korban tindak pidana dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh
jaminan hukum atas penderitaan atau kerugian pihak yang telah menjadi korban tindak pidana.1[1]
Segala sesuatu yang dapat meringankan penderitaan yang dialami seseorang akibat menjadi korban
itulah yang dimaksud dengan perlindungan korban. Upaya untuk meringankan penderitaan
tersebut dapat dilakukan dengan cara menegurangi penderitaan fisik dan penderitaan mental
korban.
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohanian sebagai akibat dari tindakan
nya sendiri maupun tindakan dari pihaka lain, yang ingin mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri atau pihak lain yang bertentangan dengan hak asasi yang dirugikan.2[2] Korban dapat
berupa perorangan maupun kelompok, korban dapat juga berupa suatu badan hukum.ketika suatu
peristiwa terjadi, aturan hukum seringkali memfokuskan diri untuk menghukum pelaku kejahatan
sehingga seringkali korban dari kejahatan tersebut terabaikan. Padahal korban juga patut untuk
diperhatikan karna pada dasarnya korban merupakan pihak yang cukup dirugikan dalam suatu
tindak pidana.
Dampak kejahatan menimbulkan korban dan kerugian. Kerugian yang timbul itu bisa diderita
oleh korban sendiri, maupun oleh pihak lain secara tidak langsung.3[3] Yang terakhir ini bisa
tergantung pada sanak saudara ataupun orang-orang lain yang menggantungkan hidupnya
langsung.
Begitu pula dengan kejahatan pencabulan yang dinilai dapat merendahkan derajat kaum
wanita serta merusak harkat dan martabatnya. Padahal wanita aadalah ibu dari umat manusia,
karna dari Rahim wanitalah anak manusia dilahirkan.
Di KUHP Indonesia, kejahatan dalam bentuk pencabulan ini diatur dalam pasal 289 KUHP.
Pasal ini diatur dalam BUKU II BAB XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Adapun pasal
289 KUHP menyatakan sebagai berikut: ‘’Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
Kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan
hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun.
Persepsi terhadap kata “cabul” tidak dimuat dalam KUHP. Kamus Besar Bahasa Indonesia
memuat artinya “Keji, kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)”
Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang terpaksa berkontak dengan sistem
peradilan pidana karena:
1. Disangka, dinyatakan atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum.
2. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran yang dilakukan orang/kelompok terhadapnya,
atau
3. Telah melihat, mendengar, merasakan atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.
Hakikat kejahatan seharusnya dilihat sebgai sesuatu yang merugikan korban, karena itu
pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar harus pula memperhatikan kepentingan si korban dalam
bentuk pemulihan kerugian yang dideritanya. Kerugian yang harus dipulihkan tersebut, tidak saja
kerugian fisik tetapi juga kerugian non fisik.
Untuk memperhatikan kepentingan korban pencabulan dalam penjatuhan pidana, bukan
sekedar untuk memenuhi hak korban, bukan pula sekedar pertimbangan akal karna logika
mengatakan demikian, tetapi jauh lebih dari itu adalah juga kepentingan korban tersebut.
Upaya perlindungan hukum terhadap korban pencabulan menyangkut kebijakan atau politik
hukum pidana yang ingin diterapkan , yaitu bagaimana membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan pidna yang baik.4[4] Pada akhirnya upaya perlindungan dan
penanggulangan korban darin kejahatan dapat tercapai. Pengertian kebijakan hukum pidana dapat
dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal.5[5]
Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang
baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat itu,6[6] serta kebijakan dari Negara melalui
badan-badan yang berwenang yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.7[7] Usaha untuk
mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dan yang dapat mengekspresikan apa-apa yang
terkandung dalam masyarakat demi tercapainya suatu perindungan hukum terhadap korban
perkosaan tidak terlepas dari faktor hukumnya.
Dalam hukum fositif, undang-undang yang mengatur masalah perlindungan saksi dan korban
adalah Undang-undang Nomor 13 tentang Perlindungan terhadap Korban saksi dan korban.
Namun, undang-undang tersebut tidak secara keseluruhan membicarakan masalah bentuk-bentuk
perlindungan korban sehingga harus dicari beberapa aturan lain dalam hukum positif yang
medukung adanya bentuk perlindungan korban secara kongkrit. Diantaranya Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Hak Asasi Manusia serta beberapa aturan lainnya.
Dalam beberapa aturan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa
macam bentuk perlindungan korban diantaranya restitusi, kompensasi, konseling dan rehabilitasi.
Upaya perlindungan korban sebenarnya sangat penting. Karena di samping dapat mengurangi
penderitaan korban atas tindak pidana yang dialaminya, juga dapat mencegah terjadinya korban
yang berkelanjutan, sehingga hal ini dapat mengurangi tingkat kriminalitas.
Secara filosofis bahwa anak merupakan masa depan bangsa, dan sebagai generasi penerus
perjuangan, seorang anak yang bermasalah berarti menjadi masalah bangsa, oleh karena itu
kepentingan yang terbaik bagi anak menjadi kepentingan yang harus diutamakan dalam menangani
anak yang bermasalah atau yang berkonflik dalam hukum. Anak sebagai generasi muda
merupakan upaya menyiapkan dan mewujudkan masa depan bangsa dan Negara, namun apabila
anak kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan terdekatnya maka mudah baginya untuk
melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma hukum yang berlaku di masyarakat. Dan
perbuatan sebatas kenakalan remaja hingga akhirnya menjurus pada perbuatan kriminal yang
membutuhkan penanganan secara serius khususnya perlindungan hak-hak anak dalam proses
peradilan pidana.
Dalam rangka kehidupan bermasyarakat setiap orang tidak dapat melepaskan diri dari
hubungan timbal balik dan kepentingan yang sangat terkait antara yang satu dengan yang lain nya
yang dapat ditinjau dari berbagai segi, misalnya segi agama, social budaya, politik dan Termasuk
pulasegi hukum. Ditinjau dari kemajemukan kepentingan seringkali menimbulkn konflik
kepentingan yang pada akhirnya melahirkan apa yang dinamakan tindak pidana. Untuk melindungi
kepentingan-kepentingan tersebut , maka dibuat suatu aturan atau norma hukum yang wajib ditaati.
Terhadap orang yang melanggar aturan ukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain akan
diambil tindakan berupa ganti kerugian atau denda, sedangkan bagi seseorang ang telah melakukan
tindak pidana akan dijatuhi sanski pidana berupa hukuman badan, baik penjara, kurungan atau
denda.
Sebagaimana undang-undang pada umumnya, Undang-undang perlindungan anak diperlukan
guna memberikan jaminan atau kepastian hukum dalam perlindungan terhadap hak-hak anak,
mengingat :
1. Anak sebagai amanat dan karunia Tuhan yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya.
2. Anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan
3. mempunyai ciri dan sifat khusus untuk diharapkan dapat dapat menjamin kelangsungan eksistensi
bangsa dan Negara dimasa depan
4. Anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,
baik secara fisik, mental, maupun social dan mempunyai akhlak yang mulia.
5. Pada kenyataannya masih terdapat banyak anak yang:
a. Belum terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi
b. Masih hidup terlantar dan tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang wajar,
apalagi memadai
Selain itu undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) juga diperlukan untuk menegaskan adanya
kewajiban bagi Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orangtua dan anak, mengingat:
1. Kewajiban memberikan perlindungan anak walaupun sudah disadari merupakan kewajiban
bersama, namun perlu diberikan landasan hukum secara khusus disamping yang sudah
dicantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945 atau dalam berbagai peraturan Perundang-undangan
yang lain, agar dapat menjamin pelaksanaanya secara konprehensif dan tepat penanganan serta
sesame yang harus dilakukan oleh Negara, pemerintah, masyarakat keluarga dan orangtua anak.
2. Perlu adanya keseimbangan antara perlindungan hak anak dan pemberian kewajiban bagi anak
dalam kapasitas mendidik anak. Oleh karena itu disamping dilindungi hak-haknya, agar tidak
menjadi salah asuh, salah arah maka perlu ditunjukkan juga kewajiban yang perlu dilaksanakan
oleh anak.

Seluruh Negara eropa memiliki perarutan perundang-undangan tentang juvenile justice yang
secara umum mendasarkan pada pendekatan kesejahteraan (welfare approach). Dengan
pendekatan ini, para pelanggar usia anak sebisa mungkin dijauhkan dari proses penghukuman oleh
sistem peradilan pidana serta segala tindakan yang akan diambil oleh Negara dengan pelanggaran
yang dilakukan oleh anak tersebut sedapat mungkin mengedepankan kepentingan terbaik bagi
anak.
Terdapat lima macam pedekatan yang bisa digunakan dalam menangani pelaku pelanggaran
hukum usia anak, yaitu:
1. Pendekatan yang murni yang mengedepankan kesejahteraan anak
2. Pendekataan kesejahteraan dengan intervensi hukum
3. Pendekatan dengan menggunakan atau berpatokan pada sistem peradilan semata
4. Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman dan
5. Pendekatan penghukuman yang murni bersifat retributive
Adanya kelima bentuk pendekatan tersebut, tidak terlepas dari pertentangan antara dua pendekatan
dominan dalam menangani juvenile delinquency, yaitu pendekatan kesejahteraan dan pendekatan
keadilan, dan juga mencerminkan perubahan atau dinamika pemikiran masyarakat dalam
memberikan respon terhadap pelaku pelanggaran usia anak. Jika pendekatan kesejahteraan
mempresentasikan keinginan pengadilan untuk mendiagnosa masalah utama yang melibatkan
anak-anak sebagai pelaku pelanggaran dan memperlakukan anak tersebut seperti mengobati anak,
pendekatan keadilan mempresentasikan perhatian tradisional dari hukum yang bertujuan
menghukum pelaku pelanggaran menujut derajat atau keseriusan atas akibat yang ditimbulkannya.
Pembangunan dibidang hukum merupakan masalah mendesak yang perlu ditindaklanjuti,
mengingat itu konfleknya permasalahan-permasalahan hukum termasuk maraknya
kejahatan/kriminalitas yang terus terjadi seiring dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan
dan Teknologi. Pemerintah Indonesia melalui badan dan atau instansi-instansi beserta aparatur
penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan serta lembaga Pemasyarakatan)
diharapkam mampu melaksanakan upaya penegakan ukum yang nyata dan dapat dipertangung
jawabkan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku agar tatanan kehidupan masyarakat dan
berbangsa yang aman dan tertib dapat dicapai semaksimal mungkin. Upaya bukanlah upaya hukum
sederhana dan cepat seperti yang dibayangkan, kana didalamnya terkait begitu banyak factor yang
empengaruhinya.

Masalah pokok terkait dengan penegakan hukum sebenarnya terletak pada factor-faktor yang
mempengaruhinya . Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Faktor hukumnya sendiri
2. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang mau membentuk maupun yang menerapkan
hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
5. Factor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia
didalam pergaulan hidup
Minimnya maupun media elektronik banyak pemberitaan mengenai kesusilaan yang
dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia
Menurut undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang
dimaksud dengan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Undang-undang memberikan
perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan
peradilan yang terdapat dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada pasal 3:
1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
2. Rasa aman;
3. Keadilan;
4. Tidak diskriminatif; dan
5. Kepastian hukum.
Konvensi hak anak juga memberikan jaminan perlindungan (Khusus) terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum.hal ini terkandung dalam 37 mengenai penyiksaaan dan perampasan
kebebasan.secara ringkas menyangut “Larangan terhadap penyiksaan, perlakuan atau hukuman
yang yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau
perampasan kebebasan. Prinsip-prinsip penanganan yang tepat, pemisahan dari tahanan dewasa,
hubungan dengan keluarga dan akses terhadap bantuan hukum serta bantuan lainnya,”
Berdasarkan hal tersebut diatas, bila dikaitkan dengan beberapa peraturan perundang-
undangan yang telah penulis uraikan sebelumnya, maka anak-anak yang yang berhadapan dengan
hukum baik sebagau korban maupun sebagai pelaku wajib dilindungi hak-haknya oleh
pemerintahan dan tidak boleh ada diskriminasi. Seorang anak yang menjadi korban tindak pidana
berhak untuk mendapat rehabilitasi dari pemerintah baik secara fisik maupn secara mental spiritual
dan sosial, selain itu privasinya baik untuk dilindungi, nama baiknya dijaga dan dipelihara,
keselamatannya juga sebagai saksi korban menjadi tanggung jawab pemerintah dan perkara yang
dihadapinya, begitu pula sebaliknya terhadap seorang anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
Terhadap anak yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak yang perlu ditangani dengan seksama melalui sistem peradilan pidana anak.
Sistem yang dimaksud adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu
saling mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas 8[8], yang terdiri
dari:
a. Substansi Hukum (Legal Subtance) berkenaan dengan isi/atau materi hukum yang mengatur
tentang peradilan anak.
b. Struktur Hukum (Legal Structure) menyangkut badan/lembaga yang menangani peradilan anak,
yang terdiri dari : Badan Peradilan,Kejaksaan,Kepolisian, Lembaga Pemasyarakatan, Penasehat
Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, Lembaga Sosial Masyarakat, dll.
c. Budaya Hukum (Legal Culture) berkaitan dengan resepsi dan aspirasi masyarakat tentang hukum
yang sangat ditentukan oleh tata nilai, keyakinan, atau sistem sosial, politik dan ekonomi yang
hidup dalam masyarakat.
Sistem peradilan anak itu sendiri sebenarnya sudah baik, namun baikburuknya sebuah sistem
tetaplah terpulang karena kemauan dan kemampuan para pelaksananya untuk mengutamakan
kepentingan dan perlindungan serta memberikan yang terbaik kepada anak yang berhadapan
dengan hukum (the best interest of the Children). Salah satu instusi pemerintahan yang relative
banyak berhadapan langsung dengan anak-anak yang berhadapan dengan hukum atau instusi
pengadilan, hal ini karena kasus-kasus pidana yang dihadapi anak muaranya akan diselesaikan di
Pemgadilan. Pada saat penyelesaian kasus dipengadilan inilah anak yang menjadi korban tindak
pidana dan pelakunya berinteraksi dengan hakim baik secara langsung maupuntidak langsung.
Selama proses peradilan tersebut hakim di Pengadilan mempunyai kewajiban untuk melindungi
anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak sebagai pelaku tindak pidana.
Dalam undang-undang Pengadilan Anak, telah ditentukan pembedaan perlakuan didalam hukum
acaranya, dari mulai saat penyidikan hingga proses pemeriksaan perkara anak pada siding
Pengadilan Anak. Pembedaan ancaman pidana bagi anak ditentukan oleh KUHP, yang penjatuhan
pidananya ditentukan paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana terhadap orang
dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak dberlakukan
terhadap anak.
Terkait dengan penjatuhan hukuman, bagi anak yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhkan
pidana pokok (Pidana pokok, pidana kurungan, pidana denda, atau pidana pengawasan) dan pidana
tambahan (perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran gantu rugi (Pasal 23, UUPA) dan
tindakan yang dapat dijatuhkan adalah:
a. Mengembalikan kepada orangtua, wali, orangtua asuh,
b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, dan
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan, yang bergerak
dibidang Pendidikan, Pembinaan, dan Latihan Kerja (Pasal 24).
Didalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya telah diatur
ketentuan mengenai sanski pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dengan kekerasan,
namun pada kenyataannya kejahatan ini masih saja terjadi di banyak tempat dan tersembunyi
dalam kehidupan masyarakat. Tidak jarang kasus tersebut memang lolos dari jeratan hukum yang
berlaku. Bahkan ada yang berhenti sampai pada tingkat pemeriksaan oleh kepolisian maupun
kejaksaan sehingga tidak sampai di proses pengadilan. Untuk mewujudkan keberhasilan
penegakan hukum dalam memberatas maraknya kasus pencabulan dengan kekerasan sangat
diperlukan pemantapan koordinasi kerjasama yang serius baik dari aparat kepolisian, aparat
kejaksaan maupun hakim-hakim di pengadilan. Putusan hakim memeriksa kasus pencabulan
dengan kekerasan diberbagai pengadilan berfariasi. Bahkan ada kasus pencabulan dengan
kekerasan yang hanya di vonis main-main dengan hukuman penjara enam bulan. Hal ini dapat
dibenarkan karena dalam batas-batas maksimum dan minimum (satu hari sampai duabelas tahun)
tersebut hakim bebas untuk bergerak untuk mendapatkan pidana yang tepat.
Dalam menyelenggarakan system penyelenggara hukum pidana (Criminal Justice sistem)
maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena putusan didalam
pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, lebih-lebih kalo putusan pidana tersebut
dianggap tidak tepat, maka akan menimbulkan reaksi yang “Kontroversial” sebab kebenaran
dalam hal ini sifatnya adalah relatif tergantung darimana kita memandangnya.
Persoalan pidana ini sangat kompleks dan mengandung makna yang sangat mendalam,
baik yuridis maupun sosiologis. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan
orang pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (Natuurlijke personen)
Perbuatan orang tersebut adalah titik penghubung dan dasar pemberian pidana. Dipidananya
seorang tidaklah cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan bertentangan dengan
hukum atau bersifat melawan hukum, namun untuk adanya pemidanaan diperlukan syarat bahwa
orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.
Pada dasarnya seseorang telah melakukan suatu tindak pidana dapat dikenakan sanski apabila
unsur-untur tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana harus
dipenuhi antara lain adalah suatu perbuatan memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat
melawan hukum dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dianggap mampu
bertanggung jawab. Tindak pidana pencabulan dengan kekerasan diancam dengan pasal 289
KUHP memutuskan “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan kesusilaan, dengan
pidana paling lama dua belas tahun” berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA
PENCABULAN (ANALISIS No.757/PID.B/2013/PN.Bks.)

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian tersebut maka masalahnya dapat di
identifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kejahatan tindak pidana pencabulan?
2. Bagaimana pembuktian dan penerapan hukum terhadap tindak pidana pencabulan yang dilakukan
oleh anak?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
:
a. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi anak sebagi korban tindak pidana kejahatan tindak
pidana pencabulan.
b. Untuk mengetahui pembuktian dan penerapan hukum terhadap korban korban tindak pidana
pencabulan yang dilakukan oleh anak.n
/
D. Manfaat Penelitian
a. Bagi Peneliti
Guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi Sarjana Strata I (S-1) Ilmu
Hukum pada Universitas Mpu Tantular sekaligus untuk menambah dan memperdalam ilmu
pengetahuan Hukum Pidana khususnya tentang pertimbangan hakim yang memuat sanksi pidana
terhadap pelaku tindak pidana pencabulan.
b. Bagi Akademik
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan di bidang ilmu hukum pidana khususnya mengenai
putusan hakim yang memutus pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
tindak pidana pencabulan sebagai kajian hukum pidana, serta diharapkan pula penelitian ini dapat
menjadi wacana/referensi sebagi sumbangan pemikiran bagi para civitas akademika Universitas
Mpu Tantular

E. Kerangka Konseptual
Tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur merupakan pelanggaran atas kesusilaan
dan norma agama dimana Tindak pidana pencabulan dengan kekerasan merupakan salah satu
bentuk kejahatan yang sangat mengganggu keamanan dan ketertiban hidup masyarakat. Untuk
memberantas kejahatan ini pemerintah Indonesia melakukan upaya penegakan hukum melalui
tahap-tahap pemeriksaan perkara yang dilakukan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Pemeriksaan perkara tindak pidana kesusilaan dengan kekerasan pada tingkat pertama yang
dilakukan kepolisian (Penyidik) setelah Berita Acara Pemeriksaan pelaku tindak pidana kesusilaan
dengan kekerasan tersebut lengkap kemudian dilimpahkan kepada kejaksaan (Selaku penuntut
umum yang berwenang mengajukan dakwaan dan penuntutan) untuk selanjutnya di proses di
pengadilan.

Menurut Moelyanto
“Perbuatan pidana” sebagimana yang dijelaskan dalam bukunya Azaz-azaz hukum pidana
menyamakan antara perbuatan pidana dengan istilah inggris “Criminal Act” Penyamaan ini akibat,
atau dengan lain perkataan akibat yang dilarang oleh hukum. Kedua, karena juga dipisahkan dari
pertanggungjawaban pidana yang dinamakan liabity atau responsibility.
Pelanggaran pidana adalah istilah yang digunakan oleh H. Tirto Amidjaja dalam
bukunya yang berjudul “Pokok pokok hukum pidana “

Menurut Van Bemmelem


Kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tindak susila yang merugikan yang menimbulkan
begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu. Sehingga masyarakat itu berhak
mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestafa dengan sengaja
diberikan karena kelakuan tersebut
Paul Separovic menyatakan bahwa ada 3 faktor yang menyebabkan seseorag untuk menjadi
korban.
1. Factor personal, termasuk keadaan biologis ( Umur, Jenis Kelamin dan Keadaan Mental )
2. Factor social, misalnya imigran, minoritas, pekerjaan, perilaku jahat, dan hubungan antar pribadi
3. Factor situasional misalnya situasi Konflik, tempat dan waktu
Menurut Moch. Anwar
Memaksa bersetubuh dengan dia yakni dengan menggunakan paksaan terhadap seseorang
bersetubuh dengan dia diluar perkawinan merupakan perbuatan menurut pasal 286 KUHP.

F. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan digunakan beberapa metode yang digunakan untuk mendapatkan
hasil yang subyektif mungkin. Untuk mendapatkan hasil penelitian tersebut diperlukan informasi
yang akurat yang mendukung. Sehubungan degan hak tersebut, metode yng digunakan dalam
penelitian adalah sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan melakukan
inventarisasi hukum positif.
Metode penelitian ini akan menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagai pedoman pembahasan masalah, juga dikaitkan dengan masalah yang ada dalam praktek
dan aspek-aspek social yang berpengaruh dimana ketentuan-ketentuan hukumnya merupakan ide
dasar dari perlindungan terhadap korban tindak pidna pencabulan, serta melihat upaya-upaya yang
dapat dilakukan oleh korban tindak pidana pencabulan untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Secara dedukatif penelitian ini dimulai dengan menganalisis data sekunder dibidang hukum dapat
dibedakan sebagi berikut.

a. Bahan Hukum Primer


Yaitu bahan hukum yang mengikat, misalnya Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23
Tahun 2002, Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
permasalahan yang dikaji.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan-bahan hukum primer yang dapat
menunjang penulis skripsi ini dapat membantu melengkapi bahan hukum primer, misalnya tulisan
ara ahli dan hasil para ilmuwan yang berbentuk makalah atau karya ilmiah.
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, misalnya Majalah, Koran, Internet dan Media-media lainnya.

2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan dan
menganalisis permasalahan berdasarkan peraturan Perundang-undangan.

3. Tahap Penelitian
Adapun tahap-tahap penelitian dilakukan dengan menghimpun data sekunder yang berupa:
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, misalnya KUHP, KUHAP, UU
NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Bahan Sekunder adalah tulisan para ahli dan hasil karya para ilmuwan yang berbentuk makalah
atau karya tulis dan,
c. Bahan Tersier yaitu Majalah, Koran dan Media-media lainnya yang relavan dengan permalahan
yang diteliti.

4. Teknik Pengumpulan Data


Sesuai dengan tahap-tahap penelitian di atas, teknik pengumpulan data dilakukan dengan
penelitian ke perpustakaan untuk mendapatkan data sekunder dan studi dokumen baik melalui
media cetak maupun media elektronik.

5. Metode Analisis
Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan metode analisis
normatif kualitatif. Normatif berarti bawha data dianalisis berdasarkan peraturan-peraturan yang
relavan sebagi hukum positif. Sedangkan kualitatif yaitu merupakan analisis data tanpa
mempergunakan rumus dan angka.

6. Studi Lapangan (Field Research)


Yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung pada objek penelitian dalamhal ini adalah
Pengadilan Negri Bekasi, gunanya adalah untuk mendapatkan data dan keterangan secara langsung
yaitu dengan menganalisa Berkas Perkara secara langsung serta mencatat data-data yang
berhubungan dengan penelitian skripsi ini

BAB II
A. Tinjauan Umum Mengenai Anak Dibawah Umur
1. Pengertian Anak Dibawah Umur
Anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan yang maha esa yang dalam dirinya melekat harkat
dan martabat sebagai manusia seutuhnya9[9]. Anak merupakan makhluk sosial ini sama dengan
orang dewasa. Anak tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya orang lain, Karena
anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai
taraf kemanusiaan yang normal.
Anak harus kita jaga dan lindungi, dikarenakan :
a. Anak mempunyai suatu sifat dan ciri khusus
b. Anak adalah sebagau potensi tumbuh kembang bangsa dimasa depan.
c. Anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari perlakuan salah dai orang lain.
Anak merupakan tunas sumber potensi dan generasi muda penerus perjuangan cita-cita
bangsa dimasa yang akan datang nantinya, oleh karena itu harus kita jaga dan lindungi dari
perbuatan buruk ataupun sebagai korban daripada perbuatan buruk seseorang.

BAB II
A. Tinjauan Umum Mengenai Anak Dibawah Umur
1. Pengertian Anak Dibawah Umur
Anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan yang maha esa yang dalam dirinya melekat harkat
dan martabat sebagai manusia seutuhnya10[9]. Anak merupakan makhluk sosial ini sama dengan
orang dewasa. Anak tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya orang lain, Karena
anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai
taraf kemanusiaan yang normal.
Anak harus kita jaga dan lindungi, dikarenakan :
a. Anak mempunyai suatu sifat dan ciri khusus
b. Anak adalah sebagau potensi tumbuh kembang bangsa dimasa depan.
c. Anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari perlakuan salah dai orang lain.
Anak merupakan tunas sumber potensi dan generasi muda penerus perjuangan cita-cita bangsa
dimasa yang akan datang nantinya, oleh karena itu harus kita jaga dan lindungi dari perbuatan
buruk ataupun sebagai korban daripada perbuatan buruk seseorang.
2. Kategori Batasan Anak Dibawah Umur
Untuk mengetahui apakah seseorang itu termasuk anak-anak atau bukan, tentu harus ada batasan
yang mengaturnya, dalam hal ini beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah
mengatur tentang usia anak yang dikategorikan sebagai anak yang antara lain sebagai berikut.
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Di dalam kitab undang-undang hukum pidana yang dikategorikan sebagai anak terdapat dalam
pasal 287 ayat (1) KUHP yang pada intinya usia yang dikategorikan sebagai anak adalah seseorang
yang belum mencapai 15 tahun.
b. Kitab Undang-undang hukum Perdata (KUHPer)
Didalam undang-undang Hukum Perdata yang dikategorikan usia seorang anak ialah seseorang
yang belum dewasa seperti yang tertuang pada pasal 330 KUHPerdata.
c. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak.
Didalam undang-undang ini pada pasal 1 ayat (2) menyebutkan “anak adalah seseorang yang
belum mencapai batas usia 21 (Dua Puluh Satu) tahun dan belum pernah kawin11[10]. Dalam
pasal tersebut dapat diperhatikan bahwa yang dikategorikan sebagai anak adalah dibawah usia dua
pulus satu tahun dan belum pernah kawin.
d. Undang-undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Di dalam undang-undang ini, yang dikategorikan sebagai anak terdapat dalam pasal 1 ayat (1)
yang menyebutkan “anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur
8 tahun (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (Delapan Belas tahun) dan belum pernah
kawin12[11]. Dari penjelasan pasal tersebut dapat diperhatikan bahwa yang dikatakan sebagai
anak adalah seseorang yang berumur dari delapan tahun sampai delapa belas tahun.
e. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Di dalam Undang-undang ini yang dikategorikan sebagai anak tertuang pada pasal 1 ayat 1 (5)
yang menyebutkan “anak sebagai manusia yang berusia dibawah 18 tahun (Delapan Belas) Tahun
dn belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demo
kepentingan nya13[12]. Menurut pasal ini yang dikategorikan sebagai anak ialah mulai dalam
kandungan sampai usia delapan belas tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan14[13].
Menurut pasal tersebut diatas bahwa yang dikategorikan sebagai anak ialah seorang yang berusia
dibawah delapan belas tahun sampai dalam kandungan sekalipun masih dapat dikategorikan
sebagai anak.
f. Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pada pasal 1 ayat (4) yang menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (Delapan
Belas) tahun15[14]. Berarti kategori dikatakan usia seorang anak menurut pasal ini adalah belum
berusia delapan belas tahun.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak seragam dalam menentukan
bagaimanakah dapat dikatakan sebagai anak, akan tetapi setiap perbedaan pemahaman tersebut,
tergantung situasi dan kondisi dalam pandangan yang mana yang dipersoalkan nanti.

B. Tinjauan Umum Mengenai Pencabulan


1. Pengertian Pencabulan
Di dalam Pasal 289 KUHP yang dimaksud dengan pencabulan adalah Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan
hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun
hal pengertian pencabulan, para pendapat ahli dalam mendefinisikan tentang pencabulan berbeda-
beda seperti yang dikemukakan Soetandyo Wignjosoebroto, “pencabulan adalah suatu usaha
melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara
menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar” dari pendapat tersebut, berarti
pencabulan tersebut di satu pihak merupakan suatu tindakan atau perbuatan seorang laki-laki yang
melampiaskan nafsu seksualnya oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang dimana
perbuatan tersebut tidak bemoral dan dilarang menurut hukum yang berlaku. R. Sughandhi dalam
asumsi mengatakan tentang percabulan ialah:
”Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk persetubuhan
dengan nya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk
kedalam lubang seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air man16[15]i.”
Dari pendapat R. Sughandhi di atas, bahwa pencabulan tersebut adalah seorang pria yang
melakukan upaya pemaksaan dan ancaman serta kekerasan persetubuhan terhadap seorang wanita
yang bukan istrinya dan dari persetubuhan tersebut mengakibatkan keluarnya air mani seorang
pria. Jadi unsurnya tidak hanya kekerasan dan persetubuhan akan tetapi ada unsur ain yaitu unsur
keluarnya air mani, yang artinya seorang pria tersebut telah menyelesaikan perbuatannya hingga
selesai, sehingga apabila seseorang pria tidak mengeluarkan air mani maka tidak dapat
dikategorikan sebagi pencabulan.
Asumsi yang tidak sependapat dalam hal mendefinisikan pencabulan tidak memperhitungan
perlu atau tidaknya unsur mengenai keluarnya air mani seperti yang dikemukakan oleh PAF
Lamintang dan Djisman Samosir yang berpendapat “Pencabulan adalah perbuatan seseorang yang
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan
persetubuhan diluar perkawinan dengan dirinya17[16]”
Dari pendapat tersebut, ini membuktikan bahwa dengan adanya kekerasan dan ancaman
kekerasan dengan cara dibunuh, dilukai, ataupun dirampas hak asasinya yang lain merupakan
suatu bagian untuk mempermudah dilakukan nya suatu pencabulan. Menurut Arif Gosita,
pencabulan dapat dirumuskan dari beberapa bentuk perilaku yang antara laim sebagai berikut :
a. Korban pencabulan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek). Sedangkan ada juga seorang
laki-laki yang dicabuli oleh seorang wanita.
b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari
pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.
c. Pencabulan diluar ikatan pernikahan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataannya ada pula
persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan
penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu
kejahatan oleh karena tidak dirumuskan trlebih dahulu oleh pembuat undang-undang sebagai suatu
kejahatan18[17].
Dari perumusan diatas menunjukkan bahwa posisi perempuan ditempatkan sebagai obyek dari
suatu kekerasan seksual (pencabulan) karena perempuan identik dengan lemah, dan laki-laki
sebagai pelaku dikenal dengan kekuatan nya sangat kuat dan yang dapat melakukan pemaksaan
persetubuhan dengan cara apapun yang mereka kehendaki meskipun dengan cara kekerasan atau
ancaman kekerasan. Fungsi dari kekerasan tersebut dalam hubungan nya dengan tindak pidana
adalah sebagai berikut:
a. Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan. Kekerasan disini memerlukan syarat
akibat ketidakberdayaan korban. Ada casual verband antara kekerasan dan ketidakberdayaan
korban. Contohnya kekerasan pada pencabulan yang digunakan sebagai cara dari memaksa
bersetubuh juga pada pemerasan (Pasal 368) yang mengakibatkan korban tidak berdaya, dengan
ketidakberdayaan itulah yang menyebabkan korban dengan terpaksa menyerahkan benda,
membuat utang atau menghapuskan piutang.
b. Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana bukan merupakan cara
melakukan perbuatan. Contohnya kekerasan pada pasal 211 atau 21219[18].
Sedangkan ancaman kekerasan mempunyai aspek yang penting dalam pencabulan yang
anatara lain sebagai berikut.
a. Aspek obyekif, ialah (a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa perbuatan persiapan
dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukan nya perbuatan
yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna.
b. Menyebabkan orang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut,
rasa cemas (aspek subyektif yang di objektifkan).
Aspek subyektif ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa
jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka
kekerasan itu benar-benar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam ancaan
kekerasan sebab jika kepercayaan itu tidak timbul pada diri korban, tidak mungkin korban akan
membiarkan dilakukan suatu perbuatan terhadap dirinya20[19].

Kekerasan dan ancaman kekerasan tersebut mencerminkan kekuatan fisik laki-laki sebagai
pelaku merpakan suatu faktor alamiah yang lebih hebat dibandingkan perempuan sebagai korban,
sehingga laki-laki menampilkan kehebatan yang bercorak refresif yang menempatkan perempuan
sebagai korban nya. Karakteristik utama dalam pencabulan ialah “bahwa pencabulan bukan
terutama terutama bukan ekspresi agrsivitas (baca: kekerasan) dari seksualitas (the agressive
expression of sexuality) akan tetapi merupakan ekspresi seksual dari suatu agresivitas (sexual
expression of aggression)21[20] Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pengertian
pencabulan tertuang pada pasal 289 KUHP menyatakan sebagai berikut: ‘’Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman Kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan
melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun. Dalam pasal
tersebut dapat ditarik kesimpulan antara lain :

a. Korban pencabulan tidak harus seorang wanita, tanpa kualifikasi umur yang signifikan.
Seharusnya wanita dapat dibedakan yang antara lain sebgaai berikut22[21] :
1. Wanita belum dewasa yang masih perawan.
2. Wanita dewasa yang masih perawan.
3. Wanita yang sudah tidak perawan lagi.
4. Wanita yang belum bersuami.
b. Korban mengalami pemaksaan pencabulan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti
tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan perlakuan pelaku.
Dalam perkembangan nya yang semakin maju dan meningkat dengan pesat ini, dalam hal ini
muncul banyak bentuk penyimpangan khususnya pencabulan seperti bentuk pemaksaan
pencabulan yang dimana bukan vagina (alat kelamin wanita) yang menjadi target dalam
pencabulan akan tetapi anus dan dubur (pembuangan kotoran manusia) yang dapat menjadi target
penccabulan yang antara lain sebagai berikut :
a. Perbuatan nya tidak hanya bersetubuh (memasukkan alat kelamin ke dalam vagina) tetapi juga
memasukkan alat kelamin kedalam anus atau mulut.
b. Memasukkan suatu benda (bukan bagian tubuh laki-laki) kedalam vagina atau mulut wanita.
c. Caranya tidak hanya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, tetapi juga dengan cara apapun
diluar kehendak/persetujuan korban.
d. Obyeknya tidak hanya wanita yang sadar, tetapi wanita yang tidak berdaya/ pingsan dan dibawah
umur juga tidak hanya terhadap wanita yang tidak setuju (iluar kehendaknya) tetapi juga terhadap
wanita yang memberikan persetujuan nya dibawah ancaman karena kekeliruan/ kesesatan/
penipuan atau karna dibawah umur23[22].
Pelaku pencabulan terhadap anak-anak dibawah umur yang dapat juga disebut dengan child
molester, dapat digolongkan ke dalam (5) kategori, yaitu :
a. Immature : para pelaku melakukan pencabuan disebabkan oleh ketidakmampuan mengidentifikasi
diri mereka dengan peran seksual sebagai orang dewasa.
b. Frustrated : para pelaku melakukan kejahatan nya (pencabulan) sebagai reaksi melawan frustasi
seksual yang sifatnya emosional terhadap orang dewasa. Sering terjadi mereka beralih kepada
anak-anak mereka sendiri (incest) ketika merasa tidak seimbang dengan istrinya.
c. Sociofathic : para pelaku pencabulan yang melakukan perbuatan nya dengan orang yang sama
sekali asing baginya, suatu tindakan yang kecendrungan agresif yang terkadang muncul.
d. Pathological : para pelaku pencabulan yang tidak mampu mengontrol mdorongan seksual sebagai
hasil psikosis, lemah mental, kelemahan organ tubuh atau kemerosotan sebelum waktunya
(premature senile deterioration)
e. Michellaneous : yang tidak termasuk semua kategori diatas24[23].

2 Unsur-unsur Pencabulan.
Secara umum unsur-unsur pencabulan terdiri daari dua unsur yaitu unsur bersifat obyektif dan
bersifat subyekti seperti yang tercantum dalam pasal 289.
1. Pasal 289 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan
melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun
Dari bunyi pasal di atas, dapat dirincikan unsur-unsur sebagai berikut
a. Unsur-unsur obyektif
1. Perbuatan Pencabulan
Unsur-unsur pencabulan merupakan unsur yang terpenting dalam tindak pidana pencabulan
terhadap anak dibawah umur, hala ini disebabkan apabila perbuatan pencabulan tidak terjadi maka
perbuatan tersebut tersebut belumlah dapat dikatakan telah terjadi perbuatan percabulan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh S. R. Sianturi bahwa untuk diterapkan pasal 289 adalah
apabila kemaluan silaki-laki hanya sekedar menempel diatas kemaluan perempuan tidak dapat
dipandang sebagai persetubuhan tetapi pencabulan.
2. Perbuatannya yaitu orang dewasa
3. Objeknya yaitu orang sesamajenis kelamin

b. Unsur Subyektif
Sedangkan unsur subyektifnya ada satu, yaitu yang diketahuinya belum dewasa atau patut
diduganya belum dewasa.
Sama seperti persetubuhan, untuk kejahatan ini diperlukan dua orang yang terlibat. Kalau
persetubuhan terjadi antara dua orang yang berlainan jenis, tetapi pada perbuatan ini terjadi
diantara dua orang yang sesama kelamin baik itu laki-laki sama laki-lakin (Sodomi atayu
Homoseksual) ataupun perempuan dengan perempuan (Lesbian)
Walaupun terjadi antara dua orang yang sesama kelamin, tetapi yang menjadi subyek hukum
kejahatan dan dibebani tanggungjawab pidana adalah siapa yang diantara dua orang yang telah
dewasa, sedangkan yang lain haruslah belum dewasa. Pembebasan tanggungjawab pada pihak
orang yang telah dewasa adalah wajar karena rasio dibentuknya kejahatan ini adalah untuk
melindungi kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari perbuatan-perbuatan yang
melanggar kesusilaan hukum.

Jenis-Jenis Tindak Pidana Pencabulan


Dalam KUHP perbuatan cabul diatur dari pasal 289 sampai pasal 296, dimana

dikategorikan sebagai berikut:

a. Perbuatan cabul dengan Kekerasan atau ancaman kekerasan

Hal ini dirumuskan pada pasal 289 KUHP sebagai berikut:

“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan

atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan

perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun”.

Disini tindak pidananya adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul. Yang dimaksud

dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan

lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

Sebagai tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanya memaksa seseorang melakukan perbuatan

cabul, tetapi juga memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan membiarkan

dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan untuk menunjukan sifat berat dari tindak

pidana sebagai perbuatan yang sangat tercela, maka diadakan minimum khusus dalam ancaman

pidananya”.

Ancaman pidana dalam KUHP maupun pada RUU KUHP adalah sama yakni Sembilan

tahun penjara.

Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada RUU KUHP adalah dalam lingkungan nafsu

birahi kelamin misalnnya:

- Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan menyentuhkan pada alat

kelaminnya.
- Seorang laki-laki merabai badan seorang anak laki-laki dan kemudian membuka kancing baju

anak tersebut untuk dapat mengelus dan menciuminya. Pelaku melakukan hal tersebut untuk

memuaskan nafsu seksualnya.

b. Perbuatan cabul dengan orang pingsan

Hal ini dimuat pada pasal 290 ayat (1) KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

“Di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:

1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang itu

pingsan atau tidak berdaya.”

Kata “pingsan” di sinonimkan dengan kata-kata “tidak sadar”, “tidak ingat”, sedang kata

“tidak berdaya” adalah “tidak bertenaga” atau sangat lemah.

Kata “diketahuinya” adalah rumusan dolus atau sengaja. Dengan demikian si pelaku

mengetahui bahwa yang dicabulinya tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak sadar.

“Pasal ini sama dengan pasal 290 KUHP

Menurut pasal ini melakukan perbuatan cabul itu adalah dengan seseorang yang diketahuinya

orang itu pingsan atau tidak berdaya.

c. Perbuatan cabul dengan orang yang belum 15 tahun

Hal ini di muat pada pasal 290 ayat (2) KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:

1. Barang siapa melakukan perbuatan cabuldenagn seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu

pingsan atau tidak berdaya.


2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang sedang diketahuinya atau patut dapat

disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas,

bahwa orang itu belum pantas untuk dikawin.”

Pasal ini merupakan perlindungan terhadap anak / remaja. Perlu diperhatikan bahwa pada pasal

tersebut tidak ada kata “wanita” melainkan kata “orang”. Dengan demikian, meskipun dilakukan

terhadap anak / remaja pria, misalnya oleh homoseks atau yang disebut sehari-hari oleh “tante

girang” maka pasal ini dapat diterapkan. Tetapi jika sejenis maka hal itu di atur pasal 292.

Kata “diketahuinya atau patut disangka” merupakan unsure kesalahan (dolus atau culpa)

terhadap umur yakni pelaku dapat menduga bahwa umur anak / remaja tersebut belum lima belas

tahun.

b. Membujuk orang yang belum 15 tahun untuk dicabuli

Hal ini di atur pada pasal 290 ayat (3) yang rumusannya sebagai berikut:

“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:

1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu

pingsan atau tidak berdaya.

2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya

diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau umumnya tidak jelas, yang

bersngkutan belum waktunya untuk dikawin.

3. Barang siapa yang membujuk seseorang, yang diketahui atau patut disangkanya bahwa umur

orang itu belum cukup lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum

waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul.

Hal ini tidak ada perbedaan dengan penjelasan sebelumnya kecuali “pelaku”. Pelaku pada

pasal 290 ayat (3) bukan pelaku cabul tetapi “yang membujuk”.
c. Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang sejenis

Hal ini diatur pada pasal 292 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

“orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang belum dewasa, yang

sejenis kelamin dengan dia, yang diketahuinya atau patut disangkanya belum dewasa dihukum

dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.”

Pasal ini melindungi orang yang belum dewasa dari orang yang dikenal sebagai

“homoseks” atau “Lesbian”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia di muat arti homoseksual” dan

“lesbian”:

“Dalam keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama (homoseksual), sedang

“lesbian”: wanita yang cinta birahi kepada sesama jenisnya; wanita homoseks.”

Pada umumnya pengertian sehari-hari, homoseks dimaksudkan bagi pria sedang lesbian

dimaksudkan bagi wanita. Kurang jelas kenapa terjadi hal ini karena dari arti sebenarnya

“homoseksual” adalah perhubungan kelamin antara jenis kelamin yang sama. Kemungkinan

karena untuk wanita disebut lesbian maka untuk pria disebut homo seksual.

Bagi orang dibawah umur, perlu dilindungi dari orang dewasa yang homoseks / lesbian,

karena sangat berbahaya bagi perkembangannya.

d. Dengan pemberian menggerakkan orang belum dewasa berbuat cabul

Hal ini diatur pada pasal 293 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

(1) Barang siapa dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah

memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan, dengan sengaja

mengajak orang dibawah umur yang tidak bercacat kelakuanya, yang diketahuinya atau patut dapat

disangkanya dibawah umur, mengerjakan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan perbuatan

cabul itu dengan dia, di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
(2) Penuntutan tidak dilakukan melainkan atas pengaduan orang yang terhadapnya kejahatan itu

dilakukan.

(3) Tenggang tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini lamanya masing-masing Sembilan bulan

dan dua belas bulan.”

Tindak pidana menurut pasal ini adalah menggerakkan seseorang yang belum dewasa dan

berkelakuan baik untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau

membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul. Sebagai alat untuk tindak pidana

mennggerakkan seseorang itu adalah member hadiah atau berjanji akan memberi uang atau barang

dan dengan jalan demikian pelaku lalu menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan

keadaan atau dengan demikian menyesatkan orang tersebut. Orang disesatkan atau digerakkan itu

haruslah belum dewasa atau diketahuinya belum dewasa atau patut harus di duganya bahwa orang

itu belum dewasa. Sementara itu seseorang yang belum dewasa atau yang diketahuinya belum

dewasa atau yang patut harus diduga bahwa ia belum dewasa tersebut adalah berkelakuan baik.”

e. Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang dilakukan orang tua atau yang

mempunyai hubungan.

Hal ini di atur pada pasal 294 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

(1) “barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak

dibawah pengawasannya, yang belum dewasa atau dengan orang yang belum dewasa yang

pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya atau pun dengan

bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, di ancam dengan pidana penjara paling lama

tujuh tahun.”

(2) Di ancam dengan pidana yang sama:


1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawahnya atau orang yang

dipercayakan atau diserahkan padanya.

2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat bekerja kepunyaan

Negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit gila, lembaga social, yang melakukan

perbuatan cabul dengan orang yang dimasukan kedalamnya.

Pada kasus “pelecehan seksual” yang selalu diributkan terutama antara atasan dengan bawahan

pada hakikatnya dilindungi dengan pasal ini. Namun perlu disadari bahwa pembuktiannya bukan

hal yang tidak rumit. Misalnya sorang direktur, pada suatu hari karena melihat pakaian

sekretarisnya mencolok, akhirnya menimbulkan keinginan baginya untuk mengelus-elus pantat

dan payudaranya. Karena tidak ada saksi lain atau alat bukti lain, bukan mustahil direktur tersebut

menjadikan sekretaris tersebut sebagai tersangka.

Tindak pidana yang disebutkan dalam pasal ini adalah melakukan perbuatan cabul atau

persetubuhan, yang telah disebut juga dalam pasal-pasal sebelumnya.

Menurut pasal ini perbuatan cabul atau persetubuhan dilakukan dengan mereka yang dikategorikan

khusus yaitu yang dipercayakan padanya untuk diasuh, dididik atau dijaga. Demikian juga jika

yang melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan adalah pegawai negri dan dilakukan dengan

orang yang dalam pekerjaannya adalah bawahannya, atau dengan orang yang dipercayakan atau

diserahkan padanya untuk dijaga.

Menurut pasal ini maka perbuatan-perbuatan cabul atau persetubuhan adalah suatu tindak

pidana biasa.”

f. Memudahkan anak dibawah umur untuk berbuat cabul

Hal ini di atur pada pasal 295 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Di hukum:

1. Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan

atau memudahkan anaknya, anak tirinya atau anak piaraanya, anak yang dibawah pengawasannya

semuanya dibawah umur yang diserahkan padanya supaya dipeliharanya, dididik atau dijaganya,

atau bujangnya atau orang bawahannya, keduanya dibawah umur yakni semua orang tersebut itu

melakukan perbuatan cabul dengan orang lain;

2. Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun barang siapa ddengan sengaja

menyebabkan atau memudahkan dalam hal di luar yang di sebut pada butir 1 orang yang dibawah

umur, yang diketahui atau patut dapat disangkanya bahwa ia dibawah umur, melakukan perbuatan

cabul dengan orang lain.

(2) Kalau melakukan kejahatan itu oleh yang bersalah dijadikan pekerjaan atau kebiasaan, maka

hukuman itu boleh ditambah sepertiganya.

Menyebabkan atau memudahkan itu harus dilakukan dengan sengaja, misalnya:

- Seorang ibu membiarkan anaknya yang masih dibawah umur tanpa orang lain berduaan dengan

seorang laki-laki dalam sebuah kamar.

Tindak pidana ini terdiri atas menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan

cabul atau persetubuhan dengan orang-orang tertentu yang tersebut dalam pasal ini dalam ke-2

orang lain yang disebut dalam ke-1 dirumuskan secara umum yaitu mereka yang diketahuinya atau

patut harus menduganya belum dewasa. Menurut ayat kedua dari pasal ini tindak pidana tersebut

ancamannya diperberat secara khusus jika dilakukan sebagai pekerjaan atau kebiasaan.”

g. Mata pencaharian mengadakan / memudahkan perbuatan cabul

Hal ini diatur pasal 296 KUHP yang bunyinya sebagai berikut.
“barang siapa yang pekerjaanya atau kebiasaanya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan

perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun

empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.”

Kata “pekerjaanya” juga pada teks lain dipakai “pencahariannya”. Dimaksudkan

bahwa yang bersangkutan menerima bayaran. Kata “sengaja” ditunjukan pada mengadakan atau

memudahkan perbuatan cabul. Kata “kebiasaan” berarti telah berulang-ulang dan hal ini harus

dibuktikan.

Dahulu, Hoge Raad (6 oktober 1942) menafsirkan bahwa menyewakan kamar untuk

memberi kesempatan melakukan perbuatan cabul dengan orang lain. Telah termasuk pengertian

memudahkan. Pendapat demikian itu, pada saat ini sulit diterima. Karena dengan perkembangan

dan kemajuan dunia, dunia bisnis telah pula berkembang dengan pesat. Sehingga persaingan

semakin ketat dan upaya menngkatkan pelayanan juga tidak terlepas dari persaingan. Usaha /

bisnis hotel, motel maupun penginapan. Sudah enggan menanyakan identitas tamunya. Telah

dirasa cukup bila tamu tersebut mengisi formulir atau mengisi buku tamu, tetapi bagi motel hal

yang demikian telah jarang diperlakukan, cukup kalau tamu tersebut telah membayar, selanjutnya

yang menyewa kamar tersebut apa dia sendiri atau dengan orang lain menemaninya, tidak menjadi

persoalan baginya. Pada umumnya bisnis motel dimana-mana memang demikian. Bahkan

penyewa telah dapat langsung dengan kendaraannya kegarasi sehingga siapa yang berada dalam

mobil, tidak ada yang mengetahui. Seadangkan pembayaran langsung ditagih pegawai motel

tersebut.

Selain dari hal yang diutarakan diatas, tampaknya pasal ini tidak dapat diterapkan pada

lokalisasi wanita tuna susila (wts). Bahwa tampaknya masyarakat telah dapat menerima adanya

tempat lokalisasi WTS dari pada tersebar dimana-mana.


Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pasal 296 KUHP tidak dapat diperlakukan terhadap

areal lokalisasi WTS.

RUU KUHP masih mempertahankan pasal 296 KUHP yang diambil alih pada pasal 398

bahkan meningkatkan sangsi pidana menjadi “dua belas tahun penjara”. Hal ini jelas di muat pada

penjelasan resmi pasal 398 yang bunyinya sebagai berikut:.

Pasal ini diadakan untuk memberantas bordil-bordil atau tempat-tempat pelacuran yang

banyak terdapat di kota-kota di Indonesia. Disini dijadikan pula sebagai unsur-unsur “menjadikan

sebagai pekerjaan atau kebiasaan”, dengan pekerjaan dimaksudkan bilamana dalam usaha itu

dilakukan pembayaran-pembayaran, sedangkan dalam pengertian kebiasaan termasuk bahwa

orang tersebut melakukannya lebih dari satu kali. Ancaman pidana penjara minimum adalah untuk

menunjukan sifat berat tindak pidananya.”

Persepsi tentang “kebiasaan” pada penjelasan tersebut, tidak tepat. Lebih dari satu kali,

dapat menjadi dua kali sedang jika dua kali saja umumnya belum dapat disebut berulang-ulang.

Dua kali baru dapat dikatakan berulang.

A. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana


1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana yang dikenal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
yang dimana pembentuk undang-undang mengenalnya dengan istilah strafbar feit. Di dalam
bahasa Belanda, Strafbar yang berarti dapat dihukum, sedangkan feit yang berarti suatu kenyataan
atau fakta. Strafbar feit menurut pendapat Simons ialah “kelakuan (handeling) yang diancam
dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab25[24].
Sedangkan menurut pendapat Van Hamel, strafbar feit adalah “kelakuan orang (menselijke
gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan26[25]” Beberapa asumsi atau pendapat mengenai
pengertian tindak pidana menurut para ahli seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum
pidana yaitu Moeljatno, menurutnya tindak pidana yang dikenalnya dengan istilah perbuatan
pidana yang berarti “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut27[26].
Berdasarkan asumsi di atas, dalam hal dilarang dan diancamnya perbuatan pidananya, yaitu 1 ayat
(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dimana suatu asas yang menentukan bahwa tidak
ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam perundang-undangan, Kalimat asas yang tersebut di atas, lebih dikenal dalam bahasa latin
sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
peraturan lebih dahulu), kalimat tersebut berasal dari Von Feurbach, seorang sarjana hukum pidana
Jerman. Asas legalitas tersebut yang dimaksud mengandung tiga pengertian yang dapat
disimpulkan yaitu antara lain :
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b. Untuk menentukan suatu perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Perbedaaan pandangan dan pendapat dari para ahli hukum maupun pembentuk undang-undang
dalam hal mendefinisikan istilah tindak pidana yang disetarakan dengan istilah perbuatan pidana,
maupun peristiwa pidana dan lain sebagainya kemungkinan untuk mengalihkan bahasa dari istilah
asingnya yaitu stafbaar feit, akan tetapi dari pengalihan bahasa tersebut apakah berpengaruh atau
tidak dalam makna dan pengertiannya, yang disebabkan sebagian besar di kalangan para ahli
hukum belum secara jelas dan terperinci dalam menerangkan pengertian istilah tindak pidana,
ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal tersebutlah yang merupakan pokok perbedaan
pandangan diantara para ahli hukum dalam mendefinisikan istilah tindak pidana.
Pengertian tindak pidana merupakan suatu dasar dalam ilmu hukum terutama hukum pidana
yang dimana ditujukan sebagai suatu istilah perbuatan yang melanggar norma-norma atau aturan
hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana harus
memenuhi syarat-syarat seperti :
a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang.
b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus
telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat
dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.
D Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu Dari
syarat-syarat di atas, perbuatan yang dapat dikatakan suatu tindak pidana ialah perbuatan yang
dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum atau undang-undang
yang berlaku dan disertai ancaman hukumannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
mencantumkan sanksinya.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana


Dalam kita mengklasifikasikan suatu tindak pidana ke dalam unsur-unsurnya, yang perlu
diperhatikan ialah apakah perbuatan tersebut telah melanggar undang-undang atau tidak. Berbagai
macam tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada
umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur
objektif. Unsur subjektif tersebut merupakan unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu antara lain sebagai
berikut :
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus atau Culpa);
dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum atau undang-undang
yang berlaku dan disertai ancaman hukumannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal
53 ayat 1 KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-
kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau Voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan
pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308
KUHP28[27]
Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-
keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu antara lain sebagai berikut :
a. Sifat melanggar hukum atau Wederrechtelicjkheid;

b. Kwalitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan

jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu

Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan

sebagai akibat29[28]

Dari uraian di atas, yang terpenting dalam merumuskan suatu tindak pidana ialah apakah dari

perbuatan tersebut terdapat suatu sifat melanggar hukum, walaupun pembentuk undang-undang

tidak menyatakan dalam suatu unsur tindak pidana, akan tetapi unsur tersebut sebenarnya dapat

bertujuan untuk mengklasifikasikan bahwa benar perbuatan tersebut ialah suatu tindak pidana, dan
unsur lainnya seperti kausalitas yang dimana sebab dan akibat menjadi tolak ukur dalam

menentukan bahwa itu suatu tindak pidana atau bukan merupakan tindak pidana.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Pembagian jenis-jenis tindak pidana atau delik menurut ilmu pengetahuan hukum pidana yang

dapat dibedakan dari beberapa sudut yang antara lain sebagai berikut :

a. Berdasarkan sistem KUHP terdapat delik kejahatan dan delik pelanggaran tersebut terdapat dalam

KUHP. Pembedaan dan pembagian terletak pada buku II KUHP yang mngatur tentang kejahatan

dan buku III yang mengatur tentang pelanggaran. Dalam ancaman pidananya, pelanggaran lebih

ringan dari pada kejahatan yang dimana kejahatan yang ancaman pidananya menitikberatkan

penjara, sedangkan pelanggaran lebih menitikberatkan denda atau kurungan. Secara kuantitatif,

pembuat undang-undang membedakan delik kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut :

1) Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia.

Jika seseorang melakukan delik di luar negeri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di

Indonesia maka dipandang tidak perlu dituntut.

2) Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tindak pidana tidak dipidana.

3) Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung apakah itu kejahatan

atau pelanggaran.

b. Dari segi perumusannya terdapat delik formil dan delik materil. Delik formil adalah

suatuperbuatan pidana atau tindak pidana yang dianggap selesai dengan dilakukannya suatu

perbuatan yang dilarang. Sedangkan delik materil adalah suatu tindak pidana yang selesai atau

sempurna dengan timbulnya akibat yang dilarang.


c. Dari segi sifat perbuatannya terdapat delik komisi dan delik omisi. Delik komisi yaitu tindak pidana

yang perbuatannya berupa perbuatan aktif yang melanggar larangan. Yang dimaksud perbuatan

aktif tersebut adalah perbuatan yang mewujudkan disyaratkannya adanya gerakan dari anggota

tubuh yang berbuat. Sedangkan delik omisi dibedakan menjadi dua macam yaitu delik omisi murni

dan delik omisi tidak murni. Delik omisi murni adalah membiarkan sesuatu yang diperintahkan.

Sedangkan delik omisi tidak murni merupakan tindak pidana yang terjadi jika oleh undang-undang

tidak dikehendaki suatu akibat yang ditimbulkan dari suatu pengabaian.

d. Dari bentuk kesalahannya terdapat delik sengaja dan delik tidak sengaja. Delik sengaja adalah

tindak pidana yang di dalam rumusannya dengan kesengajaan atau mengandung unsur

kesengajaan. Sedangkan delik kelalaian atau tidak dengan sengaja adalah tindak pidana yang

dimana dalam rumusannya tidak mengandung unsur kesengajaan.

e. Dari segi penuntutannya terdapat delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah tindak pidana

yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan oleh orang yang merasakan dirugikan terhadap

tindakan pelaku. Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa adanya

suatu pengaduan.

f. Dari segi perbuatannya terdapat delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan. Delik yang

berdiri sendiri yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas satu perbuatan, sedangkan delik yang

diteruskan yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas beberapa perbuatan yang mempunyai

pertalian yang sedemikian eratnya sehingga harus dianggap satu perbuatan. Pembagian antara

g. Dari segi keadaan terdapat delik selesai dan delik berlanjut. Delik selesai yaitu tindak pidana yang

selesai terjadi dengan melakukan satu atau beberapa perbuatan tertentu, sedangkan delik berlanjut

yaitu tindak pidana yang dilakukan untuk melangsungkan suatu keadaan terlarang.
h. Dari sudut berapa kali perbuatannya yang dilarang yang dilakukan terdapat delik tunggal dan delik

berangkai. Delik tunggal yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas satu perbuatan atau sekali saja

dilakukan, sedangkan delik berangkai ialah suatu tindak pidana yang terdiri dari beberapa jenis

perbuatan.

i. Dari sudut kepentingan negara terdapat delik politik dan delik kelompok. Delik politik ialah tindak

pidana yang tujuannya di arahkan kepada keamanan negara dan terhadap kepala negara, sedangkan

delik kelompok yaitu tindak pidana yang tidak ditujukan terhadap keamanan negara atau kepala

negara. Dari sudut unsur perbuatannya terdapat delik sederhana, delik dengan pemberatan dan

delik peringanan. Delik sederhana yaitu tindak pidana dalam bentuk pokok seperti yang telah

dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Delik dengan pemberatan yaitu tindak pidana yang

mempunyai unsur yang sama dengan tindak pidana bentuk pokok akan tetapi ada unsur-unsur lain

yang ditambahkan, sehingga ancaman pidananya lebih berat dari tindak pidana pokoknya.

Sedangkan delik peringanan ialah tindak pidana yang mempunyai unsur yang sama dengan tindak

pidana bentuk pokoknya akan tetapi ditambahkan unsur-unsur lainnya yang dan dapat

meringankan ancaman pidananya.

j. Dari segi subyek hukumnya terdapat delik propria (khusus) dan delik komun (umum). Delik

propria atau delik khusus adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang tertentu seperti

pegawai negeri sipil atau yang mempunyai kedudukan struktural di pemerintahan. Sedangkan

delik komun atau delik umum ialah tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang.

2. Kategori Batasan Anak Dibawah Umur


Untuk mengetahui apakah seseorang itu termasuk anak-anak atau bukan, tentu harus ada batasan
yang mengaturnya, dalam hal ini beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah
mengatur tentang usia anak yang dikategorikan sebagai anak yang antara lain sebagai berikut.
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Di dalam kitab undang-undang hukum pidana yang dikategorikan sebagai anak terdapat dalam
pasal 287 ayat (1) KUHP yang pada intinya usia yang dikategorikan sebagai anak adalah seseorang
yang belum mencapai 15 tahun.
b. Kitab Undang-undang hukum Perdata (KUHPer)
Didalam undang-undang Hukum Perdata yang dikategorikan usia seorang anak ialah seseorang
yang belum dewasa seperti yang tertuang pada pasal 330 KUHPerdata.
c. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak.
Didalam undang-undang ini pada pasal 1 ayat (2) menyebutkan “anak adalah seseorang yang
belum mencapai batas usia 21 (Dua Puluh Satu) tahun dan belum pernah kawin30[10]. Dalam
pasal tersebut dapat diperhatikan bahwa yang dikategorikan sebagai anak adalah dibawah usia dua
pulus satu tahun dan belum pernah kawin.
d. Undang-undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Di dalam undang-undang ini, yang dikategorikan sebagai anak terdapat dalam pasal 1 ayat (1)
yang menyebutkan “anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur
8 tahun (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (Delapan Belas tahun) dan belum pernah
kawin31[11]. Dari penjelasan pasal tersebut dapat diperhatikan bahwa yang dikatakan sebagai
anak adalah seseorang yang berumur dari delapan tahun sampai delapa belas tahun.
e. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Di dalam Undang-undang ini yang dikategorikan sebagai anak tertuang pada pasal 1 ayat 1 (5)
yang menyebutkan “anak sebagai manusia yang berusia dibawah 18 tahun (Delapan Belas) Tahun
dn belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demo
kepentingan nya32[12]. Menurut pasal ini yang dikategorikan sebagai anak ialah mulai dalam
kandungan sampai usia delapan belas tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan33[13].
Menurut pasal tersebut diatas bahwa yang dikategorikan sebagai anak ialah seorang yang berusia
dibawah delapan belas tahun sampai dalam kandungan sekalipun masih dapat dikategorikan
sebagai anak.
f. Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pada pasal 1 ayat (4) yang menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (Delapan
Belas) tahun34[14]. Berarti kategori dikatakan usia seorang anak menurut pasal ini adalah belum
berusia delapan belas tahun.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak seragam dalam menentukan
bagaimanakah dapat dikatakan sebagai anak, akan tetapi setiap perbedaan pemahaman tersebut,
tergantung situasi dan kondisi dalam pandangan yang mana yang dipersoalkan nanti.

B. Tinjauan Umum Mengenai Pencabulan


1. Pengertian Pencabulan
Di dalam Pasal 289 KUHP yang dimaksud dengan pencabulan adalah Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan
hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun
hal pengertian pencabulan, para pendapat ahli dalam mendefinisikan tentang pencabulan berbeda-
beda seperti yang dikemukakan Soetandyo Wignjosoebroto, “pencabulan adalah suatu usaha
melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara
menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar” dari pendapat tersebut, berarti
pencabulan tersebut di satu pihak merupakan suatu tindakan atau perbuatan seorang laki-laki yang
melampiaskan nafsu seksualnya oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang dimana
perbuatan tersebut tidak bemoral dan dilarang menurut hukum yang berlaku. R. Sughandhi dalam
asumsi mengatakan tentang percabulan ialah:
”Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk persetubuhan
dengan nya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk
kedalam lubang seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air man35[15]i.”
Dari pendapat R. Sughandhi di atas, bahwa pencabulan tersebut adalah seorang pria yang
melakukan upaya pemaksaan dan ancaman serta kekerasan persetubuhan terhadap seorang wanita
yang bukan istrinya dan dari persetubuhan tersebut mengakibatkan keluarnya air mani seorang
pria. Jadi unsurnya tidak hanya kekerasan dan persetubuhan akan tetapi ada unsur ain yaitu unsur
keluarnya air mani, yang artinya seorang pria tersebut telah menyelesaikan perbuatannya hingga
selesai, sehingga apabila seseorang pria tidak mengeluarkan air mani maka tidak dapat
dikategorikan sebagi pencabulan.
Asumsi yang tidak sependapat dalam hal mendefinisikan pencabulan tidak memperhitungan
perlu atau tidaknya unsur mengenai keluarnya air mani seperti yang dikemukakan oleh PAF
Lamintang dan Djisman Samosir yang berpendapat “Pencabulan adalah perbuatan seseorang yang
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan
persetubuhan diluar perkawinan dengan dirinya36[16]”
Dari pendapat tersebut, ini membuktikan bahwa dengan adanya kekerasan dan ancaman
kekerasan dengan cara dibunuh, dilukai, ataupun dirampas hak asasinya yang lain merupakan
suatu bagian untuk mempermudah dilakukan nya suatu pencabulan. Menurut Arif Gosita,
pencabulan dapat dirumuskan dari beberapa bentuk perilaku yang antara laim sebagai berikut :
a. Korban pencabulan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek). Sedangkan ada juga seorang
laki-laki yang dicabuli oleh seorang wanita.
b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari
pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.
c. Pencabulan diluar ikatan pernikahan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataannya ada pula
persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan
penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu
kejahatan oleh karena tidak dirumuskan trlebih dahulu oleh pembuat undang-undang sebagai suatu
kejahatan37[17].
Dari perumusan diatas menunjukkan bahwa posisi perempuan ditempatkan sebagai obyek dari
suatu kekerasan seksual (pencabulan) karena perempuan identik dengan lemah, dan laki-laki
sebagai pelaku dikenal dengan kekuatan nya sangat kuat dan yang dapat melakukan pemaksaan
persetubuhan dengan cara apapun yang mereka kehendaki meskipun dengan cara kekerasan atau
ancaman kekerasan. Fungsi dari kekerasan tersebut dalam hubungan nya dengan tindak pidana
adalah sebagai berikut:
a. Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan. Kekerasan disini memerlukan syarat
akibat ketidakberdayaan korban. Ada casual verband antara kekerasan dan ketidakberdayaan
korban. Contohnya kekerasan pada pencabulan yang digunakan sebagai cara dari memaksa
bersetubuh juga pada pemerasan (Pasal 368) yang mengakibatkan korban tidak berdaya, dengan
ketidakberdayaan itulah yang menyebabkan korban dengan terpaksa menyerahkan benda,
membuat utang atau menghapuskan piutang.
b. Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana bukan merupakan cara
melakukan perbuatan. Contohnya kekerasan pada pasal 211 atau 21238[18].
Sedangkan ancaman kekerasan mempunyai aspek yang penting dalam pencabulan yang
anatara lain sebagai berikut.
a. Aspek obyekif, ialah (a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa perbuatan persiapan
dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukan nya perbuatan
yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna.
b. Menyebabkan orang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut,
rasa cemas (aspek subyektif yang di objektifkan).
Aspek subyektif ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa
jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka
kekerasan itu benar-benar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam ancaan
kekerasan sebab jika kepercayaan itu tidak timbul pada diri korban, tidak mungkin korban akan
membiarkan dilakukan suatu perbuatan terhadap dirinya39[19].

Kekerasan dan ancaman kekerasan tersebut mencerminkan kekuatan fisik laki-laki sebagai
pelaku merpakan suatu faktor alamiah yang lebih hebat dibandingkan perempuan sebagai korban,
sehingga laki-laki menampilkan kehebatan yang bercorak refresif yang menempatkan perempuan
sebagai korban nya. Karakteristik utama dalam pencabulan ialah “bahwa pencabulan bukan
terutama terutama bukan ekspresi agrsivitas (baca: kekerasan) dari seksualitas (the agressive
expression of sexuality) akan tetapi merupakan ekspresi seksual dari suatu agresivitas (sexual
expression of aggression)40[20] Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pengertian
pencabulan tertuang pada pasal 289 KUHP menyatakan sebagai berikut: ‘’Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman Kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan
melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun. Dalam pasal
tersebut dapat ditarik kesimpulan antara lain :

a. Korban pencabulan tidak harus seorang wanita, tanpa kualifikasi umur yang signifikan.
Seharusnya wanita dapat dibedakan yang antara lain sebgaai berikut41[21] :
1. Wanita belum dewasa yang masih perawan.
2. Wanita dewasa yang masih perawan.
3. Wanita yang sudah tidak perawan lagi.
4. Wanita yang belum bersuami.
b. Korban mengalami pemaksaan pencabulan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti
tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan perlakuan pelaku.
Dalam perkembangan nya yang semakin maju dan meningkat dengan pesat ini, dalam hal ini
muncul banyak bentuk penyimpangan khususnya pencabulan seperti bentuk pemaksaan
pencabulan yang dimana bukan vagina (alat kelamin wanita) yang menjadi target dalam
pencabulan akan tetapi anus dan dubur (pembuangan kotoran manusia) yang dapat menjadi target
penccabulan yang antara lain sebagai berikut :
a. Perbuatan nya tidak hanya bersetubuh (memasukkan alat kelamin ke dalam vagina) tetapi juga
memasukkan alat kelamin kedalam anus atau mulut.
b. Memasukkan suatu benda (bukan bagian tubuh laki-laki) kedalam vagina atau mulut wanita.
c. Caranya tidak hanya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, tetapi juga dengan cara apapun
diluar kehendak/persetujuan korban.
d. Obyeknya tidak hanya wanita yang sadar, tetapi wanita yang tidak berdaya/ pingsan dan dibawah
umur juga tidak hanya terhadap wanita yang tidak setuju (iluar kehendaknya) tetapi juga terhadap
wanita yang memberikan persetujuan nya dibawah ancaman karena kekeliruan/ kesesatan/
penipuan atau karna dibawah umur42[22].
Pelaku pencabulan terhadap anak-anak dibawah umur yang dapat juga disebut dengan child
molester, dapat digolongkan ke dalam (5) kategori, yaitu :
a. Immature : para pelaku melakukan pencabuan disebabkan oleh ketidakmampuan mengidentifikasi
diri mereka dengan peran seksual sebagai orang dewasa.
b. Frustrated : para pelaku melakukan kejahatan nya (pencabulan) sebagai reaksi melawan frustasi
seksual yang sifatnya emosional terhadap orang dewasa. Sering terjadi mereka beralih kepada
anak-anak mereka sendiri (incest) ketika merasa tidak seimbang dengan istrinya.
c. Sociofathic : para pelaku pencabulan yang melakukan perbuatan nya dengan orang yang sama
sekali asing baginya, suatu tindakan yang kecendrungan agresif yang terkadang muncul.
d. Pathological : para pelaku pencabulan yang tidak mampu mengontrol mdorongan seksual sebagai
hasil psikosis, lemah mental, kelemahan organ tubuh atau kemerosotan sebelum waktunya
(premature senile deterioration)
e. Michellaneous : yang tidak termasuk semua kategori diatas43[23].

2 Unsur-unsur Pencabulan.
Secara umum unsur-unsur pencabulan terdiri daari dua unsur yaitu unsur bersifat obyektif dan
bersifat subyekti seperti yang tercantum dalam pasal 289.
1. Pasal 289 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan
melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun
Dari bunyi pasal di atas, dapat dirincikan unsur-unsur sebagai berikut
a. Unsur-unsur obyektif
1. Perbuatan Pencabulan
Unsur-unsur pencabulan merupakan unsur yang terpenting dalam tindak pidana pencabulan
terhadap anak dibawah umur, hala ini disebabkan apabila perbuatan pencabulan tidak terjadi maka
perbuatan tersebut tersebut belumlah dapat dikatakan telah terjadi perbuatan percabulan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh S. R. Sianturi bahwa untuk diterapkan pasal 289 adalah
apabila kemaluan silaki-laki hanya sekedar menempel diatas kemaluan perempuan tidak dapat
dipandang sebagai persetubuhan tetapi pencabulan.
2. Perbuatannya yaitu orang dewasa
3. Objeknya yaitu orang sesamajenis kelamin

b. Unsur Subyektif
Sedangkan unsur subyektifnya ada satu, yaitu yang diketahuinya belum dewasa atau patut
diduganya belum dewasa.
Sama seperti persetubuhan, untuk kejahatan ini diperlukan dua orang yang terlibat. Kalau
persetubuhan terjadi antara dua orang yang berlainan jenis, tetapi pada perbuatan ini terjadi
diantara dua orang yang sesama kelamin baik itu laki-laki sama laki-lakin (Sodomi atayu
Homoseksual) ataupun perempuan dengan perempuan (Lesbian)
Walaupun terjadi antara dua orang yang sesama kelamin, tetapi yang menjadi subyek hukum
kejahatan dan dibebani tanggungjawab pidana adalah siapa yang diantara dua orang yang telah
dewasa, sedangkan yang lain haruslah belum dewasa. Pembebasan tanggungjawab pada pihak
orang yang telah dewasa adalah wajar karena rasio dibentuknya kejahatan ini adalah untuk
melindungi kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari perbuatan-perbuatan yang
melanggar kesusilaan hukum.

Jenis-Jenis Tindak Pidana Pencabulan

Dalam KUHP perbuatan cabul diatur dari pasal 289 sampai pasal 296, dimana

dikategorikan sebagai berikut:

a. Perbuatan cabul dengan Kekerasan atau ancaman kekerasan

Hal ini dirumuskan pada pasal 289 KUHP sebagai berikut:

“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan

atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan

perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun”.

Disini tindak pidananya adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul. Yang dimaksud

dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan

lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

Sebagai tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanya memaksa seseorang melakukan perbuatan

cabul, tetapi juga memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan membiarkan

dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan untuk menunjukan sifat berat dari tindak

pidana sebagai perbuatan yang sangat tercela, maka diadakan minimum khusus dalam ancaman

pidananya”.
Ancaman pidana dalam KUHP maupun pada RUU KUHP adalah sama yakni Sembilan

tahun penjara.

Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada RUU KUHP adalah dalam lingkungan nafsu

birahi kelamin misalnnya:

- Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan menyentuhkan pada alat

kelaminnya.

- Seorang laki-laki merabai badan seorang anak laki-laki dan kemudian membuka kancing baju

anak tersebut untuk dapat mengelus dan menciuminya. Pelaku melakukan hal tersebut untuk

memuaskan nafsu seksualnya.

b. Perbuatan cabul dengan orang pingsan

Hal ini dimuat pada pasal 290 ayat (1) KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

“Di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:

1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang itu

pingsan atau tidak berdaya.”

Kata “pingsan” di sinonimkan dengan kata-kata “tidak sadar”, “tidak ingat”, sedang kata

“tidak berdaya” adalah “tidak bertenaga” atau sangat lemah.

Kata “diketahuinya” adalah rumusan dolus atau sengaja. Dengan demikian si pelaku

mengetahui bahwa yang dicabulinya tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak sadar.

“Pasal ini sama dengan pasal 290 KUHP

Menurut pasal ini melakukan perbuatan cabul itu adalah dengan seseorang yang diketahuinya

orang itu pingsan atau tidak berdaya.

c. Perbuatan cabul dengan orang yang belum 15 tahun


Hal ini di muat pada pasal 290 ayat (2) KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:

1. Barang siapa melakukan perbuatan cabuldenagn seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu

pingsan atau tidak berdaya.

2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang sedang diketahuinya atau patut dapat

disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas,

bahwa orang itu belum pantas untuk dikawin.”

Pasal ini merupakan perlindungan terhadap anak / remaja. Perlu diperhatikan bahwa pada pasal

tersebut tidak ada kata “wanita” melainkan kata “orang”. Dengan demikian, meskipun dilakukan

terhadap anak / remaja pria, misalnya oleh homoseks atau yang disebut sehari-hari oleh “tante

girang” maka pasal ini dapat diterapkan. Tetapi jika sejenis maka hal itu di atur pasal 292.

Kata “diketahuinya atau patut disangka” merupakan unsure kesalahan (dolus atau culpa)

terhadap umur yakni pelaku dapat menduga bahwa umur anak / remaja tersebut belum lima belas

tahun.

b. Membujuk orang yang belum 15 tahun untuk dicabuli

Hal ini di atur pada pasal 290 ayat (3) yang rumusannya sebagai berikut:

“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:

1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu

pingsan atau tidak berdaya.

2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya

diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau umumnya tidak jelas, yang

bersngkutan belum waktunya untuk dikawin.


3. Barang siapa yang membujuk seseorang, yang diketahui atau patut disangkanya bahwa umur

orang itu belum cukup lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum

waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul.

Hal ini tidak ada perbedaan dengan penjelasan sebelumnya kecuali “pelaku”. Pelaku pada

pasal 290 ayat (3) bukan pelaku cabul tetapi “yang membujuk”.

c. Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang sejenis

Hal ini diatur pada pasal 292 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

“orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang belum dewasa, yang

sejenis kelamin dengan dia, yang diketahuinya atau patut disangkanya belum dewasa dihukum

dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.”

Pasal ini melindungi orang yang belum dewasa dari orang yang dikenal sebagai

“homoseks” atau “Lesbian”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia di muat arti homoseksual” dan

“lesbian”:

“Dalam keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama (homoseksual), sedang

“lesbian”: wanita yang cinta birahi kepada sesama jenisnya; wanita homoseks.”

Pada umumnya pengertian sehari-hari, homoseks dimaksudkan bagi pria sedang lesbian

dimaksudkan bagi wanita. Kurang jelas kenapa terjadi hal ini karena dari arti sebenarnya

“homoseksual” adalah perhubungan kelamin antara jenis kelamin yang sama. Kemungkinan

karena untuk wanita disebut lesbian maka untuk pria disebut homo seksual.

Bagi orang dibawah umur, perlu dilindungi dari orang dewasa yang homoseks / lesbian,

karena sangat berbahaya bagi perkembangannya.

d. Dengan pemberian menggerakkan orang belum dewasa berbuat cabul

Hal ini diatur pada pasal 293 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
(1) Barang siapa dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah

memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan, dengan sengaja

mengajak orang dibawah umur yang tidak bercacat kelakuanya, yang diketahuinya atau patut dapat

disangkanya dibawah umur, mengerjakan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan perbuatan

cabul itu dengan dia, di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.

(2) Penuntutan tidak dilakukan melainkan atas pengaduan orang yang terhadapnya kejahatan itu

dilakukan.

(3) Tenggang tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini lamanya masing-masing Sembilan bulan

dan dua belas bulan.”

Tindak pidana menurut pasal ini adalah menggerakkan seseorang yang belum dewasa dan

berkelakuan baik untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau

membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul. Sebagai alat untuk tindak pidana

mennggerakkan seseorang itu adalah member hadiah atau berjanji akan memberi uang atau barang

dan dengan jalan demikian pelaku lalu menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan

keadaan atau dengan demikian menyesatkan orang tersebut. Orang disesatkan atau digerakkan itu

haruslah belum dewasa atau diketahuinya belum dewasa atau patut harus di duganya bahwa orang

itu belum dewasa. Sementara itu seseorang yang belum dewasa atau yang diketahuinya belum

dewasa atau yang patut harus diduga bahwa ia belum dewasa tersebut adalah berkelakuan baik.”

e. Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang dilakukan orang tua atau yang

mempunyai hubungan.

Hal ini di atur pada pasal 294 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

(1) “barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak

dibawah pengawasannya, yang belum dewasa atau dengan orang yang belum dewasa yang
pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya atau pun dengan

bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, di ancam dengan pidana penjara paling lama

tujuh tahun.”

(2) Di ancam dengan pidana yang sama:

1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawahnya atau orang yang

dipercayakan atau diserahkan padanya.

2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat bekerja kepunyaan

Negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit gila, lembaga social, yang melakukan

perbuatan cabul dengan orang yang dimasukan kedalamnya.

Pada kasus “pelecehan seksual” yang selalu diributkan terutama antara atasan dengan bawahan

pada hakikatnya dilindungi dengan pasal ini. Namun perlu disadari bahwa pembuktiannya bukan

hal yang tidak rumit. Misalnya sorang direktur, pada suatu hari karena melihat pakaian

sekretarisnya mencolok, akhirnya menimbulkan keinginan baginya untuk mengelus-elus pantat

dan payudaranya. Karena tidak ada saksi lain atau alat bukti lain, bukan mustahil direktur tersebut

menjadikan sekretaris tersebut sebagai tersangka.

Tindak pidana yang disebutkan dalam pasal ini adalah melakukan perbuatan cabul atau

persetubuhan, yang telah disebut juga dalam pasal-pasal sebelumnya.

Menurut pasal ini perbuatan cabul atau persetubuhan dilakukan dengan mereka yang dikategorikan

khusus yaitu yang dipercayakan padanya untuk diasuh, dididik atau dijaga. Demikian juga jika

yang melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan adalah pegawai negri dan dilakukan dengan

orang yang dalam pekerjaannya adalah bawahannya, atau dengan orang yang dipercayakan atau

diserahkan padanya untuk dijaga.


Menurut pasal ini maka perbuatan-perbuatan cabul atau persetubuhan adalah suatu tindak

pidana biasa.”

f. Memudahkan anak dibawah umur untuk berbuat cabul

Hal ini di atur pada pasal 295 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

(1) Di hukum:

1. Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan

atau memudahkan anaknya, anak tirinya atau anak piaraanya, anak yang dibawah pengawasannya

semuanya dibawah umur yang diserahkan padanya supaya dipeliharanya, dididik atau dijaganya,

atau bujangnya atau orang bawahannya, keduanya dibawah umur yakni semua orang tersebut itu

melakukan perbuatan cabul dengan orang lain;

2. Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun barang siapa ddengan sengaja

menyebabkan atau memudahkan dalam hal di luar yang di sebut pada butir 1 orang yang dibawah

umur, yang diketahui atau patut dapat disangkanya bahwa ia dibawah umur, melakukan perbuatan

cabul dengan orang lain.

(2) Kalau melakukan kejahatan itu oleh yang bersalah dijadikan pekerjaan atau kebiasaan, maka

hukuman itu boleh ditambah sepertiganya.

Menyebabkan atau memudahkan itu harus dilakukan dengan sengaja, misalnya:

- Seorang ibu membiarkan anaknya yang masih dibawah umur tanpa orang lain berduaan dengan

seorang laki-laki dalam sebuah kamar.

Tindak pidana ini terdiri atas menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan

cabul atau persetubuhan dengan orang-orang tertentu yang tersebut dalam pasal ini dalam ke-2

orang lain yang disebut dalam ke-1 dirumuskan secara umum yaitu mereka yang diketahuinya atau
patut harus menduganya belum dewasa. Menurut ayat kedua dari pasal ini tindak pidana tersebut

ancamannya diperberat secara khusus jika dilakukan sebagai pekerjaan atau kebiasaan.”

g. Mata pencaharian mengadakan / memudahkan perbuatan cabul

Hal ini diatur pasal 296 KUHP yang bunyinya sebagai berikut.

“barang siapa yang pekerjaanya atau kebiasaanya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan

perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun

empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.”

Kata “pekerjaanya” juga pada teks lain dipakai “pencahariannya”. Dimaksudkan

bahwa yang bersangkutan menerima bayaran. Kata “sengaja” ditunjukan pada mengadakan atau

memudahkan perbuatan cabul. Kata “kebiasaan” berarti telah berulang-ulang dan hal ini harus

dibuktikan.

Dahulu, Hoge Raad (6 oktober 1942) menafsirkan bahwa menyewakan kamar untuk

memberi kesempatan melakukan perbuatan cabul dengan orang lain. Telah termasuk pengertian

memudahkan. Pendapat demikian itu, pada saat ini sulit diterima. Karena dengan perkembangan

dan kemajuan dunia, dunia bisnis telah pula berkembang dengan pesat. Sehingga persaingan

semakin ketat dan upaya menngkatkan pelayanan juga tidak terlepas dari persaingan. Usaha /

bisnis hotel, motel maupun penginapan. Sudah enggan menanyakan identitas tamunya. Telah

dirasa cukup bila tamu tersebut mengisi formulir atau mengisi buku tamu, tetapi bagi motel hal

yang demikian telah jarang diperlakukan, cukup kalau tamu tersebut telah membayar, selanjutnya

yang menyewa kamar tersebut apa dia sendiri atau dengan orang lain menemaninya, tidak menjadi

persoalan baginya. Pada umumnya bisnis motel dimana-mana memang demikian. Bahkan

penyewa telah dapat langsung dengan kendaraannya kegarasi sehingga siapa yang berada dalam
mobil, tidak ada yang mengetahui. Seadangkan pembayaran langsung ditagih pegawai motel

tersebut.

Selain dari hal yang diutarakan diatas, tampaknya pasal ini tidak dapat diterapkan pada

lokalisasi wanita tuna susila (wts). Bahwa tampaknya masyarakat telah dapat menerima adanya

tempat lokalisasi WTS dari pada tersebar dimana-mana.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pasal 296 KUHP tidak dapat diperlakukan terhadap

areal lokalisasi WTS.

RUU KUHP masih mempertahankan pasal 296 KUHP yang diambil alih pada pasal 398

bahkan meningkatkan sangsi pidana menjadi “dua belas tahun penjara”. Hal ini jelas di muat pada

penjelasan resmi pasal 398 yang bunyinya sebagai berikut:.

Pasal ini diadakan untuk memberantas bordil-bordil atau tempat-tempat pelacuran yang

banyak terdapat di kota-kota di Indonesia. Disini dijadikan pula sebagai unsur-unsur “menjadikan

sebagai pekerjaan atau kebiasaan”, dengan pekerjaan dimaksudkan bilamana dalam usaha itu

dilakukan pembayaran-pembayaran, sedangkan dalam pengertian kebiasaan termasuk bahwa

orang tersebut melakukannya lebih dari satu kali. Ancaman pidana penjara minimum adalah untuk

menunjukan sifat berat tindak pidananya.”

Persepsi tentang “kebiasaan” pada penjelasan tersebut, tidak tepat. Lebih dari satu kali,

dapat menjadi dua kali sedang jika dua kali saja umumnya belum dapat disebut berulang-ulang.

Dua kali baru dapat dikatakan berulang.

A. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana


1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana yang dikenal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
yang dimana pembentuk undang-undang mengenalnya dengan istilah strafbar feit. Di dalam
bahasa Belanda, Strafbar yang berarti dapat dihukum, sedangkan feit yang berarti suatu kenyataan
atau fakta. Strafbar feit menurut pendapat Simons ialah “kelakuan (handeling) yang diancam
dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab44[24].
Sedangkan menurut pendapat Van Hamel, strafbar feit adalah “kelakuan orang (menselijke
gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan45[25]” Beberapa asumsi atau pendapat mengenai
pengertian tindak pidana menurut para ahli seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum
pidana yaitu Moeljatno, menurutnya tindak pidana yang dikenalnya dengan istilah perbuatan
pidana yang berarti “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut46[26].
Berdasarkan asumsi di atas, dalam hal dilarang dan diancamnya perbuatan pidananya, yaitu 1 ayat
(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dimana suatu asas yang menentukan bahwa tidak
ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam perundang-undangan, Kalimat asas yang tersebut di atas, lebih dikenal dalam bahasa latin
sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
peraturan lebih dahulu), kalimat tersebut berasal dari Von Feurbach, seorang sarjana hukum pidana
Jerman. Asas legalitas tersebut yang dimaksud mengandung tiga pengertian yang dapat
disimpulkan yaitu antara lain :
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b. Untuk menentukan suatu perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Perbedaaan pandangan dan pendapat dari para ahli hukum maupun pembentuk undang-undang
dalam hal mendefinisikan istilah tindak pidana yang disetarakan dengan istilah perbuatan pidana,
maupun peristiwa pidana dan lain sebagainya kemungkinan untuk mengalihkan bahasa dari istilah
asingnya yaitu stafbaar feit, akan tetapi dari pengalihan bahasa tersebut apakah berpengaruh atau
tidak dalam makna dan pengertiannya, yang disebabkan sebagian besar di kalangan para ahli
hukum belum secara jelas dan terperinci dalam menerangkan pengertian istilah tindak pidana,
ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal tersebutlah yang merupakan pokok perbedaan
pandangan diantara para ahli hukum dalam mendefinisikan istilah tindak pidana.
Pengertian tindak pidana merupakan suatu dasar dalam ilmu hukum terutama hukum pidana
yang dimana ditujukan sebagai suatu istilah perbuatan yang melanggar norma-norma atau aturan
hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana harus
memenuhi syarat-syarat seperti :
a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang.
b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus
telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat
dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.
D Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu Dari
syarat-syarat di atas, perbuatan yang dapat dikatakan suatu tindak pidana ialah perbuatan yang
dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum atau undang-undang
yang berlaku dan disertai ancaman hukumannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
mencantumkan sanksinya.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana


Dalam kita mengklasifikasikan suatu tindak pidana ke dalam unsur-unsurnya, yang perlu
diperhatikan ialah apakah perbuatan tersebut telah melanggar undang-undang atau tidak. Berbagai
macam tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada
umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur
objektif. Unsur subjektif tersebut merupakan unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu antara lain sebagai
berikut :
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus atau Culpa);
dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum atau undang-undang
yang berlaku dan disertai ancaman hukumannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal
53 ayat 1 KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-
kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau Voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan
pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308
KUHP47[27]
Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-
keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu antara lain sebagai berikut :
a. Sifat melanggar hukum atau Wederrechtelicjkheid;

b. Kwalitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan

jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu

Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan

sebagai akibat48[28]
Dari uraian di atas, yang terpenting dalam merumuskan suatu tindak pidana ialah apakah dari

perbuatan tersebut terdapat suatu sifat melanggar hukum, walaupun pembentuk undang-undang

tidak menyatakan dalam suatu unsur tindak pidana, akan tetapi unsur tersebut sebenarnya dapat

bertujuan untuk mengklasifikasikan bahwa benar perbuatan tersebut ialah suatu tindak pidana, dan

unsur lainnya seperti kausalitas yang dimana sebab dan akibat menjadi tolak ukur dalam

menentukan bahwa itu suatu tindak pidana atau bukan merupakan tindak pidana.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Pembagian jenis-jenis tindak pidana atau delik menurut ilmu pengetahuan hukum pidana yang

dapat dibedakan dari beberapa sudut yang antara lain sebagai berikut :

a. Berdasarkan sistem KUHP terdapat delik kejahatan dan delik pelanggaran tersebut terdapat dalam

KUHP. Pembedaan dan pembagian terletak pada buku II KUHP yang mngatur tentang kejahatan

dan buku III yang mengatur tentang pelanggaran. Dalam ancaman pidananya, pelanggaran lebih

ringan dari pada kejahatan yang dimana kejahatan yang ancaman pidananya menitikberatkan

penjara, sedangkan pelanggaran lebih menitikberatkan denda atau kurungan. Secara kuantitatif,

pembuat undang-undang membedakan delik kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut :

1) Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia.

Jika seseorang melakukan delik di luar negeri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di

Indonesia maka dipandang tidak perlu dituntut.

2) Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tindak pidana tidak dipidana.

3) Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung apakah itu kejahatan

atau pelanggaran.
b. Dari segi perumusannya terdapat delik formil dan delik materil. Delik formil adalah

suatuperbuatan pidana atau tindak pidana yang dianggap selesai dengan dilakukannya suatu

perbuatan yang dilarang. Sedangkan delik materil adalah suatu tindak pidana yang selesai atau

sempurna dengan timbulnya akibat yang dilarang.

c. Dari segi sifat perbuatannya terdapat delik komisi dan delik omisi. Delik komisi yaitu tindak pidana

yang perbuatannya berupa perbuatan aktif yang melanggar larangan. Yang dimaksud perbuatan

aktif tersebut adalah perbuatan yang mewujudkan disyaratkannya adanya gerakan dari anggota

tubuh yang berbuat. Sedangkan delik omisi dibedakan menjadi dua macam yaitu delik omisi murni

dan delik omisi tidak murni. Delik omisi murni adalah membiarkan sesuatu yang diperintahkan.

Sedangkan delik omisi tidak murni merupakan tindak pidana yang terjadi jika oleh undang-undang

tidak dikehendaki suatu akibat yang ditimbulkan dari suatu pengabaian.

d. Dari bentuk kesalahannya terdapat delik sengaja dan delik tidak sengaja. Delik sengaja adalah

tindak pidana yang di dalam rumusannya dengan kesengajaan atau mengandung unsur

kesengajaan. Sedangkan delik kelalaian atau tidak dengan sengaja adalah tindak pidana yang

dimana dalam rumusannya tidak mengandung unsur kesengajaan.

e. Dari segi penuntutannya terdapat delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah tindak pidana

yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan oleh orang yang merasakan dirugikan terhadap

tindakan pelaku. Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa adanya

suatu pengaduan.

f. Dari segi perbuatannya terdapat delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan. Delik yang

berdiri sendiri yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas satu perbuatan, sedangkan delik yang

diteruskan yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas beberapa perbuatan yang mempunyai

pertalian yang sedemikian eratnya sehingga harus dianggap satu perbuatan. Pembagian antara
g. Dari segi keadaan terdapat delik selesai dan delik berlanjut. Delik selesai yaitu tindak pidana yang

selesai terjadi dengan melakukan satu atau beberapa perbuatan tertentu, sedangkan delik berlanjut

yaitu tindak pidana yang dilakukan untuk melangsungkan suatu keadaan terlarang.

h. Dari sudut berapa kali perbuatannya yang dilarang yang dilakukan terdapat delik tunggal dan delik

berangkai. Delik tunggal yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas satu perbuatan atau sekali saja

dilakukan, sedangkan delik berangkai ialah suatu tindak pidana yang terdiri dari beberapa jenis

perbuatan.

i. Dari sudut kepentingan negara terdapat delik politik dan delik kelompok. Delik politik ialah tindak

pidana yang tujuannya di arahkan kepada keamanan negara dan terhadap kepala negara, sedangkan

delik kelompok yaitu tindak pidana yang tidak ditujukan terhadap keamanan negara atau kepala

negara. Dari sudut unsur perbuatannya terdapat delik sederhana, delik dengan pemberatan dan

delik peringanan. Delik sederhana yaitu tindak pidana dalam bentuk pokok seperti yang telah

dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Delik dengan pemberatan yaitu tindak pidana yang

mempunyai unsur yang sama dengan tindak pidana bentuk pokok akan tetapi ada unsur-unsur lain

yang ditambahkan, sehingga ancaman pidananya lebih berat dari tindak pidana pokoknya.

Sedangkan delik peringanan ialah tindak pidana yang mempunyai unsur yang sama dengan tindak

pidana bentuk pokoknya akan tetapi ditambahkan unsur-unsur lainnya yang dan dapat

meringankan ancaman pidananya.

j. Dari segi subyek hukumnya terdapat delik propria (khusus) dan delik komun (umum). Delik

propria atau delik khusus adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang tertentu seperti

pegawai negeri sipil atau yang mempunyai kedudukan struktural di pemerintahan. Sedangkan

delik komun atau delik umum ialah tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang.

Anda mungkin juga menyukai