Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Profesi Hakim

Dalam konteks sejarah, peran Hakim dalam sistem peradilan Indonesia mengikuti
evolusi masyarakat, hukum, serta dinamika politik yang terjadi seiring dengan perkembangan
sistem ketatanegaraan di yang menyertainya. 1Sejarah profesi hakim tidak terpisahkan dengan
sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, dimana terdapat 3 (tiga) tahap perkembangan
kekuasaan kehakiman, yaitu pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, Pemerintahan Militer
Jepang, dan Kemerdekaan Republik Indonesia.2

a. Masa Pemerintahan Hindia Belanda


Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, terdapat sistem yang plularistik dengan
pembedaan dalam sistem peradilan antara orang eropa dan pribumi, dimana hal ini
menyebabkan munculnya diskriminasi dalam sistem peradilan pada saat itu. Selama
masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, kekuasaan kehakiman dijalankan melalui
4 (empat) badan peradilan atau yang dalam Bahasa Belanda dikenal dengan
rechtspraak. Bada peradilan yang dimaksud terdiri dari:3
1) Peradilan Gubernemen (Gouvernements rechtpraak)
Peradilan Gubernemen meliputi seluruh Hindia Belanda, dimana peradilan ini
terstruktur kedalam dua bagian, yakni Peradilan Sipil dan Peradilan Militer. Peradilan
sipil pada peradilan Gubernemen terdiri dari 4 (empat) ruang lingkup, yaitu:

a) Lansdgerecht, yang berlaku bagi semua golongan.


b) Inlandsche Rechtspraak atau Peradilan Pribumi, yang utamanya ditujukan bagi
golongan Pribumi. Di Jawa dan Madura, terdapat Districtsgerecht dan
Regentschaosgerecht sebagai peradilan bawahan, dengan Peradilan Landraad
sebagai tingkatan atasnya. Di daerah lain, seperti daerah Seberang, terdapat
Negorijrechtbank, Districsgerecht/Districtsraad, dan Magistraats-gerecht
sebagai peradilan bawahan, dengan Peradilan Landraad sebagai tingkatan
atasnya.
c) Europeesche Rechtspraak atau Peradilan Eropa, yang secara prinsipal
diperuntukkan bagi golongan Eropa. Pada tingkat banding, disebut Raad van

1
Nuraini Nuraini and Mhd Ansori, “Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia,” Wajah Hukum 6, no.
2 (October 14, 2022): hal. 3.
2
Andra Triyudiana et al., “Netralitas Profesi Hakim Di Tengah Intervensi Politik,” Das Sollen: Jurnal Kajian
Kontemporer Hukum Dan Masyarakat 1, no. 01 (2022): hal. 6.
3
Ridham Priskap, “Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi 20, no. 1 (2020): hal. 2.
Justitutie, dan pada tingkat kasasi, disebut Hoog Gerechtshof van
Nederlandsche Indie.
d) Peradilan Agama, yang mengadili perkara agama Islam. Peradilan jenis ini
memiliki beragam nama di berbagai daerah, seperti Priesterraad dan Hof voor
Islamictische Zaken di Jawa dan Madura, serta Qadi di Banjarmasin, Hoeloe
Soengai, dan sejumlah daerah lainnya, disesuaikan dengan sebutan yang umum
dikenal di daerah masing-masing.

Sedangkan peradilan yang termasuk dala lingkup peradilan militer, yaitu


Krijgsraad. Zeekrijgsraad, dan Hoog Militer Gerechtshof.4

2) Peradilan Pribumi/Adat (Inheemscherecht-spraak)

Peradilan adat hanya terdapat di daerah langsung (administratif) daerah seberang.


Meskipun Peradilan Adat dan Peradilan Gubernemen memiliki dasar hukum yang
sama, yaitu Pasal 130 Indische Staatsregeling (IS) atau Undang-undang Dasar Hindia
Belanda, terdapat perbedaan prinsipil di antara keduanya. Peradilan Gubernemen
berperan atas nama Raja/Ratu Belanda, sementara Peradilan Adat tidak memiliki
fungsi serupa. Namun demikian, pemerintah Hindia Belanda memiliki pengaruh yang
signifikan dalam pengaturan dan penunjukan hakim-hakim badan Peradilan Adat.

Pada awalnya, Peradilan Adat hanya tersebar di daerah-daerah seberang, di mana


prosesnya diatur oleh hukum adat setempat. Namun, perkembangan terjadi karena
perubahan sikap pemerintah Belanda dalam membina Peradilan Adat. Pemerintah
Hindia Belanda mengambil langkah dengan menerbitkan Staatblad 1932 Nomor 80
yang mengatur susunan, posisi, wewenang mengadili, hukum materiil, dan hukum
acara badan Peradilan Adat. Selain itu, Residen diberi wewenang untuk menyusun
peraturan pelaksanaannya.5

3) Peradilan Swapraja (Zelfbestuurs rechtspraak)

Peradilan ini hanya terdapat di daerah tidak langsung (otonom), kecuali daerah
Swapraja Paku Alaman dan Pontianak. sistem peradilan Swapraja yang dijalankan
atas nama kepala Swapraja. Pemerintah Hindia Belanda mengakui peradilan ini
melalui zelfbestuurs Regelen 1938 atau Lange Contact masing-masing Swapraja, yang

4
Ria Maulina Almadika and Pamungkas Satya Putra, “KAJIAN YURIDIS MENGENAI ETIKA PROFESI
HAKIM,” Jurnal Hukum Positum 6, no. 1 (September 28, 2021): hal. 7.
5
Priskap, “Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia,” hal. 322.
tersebar baik di Jawa, Madura, maupun Daerah Seberang. Struktur, kekuasaan
yudisial, hukum materiil, dan prosedur hukum formil Badan Peradilan Swapraja
ditetapkan oleh Residen setempat setelah berkonsultasi dengan Swapraja yang
bersangkutan dan mendapat persetujuan dari Departemen Van Justitie. Pedoman
dalam penyusunan peraturan ini mengacu pada Staatblad 1932 Nomor 80 tentang
Badan Peradilan Adat, sehingga tidak ada perbedaan prinsipil antara Peradilan
Swapraja di Daerah Seberang dengan Peradilan Adat, kecuali kewenangan penguasa
Europessch Bestur yang berperan sebagai penasehat, bukan sebagai Ketua Groote
Rapat.

4) Peradilan Desa (Dorps rechtspraak),

Peradilan Desa di Hindia Belanda memiliki dua jenis, yaitu yang merupakan
bagian dari Badan Peradilan Gubernemen dan yang berdiri sendiri. Peradilan Desa
terakhir diakui oleh pemerintah Hindia Belanda melalui penambahan Pasal 3a dalam
Rechtelijke Organisatie (RO). Mereka memutus perkara sesuai dengan hukum adat
lokal dan tidak memiliki kewenangan untuk memberikan hukuman. Putusan mereka
hanya mencakup permintaan maaf, perdamaian, pengembalian keseimbangan, dan
lain-lain. Jika pihak-pihak yang bersengketa tidak puas, mereka dapat mengajukan
kasus mereka ke Peradilan Gubernemen. Hakim di sana tidak terikat pada putusan
Peradilan Desa, tetapi harus mempertimbangkan putusan tersebut secara serius.

Peradilan Desa tersebar di berbagai wilayah di Hindia Belanda seperti Gubernemen


Yogyakarta, Onder Afdeling Mandailing en Natal, Minangkabau, Residentie
Lampungsche Districten, Bangka en Billiton, Afdeelingen Banjarmasin dan Hoeloe
Sungai, Onder Afdeling Minahasa, dan beberapa desa di Afdeeling Ambina.
Umumnya, Peradilan Desa dilakukan dalam bentuk Rapat Desa yang dipimpin oleh
Kepala Desa. Namun, ada pengecualian di Mandailing dan Minangkabau. Di
Mandailing, pengadilan dipimpin oleh Kepala Adat sebagai hakim tunggal, sedangkan
di Minangkabau, Peradilan Desa juga memutus perkara agama yang terdiri dari tiga
tingkatan: Rapat Nagari, Rapat Ninik Mamak, dan Rapat Kaum. Dengan catatan, di
samping yang berdiri sendiri ada yang merupakan bagian dari Peradilan Gubernemen,
Peradilan Swapraja, maupun Peradilan Adat.

Pada setiap jenis peradilan diatas, dimungkinkan juga terdapat ruangan khusus yang
dikenal dengan Kamar Peradilan Agama.
b. Masa Pemerintahan Militer Jepang

Sistem peradilan militer yang dikenal sebagai Gunritukaigi dihormati oleh tahap
pemerintahan militer Jepang karena fokusnya pada kepentingan dan keselamatan para
prajurit. Dengan demikian, sifat pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia adalah
dominan dalam bentuk militer yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan keselamatan
personel militer Jepang demi mencapai tujuan perang.

c. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia, terjadi upaya serius dalam penataan kekuasaan


kehakiman, meskipun berbagai model kekuasaan kehakiman yang dirumuskan masih
menunjukkan kelemahan dan kekurangan yang belum sepenuhnya mampu memberikan
fungsi yang efektif bagi lembaga yang bertanggung jawab atas keadilan dan perlindungan
masyarakat.6 Pada masa ini, Indonesia memasuki tahap pembentukan sistem ketatanegaraan,
yang diatur oleh UUD 1945. Dalam tahap ini, ada tiga undang-undang utama yang menjadi
landasan, yakni: Pertama, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Struktur dan
Wewenang Badan Kehakiman, yang mengatur adanya 3 (tiga) lingkungan peradilan, yaitu:
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, dan Peradilan Ketentaraan. Selain itu,
Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1948 juga mengatur, bahwa kekuasaan kehakiman pada peradilan
umum dilaksanakan oleh: Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
Kedua, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 mengenai Prinsip-prinsip Dasar Kekuasaan
Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah direvisi oleh Undang-
Undang No.35 Tahun 1999. UU No. 19 Tahun 1964 secara jelas menyatakan bahwa
Pengadilan berperan sebagai instrumen perubahan yang kuat. Begitu juga dengan Pasal 14
dan Pasal 20, yang menyoroti bahwa hukum dan hakim juga memiliki peran yang sama
sebagai alat perubahan. Dengan demikian, karena peran yang dimiliki oleh pengadilan,
hukum, dan hakim, semuanya dianggap sebagai alat untuk menciptakan perubahan yang
revolusioner. Ketiga, undang-undang tersebut dirancang untuk memenuhi ketentuan tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 24 dan 25 UUD 1945.

Pada intinya, sejarah profesi hakim sejalan dengan sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia
yang berubah mengikuti evolusi perubahan hukum dan dinamika politiknya.

6
Priskap, hal. 321.
References

Almadika, Ria Maulina, and Pamungkas Satya Putra. “KAJIAN YURIDIS MENGENAI
ETIKA PROFESI HAKIM.” Jurnal Hukum Positum 6, no. 1 (September 28, 2021):
113–24. https://doi.org/10.35706/POSITUM.V6I1.5613.

Nuraini, Nuraini, and Mhd Ansori. “Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia.”
Wajah Hukum 6, no. 2 (October 14, 2022): 426–33.
https://doi.org/10.33087/WJH.V6I2.1075.

Priskap, Ridham. “Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia.” Jurnal


Ilmiah Universitas Batanghari Jambi 20, no. 1 (2020): 320.
https://doi.org/10.33087/jiubj.v20i1.890.

Triyudiana, Andra, Ahmad Solehudin, Azhary Fathama, and Nabilla Putri Aryani. “Netralitas
Profesi Hakim Di Tengah Intervensi Politik.” Das Sollen: Jurnal Kajian Kontemporer
Hukum Dan Masyarakat 1, no. 01 (2022): 1.
https://doi.org/10.11111/moderasi.xxxxxxx.

Anda mungkin juga menyukai