Anda di halaman 1dari 3

SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

Belanda datang ke Indonesia, negeri ini tidak lah gersang dari lembaga tata negara
dan lembaga tata hokum. Pada masa itu hukum privat dan publik tdk di pisahkan, tuntutan
pidana dan perdata merupakan kesatuan termasuk lembaga-lembaganya. Jaksa adalah
lembaga baru. Di Belanda di kenal istilah Officier Van Justitie, dan Schout yg khusus
menuntut pidana. Supomo menunjukkan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam
semesta merupakan suatu totalitas, sanksi yang diberikan jika ada pelanggaran hukum adalah
sangat sederhana yaitu berdasarkan hukum adat.
Pada tahun 1747 VOC telah membuat aturan sendiri bagi Hindia Belanda, yaitu :
a. Ketentuan Umum Tentang Perundang-undangan
b. Peraturan Tentang Susunan Pengadilan Dan Kebijaksanaan Pengadilan
c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( BW)
d. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WvK)
Pada masa penjajahan Belanda ini, diberlakukan juga adanya Asas
Konkordansi.Kemudian Gubernur Jendral Rochussen menyatakan bahwa : Suatu keharusan
untuk membuat peraturan pengadilan yang terpisah bagi masing-masing golongan penduduk,
dikarenakan perbedaan kecerdasan, dan Bumiputera membutuhkan peraturan yang lebih
sederhana.
Seperti yang disampaikan pada paragraph diatas, bahwa tuntutan pidan dan perdata
merupakan suatu kesatuan, maka pada tahun 1848 berlakulah Inlandsch Reglement (IR)
sebagai hokum acara pidana dan perdata bagi Bumiputera (Landraad).
Kemudian IR ini berubah menjadi HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement)yang
mana perubahan ini dilakukan tidak terlepas daripada usaha Belanda yg ingin membenahi
peraturan hukumnya setelah lepas dari kekuasaan Perancis (masuknya Lembaga Penuntut
Umum dalam HIR). Dan juga perubahan ini dilakukan agar adanya penyesuaian peraturan IR
dengan peraturan yang berlaku bagi orang eropa, dengan mempertahankan sifat
kesederhanaan dari acara yang berlaku bagi Landraad.Namun pada kenyataannya, IR dan
HIR masih diterapkan bersamaan, yakni di Bandung, Batavia, Semarang, Malang
mempergunakan HIR, sedangkan IR dipergunakan di kota kota lain.
Pada masa penjajahan Belanda, dalam proses penyelesaian perkara pidana masih tetap
mempergunakan HIR sebagai dasar hukumnya. Hal ini juga tetap berlaku dalam masa
penjajahan Jepang, namun pada saat jepang berkuasa, Raad Van Justitie sebagai Pengadilan

1
bagi golongan eropa mulai dihapuskan. Dan seiring dengan kemerdekaan negara Indonesia,
maka dasar hukum yang digunakan dalam acara pidana juga mengalami perubahan.
Hukum acara pidana yang berlaku saat ini adalah yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 yang ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1981 sebagai pengganti Het
Herziene Inlandsch Reglement (staatsblaad 1941 Nomor 44), yang telah disesuaikan dengan
budaya bangsa Indonesia. Adanya usaha untuk membentuk hukum acara pidana yang baru
didasarkan pada penghayatan dan penerapan hukum acara pidana yang diatur dalam Het
Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblaad 1941 Nomor 44) dan yang diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 1 Darurat 1951 sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional.
Oleh karena itu pembentukan undang-undang tentang hukum acara pidana untuk
melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan mahkamah
agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang terkait dengan proses
peradilan pidana yang senantiasa harus dilandasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
adalah mutlak diperlukan.
Pembuatan hukum acara pidana yang berciri kodifikatif dan unifikatif dilakukan
dengan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat yang berkembang kearah
modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang. Kemudian diadakan
suatu usaha untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mulai
pada tahun 1967 dengan dibentuknya sebuah Panitia Intern Departemen Kehakiman.
1. Pada Tahun 1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II di Semarang tentang Hukum
Acara Pidana dan Hak-Hak Asasi Manusia, yang diselenggarakan oleh Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional (LPHN).
2. Pada Tahun 1973 Panitia Intern Departemen Kehakiman dengan memperhatikan
kesimpulan seminar hukum nasional tersebut menghasilkan naskah Rancangan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3. Pada Tahun 1974 naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut
setelah disempurnakan, disampaikan oleh Menteri Kehakiman kepada Sekretaris
Kabinet.
4. Pada Tahun 1979 diadakan pertemuan antara Menteri Kehakiman, Jaksa Agung,
Kapolri, dan wakil dari Mahkamah Agung untuk membahas beberapa hal yang perlu
untuk penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
5. Dengan amanat Presiden tanggal 12 September 1979 Nomor R.06/PU/IX/1979, maka
disampaikan RUU Hukum Acara Pidana kepada DPR RI untuk dibicarakan dalam
sidang DPR RI guna mendapatkan persetujuannya.

2
6. Pada Tanggal 9 Oktober 1979 dalam pembicaraan tingkat I, Menteri Kehakiman
menyampaikan keterangan pemerintah tentang RUU Hukum Acara Pidana dalam
suatu sidang paripurna DPR RI.
7. Pada sidang paripurna tingkat II fraksi-fraksi DPR RI memberikan Pemandangan
Umum terhadap RUU Hukum Acara Pidana yang dilanjutkan dengan jawaban dari
Presiden.
8. Pada sidang paripurna tingkat III yang dilakukan dalam gabungan Komisi III bersama
Komisi I dan Pemerintah, dan diputuskan oleh Badan Musyawarah DPR RI. Pada
tanggal 24 Nopember 1979 sampai dengan 20 Mei 1980 di gedung DPR RI Senayan
Jakarta, dilakukan pembicaraan materi secara umum yang menghasilkan putusan
penting yang terkenal dengan nama “13 Kesepakatan Pendapat” yang mengandung
materi pokok yang akan dituangkan dalam pasal-pasal RUU Hukum Acara Pidana.
9. Untuk merumuskan dan membicarakan RUU Hukum Acara Pidana lebih lanjut, maka
dibentulah tim sinkronisasi. Pada tanggal 25 Mei 1980 mulai melakukan rapat, rapat
dilakukan secara Maraton dan pada tanggal 9 September 1981 tim sinkronisasi
berhasil menyelesaikan tugasnya yaitu RUU Hukum Acara Pidana disetujui oleh
sidang gabungan Komisi III bersama Komisi I DPR RI.
10. Akhirnya pada tanggal 23 September 1981, setelah penyampaian pendapat akhir oleh
semua fraksi, dalam DPR RI dalam sidang paripurna maka RUU Hukum Acara
Pidana disetujui oleh DPR RI untuk disahkan menjadi undang-undang oleh Presiden.
RUU Hukum Acara Pidana tersebut kemudian oleh Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 13 Desember 1981 disahkan menjadi undang-undang, yaitu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 (LNRI No. 76, TLN No. 3209).
Setelah berlakunya KUHAP terjadi perubahan mendasar dalam sistematis tahapan
pemeriksaan dalam perkara pidana yang dikenal dengan CRIMINAL JUSTICE SYSTEM.
Yang dulunya menurut HIR ada 2 tahapan yaitu acara pemeriksaan pendahuluan dan acara
pemeriksaan di depan sidang. Sedangkan dalam KUHAP berlaku beberapa tahap yakni :
Tahap penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh aparat kepolisian, tahap penuntutan
dilaksanakan oleh jaksa, tahap proses pemeriksaan di pengadilan dilakukan oleh hakim, tahap
pelaksanaan putusan dilaksanakan oleh jaksa dan LP. Kecuali dalam tindak pidana khusus
Jaksa bisa sebagai penyidik tapi dalam tindak pidana umum jaksa tidak bisa sebagai penyidik.

Anda mungkin juga menyukai