Nim : 2010200038
Pada masa pemerintahan militer Jepang tidak ada lembaga perwakilan rakyat
(badan legislatif) yang berwenang membuat Undang-undang seperti halnya
suatu pemerintah demokratis yang berjalan normal. Tujuan utama pada awal
pemerintahan militer Jepang di Indonesia adalah untuk menjaga keselamatan
dan keamanan personil militer Jepang demi tercapainya tujuan perang seperti
diungkapkan oleh Oppenheim yang kemudian disitir oleh Francois sebagai
berikut: … “temporarily necessitated by his interest in the maintenance and
safety of his army in the realisation of the purpose of war”.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 1 tahun 1942, pada prinsipnya
organisasi dan struktur badan peradilan sama dengan organisasi dan struktur
badan peradilan sebelumnya yang berlaku pada masa Hindia Belanda dengan di
sana sini diadakan perubahan seperlunya. Perubahan yang mendasar adalah:
1. Dihapuskannya perbedaan antara peradilan Gubernemen dan Peradilan
Bumi Putera;
2. Hakim untuk golongan Eropa dihapuskan;
3. Hakim untuk golongan Bumi Putera kekuasaannya diperluas sehingga
meliputi semua golongan;
4. Penghapusan kewenangan mengadili pada tingkat pertama dari Raad
van Justitie dan Hooggerechtshof;
5. Penghapusan peradilan Residentiegerecht;
6. Perubahan istilah-istilah badan peradilan seperti “Landraad” menjadi
Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri), “Landgrecht” menjadi Keizei Hooin
(Hakim Kepolisian), “Regent Schapsgercht” menjadi Gun
Hooin (Pengadilan Kawedanan), “Hof voor Islamietsche Zaken” menjadi
Kaikyoo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam tinggi), “Priesterraad” menjadi
Sooryoo Hooin (Rapat Agama).
Pada masa kemerdekaan Indonesia
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17
Agustus 1945 merupakan landasan bagi terbentuknya sistem tata hukum baru
yaitu sistem hukum Ketatanegaraan Indonesia. Dengan sistem hukum baru
tersebut bangsa Indonesia bertekad untuk mengganti seluruh sistem hukum
kolonial dengan sistem hukum nasional Indonesia. Hal ini merupakan
konsekuensi suatu negara merdeka yang dengan bebas berhak mengatur
sendiri tata negara dan tata hukumnya .
Seiring dengan tekad itu bangsa Indonesia melalui PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945
mensyahkan berlakunya suatu UUD yang rancangannya berasal dari hasil
karya BPUPKI yang berupa rancangan “Mukadimah” dan rancangan “Batang
Tubuh UUD”. Kedua rancangan itu diterima oleh PPKI setelah mengadakan
pembahasan seperlunya . Kemudian UUD yang disyahkan tanggal 18 Agustus
1945 itu populer dengan sebutan UUD 1945.
C. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara yang merupakan pemegang
kekuasaan kehakiman bersanding dengan Mahkamah Konstitusi yang bebas dari
pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Wewenangnya mencakup badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
MA pertama kali didirikan pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah hari
kemerdekaan Indonesia. Dengan metode penyusunan yang didominasikan oleh
Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR dan penetapan Presiden. Lembaga ini
disahkan oleh UUD NRI 1945 dengan lama periode masa jabatan lima tahun dan
jumlah maksimal adalah 60 Hakim Agung.
Sejarah berdirinya Mahkamah Agung RI tidak dapat dilepaskan dari masa
penjajahan atau sejarah penjajahan di bumi Indonesia ini. Hal mana terbukti dengan
adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian waktunya dijajah oleh
Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan terakhir oleh Pemerintah
Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di Indonesia pun tidak luput dari
pengaruh kurun waktu tersebut.
Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua,
dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil
ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. wakil ketua bidang yudisial
yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, dan
ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang nonyudisial membawahi
ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan. Ketua Mahkamah Agung dipilih
dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.
Dasar hukum Mahkamah Agung terdapat dalam UUD 1945, tepatnya pada
pada 24 ayat 2 berikut isinya: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
D. Mahkamah Konstitusi
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan
diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B
Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember
2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum
dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan
Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR
menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan
Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang
mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan
Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu
(Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua
hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden
Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan
dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada
tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan
perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai
beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut
ketentuan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi memiliki landasan Undang-Undang yaitu
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap
anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggotA, dan 7 (tujuh) orang anggota
hakim konstitusi. Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk
masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip
checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan
setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling
mengoreksi kinerja antar lembaga negara. Wewenang Mahkamah Konstitusi antara
lain:
a) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final
b) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
c) Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat
negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan
keterangan.
E. Komisi Yudisial
Komisi Yudisial merupakan respon dari tuntutan reformasi yang bergulir
tahun 1998. Saat itu, salah satu dari enam agenda reformasi yang diusung adalah
penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut merupakan
wujud kekecewaan rakyat terhadap praktik penyelenggaraan negara sebelumnya yang
dihiasi berbagai penyimpangan, termasuk dalam proses penyelenggaraan peradilan.
Sejarah Komisi Yudisial dimulai pada 9 November 2001, saat sidang tahunan
Majelis Permusyarawatan Rakyat RI mengesahkan amendemen ketiga UUD 1945.
Dalam sidang itulah Komisi Yudisial resmi menjadi salah satu lembaga negara yang
diatur secara khusus dalam konstitusi/dasar negara dalam Pasal 24B UUD
1945.Kondisi peradilan menjadi salah satu fokus pembahasaan MPR RI, sehingga
perlu diterbitkan Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional Sebagai Haluan Negara.
K. Mahkamah Syariah
Mahkamah Syar’iyah Takengon telah dibentuk sejak tahun 1961. Pengadilan
Agama tingkat pertama dan tingkat banding di Propinsi Daerah Istimewa Aceh
semula dibentuk berdasarkan peraturan Pemerintah No.29 tahun 1957 (Lembaran
Negara tahun 1957 No.73). Akan tetapi Peraturan Pemerintah tersebut kemudian
dicabut kembali dan ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 ( Lembaran
Negara tahun 1957 No. 99 ) untuk keseragaman dasar Hukum dan kewenangan
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah diluar Jawa dan Madura.
Berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 58 tahun 1957 sebagai realisasi
dari pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957, maka sejak tanggal 1
Desember 1957 Daerah Istimewa Aceh terdapat sebuah Pengadilan Agama tingkat
banding dengan nama Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Propinsi dan 16 buah
Pengadilan Agama tingkat pertama. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri
Agama No. 62 tahun 1961, sejak tanggal 25 Juli 1961 dibentuk lagi sebuah cabang
Pengadilan Agama yang berkedudukan di Takengon dengan nama Mahkamah
Syar’iyah Takengon.
Kemudian Mahkamah Syar’iyah Takengon berubah namanya Menjadi
Pengadilan Agama Takengon dengan berlakunya Undang-Undang No. 7 tahun 1989
tentang Pengadilan Agama.
Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen dikatakan bahwa “Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan peradilan
Agama, Lingkungan peradilan Militer dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Dengan amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut khusus Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 24 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan
kekuasaan Kehakiman, sebagai respon terhadap penyesuaian tersebut lahirlah
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkmah Agung.
Mahkamah Syar’iyah mempunyai ciri khusus dalam kewenangan sebagaimana
tersebut dalam pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh disebutkan Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-
syakhsyiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum
pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam. Selanjutnya dalam ayat (4) disebutkan
ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsyiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.