Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENGANTAR HUKUM ACARA PIDANA


1. Sejarah singkat Hukum Acara Pidana di Indonesia.
Hukum acara pidana pada masyarakat tradisonal sebenarnya telah ada sejak sebelaum zaman
kolonial, sudah ada dalam pemerintahan raja-raja pada waktu itu, namun belum dibuat dalam
bentuk tertulis dan masih merupakan hukum adat. Dalam setiap yang mengganggu
keseimbangan atau hubungan harmonis kehidupan yang terjadi pada waktu itu, yang
merupakan pelanggaran hukum (adat) maka para penegak hukum akan berusaha
mengembalikan keseimbangan yang sudah tergangggu disebabkan pelanggaran tersebut.
a. Hukum Acara Pidana pada zaman penjajahan Belanda.
Pada tanggal 1 Agustus 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal 3 Desember
1847 Staatblaad No. 57 maka di Indonesia (Hindia Belanda), berlakulah Inlands
Reglements atau di singkat IR. Diberlakukan hukum IR (Inlands Reglements staatblaad
No.16) untuk orang pribumi dan Asia asing seperti Cina, Arab, dan lain-lain. Regelement
of strafvordering (Hukum Acara Pidana) dan reglement of the burgelijke recht vordering
(hukum acara perdata) untuk bangsa Eropa. Nama pengadilannya adalah Raad Van Justitie
yang sekarang menjadi pengadilan tinggi. IR masih memuat Hukum Acara Pidana dan
Hukum Acara Perdata. Rancangan IR tersebut penyusunannya diketahui oleh Mr. Wichers
dan mendapat tanda tangan dari Gubernur Jenderal Rochussen sehingga mengalami
perubahan. Akhirnya, setelah mendapatkan pengesahan Raja Belanda melalui firman Raja
tanggal 29 September 1849 diumumkan dan disebarluaskan dalam Staatblaad 1849 No.
63. Setelah IR diubah beberapa kali akhirnya dengan Staatblaad 1941 No. 44 diumumkan
dengan Het Herziene Inlands Reglement atau disingkat HIR. Diberlakukan HIR untuk
orang-orang pribumi dan Asia asing seperti Cina, Arab, dan lain-lain. Nama pengadilannya
adalah Landrad yang sekarang menjadi Pengadilan Negeri.

b. Hukum Acara Pidana pada zaman penjajahan Jepang.


Pada zaman Jepang tidak terjadi perubahan yang mendasar tentang hukum. UU No.1
Tahun 1942 tanggal 7 Maret 1942 Pasal 3, menyatakan: Semua badan Pemerintah tetap
diakui asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang.
c. Hukum Acara Pidana pada zaman setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia.
Berdasar ketentuan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi “Segala badan
Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut UUD 1945 ini”. Dengan Aturan peralihan ini maka secara sah HIR masih tetap
berlaku, namun pada tahun 1948 HIR diganti namanya menjadi Reglements Indonesia
yang diperbaharui dan disingkat RIB. Dengan UU Darurat No. 1 Tahun 1951 HIR/RIB
diunifikasikan dan berdasar Pasal 6 ayat 1 maka HIR/RIB dipakai sebagai pedoman
Hukum Acara Pidana berlaku sampai tahun 1981.

d. Riwayat Singkat Penyusunan KUHAP


1) Pada tahun 1967 dibentuk panitia intern Departemen Kehakiman. Kemudian pada
tahun 1968 di Semarang diselenggarakan seminar hukum II yang membahas tentang
hukum pidana dan HAM.
2) Pada tahun 1973 panitia intern Departemen Kehakiman menyusun naskah Rancangan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUUHAP), namun mengalami jalan buntu.
3) Kemudian pada tahun 1974 menteri kehakiman yang sebelumnya adalah Prof. Oemar
Seno Aji, diganti oleh Prof. Mochtar Koesoemoatmaja, beliau lebih mengintensifkan
pembuatan RUUHAP, menyimpan draf V (karena sebelumnya sudah terjadi perubahan
draf sebanyak IV kali), dan menyerahkannya ke kabinet.
4) Tahun 1979 tepatnya pada tanggal 12 September RUUHAP yang merupakan draf yang
ke-5 diserahkan ke DPR-RI untuk dibahas dan mendapatkan persetujuan.RUUHAP
disetujui sidang gabungan (SIGAB) komisi I dan III DPR RI pada tanggal 9 September
1981.
5) RUUHAP disetujui oleh DPR-RI untuk disahkan oleh Presiden pada tanggal 23
September 1981. Pada tanggal 31 September 1981
6) RUUHAP disahkan oleh presiden menjadi UU No.8 Tahun 1981, dan dimasukkan
dalam lembaran Negara tahun 1981 No. 76. Undang-undang ini dikenal dengan nama
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
e. Perbedaan HIR dan KUHAP
Oleh karena dipandang tidak sesuai lagi dengan tuntutan pembangunan di bidang hukum
dan cita hukum nasional, maka HIR diganti dengan Undang-undang Hukum Acara Pidana
yang bersifat kodifikatif dan unifikatif serta dianggap dapat memberi perlindungan kepada
hak-hak asasi manusia seimbang dengan kepentingan umum. Letak perbedaan yang pokok
antara KUHAP dan HIR yaitu
1) Dalam sistem tindakan, HIR menonjolkan kekuasaan dari pejabat
pelaksanaHukum, sedangkan KUHAP mengutamakan perlindungan terhadap Hak
Asasi Manusia.
2) Dalam sistem pemeriksaan, HIR memberi perhatian lebih diutamakan pada
fungsionalisasi pejabat yang diserahkan kekuasaan dan menempatkan terdakwa
sebagai obyek, sedangkan KUHAP memberi perhatian yang lebih besar ditujukan
kepada pembinaan sikap petugas pelaksana hukum dengan pembagian wewenang
dan tanggung jawab secara tegas danHukum Acara Pidana tersangka/terdakwa
dilindungi oleh asas-asas “praduga tak bersalah” serta perangkat hak-hak tertentu.
3) Dalam sistem pengawasan, HIR memiliki pengawasan secara vertikal (dari atasan
pejabat yang baru), sedangkan KUHAP memiliki pengawasan secara vertikal
sekaligus horizontal (dari sesama instansi dan atau unsur-unsur penegak hukum
lainnya, misalnya penasihat hukum melalui lembaga pra peradilan).
4) Dalam tahap pemeriksaan, HIR memiliki proses pidana terdiri atas pemeriksaan
pendahuluan, pemeriksaan sidang pengadilan (dan upaya hukum), lalu pelaksanaan
putusan Hakim, sedangkan KUHAP memiliki proses pidana terdiri dari
penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, kemudian pemeriksaan pengadilan (dan
upaya hukum).

2. Pengertian Hukum Acara Pidana


Dalam bahasa Belanda, Hukum Acara Pidana atau hukum pidana formil disebut dengan
”Strafvordering”, dalam bahasa Perancis ”Code d’instruction Criminelle”, dalam bahasa
Inggris disebut “ Criminal Procedure Law” dan di Amerika Serikat disebut “Criminal
Procedure Rules”.
Beberapa pendapat mengenai pengertian hukum acara pidana adalah sebagai berikut :
a. R.Soesilo:
“ Bahwa pengertian hukum acara pidana atau hukumpidana formil adalah kumpulan
peraturan –peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan mengatur soal-soal
sebagai berikut :
1) cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa
telahtelah terjadi suatu tindak pidina , cara bagaimana mencari kebenaran-
kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan.
2) setalah ternyata, bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa dan cara
bagaimana harus mencari, menyelidik dan menyidik orang-orang yang disangkah
bersalah terhadap tindak pidana itu, cara menangkap, menahan dan memeriksa
orang itu,
3) cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti,memeriksa, menggeledah
badan dan tempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu, untuk
membuktikan kesalahan tersangka,
4) cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh
hakim sampai dapat dijatuhkan pidana, dan
5) oleh siapa dan dengan cara bagamana putusan penjatuhan pidana ituhas
dilaksanakan dan sebagainya, atau dengan singkat dapat dikatakan yang megatur
tentang cara bagaimana mempertahakan atau menyelenggarakan hukum pidana
materiil, sehingga memperolehkeputusa Hakim dan cara bagaimana isi keputusan
harus dilaksanakan.
b. Wiryono Prodjodikoro:
“hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana maka dari itu
merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan
harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana”.
c. Menurut Samidjo:
“Hukum Acara Pidana ialah rangkaian peraturan hukum yang menentukan
bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan, perkara-perkara kepidanaan,
dan bagaimana cara-cara menjatuhkan hukuman oleh hakim, jika ada orang yang
disangka melanggar aturan hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum perbuatan
melanggar hukum itu terjadi; dengan kata lain, Hukum Acara Pidana ialah hukum
yang mengatur tata-cara bagaimana alat-alat negara (kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan) harus bertindak jika terjadi pelanggaran”.
d. Menurut R. Abdoel Djamali:
“Hukum Acara Pidana yang disebut juga hukum pidana formal mengatur cara
pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material”.
e. J.C.T. Simorangkir :
”Hukum Acara Pidana adalah hukum acara yang melaksanakan dan mempertahankan
hukum pidana materiil”.
f. Menurut Bambang Poernomo:
“Hukum Acara Pidana ialah pengetahuan tentang hukum acara dengan segala bentuk
dan manifestasinya yang meliputi berbagai aspek proses penyelenggaraan perkara
pidana dalam hal terjadi dugaan perbuatan pidana yang diakibatkan oleh pelanggaran
hukum pidana”.

3. Fungsi Hukum Acara Pidana


Ada beberapa fungsi pokok hukum acara pidana yaitu sebagai berikut :
a. Sebagai pedoman bagi penegak hukum dalam proses mengungkap kebenaran dari suatu
pelanggaran tindak pidana.
b. Sebagai sarana dalam rangka penegakan hukum dan keadilan dalam mewujudkan
kehidupan yang tertib dan tenteram dalam masyarakat (Pengambilan keputusan oleh
hakim, dan pelaksanaan daripada putusan yang telah diambil).

4. Tujuan Hukum Acara Pidana


Adapun tujuan dari hukum acara pidana adalah sebagai berikut :
a. Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran meteriil ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acarapdan secara jujur dan tepat.
b. Untuk mencari siapa pelakunya yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum
dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan menentukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu
dapat dipersalahkan dan dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya,
c. Setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum telah dilakukan dan
akhirnya putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hukum acara pidana
mengatur pula pokok acara pelaksanaan dan pengawasan dari putusan tersebut.

5. Proses penyelesaian perkara pidana.


Proses dalam Hukum Acara Pidana secara garis besar dapat dibagi menjadi tindakan yang
mendahului pemeriksaan di muka pengadilan yang terdiri atas tingkat penyelidik/penyidik
(kepolisian) dan pada tingkat penuntut umum. Ketika dalam proses penyidikan sudah
terkumpul bukti-bukti yang menguatkan maka penyidik akan mengirim BAP (berkas acara
pemeriksaan) kepada kejaksaan untuk kemudian kejaksaan menunjuk penuntut umum yang
kemudian membuat surat dakwaan dan selanjutnya melimpahkan ke pengadilan negeri. Ketua
pengadilan membentuk majelis hakim yang bertugas memanggilterdakwa, kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan dalam sidang pengadilan hingga akhirnya tercipta putusan
pengadilan. Masing-masing akan dibahas lebih lanjut dan lebih rinci dalam modul-modul
berikutnya.
Tahap yang mengawali proses Hukum Acara Pidana adalah diketahui terjadinya tindak
pidana (delik). Perkara pidana disebut ada jika diketahui adanya tindak pidana atau peristiwa
pidana atau kejahatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Berbeda dengan
perkara perdata, ketika inisiatif untuk mengajukan perkara diambil oleh orang-orang yang
merasa dirugikan maka dalam perkara pidana, inisiatif untuk mengajukan perkara pidana
diambil oleh negara. Mengajukan perkara pidana di pengadilan karena adanya tindak pidana
atau kejahatan. Diketahui terjadinya tindak pidana dari empat kemungkinan yaitu
a. kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 angka 19 KUHAP);
b. karena laporan (Pasal 1 angka 24 KUHAP);
c. karena pengaduan (Pasal 1 angka 25 KUHAP);
d. diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui
terjadinya delik seperti baca di surat kabar, dengar di radio, dengar orang bercerita, dan
lain-lain.
6. Asas-asas dalam Hukum Acara Pidana.
a. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
Perhatikan kata ”segera”, seperti dalam Pasal 102 ayat (1) KUHP mengatakan penyelidik
yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut
diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakuka tindakan penyelidikan yang
diperlukan.
Begitu juga dengan Pasal 50 KUHAP mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk
segera diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang
disangkakan kepadanya pada waktu dimulai pemerikasaan.
b. Praduga tidak bersalah
Dalam penjelasan KUHAP pada butir 3c yang berbunyi ”Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
c. Opportunitas
Asas Oportunitas adalah salah satu asas terpenting didalam hukum acara pidana
Indonesia.
Adapun isi dari asas Oportunitas sbb :
Penuntut umum berwenang menutup perkara demi Kepentingan umum bukan hukum. Di
atur dalam (Pasal 14 huruf h KUHAP).
Menurut asas ini penuntut Umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan tindak
pidana jika menurut pertimbangan akan merugikan kepentingan umum.
Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan Tindak Pidana tidak akan
dituntut ke muka pengadilan. Dengan kata lain Penuntut Umum (PU) dapat menghentikan
suatu perkara.
Menurut Pasal 14 KUHAP, merupakan wewenang Jaksa Agung dengan pertimbangan dari
Pemerintah dan DPR untuk menyampaikan perkara demi kepentingan umum.
Oportunitas, yaitu mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Dalam konteks
hukum acara pidana, asas oportunitas ini merupakan pengecualian dari asas legalitas yang
berarti, tiap perbuatan pidana harus dituntut (nullum crimen sine poena legali).
d. Semua orang diperlakukan sama di hadapan Hukum
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu
tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk
diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).

Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara
statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang maka harus
diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada
dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama
oleh hakim tersebut (audi et alteram partem).
Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai akan
memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi
semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Menurut Aristoteles, keadilan harus
dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas
menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Apakah orang
mampu atau fakir miskin, mereka sama untuk memperoleh akses kepada keadilan.
e. Peradilan dilakukan oleh Hakim karena jabatannya dan tetap
Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap. Ini berarti bahwa
pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya
dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara.
Asas ini diatur dalam pasal 31 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1
Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim adalah pejabat
peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 31
UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Hakim adalah pejabat yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
f. Tersangka/terdakwa berhak mendapat Bantuan Hukum
Pasal 54 KUHAP menjelasakan bahwa, guna kepentingan pembelaan, tersangka atau
terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang
ditentukan dalam undang-undang ini.
g. Akusator dan Inkisitor ( Accusatoir dan Inquisitoir)
Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukan bahwa dengan KUHAP
telah dianut asas akusatoir itu. Dalam pemeriksaan dengan sistem ini, tersangka atau
terdakwa diakui sebagai subyek pemeriksaan dan diberikan kebebasan seluas-luasnya
untuk melakuan pembelaaan diri atau tuduhan atau dakwaan yang ditujukan atas drinya.
Pemeriksaan accusatoir dengan pintu terbuka,artinya semua orang dapat dan bebas melihat
jalannya pemeriksaan ini.
Sedangkan asas Inkisitor itu berarti tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang
masih dianut oleh HIR untuk pemeriksaan pendahuluan.
Sistem pemeriksaan ini dilakukan dengan pintu tertutup, artinya tidak semua orang dapat
dan bebas melihat jalannya pemeriksaan itu.
h. Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan
Pemeriksaan disidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung
kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata dimana tergugat dapat
diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan
tertulis antara hakim dan terdakwa.

Anda mungkin juga menyukai