Dalam konteks sejarah, peran Hakim dalam sistem peradilan Indonesia mengikuti
evolusi masyarakat, hukum, serta dinamika politik yang terjadi seiring dengan perkembangan
sistem ketatanegaraan di yang menyertainya. 1Sejarah profesi hakim tidak terpisahkan dengan
sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, dimana terdapat 3 (tiga) tahap perkembangan
kekuasaan kehakiman, yaitu pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, Pemerintahan Militer
Jepang, dan Kemerdekaan Republik Indonesia.2
1
Nuraini Nuraini and Mhd Ansori, “Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia,” Wajah Hukum 6, no.
2 (October 14, 2022): hal. 3.
2
Andra Triyudiana et al., “Netralitas Profesi Hakim Di Tengah Intervensi Politik,” Das Sollen: Jurnal Kajian
Kontemporer Hukum Dan Masyarakat 1, no. 01 (2022): hal. 6.
3
Ridham Priskap, “Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi 20, no. 1 (2020): hal. 2.
Justitutie, dan pada tingkat kasasi, disebut Hoog Gerechtshof van
Nederlandsche Indie.
d) Peradilan Agama, yang mengadili perkara agama Islam. Peradilan jenis ini
memiliki beragam nama di berbagai daerah, seperti Priesterraad dan Hof voor
Islamictische Zaken di Jawa dan Madura, serta Qadi di Banjarmasin, Hoeloe
Soengai, dan sejumlah daerah lainnya, disesuaikan dengan sebutan yang umum
dikenal di daerah masing-masing.
Peradilan ini hanya terdapat di daerah tidak langsung (otonom), kecuali daerah
Swapraja Paku Alaman dan Pontianak. sistem peradilan Swapraja yang dijalankan
atas nama kepala Swapraja. Pemerintah Hindia Belanda mengakui peradilan ini
melalui zelfbestuurs Regelen 1938 atau Lange Contact masing-masing Swapraja, yang
4
Ria Maulina Almadika and Pamungkas Satya Putra, “KAJIAN YURIDIS MENGENAI ETIKA PROFESI
HAKIM,” Jurnal Hukum Positum 6, no. 1 (September 28, 2021): hal. 7.
5
Priskap, “Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia,” hal. 322.
tersebar baik di Jawa, Madura, maupun Daerah Seberang. Struktur, kekuasaan
yudisial, hukum materiil, dan prosedur hukum formil Badan Peradilan Swapraja
ditetapkan oleh Residen setempat setelah berkonsultasi dengan Swapraja yang
bersangkutan dan mendapat persetujuan dari Departemen Van Justitie. Pedoman
dalam penyusunan peraturan ini mengacu pada Staatblad 1932 Nomor 80 tentang
Badan Peradilan Adat, sehingga tidak ada perbedaan prinsipil antara Peradilan
Swapraja di Daerah Seberang dengan Peradilan Adat, kecuali kewenangan penguasa
Europessch Bestur yang berperan sebagai penasehat, bukan sebagai Ketua Groote
Rapat.
Peradilan Desa di Hindia Belanda memiliki dua jenis, yaitu yang merupakan
bagian dari Badan Peradilan Gubernemen dan yang berdiri sendiri. Peradilan Desa
terakhir diakui oleh pemerintah Hindia Belanda melalui penambahan Pasal 3a dalam
Rechtelijke Organisatie (RO). Mereka memutus perkara sesuai dengan hukum adat
lokal dan tidak memiliki kewenangan untuk memberikan hukuman. Putusan mereka
hanya mencakup permintaan maaf, perdamaian, pengembalian keseimbangan, dan
lain-lain. Jika pihak-pihak yang bersengketa tidak puas, mereka dapat mengajukan
kasus mereka ke Peradilan Gubernemen. Hakim di sana tidak terikat pada putusan
Peradilan Desa, tetapi harus mempertimbangkan putusan tersebut secara serius.
Pada setiap jenis peradilan diatas, dimungkinkan juga terdapat ruangan khusus yang
dikenal dengan Kamar Peradilan Agama.
b. Masa Pemerintahan Militer Jepang
Sistem peradilan militer yang dikenal sebagai Gunritukaigi dihormati oleh tahap
pemerintahan militer Jepang karena fokusnya pada kepentingan dan keselamatan para
prajurit. Dengan demikian, sifat pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia adalah
dominan dalam bentuk militer yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan keselamatan
personel militer Jepang demi mencapai tujuan perang.
Pada intinya, sejarah profesi hakim sejalan dengan sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia
yang berubah mengikuti evolusi perubahan hukum dan dinamika politiknya.
6
Priskap, hal. 321.
References
Almadika, Ria Maulina, and Pamungkas Satya Putra. “KAJIAN YURIDIS MENGENAI
ETIKA PROFESI HAKIM.” Jurnal Hukum Positum 6, no. 1 (September 28, 2021):
113–24. https://doi.org/10.35706/POSITUM.V6I1.5613.
Nuraini, Nuraini, and Mhd Ansori. “Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia.”
Wajah Hukum 6, no. 2 (October 14, 2022): 426–33.
https://doi.org/10.33087/WJH.V6I2.1075.
Triyudiana, Andra, Ahmad Solehudin, Azhary Fathama, and Nabilla Putri Aryani. “Netralitas
Profesi Hakim Di Tengah Intervensi Politik.” Das Sollen: Jurnal Kajian Kontemporer
Hukum Dan Masyarakat 1, no. 01 (2022): 1.
https://doi.org/10.11111/moderasi.xxxxxxx.