Anda di halaman 1dari 31

PIDANA DAN PEMIDANAAN

Mata kuliah : Hukum Penitensier


Dosen : Dr. A. Irzal Rias, S.H,M.H

Disusun Oleh :

Lisna Darmah ( 1910112187 )

Annisa Rahmi ( 19101113032 )

Briyan Dwi Rahmat ( 1910111037 )

Aditya Cakra Fajar ( 1910113064 )

Aldo Rizki Valentino ( 1910111064 )

Kelas 2.5

Jurusan Ilmu Hukum

Fakultas Hukum

Universitas Andalas
2020
DAFTAR ISI

Daftar isi…………………………………...……………………………….........…..........................................................i

Kata Pengantar …………………………………..……………………………………………………………….........………….…….ii

Bab I Pendahuluan ………………...……………………………………………………….………………..…..........……………. 1

I.I Latar Belakang …………………...………………………………………………………..………………………........…….……1

I.II Rumusa Masalah …………….………………………............................................…………………………………...1

I.III Tujuan Pembahasan ….…………………………….......................................………………………….…………….1

Bab II……………………………………………………………………………………………………………………………..………….…2

IPembahasan……….………………………………………………………...................................................……………..2

Bab III Penutup ………………………..…………………………………………………………….………...…….......……..……30

I.I Saran ………………………………………………………………………………………………….………….........………………30

1.II Kesimpulan……………………………………………………………………………….…………………........……….……….30

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………….……………........………………….……….....31

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa
sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah
sebagai tugas dari mata kuliah Hukum Penitensier dengan judul “ Pidana dan Pemidanaan ”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen Hukum
Penitensier kami yang telah membimbing penulis.

Demikianlah hal yang dapat disampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Jakarta ,18 September 2020

Penulis
ii

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan
yang diharapkan. Manusia selalu dihadapkan pada masalah-masalah atau pertentangan dan
konflik kepentingan antar sesamanya. Dalam keadaan yang demikian ini hukum diperlakukan
untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat.
Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan
pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana
adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam
KUHP Indonesia yang mengancam kejahatankejahatan berat dengan pidana mati.
Waktu berjalan terus dan di berbagai negara terjadi perubahan dan  perkembangan
baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan diberbagai
bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidak sama mengenai permasalahan kedua
komponen tersebut diatas. Dengan adanya pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian
sosio-kriminologis, maka harapan yang ditimbulkan pada masa lampau dengan adanya berbagai
bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar kejahatan-kejahatan yang berat dapat dibasmi,
dicegah atau dikurangkan, ternyata merupakan harapan hampa  belaka
b. Rumusan Masalah
1. Istilah dan pengertian pidana dan pemidanaan?
2. Sejarah pidana dan pemidanaan?
3. Perkembangan pidana dan pemidanaan?
c. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami istilah dan pengertian pidana dan pemidanaan
2. Untuk mengetahui dan memahami sejarah pidana dan pemidanaan
3. Untuk mengetahui dan memahami perkembangan pidana dan pemidanaan
1

BAB II

PEMBAHASAN

A. Istilah dan pengertian pidana dan pemidanaan


Istilah Hukum Pidana berasal dari Belanda yaitu Straafrecht. Dalam bahasa Indonesia Straaf
artinya Sanksi, Pidana, Hukuman, dan Recht artinya Hukum. Hukum pidana adalah peraturan
hukum mengenai pidana. Kata pidana berarti hal yang “dipidanakan“ oleh instansi yang berkuasa
dilimpahkan pada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan hal yang tidak
sehari hari dilimpahkan. Ada alasan untuk melimpahkan pidana, dan alasan ini selayaknya ada
hubungan dengan suatu keadaan, yang didalamnya seorang oknum bersangkutan bertindak
kurang baik. Maka unsur “hukuman” sebagai suatu pembalasan tersirat dalam kata “pidana”.
Kata “hukuman” tidak dapat menggantikan kata “pidana”, sebab ada istilah “hukum pidana”
disamping “hukum perdata”.
Sebenarnya, arti kata suatu istilah tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah pengertian
suatu istilah. Pengertian ini, sering diterapkan untuk membedakannya dari suatu istilah, dengan
tidak begitu mengutamakan arti kata.
Moeljatno mengatakan bahwa, Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupapidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Dari definisi diatas, dapat diuraikan lebih lanjut : Bahwa dalam suatu Negara yang berdaulat,
disamping hukum pidana, masih banyak disiplin hukum yang lain. Perbuatan yang tidak boleh
dilakukan, disertai sanksi pidana bagi yang melanggar larangan tersebut, lazim disebut sebagai
perbuatan pidana, tindak pidana, peristiwa pidana, delik.

Menurut sistem KUHP kita, delik dibagi 2, yaitu :

a. Kejahatan ( diatur dalam buku II KUHP )


b. Pelanggaran ( diatur dalam buku III KUHP )
Menurut sistem RUU KUHP kedua hal diatas diatur dalam satu buku, yaitu buku II tentang
tindak pidana. RUU KUHP terdiri dari 2 buku, yaitu :

a. Ketentuan umum ( diatur dalam buku I KUHP )


b. Tindak pidana ( diatur dalam buku II KUHP )

Untuk menentukan kapan seseorang dapat dikatakan telah melakukan suatu perbuatan
pidana, asas legalitas ditentukan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, Dalam asas ini tampak adanya
jaminan kepastian hukum dan diisyaratkan juga bahwa ketentuan undang undang harus
dirumuskan secermat mungkin ( asas lex certa : undang undang dapat dipercaya ). Dalam
hubungan asas legalitas ini seorang sarjana hukum pidana Jerman, Anselm von Feuerbach,
merumuskan asas legalitas dengan kalimat : nullum crimen, nullum poena sine praevia lege.
Artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang undang lebih dulu.
Ketentuan kapan dan dalam hal apa mereka yang telah melanggar larangan tersebut dapat
dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancam, merupakan pertanggungjawaban pidana.
Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan hukum pidana materill.
Ketentuan mengenai cara menuntut ke pengadilan terhadap orang yang telah melakukan
perbuatan pidana disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana.
Pengertian hukum pidana menurut Moeljanto sebagaimana yang sudah dijabarkan diatas
meliputi hukum pidana materill dan hukum pidana formil.

Menurut Hazewinkel Suringa, hukum pidana objektif ( jus poenali ), terdiri dari :

1. Perintah dan larangan yang pelanggaran terhadap larangan dan norma tersebut diancam
pidana oleh badan yang berhak.
2. Ketentuan ketentuan mengenai upaya yang dapat dipergunakan jika norma itu dilanggar
disebut hukum penitentiaire tentang hukum dan sanksi.
3. Aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma tersebut.

Sedangkan hukum pidana subjektif ( jus puniendi ) adalah hak Negara untuk menuntut
pidana, hak untuk menjatuhkan pidana, dan hak untuk melaksanakan pidana

Menurut Vos, Hukum pidana ada 2, yaitu :

1. Hukum pidana Objektif ( jus poenali )


Adalah aturan aturan hukum objektif, yakni aturan hukum pidana. Hukum pidana materil
mengatur keadaan yang timbul dan tidak sesuai dengan hukum serta hukum acara beserta
sanksi ( hukum penitensier ) aturan mengenai kapan, siapa, dan bagaimana pidana
dijatuhkan.
2. Hukum pidana Subjektif ( jus puniendi )
Adalah hak subjektif penguasa terhadap pemidanaan, terdiri dari hak untuk menuntut
pidana, menjatuhkan pidana, dan melaksanakan pidana.

Simons membagi hukum pidana menjadi 2, yaitu :


1. Hukum Pidana dalam arti Objektif
Adalah seluruh larangan atau hal yang dilarang sebagai pelanggaran oleh Negara atau
kekuasaan umum yang dapat dikenai pidana terhadap pelanggar dan bagaimana pidana itu
diterapkan
2. Hukum Pidana dalam arti Subjektif
Adalah hak Negara memberikan hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan disebut jus
puniendi
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku dalam suatu Negara, yang terdiri dari hukum pidana materil maupun hukum
pidana formil.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, bahwa pidana mengandung unsur –unsur sebagai
berikut :
1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau
akibat –akibat lain yang tidak menyenangkan
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang memiliki kekuasaan
(orang atau lembaga berwenang)
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang penanggung jawab tindak pidana menurut
undang undang
Menurut Andi Hamzah, Pemidanaan atau hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai
suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang.
Pemidanaan berbicara tentang sanksi yang menderitakan.
Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai
suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa
sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur
bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga
seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan
mengenai hukum pidana substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan pidana dapat
dilihat sebagai suatu kesatuan sistem pemidanaan. Barda narwi beranggapan bahwa pemidanaan
bukan hanya berbicara mengenai sanksi yang dijatuhkan tetapi juga mengenai prosedur
penjatuhan sanksi berserta hukum yang mengatur baik secara materil maupun formil berkaitan
dengan hal tersebut.
Menurut Sudarto, Istilah hukuman mengandung pengertian umum sebagai sanksi yang
dengan sengaja ditimpakan kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran hukum, baik
hukum pidana maupun hukum perdata, sedangkan istilah pidana merupakan suatu pengertian
khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Artinya, dalam hal terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan hukum pidana. Maka, kepada pelaku dapat dikenakan sanksi berupa
pidana. perkataan pemidanaan adalah sinonim dari istilah penghukuman. Penghukuman itu
berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai, ”menetapkan hukuman” atau
“memutuskan tentang hukumannya. Dengan demikian, pemidanaan dapat diartikan sebagai
penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan konkritisasi atau realisasi dari ketentuan pidana
dalam undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak, pemidanaan juga diartikan
sebagai akibat dari sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi
sosial) atas sesuatu perbuatan. Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan
juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana.
Pemidanaan merupakan tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana seorang
terdakwa, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukuman atau memutuskan tentang
hukumannya (berechten). Pemidanaan dijelaskan sebagai penjatuhan pidana oleh hakim yang
merupakan konkritisasi atau realisasi dari ketentuan pidana dalam UU yang merupakan sesuatu
yang abstrak.
Terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan,
yaitu :
1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri
2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan –kejahatan
3. Untuk membuat penjahat –penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan
kejahatan –kejahatan yang lain, yakni penjahat –penjahat yang dengan cara yang lain
sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Dalam pemidanaan ada tiga golongan utama teori pemidanaan untuk membenarkan
penjatuhan pidana, yaitu:
1. Teori Absolute atau Teori Mutlak, (Vergeldings Theorien)
Teori retribution atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan
untuk :
a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar
e. Pidana melihat kebelakang, merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya
f. Tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar
Menurut Muladi Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan
dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa
sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk
memuaskan tuntutan keadilan.
2. Teori Relatif atau Nisbi (Doel Theorien)
Teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:
a. Pencegahan (prevention)
b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan
yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku
saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya
pidana
d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan
e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung unsur
f. pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat
diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat.
Teori tujuan, memberikan makna pemidanaan sebagai sarana guna menegakkan
norma hukum dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar
pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana
mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku
tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental
3. Teori Gabungan (Verenigings Theorien)
Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori
pembalasan maupun tujuan. Untuk perbuatan yang jahat, keinginan masyarakat untuk
membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara terhadap
penjahat/narapidana, namun teori tujuanpun pendapatnya diikuti, yaitu terhadap
penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari penjara tidak
melakukan tindak pidana lagi.16Sanksi hukum pidana, diancamkan kepada pembuat
tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yaitu merupakan ciri-ciri perbedaan hukum
pidana dengan hukum-hukum lainnya. Sanksi pidana pada umumnya adalah sebagai alat
pemaksa agar seseorang menaati norma-norma yang berlaku, dimana tiap-tiap norma
mempunyai sanksi sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang diharapkan adalah upaya
pembinaan
Pemberian sanksi pidana pada dasarnya bertujuan untuk :
1. Untuk memperbaiki diri dari penjahatnya itu sendiri
2. Untuk membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan
3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan
kejahatan-kejahatan lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara- cara lain sudah
tidak dapat diperbaiki lagi

Jenis Jenis Sanksi Di Indonesia


Di Indonesia dikenal jenis-jenis sanksi pidana berdasarkan padal pasal 10 KUHP
yaitu: Pidana Pokok yang terdiri dari:
1. Pidana Mati
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 (pnps) Tahun 1964, diganti
menjadi Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1969, pidana mati di Indonesia
dijalankan dengan cara tembak mati. Namun dalam pasal 11 KUHP pidana mati
dilaksanakan dengan cara digantung. Eksekusi pidana mati dilakukan dengan
disaksikan oleh Kepala Kejaksaan setempat sebagai eksekutor dan secara teknis
dilakukan oleh polisi.
2. Pidana Penjara
Adalah bentuk pidana yang berupa pembatasan kebebasan bergerak
yang dilakukan dengan menutup atau menempatkan terpidana didalam sebuah
lembaga permasyarakatan dengan mewajibkannya untuk mentaati semua
peraturan tata tertib yang berlaku didalam lembaga permasyarakatan tersebut.
A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah menegaskan bahwa “Pidana penjara
merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”. Pidana
penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk
pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.
Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal satu hari
sampai penjara seumur hidup. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Roeslan
Saleh, bahwa: Pidana penjara adalah pidana utama dari pidana kehilangan
kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau
untuk sementara waktu.
3. Pidana Kurungan
Merupakan salah satu jenis hukuman yang lebih ringan dari hukum
penjara. Hukuman kurungan ini dilaksanakan di tempat kediaman yang
terhukum, hukuman kurungan paling sedikit satu hari dan paling maksimal satu
tahun. Sedangkan denda setinggi-tingginya satu juta seratus ribu rupiah atau
sekecilnya lima puluh ribu rupiah
Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan,
yaitu:
a. Sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut
kejahatan kesusilaan, yaitu delic culpa dan beberapa delic dolus, seperti
perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal
396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh yang
dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan.
b. Sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik
pelanggaran.
4. Pidana Denda
Pada zaman modern ini, pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik
ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu pula, pidana
denda merupakan satu- satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain
terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada
larangan jika benda itu secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa
pelanggaran atau kejahatan ringan. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Van
Hattum bahwa: Hal mana disebabkan karena pembentuk undang-undang telah
menghendaki agar pidana denda itu hanya dijatuhkan bagi pelaku-pelaku dari
tindak-tindak pidana yang sifatnya ringan saja. Oleh karena itu pula pidana
denda dapat dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun denda
dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara
sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
5. Pidana Tutupan
Disediakan bagi para politis yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh
ideologi yang dianutnya. Akan tetapi, dalam praktik peradilan dewasa ini tidak
pernah ketentuan tersebut diterapkan.
Pidana Tambahan yang terdiri dari:
1. Pencabutan hak-hak tertentu.
Dalam pelaksanaanya. Sanksi pencabutan hak-hak tertentu meliputi, hak
memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu, hak memasuki angkatan
bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan perundang-undangan, hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas
penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau
pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri.Kelima, hak menjalankan
kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
Keenam, hak menjalankan mata pencarian tertentu. Akan tetapi hakim dalam
memberikan putusan tidak boleh melakukan pemecatan terhadap seorang terdakwa
karena hal tersebut merupakan kewenangan pejabat dari instansi yang
bersangkutan.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan sanksi pencabutan hak-hak
tertentu diantaranya mengenai jangka waktu pencabutan hak yang bersangkutan
yaitu: pertama, jika terpidana dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, maka lamanya pencabutan hak adalah seumur hidup. Kedua, dalam hal
pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan
paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana
pokoknya. Ketiga, dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua
tahun dan paling banyak lima tahun. Keempat, pencabutan hak mulai berlaku pada
hari putusan hakim dapat dijalankan
2. Perampasan barang-barang tertentu
Perampasan barang-barang tertentu mencakup: pertama, perampasan yang
mencakup penyitaan terhadap barang yang digunakan untuk melakukan perbuatan
pidana serta perampasan yang mencakup penyitaan terhadap objek yang
berhubungan dengan perbuatan pidana dan juga perampasan dalam pengertian
penyitaan terhadap hasil perbuatan pidana atau fructum sceleris.
KUHP memberikan batasan terhadap pelaksanaan sanksi pidana perampasan
barang-barang tertentu yaitu sebagai berikut:
1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau
yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan.
2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan
sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan
perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.
3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan
kepada pemerintah, tetapi hanya atas barangbarang yang telah disita.
4. Jika seorang dibawah umur 16 tahun mempunyai, memasukan atau
mengangkut barang-barang dengan melanggar aturan-aturan mengenai
penghasilan dan persewaan Negara, aturan-aturan mengenai pengawasan
pelayaran di bagian-bagian Indonesia yang tertentu, atau aturan-aturan
mengenai larangan memasukan, mengeluarkan, dan meneruskan
pengangkutan barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan peidana
perampasan atas barangbarang itu, juga dalam hal yang bersalah diserahkan
kembali kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya tanpa pidana
apapun.
5. Pengumuman putusan hakim. Pelaksanaan sanksi pengumuman putusan
hakim merupakan salah satu jenis pidana yang sebenanrnya dianggap
sangat berbahaya bagi sebagian terdakwa dikarenakan pelaksanaanya
sangatlah berkaitan erat dengan nama baik dan martabatnya. Dalam konteks
KUHP dinyatakan apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan
berdasarkan KUHP atau aturan-aturan umum lainnya, maka ia harus
menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya
terpidana.
Menurut Tolib Setiady perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai
berikut:
1. Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal
perampasan barang-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada
pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan
pada tindakan).
2. Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pidana pokok,
sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun
tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam
ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau
keharusan)

B. Sejarah pidana dan pemidanaan


a. Masa kejayaan Nusantara
Pada masa kerajaan Nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat
aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab
hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi
ius sangatlah tepat. Karena di manapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan
kelompok maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan
hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip
kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur
tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat.
Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku
aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan
kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-
undang raja niscaya, undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab
Adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat
aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara.
Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan
masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan hukum pidana di masa itu.
Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari konsep pidana Islam serta konsep
pembuktian yang harus lebih dari tiga orang menjadi bukti bahwa ajaran agam Islam
mempengaruhi praktik hukum pidana tradisional pada masa itu.
b. Masa sebelum penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang di mulai oleh Vasco da Gamma pada tahun
1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana
adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya di berlakukan di wilayah
adat tertentu. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, bangsa Indonesia telah memberlakukan
Hukum Pidana, pada masa itu atau tepatnya pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan
yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam hukum adat
yang berlaku didalam masyarakat dan juga keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum
yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi
iussangatlah tepat. Karena dimanapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan
kelompok maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan
hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip
kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat. dan  Hukum pidana
adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat. Jadi pada masa itu bangsa Indonesia telah
memberlakukan hukum Pidana Adat, Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini
bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan
hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan
hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di
Indonesia. Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat
ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi
satu. Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan
agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana
adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum
Islamnya.Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran ajaran
Hindu.
Disamping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat
tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan  mengenai hukum pidana
adat ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan dan kadang-kadang
pelaksanaan hukum pidana diwilayah yang bersangkutan. Namun dibeberapa wilayah adat
nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tertulis, sehingga
dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang
berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahja yang berisi hukum adat Sumatra Selatan dan Kitab
Adigama yang berisi hukum adat Bali.
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk
oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana
adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum
pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang
pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di
Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat
dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi
hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan
Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.

c. Masa sesudah kedatangan penjajah Belanda


1. Masa penjajahan
Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai lebih dari empat abad. Indonesia
mengalami penjajahan sejak pertama kali kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian
selama tiga setengah abad dibawah kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami
pemerintahan dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali
pergantian pemegang kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan
signifikan.
Pola pikir hukum barat yang sekuler dan realis menciptakan konsep peraturan hukum
baku yang tertulis. Pada masa ini perkembangan pemikiran rasional sedang berkembang
dengan sangat pesat. Segala peraturan adat yang tidak tertulis dianggap tidak ada dan
digantikan dengan peraturan-peraturan tertulis. Tercatat beberapa peraturan yang dibuat
oleh pemerintah kolonial Belanda seperti statuta Batavia (statute van batavia). Berlaku dua
peraturan hukum pidana yakni KUHP bagi orang eropa (weetboek voor de europeanen)
yang berlaku sejak tahun 1867. Diberlakukan pula KUHP bagi orang non eropa yang
berlaku sejak tahun 1873.
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie ( VOC ) Tahun 1602 – 1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang
ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan
pidana oleh VOC. VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan
“kekuasaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC
berbentuk hak Octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan
perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-
kerajaan di Nusantara dan  mencetak uang. Dalam usahanya untuk memperbesar
keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati
orang-orang pribumi.
Dalam perkembangannya, salah sseorang Gubernur Jendral VOC yaitu Pieter
Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara-perkara pidana yang
terjadi di peradilan-peradilan adat. Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana
adat adalah terbentuknya Papakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam
peradilan pidana adat.
Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan
pendudukan wilayah Nusantara diduduki oleh Inggris dengan tidak mengadakan
perubahan-perubahan dengan hukum yang sudah berlaku saat itu.
b. Masa Besluiten Regeling ( 1864 – 1855 )
Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki
kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan
kepada raja sepenuhnya sebagai pengusa mutlak, bukan kepada kongsi dagang
sebagaimana terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten Regeling, yaitu
berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan
tertinggi atas daerah-daerah jajahan. Dengan demikian negara Belanda pada masa itu
menggunakan sistem pemerintahan Monarkhi Konstitusi. Raja berkuasa mutlak, namun
kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Mereka tetap memberlakukan
peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan
perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum.
c. Masa Regeling Regelment ( 1855 – 1926 )
Masa Regeling Regelment ( RR ) dimulai karena adanya perubahan sistem
pemerintahan di Negara Belanda, dari monarkhi konstitusi menjadi monarkhi
parlementer.perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam
Grond Wet ( UUD ) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan
kekuasaan raja.
Maka dengan begitu kekuasaan Raja Belanda terhadap daerah jajahan di
Indonesia berkurang. Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-
mata di tetapkan raja dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme
perundang-undangan ditingkat parlemen.
d. Masa Indische Staatregeling ( 1926 – 1942 )
Indische staatregeling ( IS ) adalah pembaharuan dari RR yang mulai berlaku
sejak 1 januari 1926 dengan diundangkannya melalui staatblad Nomor 415 tahun
1925. Pada masa ini, sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam pasal
131 Jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia
beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (
Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie ) tetap diberlakukan kepada seluruh
penduduk Indonesia. Pasal 131 Jo. Pasal 163 IS ini mempertegas pemberlakuan
hukum pidana Belanda semenjak di berlakukan 1 januari 1918.
3. Masa Sesudah Kedatangan Jepang ( 1942 – 1945 )
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang
berlaku  diwilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan
bala tentara Jepang memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu.
Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme  hukum pidana karena wilayah Hindia
Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasaan militer yang tidak saling
membawahi.
d. Masa KUHP 1915 – sekarang
Selama lebih dari seratus tahun sejak KUHP Belanda diberlakukan, KUHP terhadap dua
golongan warganegara yang berbeda tetap diberlakukan di Hindia Belanda. Hingga pada
akhirnya dibentuklah KUHP yang berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP tersebut
menjadi sumber hukum pidana sampai dengan saat ini. Pembentukan KUHP nasional ini
sebenarnya bukan merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung bangsa. Sebab KUHP
yang berlaku saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP Belanda).
Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap peraturan perundang-
undangan.
KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri merupakan turunan dari code penal
perancis. Code penal menjadi inspirasi pembentukan peraturan pidana di Belanda. Hal ini
dikarenakan Belanda berdasarkan perjalanan sejarah merupakan wilayah yang berada dalam
kekuasaan kekaisaran perancis. Desakan pembentukan segera KUHP nasional sebagai sebuah
negara yang pernah dijajah oleh bangsa asing, hukum yang berlaku di Indonesia secara
langsung dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang berlaku di negara penjajah tersebut.
Negeri Belanda yang merupakan negeri dengan sistem hukum continental menurunkan
betuknya melalui asas konkordansi. Peraturan yang berlaku di Negara jajahan harus sama
dengan aturan hukum negeri Belanda. Hukum pidana (straffrecht) merupakan salah satu
produk hukum yang diwariskan oleh penjajah.
Pada tahun 1965 LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) memulai suatu usaha
pembentukan KUHP baru. Pembaharuan hukum pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat
undang-undang yang selalu tertinggal dari realitas sosial menjadi landasan dasar ide
pembaharuan KUHP. KUHP yang masih berlaku hingga saat ini merupakan produk kolonial
yang diterapkan di negara jajahan untuk menciptakan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi
Negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan pidana baru yang
sesuai dengan jiwa bangsa.
Masa pemberlakuan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, dibagi menjadi 4 masa sebagaimana sejarah dalam tata hukum Indonesia yang
didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia yaitu pertama masa pasca
kemerdekaan dengan konstitusi UUD 1945 kedua masa setelah Indonesia menggunakan
konstitusi negara serikat ( konstitusi RIS ) ketigamasa Indonesia menggunakan konstitusi
sementara (UUDS 1950 ) dan keempatmasa Indonesia kembali kepada UUD 1945.
Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana ( KUHP ). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch
Indie ( WvSNI ) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit ( Titah
Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI
adalah keturunan dari WvS Negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di
negara Belanda pada tahun 1886. walaupun WvSNI merupakan turunan ( copy ) dari WvS
Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu memberlakukan asas Konkordasi
( penyesuaian ) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal di hapuskan
dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
Jika dirunut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-
undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum
pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koniklijk Holland.
Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Prancis menjajah Belanda dan
memberlakukan Code Penal ( kodifikasi hukum pidana ) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon
Bonaparte menjadi penguasa Prancis. Pada tahun 1813, Prancis meninggalkan Negara Belanda.
Namun demikian, Negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.
Pada tahun 1886, mulai di berlakukan Wetboek van Strafrechtsebagai pengganti Code Penal
Napoleon.
Setelah perginya Prancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan
hukum pidananya ( code penal ) selama kurang lebih 68 tahun ( sampai tahun 1881 ). Selama 
usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami beberapa perubahan terutama
pada ancaman pidananya. Pidana penyikasaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code
Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda
mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrechtsebagai
penganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakuakan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun
1886.
Sebelum Negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code
Penal Napoleon pada tahun 1886, diwilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah
diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Eropa ) dengan Staatblad tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1867.
Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlender ( Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi ) dengan Staatblad tahun 1872 Nomor 85 dan
dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1873.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum
pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa.
Kenyataan ini dirasakan Idenburg ( Minister van Kolonien ) sebagai permasalahan yang harus
dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninlijk
Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrech
voor Nederlandsch Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 januari 1918.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 ,untuk mengisi
kekosongan hukum pidana  yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II aturan
peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana
Indonesia ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang Undang No 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indiediubah menjadi Wetboek van Strafrechtdan
dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, undang-undang ini juga
tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8
Maret 1942,baik yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang maupun oleh panglima tertinggi
Balantentara Hindia Belanda.
Oleh karena perjuangan Bangsa Indonesia belum selesai pada Tahun 1946 dan
muncullah dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-
undang No 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang No 1 Tahun 1946 bagi
seluruh wilayah Republik Indonesia.
Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia dapat diilustrasikan dalam bagan berikut :

Tahun Peristiwa Selisih waktu

1810 CodePenal diberlakukan di Prancis 1 tahun

1811 CodePenal diberlakukandi Belanda 56 tahun

1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di 6 tahun


Hindia-Belanda

1873 Wetboek van Strafrecht voorInlander berlaku di 8 tahun


Hindia-Belanda

1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda 5 tahun

1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda 29 tahun

1915 Wetboekvan Strafrecht Nedherlands Indie disahkan 3 tahun


untuk Hindia Belanda

1918 Wetboek van Strafrecht Nedherlands Indie 28 taun


deberlakukan di Hindia Belanda

1946 Wetboek van Strafrecht Nedherlands Indie disebut


sebagai KUHP Indonesai

Total                 selisih

Waktu           136 tahun

e. Usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia


Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan
peninjauan dan pembentukan kembali ( reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam
usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia
masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat
Indonesia. Pada pelakasanaanya penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum
pidana positif ( KUHP ), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-
kesepakatan internasional mengenai materi  hukum pidana.
Pembaharuan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia dilaksanakan melalui dua
jalur, yaitu:
1. Pembuatan undang-undang yang maksudnya untuk mengubah, menambah dan melengkapi
KUHP yang sekarang berlaku.
2. Menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang tujuannya untuk
menggantikan KUHP yang sekarang berlaku yang merupakan warisan kolonial.

Adapun alasan-alasan yang mendasari pembaharuan hukum pidana nasional pernah


diungkapkan oleh Sudarto, yaitu :

1. Alasan yang bersifat politik


Adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia memiliki KUHP yang bersifat
nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yang Inherent
dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh
karena itu tugas dari pembentukan Undang-Undang adalah menasionalkan semua
peraturan perundang-undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada
pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2.   Alasan yang bersifat sosiologis
Suatu KUHP adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa,
karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan
perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran
untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada
pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang
benar dan sebaliknya.
3. Alasan yang bersifat praktis
Teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut UU No 1 Tahun 1946
dapat disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah
penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit.dilain pihak, terdapat
berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan
akan  terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena
terjemahan yang kurang tepat.

KUHP nasional dimasa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan


perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah
disepakati oleh masyarakat beradab.Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan
KUHP (materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan
cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana.
Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan
dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.
Pembaharuan hukum pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat Undang-undang
yang selalu tertinggal dari realitas sosial menjadi landasan dasar ide pembaharuan KUHP. KUHP
yang masih berlaku saat ini merupakan produk kolonial yang diterapkan di negara jajahan untuk
menciptkan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi negara yang bebas dan merdeka hendaknya
menyusun sebuah peraturan pidana baru yang sesuai dengan jiwa bangsa.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mencabut, menambahkan, atau
menyempurnakan pasal-pasal dalam KUHP antara lain sebagai berikut:

 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam undang-undang
ini diatur beberapa hal terkait dengan usaha pembaharuan hukum pidana, antara lain:

1. Mengubah kata-kata “Nederlandsch-Indie” dalam peraturan hukum pidana menjadi “Indonesia”.


2. Mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek van
Strafrecht sebagai hukum pidana Indonesia dan bisa disebut KUHP.
3. Perubahan beberapa pasal dalam KUHP agar sesuai dengan kondisi bangsa yang merdeka dan
tata pemerintahan yang berdaulat.
4. Kriminalisasi tindak pidana pemalisuan uang dan kabar bohong.

 Undang Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Dalam undang-undang ini
ditambahkan jenis pidana pokok baru berupa pidana tutupan ke dalam Pasal 10 huruf a KUHP
dan Pasal 6 huruf a KUHP Tentara.
 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter
dan Dokter Gigi. Dengan undang-undang ini KUHP ditambahkan satu pasal, yaitu Pasal 512a
tentang kejahatan praktek dokter tanpa izin.
 Undang Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana.
Dalam undang-undang ini diatur antara lain sebagai berikut:

1. Pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.


2. Penambahan beberapa pasal dalam KUHP, yaitu;

Ø  Pasal 52 a tentang pemberatan pidana (ditambah 1/3) jika pada saat melakukan kejahatan
menggunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia.

Ø     Pasal 142 a tentang kejahatan menodai bendera kebangsaan negara sahabat.
Ø  Pasal 154 a tentang kejahatan menodai bendera kebangsaan dan lambang negara Republik
Indonesia.

 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP. Dengan undang-undang ini
ancaman pidana pada Pasal 359, 360, dan 188 diubah, yaitu:

1. Pasal 359 tentang tindak pidana penghilangan nyawa karena kealpaan dipidana lebih berat dari
pidana penjara maksimal 1 tahun atau pidana kurungan maksimal 9 bulan menjadi pidana
penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun.
2. Pasal 360 tentang tindak pidana karena kesalahan menyebabkan luka berat, sehingga
menyebabkan orang sakit sementara atau tidak dapat menjalankan profesinya semula dipidana
maksimal 9 bulan penjara atau kurungan maksimal 6 bulan atau denda maksimal Rp 300,-,
dipisah menjadi dua ayat yaitu:

Ø  Pasal 360 ayat (1) tentang tindak pidana perlukaan berat karena kealpaan dipidana lebih
berat menjadi pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun.

Ø  Pasal 360 ayat (2) tentang tindak pidana perlukaan karena kealpaan sehingga menyebabkan
seseorang menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan pekerjaan dipidana lebih berat
menjadi pidana penjara maksimal 9 bulan atau pidana kurungan maksimal 6 bulan atau pidana
denda maksimal Rp. 300,-.

Ø  Pasal 188 tentang tindak pidana kebakaran, peletusan, atau banjir yang membahayakan
umum atau menyebabkan matinya orang lain karena kealpaan dipidana lebih ringan yaitu pidana
penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1tahun atau pidana denda maksimal
Rp. 300,-.

 Undang Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP. Dengan
undang-undang ini, kata “vijf en twintig gulden” dalam Pasal 364, 373, 379, 384, dan 407 ayat
(1) diubah menjadi Rp. 250,- (1).
 Undang Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam
KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17
Agustus 1945. Dengan undang-undang ini maka hukuman denda yang ada dalam KUHP maupun
dalam ketentuan pidana yang dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945 harus dibaca dalam mata
uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali.
 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan
Agama. Dengan undang-undang ini, Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditambahkan pasal
baru, yaitu Pasal 156a yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka
umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

1. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia.
2. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa.

 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian. Dengan undang-undang ini
diatur beberapa perubahan beberapa pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan tindak pidana
perjudian, yaitu:

1. Semua tindak pidana perjudian dianggap sebagai kejahatan. Dengan ketentuan ini, maka Pasal
542 tentang tindak pidana pelanggaran perjudian yang diatur dalam Buku III tentang
Pelanggaran dimasukkan dalam Buku II tentang Kejahatan dan ditempatkan dalam Buku II
setelah Pasal 303 dengan sebutan Pasal 303 bis.
2. Memperberat ancaman pidana bagi pelaku bandar perjudian dalam Pasal 303 ayat (1) KUHP dari
pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan atau denda maksimal Rp. 90.000,- menjadi pidana
penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp. 25.000.000,-. Di samping pidana dipertinggi
jumlahnya (2 tahun 8 bulan menjadi 10 tahun dan Rp. 90.000,- menjadi Rp. 25.000.000,-) sanksi
pidana juga diubah dari bersifat alternatif penjara atau denda) menjadi bersifat kumulatif
(penjara dan denda).
3. Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (1) tentang perjudian dalam KUHP dari
pidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda maksimal Rp. 4.500,- penjara maksimal 4 tahun
atau denda maksimal Rp. 10.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat (1).
4. Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (2) tentang residive perjudian dalam KUHP
dari pidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,- menjadi pidana penjara
maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp. 15.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303
bis ayat (2).

 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal
dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana,
Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.

1. Memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat yang diatur dalam Pasal 3 dan
4 KUHP menjadi berbunyi:
Ø  Pasal 3, Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat
udara Indonesia.

Ø  Pasal 4, Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal 438, 444 sampai dengan Pasal 446
tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan
bajak laut dan Pasal 479 hutrf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum,
Pasal 479 huruf l, m, n, o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

2.      Menambah Pasal 95a tentang arti pesawat udara Indonesia, 95b tentang arti penerbangan,
dan 95c tentang arti dalam dinas.

3.      Setelah Bab XXIX KUHP tentang Kejahatan Pelayaran ditambahkan bab baru yaitu Bab XXIX A
tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Dalam
bab baru ini terdapat 28 pasal baru yaitu Pasal 479a-479r.

 Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Dalam
undang-undang ini ditambahkan 6 pasal baru tentang kejahatan terhadap keamanan negara
yaitu Pasal 107 a-f. Pelaksanaan pidana mati yang menurut Pasal 11 dilaksanakan di tiap
gantungan telah diubah dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan
Pidana Mati di Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Eksekusi pidana mati berdasarkan
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dijadikan UU Nomor 2/PnPs/1964
dilaksanakan dengan cara ditembak.

Di samping adanya beberapa perundang-undangan yang merubah KUHP di atas, terdapat juga
beberapa perundang-undangan di luar KUHP yang mengatur tentang pidana. Di antaranya adalah tindak
pidana ekonomi (diatur dalam UU Nomor 7 Drt Tahun 1951 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi), tindak pidana korupsi (diatur dalam UU Nomor 3 tahun 1971
kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan diperbaharui lagi dengan UU Nomor 20
Tahun 2001), tindak pidana narkotika (diatur dengan UU Nomor 22 Tahun 1997), tindak pidana
psikotropika (diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1997), tindak pidana lingkungan hidup (diatur dalam UU
Nomor 23 Tahun 1997), tindak pidana pencucian uang (diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2003), tindak
pidana terorisme (diatur dengan UU Nomor 15 Tahun 2003), dan lain sebagainya.

Sejarah Pemidanaan
Sistem  pemidanaan telah ada di dunia sudah cukup lama, sejarah pemidaanan yang dulu pernah
diterapkan kepada pelaku kejahatan memiliki jenis- jenis sanksi pidana dan tata cara untuk pelaksanaan
sebagai berikut:

1. Pidana membuang / menyingkirkan / melumpuhkan (abad 19). Bentuk pidana


menyingkirkan/melumpuhkan dimaksudkan agar penjahat itu tidak lagi mengganggu masyarakat,
penyingkiran dilakukan dengan beberapa cara misalnya membuang atau mengirim penjahat itu
keseberang lautan. Dalam hal ini juga berlaku dalam adat minangkabau, sanksi pidana dapat
dalam bentuk menyingkirkan yaitu membuang sepanjang adat. Di Indonesia terutama pada
zaman hindia belanda dulu pidana pembuangan ini banyak juga dilakukan terhadap orang – oang
politik.
2. Sistem pemidanaan kerja paksa (abad 17). Misalnya kerja paksa mendayung sampan, cara – cara
kerja paksa itu lama kelamaan menjadi hilang setelah kapal meningggalkan layar. Di Hindia
Belanda kerja paksa sebagai bentuk pidana pernah juga dilakukan terutama dalam pembuatan
jalan raya dan membuat lubang. Walaupun pidana penjara yang dikenal sejak berabad-abad
sebagai “Bui” bagi lawan-lawan politik penguasa namun baru menjadi sesuatu yang bersifat
umum sebagai pengganti pidana mati, pembuangan dan pengasingan.
3. Pidana mati (abad 16). Cara – cara pelaksanaan pidana mati pada abad 16. ini adalah dibakar
atau dibelah dengan ditarik kereta kearah yang berlawanan, dikubur hidup-hidup, digoreng
dengan minyak, ditenggelamkan dilaut atau dijantungnya dicopot serta dirajam sampai mati.
Lama kelamaan tata cara pemidanaan mati itu dilakukan dengan memberikan perhatian terhadap
perikemanusiaan sehingga akhirnya pemidanaan mati digantikan dengan cara dipancung,,
penggantungan ditiang gantungan, dan ditembak mati.

Menurut R. Soesilo, jenis pemidanaan yang pernah ada zaman dahulu di Indonesia seperti:

1. Dibakar hidup terikat pada satu tiang


2. Dimatikan dengan menggunakan suatu keris
3. Dibakar
4. Dipukul
5. Dipukul dengan rantai
6. Ditahan dalam penjara
7. Kerja paksa dalam pekerjaan-pekerjaan umum.

Akan tetapi macam hukuman itu tidak dipakai lagi, sekarang hukuman sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 10 KUHP yang terdiri dari:
1. Pidana Pokok: Pidana Mati; Pidana Penjara; Pidana Kurungan; Pidana Denda
2. Pidana Tambahan; Pencabutan hak-hak tertentu; Perampasan barang-barang tertentu;
Pengumuman putusan hakim

C. Perkembangan pidana dan pemidanaan


a. KUHP saat ini
Sistem pemidanaan yang tercantum dalam K.U.H Pidana mengenal dua macam sistem yaitu,
sistem pemidanaan alternatif dan sistem pemidanaan tunggal. Alternatif artinya bahwa hakim
dalam memutuskan perkara boleh memilah dalam menjatuhkan putusannya, sedangkan sistem
pemidanaan tunggal diartikan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusannya harus sesuai dengan
rumusan yang terdapat dalam Pasal tersebut.
Penjatuhan pidana mati menurut pemidanaan dalam K.U.H Pidana, selalu dialternatifkan dengan
jenis pidana lainnya yaitu pidana penjara, baik pidana penjara seumur hidup maupun pidana
penjara selama-lamanya 20 tahun (pidana penjara sementara waktu 20 tahun), hal ini dapat dilihat
dalam perumusan Pasal 340 K.U.H Pidana tentang pembunuhan berencana. Sistem pemidanaan
yang bersifat tunggal sebagaimana di anut K.U.H Pidana dapat dilihat dalam pasal 489 ayat (1)
Buku ke III K.U.H Pidana tentang pelanggaran terhadap keamanan umum bagi orang dan barang.
b. Sistem Pidana Dan Pemidanaan Dalam Konsep KUHP Baru Sebagai Bagian Dari Pembaharuan
Hukum Pidana Indonesia
Pembaharuan secara etimologis berarti suatu hal yang “lama” dan sedang dalam
prosesnya untuk diperbaharui. Telah dijelaskan di awal bahwa kebijakan hukum pidana ialah
suatu usaha untuk membuat peraturan (pidana) menuju yang lebih baik, tidak hanya
melakukan pengaturan tingkah laku masyarakat, namun juga menciptakan masyarakat yang
sejahtera. Hal ini berarti pembaharuan hukum pidana merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari kebijakan hukum pidana.
Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak proklamasi
kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus
tujuan nasional yang ingin dicapai seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945,
khususnya alinea ke empat.
Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari
aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya
kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Dengan demikian,
pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk
melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan
sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.21 Singkatnya
pembaharuan hukum pidana setidaknya harus menggunakan dua pendekatan, yaitu
pendekatan kebijakan (policy-oriented)
Perkembangan dari pendekatan yang berorientasi terhadap kebijakan ialah lamban
datangnya, hal ini dikarenakan bila kita kembali ke awal pembahasan, kebijakan ini dilakukan
oleh DPR yang pada dasarnya harus melewati proses legislasi, dan proses legislatif belum siap
Untuk pendekatan yang demikian. Serta masalah yang lain ialah proses kriminalisasi ini yang
berlangsung terus menerus tanpa diadakannya suatu evaluasi mengenai pengaruhnya
terhadap keseluruhan sistem. Hal ini mengakibatkan timbulnya:

a. krisis kelebihan kriminalsiasi; dan

b. krisis kelampuan batas dari hukum pidana.

Kebijakan yang ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembaruan hukum pidana,
melalui dua jalur, yaitu:

1. Pembuatan Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, yang maksudnya
untuk menggantikan KUHP yang berlaku sekarang.

3. Pembaruan perundang-undangan pidana yang maksudnya mengubah, menambah, dan


melengkapi KUHP yang berlaku sekarang.
Masalah utama dalam kebijakan kriminal ialah kriminalisasi, yakni proses diikatnya suatu
perbuatan yang sebelumnya tidak diancam dengan sanksi pidana, menjadi perbuatan yang
diancam dengan sanksi pidana. Kriminalisasi ini diakhiri dengan diundangkannya suatu perbuatan
tersebut.
Jika tujuan pemidanaan bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok, maka syarat
pemidanaan menurut didalam konsep KUHP baru juga bertolak dari keseimbangan mono dualistik
antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Oleh karena itu, syarat pemidanaan
didasarkan pada dua pilar atau asas yang sangat fundamental, yaitu “asas legalitas” (yang
merupakan asas kemasyaraktan) dan “asas kesalahan atau culpabilitas” yang merupakan asas
kemanusiaan atau individual). Bertolak dari ide perlindungan masyarakat, maka didalam konsep
KUHP baru tetap mempertahankan jenis-jenis pidana berat, yaitu pidana mati (capital
punishment) dan penjara seumur hidup (life sentence).
Namun dalam kebijakan formulasinya juga mempertimbangkan
perlindungan/kepentingan individu (ide “individualisasi pidana”), yaitu dengan diadakannya
ketentuan mengenai:
a. Penundaan pelaksanaan pidana mati atau pidana mati bersyarat (conditional capital
punishment);

b. Dapat diubahnya pidana penjara seumur hidup menjadi penjara 15 tahun apabila terpidana
telah menjalani pidana minimal 10 tahun dengan berkelakuan baik, sehingga dimungkinkan
terpidana mendapatkan “pelepasan bersyarat” (“conditional release/ parole”).

Sedangkan mengenai Pedoman atau Aturan Pemidanaan (Sentencing Guidelines)


Masalah keseimbangan antara kepastian atau kekakuan dengankelenturan (elastistas-fleksibilitas)
juga diimplementasikan dalam “pedoman dan aturan pemidanaan”, antara lain sebagai berikut:

a) Walaupun sanksi pidana dirumuskan secara tunggal (bersifat imperatif/kaku), namun hakim
dapat memilih alternatif pidana lainnya yang tidak tercantum dalam perumusan delik atau
mengenakan pidana secara kumulatif dengan pidana lain;

b) Walaupun sanksi pidana dirumuskan secara alternatif, namun hakim dapat menjatuhkan
sanksi pidana secara kumulatif;

c) Walaupun sudah ada putusan pemidanaan yang berkekuatan tetap, masih dimungkinkan
adanya modifikasi/perubahan/penyesuaia/p eninjauan kembali (asas “modification of sanction”;
asas “the alteration/annulment/ revocation of sanction”) terhadap putusan tersebut berdasarkan:

a. Adanya perubahan Undang- Undang atau perubahan “legislative policy”;

b. Adanya perubahan/perbaikan/ perkembangan pada diri terpidana.

3. Walaupun pada prinsipnya konsep RUU KUHP bertolak dari ide keseimbangan, namun dalam hal
ada perbenturan antara kepastian hukum dan keadilan, konsepmemberikan pedoman agar “dalam
mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di
atas kepastian hukum”.

Dalam berbagai bentuk tindak pidana (baik WvS maupun konsep baru KUHP) juga diatur tentang
adanya “pelaku”, “yang menyuruh melakukan”, dan “turut serta melakukan” tindak pidana. Logika
pertanggungjawaban struktural merupakan kaitan yang boleh jadi menginspirasi atau lalai baik
terhadap pengawasan maupun tanggung jawab sehingga terjadinya tindak pidana. Artinya bahwa
jelas dalam tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dapat melibatkan pihak lain selain pelaku
secara individual. Pertanggungjawaban pidana dalam hal ini tidak bisa dilihat hanya dalam
pelaksanaan tindak pidana, tetapi juga memperhatikan hubungan-hubungan psikologis dan historis
pelaku tindak pidana, yang tetap harus dalam bingkai rasionalitas. Barda Nawawi mengistilahkan
sebagai kebijakan integral dalam penanggulangan kejahatan untuk menyebut pentingnya sistem
pemidanaan struktural, yang mengandung arti pula kebijakan integral dalam sistem pemidanaan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pidana adalah istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa Belanda straf, dan dalam bahasa
Inggris disebut sentence, serta dalam bahasa latin sanctio. Digunakannya istilah pidana di sini dan bukan
hukuman adalah  bertujuan untuk memfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana tersebut.
Dari penjelasan definisi pidana tersebut, tujuan pemidanaan ini berkaitan dengan aliran-aliran dalam
hukum pidana yang mana aliran-aliran ini berusaha untuk memperoleh suatu sistem hukum pidana positif
yang prektis yang  bermanfaat sesuai dengan perkembangan persepsi manusia tentang hak-hak asasi
manusia. Terdapat tiga hal yang menggugurkan pelaksanaan pidana yang diatur di dalam KUHP.
Jikaterpidana meninggal dunia. Dalam hukum pidana terdapat suatu doktrin yang menyatakan
bahwa hukuman atau pidana dijatuhkan semata-mata kepada pribadi terpidana, karenanya tidak dapat
dibebankan kepada ahli warisnya. Pasal 83 KUHP menyatakan bahwa Kewenangan menjadikan atau
melaksanakan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia.
B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi penyusun khususnya
dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka
dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA

Wirjono Prodjodikoro, asas asas hukum pidana di Indonesia, ( Bandung : PT. Refika Aditama, 2003)
I made Widnyana, asas asas hukum pidana, ( Jakarta : PT. Fikahati Aneska, 2010 )
Utrecht, hukum pidana 1, ( Bandung : Unpad, 1958 )
Jan Remmelink, hukum pidana, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003 )
Tina Asmarawati, Pidana dan pemidanaan dalam sistem hukum Indonesia, ( Cirebon : Deepublish, 2014 )
Barda Nawawi Arief, Bunga rampai hukum pidana Indonesia, ( Semarang : PT. Fajar Interpratama
Mandiri, 2017 )

http://e-journal.uajy.ac.id/18184/3/HK118182.pdf
http://repository.untag-sby.ac.id/1536/4/Bab%20II.pdf
https://www.bphn.go.id/data/documents/pphn_bid_polhuk&pemidanaan.pdf
http://repository.untag-sby.ac.id/1713/2/Bab%20II.pdf
https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-penitensier/

http://raisyaprillya.blogspot.com/2013/05/hukum-penitensier.html

https://www.negarahukum.com/hukum/hukum-penitensier.html

https://www.researchgate.net/publication/332227437_SISTEM_PIDANA_DAN_PEMIDAN
AAN_DI_DALAM_PEMBAHARUAN_HUKUM_PIDANA_INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai