Anda di halaman 1dari 20

Nama: Ratnisa Dongoran

Nim : 2010200038

RESUME MAKALAH PERADILAN DI INDONESIA

A. Pengertian Peradilan Di Indonesia


Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem
peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem
Peradilan yang dilaksanakan di Pengadilan adalah sebuah forum publik yang resmi
dan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Sedangkan peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan
di Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili
perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum “in concreto”
(hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan
kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin
ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh
hukum formal.
Dari kedua uraian diatas dapat dikatakan bahwa, pengadilan adalah lembaga
tempat subjek hukum mencari keadilan, sedangkan peradilan adalah sebuah proses
dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses mencari keadilan itu
sendiri.”
Sistem asas peradilan yang ada di indonesia disebutkan dalam pasal 2 ayat (1)
Undang- undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman , Yang
disebutkan bahwa pradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Adapun dasar hukum lembaga peradilan di Indonesia meliputi UUD 1945, UU
Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, UU Peradilan Umum, UU Peradilan
Agama, UU peradilan Militer, UU Peradilan Tata Usaha Negara, UU Mahkamah
Konstitusi.Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum terbagi atas
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung
menjadi kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Lembaga peradilan di Indonesia

1. Badan Peradilan Umum


 Pengadilan Tinggi
 Pengadilan Negeri
2. Badan Peradilan Agama
 Pengadilan Tinggi Agama
 Pengadilan Agama
3. Badan Peradilan Militer
 Pengadilan Militer Utama
 Pengadilan Militer Tinggi
 Pengadilan Militer
4. Badan Peradilan Tata Usaha Negara
 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
 Pengadilan Tata Usaha Negara

B. Kekuasaan Kehakiman Dari Masa Kemasa


Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
 Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh empat badan Peradilan yang dalam bahasa
Belanda dikenal dengan istilah rechtspraaken, peradilan yang dimaksud terdiri
dari:
1. Peradilan Gubernemen (Gouvernements rechtpraak) yang meliputi seluruh
Hindia Belanda.
2. Peradilan Pribumi (Inheemscherecht-spraak) hanya terdapat di daerah
langsung (administratif) daerah seberang.
3. Peradilan Swapraja (Zelfbestuurs rechtspraak) yang terdapat di daerah tidak
langsung (otonom), kecuali daerah Swapraja Paku Alaman dan Pontianak.
4. Peradilan Desa (Dorps rechtspraak), dengan catatan, di samping yang
berdiri sendiri ada yang merupakan bagian dari Peradilan Gubernemen,
Peradilan Swapraja, maupun Peradilan Ada.

 Pada masa pemerintahan militer Jepang tidak ada lembaga perwakilan rakyat
(badan legislatif) yang berwenang membuat Undang-undang seperti halnya
suatu pemerintah demokratis yang berjalan normal. Tujuan utama pada awal
pemerintahan militer Jepang di Indonesia adalah untuk menjaga keselamatan
dan keamanan personil militer Jepang demi tercapainya tujuan perang seperti
diungkapkan oleh Oppenheim yang kemudian disitir oleh Francois sebagai
berikut: … “temporarily necessitated by his interest in the maintenance and
safety of his army in the realisation of the purpose of war”.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 1 tahun 1942, pada prinsipnya
organisasi dan struktur badan peradilan sama dengan organisasi dan struktur
badan peradilan sebelumnya yang berlaku pada masa Hindia Belanda dengan di
sana sini diadakan perubahan seperlunya. Perubahan yang mendasar adalah:
1. Dihapuskannya perbedaan antara peradilan Gubernemen dan Peradilan
Bumi Putera;
2. Hakim untuk golongan Eropa dihapuskan;
3. Hakim untuk golongan Bumi Putera kekuasaannya diperluas sehingga
meliputi semua golongan;
4. Penghapusan kewenangan mengadili pada tingkat pertama dari Raad
van Justitie dan Hooggerechtshof;
5. Penghapusan peradilan Residentiegerecht;
6. Perubahan istilah-istilah badan peradilan seperti “Landraad” menjadi
Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri), “Landgrecht” menjadi Keizei Hooin
(Hakim Kepolisian), “Regent Schapsgercht” menjadi Gun
Hooin (Pengadilan Kawedanan), “Hof voor Islamietsche Zaken” menjadi
Kaikyoo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam tinggi), “Priesterraad” menjadi
Sooryoo Hooin (Rapat Agama).
 Pada masa kemerdekaan Indonesia
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17
Agustus 1945 merupakan landasan bagi terbentuknya sistem tata hukum baru
yaitu sistem hukum Ketatanegaraan Indonesia. Dengan sistem hukum baru
tersebut bangsa Indonesia bertekad untuk mengganti seluruh sistem hukum
kolonial dengan sistem hukum nasional Indonesia. Hal ini merupakan
konsekuensi suatu negara merdeka yang dengan bebas berhak mengatur
sendiri tata negara dan tata hukumnya .
Seiring dengan tekad itu bangsa Indonesia melalui PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945
mensyahkan berlakunya suatu UUD yang rancangannya berasal dari hasil
karya BPUPKI yang berupa rancangan “Mukadimah” dan rancangan “Batang
Tubuh UUD”. Kedua rancangan itu diterima oleh PPKI setelah mengadakan
pembahasan seperlunya . Kemudian UUD yang disyahkan tanggal 18 Agustus
1945 itu populer dengan sebutan UUD 1945.

C. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara yang merupakan pemegang
kekuasaan kehakiman bersanding dengan Mahkamah Konstitusi yang bebas dari
pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Wewenangnya mencakup badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
MA pertama kali didirikan pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah hari
kemerdekaan Indonesia. Dengan metode penyusunan yang didominasikan oleh
Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR dan penetapan Presiden. Lembaga ini
disahkan oleh UUD NRI 1945 dengan lama periode masa jabatan lima tahun dan
jumlah maksimal adalah 60 Hakim Agung.
Sejarah berdirinya Mahkamah Agung RI tidak dapat dilepaskan dari masa
penjajahan atau sejarah penjajahan di bumi Indonesia ini. Hal mana terbukti dengan
adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian waktunya dijajah oleh
Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan terakhir oleh Pemerintah
Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di Indonesia pun tidak luput dari
pengaruh kurun waktu tersebut.
Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua,
dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil
ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. wakil ketua bidang yudisial
yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, dan
ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang nonyudisial membawahi
ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan. Ketua Mahkamah Agung dipilih
dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.
Dasar hukum Mahkamah Agung terdapat dalam UUD 1945, tepatnya pada
pada 24 ayat 2 berikut isinya: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berikut tugas dan wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia:


1. Memeriksa dan memutus permohonan kasasi (Pasal 20 ayat 1 UU Nomor 48
Tahun 2009).
2. Memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili (Pasal 28
ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 1985).
3. Memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan tetap (Pasal 28 ayat 1 UU Nomor 14 Tahun
1985).
4. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU (Pasal 20
ayat 1 huruf b UU Nomor 48 Tahun 2009).
5. Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis
peradilan dari semua badan peradilan yang berada di bawahnya (Pasal 32 ayat
3 UU Nomor 3 Tahun 2009).
6. Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua
badan peradilan yang berada di bawahnya (Pasal 32 ayat 4 UU Nomor 3
Tahun 2009)
7. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat masalah hukum kepada
lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta (Pasal 22 UU
Nomor 48 Tahun 2009).
8. Memberi pertimbangan hukum atas permohonan grasi dan rehabilitasi (Pasal
35 UU Nomor 5 Tahun 2004).
9. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada
semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman (Pasal 24 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009).
10. Melakukan pengawasan internal atas tingkah laku hakim (Pasal 32A UU
Nomor 3 Tahun 2009).
11. Mengawasi pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan (Pasal 32 ayat 2 UU
Nomor 3 Tahun 2009)

D. Mahkamah Konstitusi
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan
diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B
Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember
2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum
dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan
Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR
menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan
Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang
mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan
Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu
(Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua
hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden
Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan
dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada
tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan
perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai
beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut
ketentuan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi memiliki landasan Undang-Undang yaitu
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap
anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggotA, dan 7 (tujuh) orang anggota
hakim konstitusi. Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk
masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip
checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan
setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling
mengoreksi kinerja antar lembaga negara. Wewenang Mahkamah Konstitusi antara
lain:
a) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final
b) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
c) Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat
negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan
keterangan.

E. Komisi Yudisial
Komisi Yudisial merupakan respon dari tuntutan reformasi yang bergulir
tahun 1998. Saat itu, salah satu dari enam agenda reformasi yang diusung adalah
penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut merupakan
wujud kekecewaan rakyat terhadap praktik penyelenggaraan negara sebelumnya yang
dihiasi berbagai penyimpangan, termasuk dalam proses penyelenggaraan peradilan.
Sejarah Komisi Yudisial dimulai pada 9 November 2001, saat sidang tahunan
Majelis Permusyarawatan Rakyat RI mengesahkan amendemen ketiga UUD 1945.
Dalam sidang itulah Komisi Yudisial resmi menjadi salah satu lembaga negara yang
diatur secara khusus dalam konstitusi/dasar negara dalam Pasal 24B UUD
1945.Kondisi peradilan menjadi salah satu fokus pembahasaan MPR RI, sehingga
perlu diterbitkan Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional Sebagai Haluan Negara.

Komisi Yudisial mempunyai wewenang sebagai berikut:


1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah
Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim;
3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-
sama dengan Mahkamah Agung;
4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku
Hakim (KEPPH).
Dasar Hukum Dibentuknya Komisi Yudisial: Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.
Komposisi keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas dua mantan hakim, dua orang
praktisi hukum, dua orang akademisi hukum, dan satu anggota masyarakat. Anggota
Komisi Yudisial adalah pejabat negara, terdiri dari 7 orang (termasuk Ketua dan
Wakil Ketua yang merangkap Anggota).

F. Peradilan Umum Di Indonesia


Pada masa pemerintahan Belanda system pengadilan di Indonesia dibeda-
bedakan berdasarkan pasal 163 IS (Indische Staatsregeling),yaitu[8]: golongan
penduduk Eropa, golongan penduduk Timur Asing dan golongan penduduk Indonesia
dengan peradilan yang berbeda-beda pula. Pada masa Jepang menghapuskan dualisme
di dalam peradilan dengan Osamu Seirei 1944 No.2; Setelah Indonesia merdeka
barulah usaha-usaha untuk mengadakan unifikasi terhadap peradilan dapat terwujud
dengan adanya UU Darurat No.1 tahun 1951.
Dasar hukum undang-undang ini : adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan
Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-
Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman; dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Dalam Undang-undang ini diatur tentang : Syarat untuk menjadi hakim dalam
pengadilan di lingkungan peradilan umum; batas umur pengangkatan hakim dan
pemberhentian hakim; pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
dan pengaturan pengawasan terhadap hakim .

Adapun kewenangan ialah sebagai berikut;


1. Memeriksa, memutuskan serta menyelesaikan perkara pidana dan perdata
pada tingkat banding.
2. Mengadili pada tingkat pertama serta terakhir dan mempunyai kewenangan
untuk mengadili antarperadilan negeri yang berada dalam daerah hukumnya.
3. Memimpin pengadilan-pengadilan negeri pada daerah hukumnya.
4. Melaksanakan pengawasan di dalam jalannya peradilan pada daerah
hukumnya serta menjaga agar peradilan tersebut mampu diselenggarakan
dengan seksama serta sewajarnya.
5. Melakukan pengawasan terhadap perbuatan yang dilakukan hakim pengadilan
negeri pada daerah hukumnya.
6. Memberikan teguran, peringatan serta petunjuk yang anggap perlu terhadap
pengadilan pada daerah hukumnya.
7. Memberi perintah supaya mengirim lampiran-lampiran perkara serta surat-
surat guna mengasih penilaian mengenai kecakapan serta kerajinan para
hakim.
G. Peradilan Agama Di Indonesia
Peradilan Agama di Indonesia telah ada sejak jaman kerajaankerajaan Islam,
kemudian pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang sesudah kemerdekaan sampai
akhirnya keluar UU No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang lebih
mempertegas lagi kedudukan Pengadilan Agama di Indonesia Proses interaksi
peradilan agama ini telah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang sejak
masyarakat Islam memiliki kekuatan politik pada masa kesultanan Islam hingga
sekarang, maka ketika disebutkan peradilan agama maka yang dimaksudkan adalah
peradilan Islam di Indonesia.
Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945 adalah
diatur oleh Pasal 24 yang pada ayat (1) menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Undang Undang
Nomor 50 Tahun 2009, yang dalam Pasal 2 menegaskan bahwa peradilan agama
merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang
undang. Selanjutnya dalam 2 Pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa kekuasaan
kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan agama dan
pengadilan tinggi agama.
Sturuktur Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari
Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. Pimpinan Pengadilan Agama
terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.
KewenanganPengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan,
kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf
dan shadaqah, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama.
H. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Peradilan TUN sendiri menurut sejarahnya pertama kali dibentuk di Perancis
kemudian diikuti oleh Belanda, sedangkan di Indonesia pemikiran untuk membentuk
Peradilan TUN sudah dimulai sejak tahun 1948 melalui pasal 66 Undang-undang No.
19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman yang
menyebutkan bahwa Jika dengan Undang-undang atau berdasar atas Undang-undang
tidak ditetapkan badan-badan kehakiman lain untuk memeriksa dan memutus perkara-
perkara dalam soal tata usaha pemerintahan, maka PT dalam tingkatan pertama dan
MA dalam tingkatan kedua memeriksan dan memutus perkara-perkara itu. Namun
demikian oleh karena Menteri Kehakiman pada saat itu belum sempat menetapkan
saat berlakunya Undang-undang tersebut berdasar pasal 72 Undang-undang No. 19
Tahun1948 sampai berlakunya konstitusi RIS 27 Desember 1949, maka undang-
undang ini tidak sempat diberlakukan
Dasar hukum Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam tiga instrumen hukum, yaitu
1. Undang-undang No. 5 Tahun 1986, Undang-undang No. 9 Tahun 2004 dan
2. Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebelum disahkan Undang-undang No. 5 Tahun 1986, Peradilan Administrasi
Negara pertama kali dituangkan dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960.

Kemudian ditegaskan dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang


Kekuasaan Kehakiman. Akhirnya, pada 20 Desember 1986, DPR secara aklamasi
menerima Rancangan Undang-undang tentang Peradilan TUN menjadi undang-
undang. Undang-undang tersebut adalah UU No. 5 Tahun 1986.

PTUN memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan


sengketa tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara
oleh badan atau pejabat tata usaha negara baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kewenangan ini berkembang sejalan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan
yang juga semakin luas dan timbulnya lembaga negara yang mendukung
terlaksananya pemerintahan
I. Peradilan Militer
Peradilan Militer di Indonesia dibentuk untuk pertama kalinya dengan UU No.
7 tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan pengadilan Tentara di samping Pegadilan
biasa. Kemudian terbit UU No.8 Tahun 1946 tentang. peraturan hukum Acara Pidana
pada Pengadilan Tentara, sebagai pengadilan yang khusus berlaku bagi militer. Pada
tahun 1948 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1948 tentang Susunan dan
Kekuasaan Pengadilan / Kejaksaan dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan.
Dasar hukum keberadaan Pengadilan Militer :
a) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Tentara/Militer (KUHPM).
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Pengadilan Militer mempunyai kewenangan :


1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seorang prajurit yang berpangkat
Kapten ke bawah yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah : prajurit
atau yang berdasar- kan UU dipersamakan dengan prajurit
2. Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang
bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan dan sekaligus
memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.

J. Peradilan Khusus Peradilan Tipikor


Kelahiran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) pasca
reformasi merupakan perwujudan harapan akan penegakan hukum anti-korupsi yang
lebih baik lagi di Indonesia. Pengadilan ini dibentuk melalui UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan kekhususan yang
terdapat padanya seperti keberadaan hakim ad hoc, pengkhususan KPK sebagai
penuntut tunggal pada perkara yang dapat diadilinya, serta kedudukannya yang hanya
ada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan yurisdiksi meliputi seluruh Indonesia,
Pengadilan Tipikor diharapkan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal dalam
mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Beberapa tahun pasca pendirian Pengadilan Tipikor, diputusnya Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006 berimplikasi pada lahirnya UU
No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan
Tipikor) yang melakukan sejumlah perubahan signifikan. Beberapa perubahan
sebagaimana diamanatkan UU tersebut antara lain Pengadilan Tipikor kini tersebar di
seluruh provinsi, perkara yang ditangani dapat berasal dari KPK dan Kejaksaan, serta
adanya diskresi Ketua Majelis untuk menentukan jumlah hakim ad hoc dalam
komposisi majelis.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dengan UU 46 tahun 2009
tentang Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Undang-Undang
Pengadilan Tipikor mengatur mengenai Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
yang terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc yang persyaratan pemilihan dan
pengangkatannya berbeda dengan Hakim pada umumnya. Keberadaan Hakim ad hoc
diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana
korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya
cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan perbankan,
perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Ketentuan tentang bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan
pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dalam Pasal 2 UU 46
tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Hal ini mengingat ketentuan Pasal 24A ayat
(5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 15
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menghendaki pembentukan pengadilan khusus diatur dengan Undang-Undang.

K. Mahkamah Syariah
Mahkamah Syar’iyah Takengon telah dibentuk sejak tahun 1961. Pengadilan
Agama tingkat pertama dan tingkat banding di Propinsi Daerah Istimewa Aceh
semula dibentuk berdasarkan peraturan Pemerintah No.29 tahun 1957 (Lembaran
Negara tahun 1957 No.73). Akan tetapi Peraturan Pemerintah tersebut kemudian
dicabut kembali dan ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 ( Lembaran
Negara tahun 1957 No. 99 ) untuk keseragaman dasar Hukum dan kewenangan
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah diluar Jawa dan Madura.
Berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 58 tahun 1957 sebagai realisasi
dari pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957, maka sejak tanggal 1
Desember 1957 Daerah Istimewa Aceh terdapat sebuah Pengadilan Agama tingkat
banding dengan nama Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Propinsi dan 16 buah
Pengadilan Agama tingkat pertama. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri
Agama No. 62 tahun 1961, sejak tanggal 25 Juli 1961 dibentuk lagi sebuah cabang
Pengadilan Agama yang berkedudukan di Takengon dengan nama Mahkamah
Syar’iyah Takengon.
Kemudian Mahkamah Syar’iyah Takengon berubah namanya Menjadi
Pengadilan Agama Takengon dengan berlakunya Undang-Undang No. 7 tahun 1989
tentang Pengadilan Agama.
Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen dikatakan bahwa “Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan peradilan
Agama, Lingkungan peradilan Militer dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Dengan amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut khusus Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 24 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan
kekuasaan Kehakiman, sebagai respon terhadap penyesuaian tersebut lahirlah
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkmah Agung.
Mahkamah Syar’iyah mempunyai ciri khusus dalam kewenangan sebagaimana
tersebut dalam pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh disebutkan Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-
syakhsyiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum
pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam. Selanjutnya dalam ayat (4) disebutkan
ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsyiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.

L. Peradilan Agama dalam tata Peradilan Indonesia


Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945 adalah
diatur oleh Pasal 24 yang pada ayat (1) menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Dalam ayat (2) dijabarkan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian Ayat (3) menegaskan bahwa badan badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang
undang. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009,
yang dalam Pasal 2 menegaskan bahwa peradilan agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang undang. Selanjutnya
dalam Pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa kekuasaan kehakiman di lingkungan
peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama.
Sitem Peradilan Satu Atap Sebelum era reformasi, lembaga peradilan
mempunyai satu ayah dengan tiga ibu. Untuk urusan yustisial semua pengadilan
berpuncak kepada Mahkamah Agung, namun secara organisatoris, administratif dan
finansial masih menginduk ke eksekutif. Contohnya, urusan organisatoris (sarana
prasarana), administratif (kepegawaian) dan finansial (keuangan dan gaji) Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara masih menginduk dan diurus oleh
Departemen Kehakiman, sedang Pengadilan Agama menginduk dan diurus oleh
Departemen Agama dan Pengadilan Militer masih menginduk dan diurus oleh
Departemen Hankam.
Untuk menjaga kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh lembaga
negara yang lain, maka Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 42 ayat (2) menyatakan bahwa pengalihan organisasi, administrasi
dan finansial dalam lingkungan peradilan agama dilaksanakan paling lambat tanggal
30 Juni 2004.
Batas waktu tersebut, kemudian diikuti oleh Keputusan Presiden Nomor 21
Tahun 2004 yang dalam Pasal 2 menegaskan bahwa organisasi, administrasi dan
finansial pada Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama,
PTA/MS. Aceh, Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah terhitung tanggal 30 Juni
2001 dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
Pengalihan tersebut diikuti oleh Pasal 3 yang meneguhkan bahwa pembinaan
organisasi, administrasi dan finansial peradilan agama berada di bawah Mahkamah
Agung.
Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan Pasal 49 Undang Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana diubah dengan Undang
Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang Undang Nomor 50
Tahun 2009, pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam.
Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera,
Sekretaris, dan Juru Sita. (2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan,
Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari
seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.

M. Prospek Peradilan Di Indonesia


Peradilan agama secara historis telah ada sejak sebelum kemerdekaan
Indonesia , tepatnya pada tahun 1808. Kemudian pada tahun 1823 , terbit Resolusi
Gubernur Jenderal No.12 yang menetapkan berdirinya pengadilan agama Palembang
dengan kewenangan pada perkara – perkara perdata . Perkara pidana pada saat itu
diserahkan ke pengadilan negeri . Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 ,
peradilan agama mengalami transformasi yang signifikan dalam konteks kelembagaan
. Peradilan agama secara institusional berada di bawah naungan Kementerian
Kehakiman . Dengan demikian , segala bentuk aktifitas yuridis dalam lingkup
peradilan agama harus dipertanggung jawabkan kepada Departemen kehakiman .
Pada 3 januari 1946 , lahirlah departemen agama yang merupakan konsesi dan
kompensasi politik dari piagam jakarta . Kelahiran departemen agama diharapkan
dapat melakukan konsolidasi dan koordinasi dengan administrasi lembaga – lembaga
islam pada sebuah badan yang berskala nasional . Kemudian , pemerintah
mengesahkan UU No 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah , talaq , dan rujuk . UU
tersebut secara langsung dibawah pengawasan departemen agama.Selanjutnya ,
setelah dikeluarkannya UU No.19 tahun 1948 , maka peradilan agama secara
institusional berada dalam lingkungan peradilan umum . Dengan demikian , maka
peradilan agama secara perlahan mulai mensejajarkan diri dengan peradilan –
peradilan umum yang telah ada . Dari hal ini pula , peradilan agama secara perlahan
mengalami penguatan secara institusional dan berimplikasi pada kekuatan hukum dari
setiap putusan maupun penetapan yang dikeluarkannya . Orde baru merupakan masa
atau periodisasi pemerintahan republik indonesia yang dipimpin oleh presiden
Soeharto selalam 32 tahun . Pada periode ini perkembangan peradilan agama
mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan politik hukum yang berkembang
saat itu .
Secara legal formil, eksistensi Peradilan Agama dalam mewarnai
ketatanegaraan di Indonesia dimulai sejak tahun 1989 dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.Penjelasan Pasal 50 ayat (2)
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006: Ketentuan ini memberi wewenang kepada
Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain
yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek
sengketa antara orang-orang yang beragama Islam.Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006
berbunyi, “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syariah.
Peradilan Agama mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam rentang
institusi waktu yang panjang sejak Islam menjadi kekuatan politik di Indonesia .
Sejalan dengan dinamika hukum yang semakin kompleks , peradilan agama berusaha
tampil sebagai suatu yang menjadi pilar bagi suksesnya penegakan supremasi hukum .
Karena itu , yang luas ( yurisdiksi ) kepada peradilan agama.

N. Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Peradilan Agama dan Luar Pengadilan


Agama
Sengketa dapat terjadi antara masyarakat dan antar lembaga. Sengketa
merupakan perbedaan kepentingan antar individu atau lembaga pada objek yang sama
yang dimanifestasikan dalam hubungan-hubungan diantara mereka. Menganalisis
siapa dan mengapa mereka terlibat adalah salah satu aspek yang penting dalam studi
tentang sengketa sistem penguasaan tanah. Untuk itu perlu dipahami dengan baik
siapa subjek yang terlibat dalam sengketa tersebut. Subjek didefinisikan sebagai para
pelaku yang terlibat dalam sengketa sistem penguasaan tanah, baik pelaku yang
mempengaruhi ataupun yang dipengaruhi. Hal ini dapat bersifat individu, masyarakat,
kelompok sosial atau institusi.
Dasar hukum undang-undang ini adalah : Pasal 5 ayat (1) Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945; dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Hakim.
- Dalam Undang-Undang ini diatur tentang : alternatif penyelesaian sengketa melalui
cara musyawarah para pihak yang bersengketa; ikhtisar khusus dari persyaratan yang
harus dipenuhi untuk arbitrase dan syarat pengangkatan arbiter serta mengatur
mengenai hak ingkar dari para pihak yang bersengketa; tata cara untuk beracara di
hadapan majelis arbitrase dan dimungkinkannya arbiter dapat mengambil putusan
provisionil atau putusan sela lainnya termasuk menetapkan sita jaminan,
memerintahkan penitipan barang, atau menjual barang yang sudah rusak serta
mendengarkan keterangan saksi dan saksi ahli; syarat lain yang berlaku mengenai
putusan arbitrase; pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu paket, agar
Undang-undang ini dapat dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan, baik yang
menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini secara
sistem hukum dibenarkan; pembatalan putusan arbitrase; berakhirnya tugas arbiter;
biaya arbitrasi yang ditentukan oleh arbiter; dan ketentuan peralihan terhadap
sengketa yang sudah diajukan namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam
proses atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Lembaga alternatif penyelesaian sengketa dibagi menjadi beberapa jenis,


diantaranya ialah sebagai berikut:
1. KONSULTASI
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara
suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang
merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien
tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.
Dengan adanya perkembangan zaman, konsultasi dapat dilakukan
dengan secara langsung maupun dengan menggunakan teknologi komunikasi
yang telah ada. Konsultasi dapat dilakukan dengan cara klien mengajukan
sejumlah pertanyaan kepada konsultan. Hasil konsultasi berupa saran yang
tidak mengikat secara hukum, artinya saran tersebut dapat digunakan atau
tidak oleh klien, tergantung kepentingan masing-masing pihak.
2. NEGOSIASI
Negosiasi adalah sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk
mendiksusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga. Menurut
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), negosiasi diartikan sebagai
penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak
yang bersengketa.
3. MEDIASI
Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa oleh pihak ketiga
(mediator) yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu
para pihak yang berselisih mencapai kesepakatan secara sukarela terhadap
permasalahan yang disengketakan. Menurut Rachmadi Usman, mediasi
adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui perundingan
yang melibatkan pihak ketiga (mediator) yang bersikap netral dan tidak
berpihak kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya
oleh pihak-pihak yang bersengketa.
4. KONSILIASI
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan melalui seorang atau
beberapa orang atau badan (komisi konsiliasi) sebagai penegah yang disebut
konsiliator dengan mempertemukan atau memberi fasilitas kepada pihak-
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai.
Konsiliator ikut serta secara aktif memberikan solusi terhadap masalah yang
diperselisihkan
Pada umumnya asas-asas yang berlaku pada aiternatif penyelesaian
sengketa sebagai berikut ini;
a) Asas iktikad baik, yakni keinginan dari para pihak untuk
menemukan penyelesian sengketa yang akan maupun yang
sedang mereka hadapi.
b) Asas kontraktual, yakni adanya kesepakatan yang di tuangkan
dalam bentuk tertulis mengenai cara penyelesaian sengketa.
c) Asas mengikat, yakni para pihak wajib mematuhi apa yang
telah disepakati.
d) Asas kebebasan berkontrak, yakni para pihak dapat dengan
bebas menentukan apa saja yang hendak diatur oleh para pihak
dalam perjanjian tersebut selama tidak bertentangan dengan
undang-undang dan kesusilaan. Hal ini berarti pula kesepakatan
mengenai tempat dan jenis penyelesaian sengketa yang akan
dipilih.
e) Asas kerahasiaan, yakni penyelesaian atas sesuatu sengketa
tidak dapat disaksikan oleh orang lain karena hanya pihak yang
bersengkrta dapat menghadiri jalannya pemeriksaan atas suatu
sengketa.

Anda mungkin juga menyukai