Anda di halaman 1dari 9

ASAS-ASAS DALAM HUKUM ACARA PIDANA

Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 telah diatur secara tegas
asas-asas yang mengatur perlindungan terhadap keseluruhan harkat serta martabat manusia.
Asas tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Adapun asas tersebut antara lain :
a. Asas Persamaan Di muka Hukum (Equality Before The Law)
yang sama atas diri setiap orang di muka hukum (gelijkheid van ieder voor dewet)
dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan. Asas ini menggambarkan kepada kita
bahwa hukum acara pidana itu tidak mengenal forum priviligiatum atau perlakuan yang
bersifat khusus, karena negara Indonesia sebagai negara hukum mengakui bahwa
manusia sama di depan hukum (equality before the law).
b. Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan Berdasarkan Perintah
Tertulis
Setiap tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaanhanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberikan wewenang oleh
undang-undang dan hanya dalam hal serta dengan cara yang diatur oleh undang-
undang.
c. Asas Praduga Tak Bersalah
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
d. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi
kepada setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang dan atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan
para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan
hukuman administrasi.
e. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
peradilan yang harus dilakukan dengan cepat tidak bertele-tele, sederhana dengan biaya
ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam
seluruh tingkat peradilan.
f. Asas Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan
hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas
dirinya.
g. Asas Persidangan dengan Hadirnya Terdakwa
dalam proses persidangan terdakwa harus langsung hadir dalam persidangan terkecuali
dengan kasus-kasus tertentu.
h. Asas Terbuka untuk Umum
sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang
diatur dalam undang-undang.
i. Asas Pengawasan dan Pelaksanaan Keputusan
pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh
Jaksa atau LP yang melaksanakan keputusan pengadilan.
j. Asas Oportunitas
Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut
atau tidak menuntut yang telah mewujudkan perbuatan pidana demi kepentingan
umum.
k. Asas Legalitas
Penuntut Umum wajib menuntut perkara pidana terhadap orang yang melakukan tindak
pidana tanpa terkecuali.
l. Asas Pemeriksasn Hakim secara Langsung dan Lisan
Hakim melakukan pemeriksaan langsung kepada terdakwa atau tersangka tanpa boleh
diwakili oleh siapapun termasuk oleh penasihat hukum.
m. Asas Peradilan Dilakukan oleh Hakim karena Jabatannya
hakim sebagai instansi yang berhak untuk memutuskan terhadap putusan peradilan
karena memang sudah jabatan dan bersifat tetap.
n. Asas Accusatoir
kedudukan tersangka sebagai subjek, tersangka memiliki hak-haknya dalam proses
pembuktian
o. Asas Inquisatoir
Kedudukan tersangka sebagai objek, pengakuan tersangka merupakan bukti utama dan
untuk pengakuan tersebut digunakan segala cara sehingga seringkali hak-haknya di
renggut.
SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

Belanda datang ke Indonesia, negeri ini tidak lah gersang dari lembaga tata negara dan
lembaga tata hokum. Pada masa itu hukum privat dan publik tdk di pisahkan, tuntutan pidana
dan perdata merupakan kesatuan termasuk lembaga-lembaganya. Jaksa adalah lembaga baru.
Di Belanda di kenal istilah Officier Van Justitie, dan Schout yg khusus menuntut pidana.
Supomo menunjukkan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta merupakan
suatu totalitas, sanksi yang diberikan jika ada pelanggaran hukum adalah sangat sederhana
yaitu berdasarkan hukum adat.
Pada tahun 1747 VOC telah membuat aturan sendiri bagi Hindia Belanda, yaitu :
a. Ketentuan Umum Tentang Perundang-undangan
b. Peraturan Tentang Susunan Pengadilan Dan Kebijaksanaan Pengadilan
c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( BW)
d. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WvK)
Pada masa penjajahan Belanda ini, diberlakukan juga adanya Asas
Konkordansi.Kemudian Gubernur Jendral Rochussen menyatakan bahwa : Suatu keharusan
untuk membuat peraturan pengadilan yang terpisah bagi masing-masing golongan penduduk,
dikarenakan perbedaan kecerdasan, dan Bumiputera membutuhkan peraturan yang lebih
sederhana.
Seperti yang disampaikan pada paragraph diatas, bahwa tuntutan pidan dan perdata
merupakan suatu kesatuan, maka pada tahun 1848 berlakulah Inlandsch Reglement (IR)
sebagai hokum acara pidana dan perdata bagi Bumiputera (Landraad).
Kemudian IR ini berubah menjadi HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement)yang mana
perubahan ini dilakukan tidak terlepas daripada usaha Belanda yg ingin membenahi peraturan
hukumnya setelah lepas dari kekuasaan Perancis (masuknya Lembaga Penuntut Umum dalam
HIR). Dan juga perubahan ini dilakukan agar adanya penyesuaian peraturan IR dengan
peraturan yang berlaku bagi orang eropa, dengan mempertahankan sifat kesederhanaan dari
acara yang berlaku bagi Landraad.Namun pada kenyataannya, IR dan HIR masih diterapkan
bersamaan, yakni di Bandung, Batavia, Semarang, Malang mempergunakan HIR, sedangkan
IR dipergunakan di kota kota lain.
Pada masa penjajahan Belanda, dalam proses penyelesaian perkara pidana masih tetap
mempergunakan HIR sebagai dasar hukumnya. Hal ini juga tetap berlaku dalam masa
penjajahan Jepang, namun pada saat jepang berkuasa, Raad Van Justitie sebagai Pengadilan

3
bagi golongan eropa mulai dihapuskan. Dan seiring dengan kemerdekaan negara Indonesia,
maka dasar hukum yang digunakan dalam acara pidana juga mengalami perubahan.
Hukum acara pidana yang berlaku saat ini adalah yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 yang ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1981 sebagai pengganti Het
Herziene Inlandsch Reglement (staatsblaad 1941 Nomor 44), yang telah disesuaikan dengan
budaya bangsa Indonesia. Adanya usaha untuk membentuk hukum acara pidana yang baru
didasarkan pada penghayatan dan penerapan hukum acara pidana yang diatur dalam Het
Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblaad 1941 Nomor 44) dan yang diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 1 Darurat 1951 sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional.
Oleh karena itu pembentukan undang-undang tentang hukum acara pidana untuk melaksanakan
peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan mahkamah agung dengan
mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang terkait dengan proses peradilan pidana yang
senantiasa harus dilandasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mutlak
diperlukan.
Pembuatan hukum acara pidana yang berciri kodifikatif dan unifikatif dilakukan
dengan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat yang berkembang kearah
modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang. Kemudian diadakan
suatu usaha untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mulai
pada tahun 1967 dengan dibentuknya sebuah Panitia Intern Departemen Kehakiman.
1. Pada Tahun 1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II di Semarang tentang Hukum
Acara Pidana dan Hak-Hak Asasi Manusia, yang diselenggarakan oleh Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional (LPHN).
2. Pada Tahun 1973 Panitia Intern Departemen Kehakiman dengan memperhatikan
kesimpulan seminar hukum nasional tersebut menghasilkan naskah Rancangan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3. Pada Tahun 1974 naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut
setelah disempurnakan, disampaikan oleh Menteri Kehakiman kepada Sekretaris
Kabinet.
4. Pada Tahun 1979 diadakan pertemuan antara Menteri Kehakiman, Jaksa Agung,
Kapolri, dan wakil dari Mahkamah Agung untuk membahas beberapa hal yang perlu
untuk penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
5. Dengan amanat Presiden tanggal 12 September 1979 Nomor R.06/PU/IX/1979, maka
disampaikan RUU Hukum Acara Pidana kepada DPR RI untuk dibicarakan dalam
sidang DPR RI guna mendapatkan persetujuannya.
4
6. Pada Tanggal 9 Oktober 1979 dalam pembicaraan tingkat I, Menteri Kehakiman
menyampaikan keterangan pemerintah tentang RUU Hukum Acara Pidana dalam suatu
sidang paripurna DPR RI.
7. Pada sidang paripurna tingkat II fraksi-fraksi DPR RI memberikan Pemandangan
Umum terhadap RUU Hukum Acara Pidana yang dilanjutkan dengan jawaban dari
Presiden.
8. Pada sidang paripurna tingkat III yang dilakukan dalam gabungan Komisi III bersama
Komisi I dan Pemerintah, dan diputuskan oleh Badan Musyawarah DPR RI. Pada
tanggal 24 Nopember 1979 sampai dengan 20 Mei 1980 di gedung DPR RI Senayan
Jakarta, dilakukan pembicaraan materi secara umum yang menghasilkan putusan
penting yang terkenal dengan nama “13 Kesepakatan Pendapat” yang mengandung
materi pokok yang akan dituangkan dalam pasal-pasal RUU Hukum Acara Pidana.
9. Untuk merumuskan dan membicarakan RUU Hukum Acara Pidana lebih lanjut, maka
dibentulah tim sinkronisasi. Pada tanggal 25 Mei 1980 mulai melakukan rapat, rapat
dilakukan secara Maraton dan pada tanggal 9 September 1981 tim sinkronisasi berhasil
menyelesaikan tugasnya yaitu RUU Hukum Acara Pidana disetujui oleh sidang
gabungan Komisi III bersama Komisi I DPR RI.
10. Akhirnya pada tanggal 23 September 1981, setelah penyampaian pendapat akhir oleh
semua fraksi, dalam DPR RI dalam sidang paripurna maka RUU Hukum Acara Pidana
disetujui oleh DPR RI untuk disahkan menjadi undang-undang oleh Presiden. RUU
Hukum Acara Pidana tersebut kemudian oleh Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 13 Desember 1981 disahkan menjadi undang-undang, yaitu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 (LNRI No. 76, TLN No. 3209).
Setelah berlakunya KUHAP terjadi perubahan mendasar dalam sistematis tahapan
pemeriksaan dalam perkara pidana yang dikenal dengan CRIMINAL JUSTICE SYSTEM.
Yang dulunya menurut HIR ada 2 tahapan yaitu acara pemeriksaan pendahuluan dan acara
pemeriksaan di depan sidang. Sedangkan dalam KUHAP berlaku beberapa tahap yakni : Tahap
penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh aparat kepolisian, tahap penuntutan dilaksanakan
oleh jaksa, tahap proses pemeriksaan di pengadilan dilakukan oleh hakim, tahap pelaksanaan
putusan dilaksanakan oleh jaksa dan LP. Kecuali dalam tindak pidana khusus Jaksa bisa
sebagai penyidik tapi dalam tindak pidana umum jaksa tidak bisa sebagai penyidik.

5
PENDAHULUAN

1. Pengertian Hukum Acara Pidana


Pengertian Umum
 Hukum Pidana --- Hukum Acara Pidana
 Hukum Pidana = Aturan mengenai Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana (Hukum Pidana Materill/substantive)
 Hukum Acara Pidana = mengenai bagaimana cara / prosedur untuk menuntut orang
yang disangka melakukan pelanggaran hukum pidana (hukum Pidana formal)
Beberapa Pengertian Hukum Acara Pidana dari beberapa para ahli :
• Prof. Simon : Aturan yang mengatur bagaimana negara dengan perantaraan alat-
alat kekuasaannya menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan
hukuman.
• Prof. Moeljatno : bagaimana dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara,
yang memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara apa
dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana
dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik
tersebut.
• Van Bemmelen : Suatu aturan yang mengatur bagaimana negara melalui aparat
penegak hukumnya melaksanakan tugasnya untuk menyelesaikan masalah dengan
memberikan sanksi terhadap pelanggarnya

Dari beberapa pandangan diatas, maka dapat diambil benang merah terkait pengertian
Hukum Acara Pidana yaitu :
“ Keseluruhan aturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan pidana, baik
mengatur institusi kelembagaannya maupun prosedur penyelesaian perkaranya, yang
meliputi : laporan dan pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan, hingga pelaksanaan putusan pidana”.

2. Tujuan Hukum Acara Pidana


Adapun Tujuan Hukum Acara Pidana
a. Mencari dan mendapatkan kebenaran
b. Melakukan penuntutan

6
c. Melakukan pemeriksaan dan memberikan putusan
d. Pelaksanaan putusan hakim
Tujuan pidana diatas dapat dikategorikan sebagai tujuan sempit yang bersifat khusus,
artinya tujuan tersebut merupakan tujuan yang melekat dan hanya ada secara khusus dalam
hukum acara pidana .
Selain itu, ada pula tujuan yang luas & bersifat umum yaitu menciptakan ketertiban,
ketentraman, keadilan & kesejahteraan masyarakat

3. Fungsi dan Ruang Lingkup Hukum Acara Pidana


• Adapun fungsi dari Hukum Acara Pidana adalah Melaksanakan dan menegakkan
hukum pidana.
Artinya bahwa hukum acara pidana sebagai pedoman bagi negara (melalui
perangkat kekuasaan yudikatif) dalam proses mengungkap kebenaran dari suatu
pelanggaran tindak pidana.
• Hukum acara pidana yang merupakan hukum pidana formal memiliki ruang lingkup
yang lebih sempit dari pada hukum pidana. Dimana ruang lingkup hukum acara
pidana yaitu mulai mencari kebenaran (penyelidikan, penyidikan), penuntutan,
pemeriksaan di depan pengadilan, pemberian putusan oleh hakim dan berakhir pada
pelaksanaan putusan pidana (eksekusi) oleh jaksa/LP.

4. Sifat Hukum Acara Pidana


1. Inisiatif beracara datang dari pihak penguasa (kepolisian dan kejaksaan)
2. Tuntutan pidana tidak dapat dihentikan atau dicabut
3. Hanya Hakim yang dapat mengadakan perubahan terhadap tuduhan
4. Pengakuan tidak dapat diterima, begitu juga sumpah pemutus.

5. Sumber Hukum Acara Pidana


a. UUD 1945 yaitu : Pasal 24, 25 beserta penjelasannya dan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945
b. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
c. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
d. UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
e. UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

7
f. UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
g. UU No 28 Tahun 1997 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian RI
h. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok Perbankan, khususnya Pasal 37 jo. UU
Nomor 10 Tahun 1998
i. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
perubahan atas UU Nomor 20 Tahun 2001, kaitanya dengan KUHAP ialah
dalam Pasal 284 KUHAP.
j. UU Nomor 5 Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung
dan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana tertentu.
k. UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
l. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
m. Keputusan-keputusan Presiden mengatur terkait dengan Hukum Acara Pidana.

6. Ilmu-ilmu Pembantu dalam Hukum Acara Pidana


 Kenapa Hukum Acara Pidana Butuh Bantuan ilmu pengetahuan lain,..?
 Karena Hukum Acara Pidana bertugas mengungkap kebenaran yang
utuh/selengkapnya)
 Misal nya : Logika, psikologi, kriminalistik, psikiatri, kriminologi
• Logika, berfikir dengan akal :
– sebab-akibat, aksi-reaksi,hipotesis-antitesis
– Bermanfaat dalam persangkaan,
– menghubungkan beberapa fakta dan data
– Orientasi – Hipotesis – verifikasi
• Psikologi, ilmu tentang perilaku memperlakuakan psikis seseorang secara
lebih tepat (perkembangan kejiwaan)
• Kriminalistik, ilmu yang mempelajari tentang perkembangan kejahatan
(merupakan suatu catatan), yang didalamnya terdapat informasi yang
berdasarkan pada bukti-bukti yang diungkap oleh ilmu pengetahuan lain
(forensik, toksiologi, balistik, datcyloscopie)
• Kriminologi, ilmu tentang sebab kejahatan dan penanggulangannya
• Psikiatri adalah ilmu yang mempelajari mengenai bentu-bentuk daripada
sakit jiwa/bagaimana orang bisa cacat pertumbuhan jiwanya. Bagaimana

8
cara menentukan seseorang dikatakan cacat jiwanya? Hakim memberitahu
polisi, polisi meminta bantuan kepada jaksa menunjuk saksi alhi (dokter
yang ahli kejiwaan) yang dapat memeriksa apakah tersangka mengalami
gangguan kejiawaan.
• Teori victim ilmunya adalah victimologi, diprakarsai oleh Von Hentis.
Mengatur mengenai mengapa kejahatan terjadi, berkaitan dengan peranan
si korban (rangsangan si korban). Membahasa mengenai sebab timbulnya
kejahatan berkaitan dengan peranan si korban.

Anda mungkin juga menyukai