Anda di halaman 1dari 59

HUKUM ACARA PERDATA

OLEH : SAPTO HADI PAMUNGKAS, SH MH

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BALIKPAPAN
PENDAHULUAN
• Pengertian
• Sejarah
• Asas-asas
• Fungsi
• Sumber Hukum
• Susunan Dan Kekuasaan Badan Peradilan Umum & Khusus
• Tugas Dan wewenang Hakim
• Kuasa Para Pihak & Gugatan
• Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Apabila Hukum Perdata Materiil DILANGGAR
maka muncullah Hukum Perdata Formil

PENGERTIAN Hukum Perdata Formil


adalah …
Hukum Perdata Materil : Cara mempertahankan hukum perdata
1. Hukum Perorangan materiel = Hukum Acara Perdata/Hukum
Perdata Formil
2. Hukum Kebendaan
 Sudikno Mertokusumo (1985: 2):
3. Hukum Perikatan
“Peraturan hukum yang mengatur
4. Hukum bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum
Pembuktian/Daluawarsa perdata materiil dengan perantaraan hakim.”
Dalam rangka penyelesaian permasalahan lewat pengadilan dan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara Hukum, diperlukan
suatu cara yang dinamakan Hukum Acara.

Hukum Acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan


tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan
keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam
hukum materiil yang berarti memberikan kepada hukum acara
suatu hubungan mengabdi kepada hukum meteriil.

Dengan singkat Hukum Acara adalah peraturan hukum yang


mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materiil
Hukum Acara meliputi ketentuan-
ketentuan tetang cara bagaimana orang
harus menyelesaikan masalah dan
mendapatkan keadilan dari hakim apabila
kepentingannya atau haknya dilanggar
oleh orang lain, dan sebaliknya bagaimana
cara mempertahankan kebenarannya
apabila dituntut oleh orang lain
Para Ahli menjelaskan..
Prof Dr. R. Wirjono Prodjodikoro Prof Dr Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata adalah Hukum Acara Perdata adalah
Rangkaian peraturan yang membuat Peraturan hukum yang mengatur
cara bagaimana orang harus bertindak bagaimana caranya menjamin
terhadap dan di muka pengadilan dan ditaatinya hukum perdata materiil
bagaimana Pengadilan itu harus dengan perantara Hakim. Dengan
bertindak, satu sama lain untuk Perkataan lain Peraturan hukum yang
melaksanakan berjalannya peraturan menentukan bagaimana caranya
hukum Perdata. menjamin pelaksanaan hukum materiil
SEJARAH
Zaman Pemerintah Hindia Belanda
Hukum acara perdata Indonesia yang berlaku saat ini berasal dari zaman
Pemerintahan Hindia Belanda yang hingga saat ini ternyata masih dipertahankan
keberadaannya. Oleh karena itu, membicarakan hukum acara perdata ini dimulai
sejak lahirnya hukum acara perdata itu sendiri. Berbicara mengenai sejarah hukum
acara perdata di Indonesia, tidak dapat terlepas dari membicarakan sejarah
peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan dari definisi hukum acara perdata yang
telah dikemukakan di atas, diketahui bahwa hukum acara perdata hanya diperlukan
apabila seseorang hendak berperkara di muka pengadilan
Sejarah Singkat Lembaga Peradilan
Pada zaman Pemerintah Hindia Belanda dahulu, terdapat beberapa lembaga peradilan
yang berlaku bagi orang-orang atau golongan yang berbeda, yaitu 1) peradilan
gubernemen, lembaga peradilan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Hindia Belanda; 2)
peradilan swapraja (zelfbestuurrechtspraak), yaitu suatu peradilan yang diselenggarakan
oleh sebuah kerajaan, diatur dalam suatu peraturan Swapraja tahun 1938
(Zelfbestuursregelen 1938); 3) peradilan adat (inheemse rechtspraak) diatur dalam
Staatsblaad 1932—80 yang dalam Pasal 1-nya menyebut tidak kurang dari tiga belas
karesidenan yang ada peradilan adat; 4) peradilan agama (godienstigerechtspraak) diatur
dalam Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling diatur lebih lanjut dalam S. 1882-152,
kemudian diubah dalam S. 1937-116; dan 5) peradilan desa (dorpsjustitie) diatur dalam
S. 1935-102 yang dalam Pasal 3a RO (reglement op de rechterlijke organisatie) disebut
hakim-hakim perdamaian desa (dorpsrechter).
Peradilan Gubernemen
Peradilan gubernemen terdiri atas dua lembaga peradilan. Pertama, lembaga peradilan
yang diperuntukkan bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan, terdiri atas raad van
justitie dan residentiegerecht sebagai pengadilan tingkat pertama atau hakim sehari-hari
(dagelijkse rechter) dan hoggerechtshof sebagai lembaga pengadilan tertinggi yang
berkedudukan di Batavia (sekarang Jakarta). Kedua, lembaga peradilan yang
diperuntukkan bagi golongan bumiputra yang dilaksanakan oleh sebuah landraad
sebagai pengadilan tingkat pertama didampingi oleh beberapa badan pengadilan untuk
perkara-perkara kecil, misalnya pengadilan kabupaten, pengadilan distrik, dan beberapa
lagi, sedangkan tingkat banding dilaksanakan oleh raad van justitie. Adapun yang
dimaksud pengadilan kabupaten dan pengadilan distrik hanya menyelesaikan perkara-
perkara kecil, yaitu perkara-perkara perdata yang tuntutannya di bawah nilai seratus
gulden menjadi wewenang dari kedua pengadilan tersebut untuk menyelesaikannya
Peradilan Swapraja
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pengadilan-pengadilan swapraja di Jawa,
Madura, dan Sumatra dengan resmi dihapuskan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1947, kemudian dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 yang mulai
berlaku pada 14 Januari 1951,9 dan menyusul penghapusan pengadilan-pengadilan
swapraja di daerah-daerah lain, misalnya Sulawesi dan Nusa Tenggara. Ukuran tentang
kekuasaan peradilan swapraja terletak pada permasalahan apakah tergugat adalah
seorang kaula (onderhoogerige) dari swapraja di mana ia berada atau dari pemerintah
pusat. Adapun mereka yang termasuk kaula pemerintah pusat menurut Pasal 7 ayat (3)
dan (4) Peraturan Swapraja tahun 1938 adalah orang Eropa; timur asing (vreemde
osterlingen), kecuali keturunan raja; pegawai-pegawai pemerintah pusat; dan buruh dari
beberapa macam perusahaan. Sementara itu, orang-orang Indonesia asli yang bukan
pegawai negeri dan bukan buruh semacam itu adalah kaula swapraja
Peradilan Adat
Peradilan adat hanya berada di daerah-daerah di luar Jawa dan Madura.
Pada zaman Hindia Belanda, Pasal 130 Indische Staatsregeling memberi
kemungkinan bahwasanya di beberapa daerah di Indonesia, ada peradilan
adat, di samping peradilan yang diatur dalam reglement rechterlijke
organisatie (RO), herziene inlandsch reglement (HIR), rechtsreglement
buitengewesten, dan yang disebut gouvernments-rechtspraak.
Kemungkinan pada zaman Pemerintahan Balatentara Dai Nippon dan
setelah Republik Indonesia merdeka, di beberapa daerah dari 13
karesidenan tersebut, secara de facto peradilan adat dihapuskan dan
kekuasaan mengadili diserahkan kepada pengadilan negeri.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Bagaimana keadaan hukum acara setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan pada 17 Agustus 1945? Pada dasarnya, keadaan yang telah
ada pada zaman Pemerintahan Balatentara Dai Nippon diteruskan
berlakunya. Hal ini didasarkan pada ketentuan Aturan Peralihan Pasal II
dan IV UndangUndang Dasar Republik Indonesia tertanggal 18 Agustus
1945 jo Peraturan Pemerintah 1945-2 tertanggal 10 Oktober 1945.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa HIR dan RBg masih tetap
berlaku sebagai peraturan hukum acara di muka pengadilan negeri untuk
semua golongan penduduk (semua warga negara Indonesia).
ASAS-ASAS

1.Hakim Bersifat Pasif, Hakim Bersifat Menunggu


(Nemo Judex Sine Actore)
2.Asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
3.Peradilan Dilakukan Dengan Sederhana, Cepat Dan
Biaya Ringan
4.Peradilan Yang Independen (Kemerdekaan Hakim)
5. Persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 19 ayat (1) & Pasal
20 UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman)

6. Mendengar kedua belah pihak (Audi Et Alteram Partem)

7. Putusan harus disertai alasan (Pasal 25 ayat (1) UU No. 4/2004


tentang Kekuasaan Kehakiman)

8. Beracara dikenai biaya.

9. Tidak ada keharusan untuk mewakilkan


FUNGSI

 Mencegah tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting)

 Memberikan pedoman bagi para pihak bagaimana


menyelesaikan suatu perkara yang dihadapi dengan
melalui jalur hukum.

 Mempertahankan Hukum Perdata Materiil.


Sumber Hukum
1. Peraturan Perundang-undangan:
• Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
• Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg)
• Reglement of de Burgelijke Rechtsvordering (RV)
• Reglement of de Rechtlijke Organisatie in Het Beleid der Justitie in Indonesie (RO)
• KUHPerdata Buku IV
• UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
2. Yurisprudensi
3. Adat kebiasaan
4. Doktrin
SUSUNAN & KEKUASAAN BADAN
PERADILAN
Kekuasaan Badan Peradilan
Kekuasaan Kehakiman Adalah Kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
 Diselenggarakan oleh ....
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya:
- lingkungan Peradilan Umum,
- lingkungan Peradilan Agama,
- lingkungan Peradilan Militer,
- lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara,
Kekuasaan Badan Peradilan :
 Lingkungan Peradilan Umum
Memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana
 Lingkungan Peradilan Agama
Memeriksa dan memutus perkara perdata antara orang-orang
yg beragama Islam mengenai soal nikah, talak, rujuk, fasakh,
mahar, nafkah, harta, infaq, zakat, waris dan sengketa syariah
 Lingkungan Peradilan Militer,
Memeriksa dan memutus perkara pidana di kalangan
militer
 Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara,
Memeriksa dan memutus sengketa di bidang Tata Usaha
Negara
SUSUNAN BADAN PERADILAN UMUM

 Pengadilan Negeri
Memeriksa dan memutus perkara Perdata dan Pidana pada tingkat pertama

 Pengadilan Tinggi
 Memeriksa dan memutus perkara Perdata dan Pidana pada tingkat kedua/banding
 Memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama & terakhir sengketa kewenangan
mengadili antar PN di daerah hukumnya.

 Mahkamah Agung
 Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
 Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang; dan
 kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
Tugas & Wewenang Hakim
1. Memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan kepadanya
2. Sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
(Pasal 28 ayat (1) UU No. 4/2004 ttg Kekuasaan Kehakiman)
3. Mengusahakan tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan
biaya ringan (Pasal 5 ayat (2) UU No. 4/2004 ttg Kekuasaan
Kehakiman)
4. Memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan gugatannya
ke Pengadilan (Pasal 19 HIR – 143 R.Bg)
Kewenangan Pengadilan
1. Mengenai kewenangan mengadili dapat dibagi dalam kekuasaan
kehakiman Atribusi (Atributie van rechtsmacht) dan kekuasaan
kehakiman Distribusi (distributie van recthmacht)
2. Atribusi kekuasaan kehakiman adalah kewenangan mutlak.
3. Kompetensi Absolut adalah Kewenangan Pengadilan di dalam
memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat
diperiksa oleh badan pengadilan lain.
4. Kompetensi Relatif adalah Kewenangan Pengadilan mengenai
Wilayah (domicilie) untuk memeriksa gugatan atau tuntutan hak.
Tempat Kedudukan Pengadilan
1. Tempat kedudukan Pengadilan Negeri pada prinsipnya berada di tiap
Kota/Kabupaten.
2. Tempat kedudukan Pengadilan Tinggi pada prinsipnya berada tiap
Ibu kota Provinsi.
3. Disamping tiap Pengadilan Negeri terdapat Kejaksaan Negeri, dan
disamping tiap Pengadilan Tinggi ada Kejaksaan Tinggi.
4. Khusus di ibukota Jakarta, ada 5 buah Pengadilan Negeri, yaitu
Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan
Jakarta Barat, demikian pula dengan Kejaksaan Negerinya.
Susunan Pejabat Pada Pengadilan
1. Disetiap terdapat beberapa Hakim, diantaranya menjabat sebagai Ketua
Pengadilan dan Wakil Ketua.
2. Para Hakim bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara persidangan.
3. Disamping itu, ada Panitera yang bertugas memimpin bagian administrasi atau
tata usaha dibantu oleh wakil panitera, beberapa panitera pengganti dan
karyawan-karyawan lainnya.
4. Tugas dari Panitera ialah menyelenggarakan administrasi perkara serta mengikuti
semua sidang serta musyawarah pengadilan dengan mencatat secara teliti semua
hal yang dibicarakan (Pasal 58, 59 UU No. 2 Tahun 1986), harus membuat Berita
Acara (Proses Verbal) sidang pemeriksaan dan menandatanganinya bersama
Ketua sidang, Dalam praktik tugas tersebut dilakukan oleh Panitera Pengganti.
Susunan Pejabat Pada Pengadilan
5. Disamping Hakim dan Panitera, masih ada petugas yang dinamakan Juru Sita
(Deurwaarder) dan Juru sita pengganti (Pasal 39 UU No. 2 Tahun 1986) adapun
tugas Juru Sita adalah melaksanakan perintah dari Ketua Sidang dan
menyampaikan pengumuman, teguran pemberitahuan putusan pengadilan,
panggilan resmi para Tergugat dan Penggugat dalam perkara perdata dan para
saksi, dan juga melakukan penyitaan atas perintah Hakim.
PARA PIHAK
Para Pihak yang dapat Berperkara
Para pihak di dalam suatu perkara terdiri atas apa yang dinamakan Penggugat,
Tergugat, dan Adanya Pihak Ketiga.

1. Penggugat (Eiser/Plainuff)
Adalah Orang atau Badan Hukum yang memerlukan/berkepentingan
akan perlindungan Hukum oleh karenanya ia mengajukan Gugatan.

2. Tergugat (Gedaagde/Defendent)
Adalah Orang atau Badan Hukum yang terhadapnya diajukan Gugatan
atau Tuntutan Hak. Tergugat dapat terdiri atas seseorang atau Beberapa orang
atau satu Badan Hukum atau Beberapa Badan Hukum atau Gabungan orang
pereseorangan dengan badan Hukum.
DASAR
NO. TERGUGAT GUGATAN DITUJUKAN KEPADA
HUKUM
1. Orang Perorangan • Orang Perorangan tersebut. Pasal 6 No. 3
2. Badan Hukum Publik • Badan hukum Publik itu diwakili oleh Rv
(Negara/Pemerintah) Pimpinanya
3. Badan Hukum Keperdataan • Badan Hukum itu diwakili pengurusnya, bila
(PT, Yayasan, Koperasi) telah dibubarkan kepada salah seorang
Pengurusnya.
4. Firma • Seluruh Persero/salah seorang persero. Pasal 6 No. 5
Rv
5. CV • Diwakili Persero Pengurusnya. Pasal 6 No. 5
Rv
6. BUMN (Persero, Perum, • Pemerintah RI Cq. Departemen yang
Perjan) membawahi BUMN, Cq. BUMN itu, diwakili
pimpinannya.
7. BUMD (Badan usaha milik • Pemerintah RI, Cq. Departemen yang
daerah) membawahinya, Cq. Pemda yang
membawahinya, Cq. BUMD itu sendiri,
diwakili oleh pimpinannya
Para Pihak yang dapat Berperkara
3. Pihak Ketiga (Voeging, Tusschenkomst dan Vrijwaring)

a) VOEGING (Menyertai)
Ialah mencampurinya pihak ketiga dalam sengketa yang sedang berlangsung antara
Pihak Penggugat dan Pihak Tergugat dengan sikap memihak kepada salah satu pihak.
(Memihak kepada Tergugat dengan maksud untuk melindungi kepentingan hukumnya.

b) TUSSCHENKOMST (Menengahi)
Ialah Penggabungan dari beberapa tuntutan, Pihak ketiga ini menuntut Haknya sendiri
dengan melakukan Perlawanan terhadap Penggugat dan Tergugat.

c) VRIJWARING (Garansi Penanggungan)


Ialah Ditariknya pihak ketiga dalam suatu sengketa yang sedang berjalan oleh salah
satu Pihak yang sedang bersengketa. Agar pihak ketiga yang ditarik dalam sengketa yang
sedang berlangsung dapat membebaskan pihak yang memanggilnya dari kemungkinan akibat
Putusan tentang Pokok Perkara.
Para Pihak yang dapat Berperkara
4. Wali atau Pengampu (Bagi mereka yang tidak mampu)
Adalah orang yang bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat tanpa
mempunyai kepentingan secara langsung dalam perkara yang bersangkutan.

Seorang wakil atau Pengampu bertindak sebagai pihak di muka Pengadilan atas
namanya sendiri tetapi untuk kepentingan orang lain yang diwakilinya, karena
yang terakhir inilah yang mempunyai kepentingan secara langsung (Pasal 383,
446, 452, 403-405 BW)

Nama mereka harus dimuat dalam gugatan dan disebut pula dalam putusan
disamping nama-nama yang mereka wakili, mereka merupakan Pihak Formil,
sedangkan yang diwakilinya adalah Pihak Materiil
TATA URUTAN PERSIDANGAN
TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PERDATA
1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum
(kecuali persidangan yang dinyatakan tertutup untuk umum);
2. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang sidang;
3. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula diperiksa surat
ijin praktik dari organisasi advokat (jika dikuasakan kepada Advokat);
4. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk menyelesaikan
dengan perkara secara damai (melalui mediasi);
5. Majelis Hakim menawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan
PN atau dari luar (sesuai PERMA RI No.1 Tahun 2008);
6. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai, maka persidangan dilanjutkan dengan
pembacaan surat gugatan oleh penggugat/kuasanya;
7. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam bentuk
akta perdamaian yang bertitel DEMI KEADILAN Berdasarkan KETUHANAN
Yang Maha Esa;
TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PERDATA

8. Apabila tidak ada perubahan acara, selanjutnya jawaban dari tergugat;


(jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil,
gugatan rekonvensi);
9. Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi sebagai penggugat
rekonvensi;
10. Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan
sebagai tergugat rekonvensi;
11. Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada gugatan
intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst);
12. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul Putusan Sela (putusan
provisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat
intervensi);
TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PERDATA

13. Pembuktian
14. Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi;
15. Dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi;
16. Apabila diperlukan, Majelis Hakim dapat melakukan pemeriksaan setempat
(tempat objek sengketa);
17. Kesimpulan dari masing-masing pihak;
18. Musyawarah oleh Majelis Hakim;
19. Pembacaan Putusan Majelis Hakim;
20. Isi putusan Majelis Hakim dapat berupa Gugatan dikabulkan (seluruhnya
atau sebagian); Gugatan ditolak, atau Gugatan tidak dapat diterima;
Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya
apakah akan menerima, pikir-pikir atau akan
banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu
selama 14 hari;

Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka


diberitahu terlebih dahulu dan dalam waktu 14 hari
setelah pemberitahuan diberi hak untuk
menentukan sikap. Apabila waktu 14 hari tidak
menentukan sikap maka dianggap menerima
KUASA PARA PIHAK
KUASA (LASTHEBBER)
Yang dimaksud dengan Kuasa adalah seorang yang dari pemberi kuasa di
beri wewenang mewakili kepentinganya.

Menurut Pasal 1792 BW, mendefinisikan Pemberi Kuasa adalah suatu persetujuan
dengan mana seseorang memberikan kuasanya (wewenang) kepada orang lain yang
menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Pemberian dan
penerimaan surat kuasa itu dapat dilakukan dalam suatu akta umum, dalam suatu
tulisan dibawah tangan, dalam sepucuk surat, ataupun lisan.

Pemberian surat kuasa dapat dilakukan secara Khusus atau secara Umum. Surat
kuasa Khusus berarti hanya menyangkut satu kepentingan saja, sedangkan surat
kuasa Umum meliputi perbuatan-perbuatan umum dalam hal pengurusan (Pasal
1796 BW)
KEWAJIBAN SEORANG KUASA ATAU PENERIMA KUASA
1. Melaksanakan kuasanya:
a) Menanggung segala biaya;
b) Menanggung Kerugian;
c) Menanggung segala bunga yang dapat timbul karena tidak dilaksanakannya
kuasa itu.
2. Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu si pemberi
kuasa meninggal
3. Bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja.
4. Bertanggung jawab tentang kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam
menjalankan kuasannya.
5. Memberi laporan tentang apa yang telah diperbuatnya.
KEWAJIBAN SEORANG KUASA ATAU PENERIMA KUASA
6. Memberi perhitungan kepada Pemberi Kuasa tentang segala apa yang
telah diterimanya berdasarkan kuasa (termasuk apa yang telah
diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada si pemberi kuasa)
7. Bertanggungjawab untuk kuasa subtitusinya.
8. Dalam hal kuasa lebih dari satu orang, maka mereka tidak tanggung
menanggung.
9. Membayar bunga atau uang-uang pokok yang dipakainya guna
keperluan sendiri.
10.Tidak bertanggung jawab tentang apa yang terjadi di luar batas
kekuasaan itu, kecuali jika ia secara pribadi telah mengikatkan diri
untuk itu. (Pasal 1800-1806 BW)
KEWAJIBAN PEMBERI KUASA
1. Memenuhi perikatan-perikatan yang diperbuat oleh si kuasa menurut
kekuasaan yang telah diberikan kepadanya.
2. Terikat dengan apa yang diperbuat oleh kuasanya di luar yang
dikuasakan kepadanya, asal hal itu telah disetujuinya secara tegas
atau secara diam-diam.
3. Mengembalikan kepada kuasa persekot dan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan oleh kuasa untuk melaksanakan kuasanya.
4. Membayar upah kuasa yang telah diperjanjikan.
5. Memberi ganti rugi kepada si kuasa tentang kerugian yang diderita
sewaktu menjalankan kuasanya.
KEWAJIBAN PEMBERI KUASA
6. Membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan oleh
kuasa, terhitung mulai hari dikeluarkannya persekot-
persekot itu.
7. Dalam hal pemberi kuasa secara kolektif, maka masing-
masing pemberi kuasa bertanggungjawab utuk seluruhnya
terhadap si kuasa mengenai segala akibat dari pemberian
kuasa itu (reteng).
8. Si kuasa berhak menahan segala apa yang di punyai si
Pemberi Kuasa yang berada ditangannya, sampai dibayar
lunas segala hak-hak di kuasa (Hak Retensi)
ISI SURAT KUASA
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam Pembuatan Surat
Kuasa;

1. Identitas Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa


2. Menyangkut isi/materi surat kuasa itu sendiri, harus secara
jelas dan terperinci disebutkan untuk apa kuasa itu
diberikan.
3. Harus secara tegas diuraikan batas-batas kewenangan
penerima kuasa untuk menjalankan kuasanya.
4. Harus diberi materai secukupnya dan ditandatangani oleh
Pemberi Kuasa.
BERLAKUNYA SURAT KUASA
Mengenai berakhirnya Surat Kuasa diatur dalam Pasal 1813-
1819 BW, sebagai berikut;

1. Ditariknya kembali kuasa dari Pemberi Kuasa.


2. Pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa.
3. Dengan meninggal, pengampuan, pailitnya si Pemberi
Kuasa atau si kuasa.
4. Pengangkatan kuasa baru untuk mengurus hal yang sama,
menyebabkan ditariknya kuasa pertama.
GUGATAN
Setiap Orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan
terhadap pihak yang dianggap merugikan lewat pengadilan

Gugatan secara umum harus tertulis namun dapat diajukan secara lisan
(Pasal 118 ayat 1 HIR 142 ayat 1 Rbg) dan jika perlu dapat minta
bantuan Ketua Pengadilan Negeri

Gugatan harus diajukan oleh yang berkepentingan

Tuntutan hak di dalam gugatan harus merupakan tuntutan hak yang ada
kepentingan hukumnya, yang dapat dikabulkan apabila kebenarannya
dapat dibuktikan dalam sidang pemeriksaan
Karakteristik Gugatan Perdata Class Action Legal Standing Citizen Law Suit
Biasa
Filosofi Individualistik Ketidak percayaan pada “ NGO sebagai wali Individu mampu
Individualistik (Guardian ) mewakili kepentingan
publik
Istilah Gugatan Perdata Gugatan Perwakilan Gugatan NGO Gugatan Warga Negara
Kelompok NGO standing
Hubungan Kepentingan Kepentingan Langsung Tidak memiliki Tidak memiliki
Kepentingan langsung ( riil & ( riil & tangible ) kepentingan riil & kepentingan yg riil &
tangible) tangible tangible
Tuntutan Ganti Rugi materiil Ganti rugi materiil & Tindakan tertentu & Tindakan tertentu,
& Tindakan tindakan tertentu Out of pocket pelaksanaan kewajban
tertentu expenses hukum

Subjek Orang yang Class Members, Class Organisasi yang Orang perorangan
dirugikan secara representative memenuhi syarat warga negara
langsung

Notifikasi Tidak diperlukan Notifikasi dari CR ke CM Tidak diperlukan Notifikasi dari


notifikasi Penggugat kpd
Tergugat ( syarat
prosedural )
Gugatan Perwakilan Kelompok (class action)

Penggugat Tergugat Tuntutan Keterangan

Kelompok masyarakat 1. Pemerintah - Pemulihan - Mengalami kerugian


2. Perusahan Keadaan akibat pencemaran
3. Badan hukum lingkungan dll dan/atau kerusakan
4. Individu - Ganti rugi lingkungan hidup.
Lahan/Tanam - Mekanismenya op
Tumbuh/keabsahan out, sehingga perlu
kepemilikan detail dalam
menentukan
mekanisme
pembayaran ganti
kerugian
Legal Standing
Penggugat Tergugat Tuntutan Prasyarat Organisasi LH

Ngo/LSM 1. Pemerintah Pemulihan a. badan hukum;


2. Perusahan Lingkungan b. AD/ART untuk
3. Badan
hukum
atau biaya kepentingan
4. Individu pengeluaran pelestarian fungsi
riil lingkungan hidup;
(pasal 92 c. Paling singkat 2
ayat (2)) (dua) tahun. (pasal
92 ayat (3))
Gugatan Warga Negara (citizen lawsuit)
Penggugat Tergugat Tuntutan Keterangan

Individu (warga Pemerintah Meminta Pemerintah Untuk dan atas nama


negara Indonesia) dan/atau Pemerintah kepentingan publik
Daerah melaksanakan
kewajibannya yang
diamanatkan
peraturan Per-UU-an
Persyaratan isi dalam Gugatan
1. Identitas Para Pihak.
2. Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang
merupakan dasar serta alasan-alasan dari tuntutan. Dalil-dalil
ini lebih dikenal dengan istilah Fundamental Petendi atau
Posita
3. Tuntutan atau Petitum ini harus jelas dan tegas. HIR dan RBG
sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan.
Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata

Menurut Pasal 164 HIR, alat bukti HAP terdiri dari;


1. Bukti Surat.
2. Bukti Saksi.
3. Persangkaan.
4. Pengakuan dan
5. Sumpah.
1. BUKTI SURAT
Adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan pemikiran
seseorang dan digunakan sebagai pembuktian

Surat dibagi dua yaitu surat yang merupakan Akta dan surat lainya yang bukan
Akta
Akta
1. Akta Otentik (Pasal 1868 KUHper)
2. Akta Dibawah tangan.
Surat Lainya Bukan Akta
(Surat lainnya yang bukan merupakan akta bersifat bebas guna untuk
menyusun persangkaan)
2. BUKTI SAKSI
Kesaksian Adalah kepastian yang diberikan kepada Hakim di persidangan
tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan
dan pribadi oleh seorang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang
dipanggil di persidangan

Keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lannya tidak dianggap sebagai
pembuktian yang cukup
“Unus testis nullus testis = Seorang saksi bukan saksi”
Ps. 169 Hir, 306 Rbg, 1905 BW

Pada asasnya setiap orang yang bukan salah satu pihak dapat didengar sebagai
saksi dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan wajib memberi kesaksian
Ps. 139 HIR, 165 RBg, 1909 BW
3. PERSANGKAAN

Adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya


pembuktian dari ketidakhadiran seseorang pada saat tertentu disuatu
tempat dengan membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama di
tempat lain, dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi
persangkaan

“Persangkaan-persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan


perbuatan-perbuatan tertentu..”
Diatur dalam Pasal 1916 BW

Contoh : Keterangan 2 orang saksi bahwa seseorang ada di tempat X, sedang yang
harus dibuktikan adalah bahwa seseorang tersebut tidak ada ditempat X.
4. PENGAKUAN
Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan
persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan keterangan yang
membenarkan peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan

Pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan bukti yang


sempurna, sedangkan pengakuan yang dilakukan di luar persidangan kekuatan
pembuktianya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.

Pasal 176 HIR menerangkan bahwa suatu pengakuan harus diterima bulat.
Hakim tidak boleh memisah-misahkan atau memecah-mecah pengakuan itu dan
menerima sebagian dari pengakuan sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dan
menolak sebagian lainnya yang masih diperlukan pembuktian lebih lanjut.
5. SUMPAH
Adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada
waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa
dari Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang
tidak benar akan dihukum oleh-Nya.

Pada Hakikatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat Religius yang


digunakan dalam Peradilan

HIR menyebut 3 macam sebagai alat bukti, yaitu :


Sumpah Pelengkap (Suppletoir)
Sumpah Pemutus yang bersifat menentukan (Decicoir)
Sumpah penaksiran (Aestimator)
SEKIAN DAN TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai