Anda di halaman 1dari 5

Tahkim dan muhakkam

Ketika pemeluk umat islam masih sedikit, wujud Peradilan Agama belum seperti sekarang ini,
pada masa itu bila terjadi perselisihan atau sengketa, diantara anggota masyarakat, diselesaikan
dengan cara tahkim kepada guru atau mubaligh yang dianggap mampu dan berilmu Agama, orang
yang bertindak sebagai hakim disebut muhakkam.

1. Masa (Periode) Ahlul Hilli Wal’aqdi


Ketika penganut Agama Islam telah bertambah banyak dan terorganisir dalam kelompok
masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau Qodhi dilakukan secara pemilihan dan baiat oleh ahlul
hilli wal’aqdi, yaitu pengangkatan atas seseorang yang dipercaya ahli oleh majelis atau kumpulan
orang-orang terkemuka.

2 . Masa (Periode) Tauliyah


a. di Aceh dengan nama Mahkamah Syari’ah Jeumpa
b. di Sumatra Utara dengan nama Mahkamah Majelis Syara’
c. di Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya yang merupakan bekas wilayah kerajaan Islam Ukai
istilah “Hakim Syara” atau”Qadhi Syara”
d. di Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, karena peran Syekh Arsyad Al-Banjari,
kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar,
e. di Sumbawa Hakim Syara’ di Sumatra Barat nama mahkamah tuan kadi atau Angku
Kali;
f. di Bima (NTB) dengan nama Badan Hokum Syara dan;
g. di kerajaan Mataram Pengadilan Surambi , disebut demikian karena tempat mengadili
dan memutus perkara adalah di Serambi Masjid.

3. Masa (Periode ) Peralihan / Transisi


Berlakunya hukum perdata islam diakui oleh VOC dengan resolute der indische regeling tanggal
25mei 1760, yaitu berupa suatu kumpulan aturan hokum perkawinan dan hokum kewarisan menurut
hokum islam , atau compendium freijer; untuk dipergunakan di pengadilan VOC .
Juga terdapat kumpulan-kumpulan hokum perkawinan dan hokum kewarisan menurut hokum islam
yang dibuat yang dipakai di daerah-daerah lain , yaitu Cirebon, Semarang dan Makassar.

4. Masa (Periode ) Pemerintahan Hindia Belanda Ke-I

Di dala m pasal 1 stbl.1882 no 152 di sebutkan bahwa di tempat-tempat dimana telah di bentuk
(pengadilan) landraad maka disana di bentuk pengadilan agama. Didalam sbl.1882 no. 152 tersebut
tidak disebut mengenai kewenangan pengadilan agama. Didalam pasal 7 hanya disinggung potongan
kalimat yang berbunyi “keputusan raad agama yang melampaui batas wewenang” yang memberikan
petunjuk ada peraturan sebelumnya yang mengatur mengenai ordonasi yang menyangkut wewenang
Pengadilan Agama. Ordonasi tersebut adalah stbl. 1820 no 22 jo kemudian stbl. 1835 no.58. dalam
pasal 13 stbl. 1820 no.22 jo. Stbl 1835 no.58, disebutkan : “jika diantara orang Jawa dan orang
Madura terdapat perselisihan (sengketa) mengenai perkawinan maupun pembagian harta pusaka
dan sengketa-sengketa sejenis dengan ituharus diputus menurut Hukum Syara’(Agama) Islam, maka
yang menjatuhkan keputusan dalam hal itu hendaknya betul-betul ahli Agama Islam”
5. Masa (Periode ) Pemerintahan Hindia Belanda Ke-II
Pada tahun 1925 regering reglement di ubah namanya menjadi : IS (wet de op staats
inrichting van nederlands indie) dengan stbld. 1925 No. 415 jo. 447 pasal 78 RR lama dijadikan/diberi
pasal baru, yaitu 134 IS (indiche staats regeling)
Pada tahun 1929 baru diadakan perubahan mengenai isi stbld . 1925 tersebut dan dalam kaitannya
dengan lembaga Peradilan Agama . Pada tahun 1929 baru di adakan perubahan mengenai isi dari
IS, yaitu dengan Stbld . 1929 No. 221 Pemerintah Hindia Belanda mengubah pasal 134 ayat (2) IS ,
sehingga di nyatkan bahwa ,
Dalam hal terjadi perkara perdata antara sessama orang islam akan di selesaikan oleh hakim
agama islam islam apabila hokum adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain
dengan suatu ordonasi.
Pernyataan pasal itu dapat diartikan bahwa hokum islam tidak berlaku lagi di Indonesia kecuali untuk
hal-hal yng menghendaki oleh hokum adat . Pasal 134 ayat (2) IS 1925 itulah yang menjadi formal
dan pangkal tolak dari teori “receptie”
Sejak saat itu, bermulalah suatu masa dimana seakan-akan masyarakat Indonesia telah
merasakan suatu hal yang benar dan biasa saja hukum islam itu bukan hokum di Indonesia dan telah
tertanam didalam pikiran orang khususnya kalangan sarjan hukum bahwa yang berlaku adalah
hokum adat , dan hanyalah, kalau hokum islam itu menjadi hokum adat barulah menjadi hokum.
Sebagai tindak lanjut dari kebijakan tersebut, pemerintah penjajah mengeluarkan stbld. 1937 No. 116
yang mengurangi wewenang Pengdilan Agama memeriksa perkara waris sehingga wewenangnya
hanya mengenai Nikah, Talak, dan Rujuk saja. Dalam pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa, bila sebuah
keputusan hakim agama tidak di terima untuk dijalankan (enggan dilaksanakan), maka
dimintakan executor verklaring ke Pengadilan Negeri (Peradilan Umum).
Dengan stbl. 1937 no. 638 dan 639 di atur pembentukan pengadilan agama (disebut Kerapatan
Kadi) dan Pengadilan Tinggi Agama (disebut Kerapatan Kadi Besar) di Kalimantan seLatan dan
Timur, dengan mengecualikan daerah pulau laut dan dan hulu sungai. Sedang mengenai wilayah
kekuasaan mengadili, dan ketentuan lain tidak berbeda dengan ketentuan untuk lingkungan Peradilan
Agama untuk Jawa dan Madura.
Kemudian dengan stbld. 1937 No. 610 di bentuk lembaga Peradilan Banding (Appel) yaitu Mahkamah
Islam Tinggi dalam Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Dalam pasal 7 disebutkan susunan
pengadilan yang terdiri dari seorang ketua, dua orang anggota , dan seorang panitera.

6. Masa (Periode ) Penjajahan Jepang

Lembaga Pengadilan Agama yang sudah ada sejak penjajahan Belanda, tetap berdiri dan di
biarkan bentuknya semula. Perubahan yang yang dilakukan terhadap lembaga ini hanyalah dengan
memberikan atau mengubah nama saja yaitu sooryoo hooin untuk pengadilan agama dan kaikyoo
kootoo hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama).
Dalam sidang dewan pertimbangan (sanyo kaigi) di persoalkan apakah urusan agama islam
dilaksanakan oleh pemerintah, dan apakah pengadilan agama berdiri terpisah dengan pengadilan
negeri atau menjadi bagian dari pengadilan negeri, dengan mengangkat penasihat urusan agama . H.
Zaini A. Noeh dan H. A Basiit Adnan dalam buku sejarah singkat pengadilan agama islam
di Indonesia menuliskan. Bahwa jepang berpendirian untuk mengadakan keseragaman (unifikasi)
dalam peradilan, yaitu satu peradilan untuk semua golongan penduduk kecuali untuk bangsa
jepang.meninjau secara ringkas tentang keadaan peradilan diseluruh Indonesia zaman jepang adalah
sukar sekali , oleh karena daerah-daerah Indonesia pada zaman pendudukan jepang dibagi-bagi
dalam kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatra adalah termasuk daerah angkatan darat yang
berpusat di shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah angkatan darat yang
berpusat di Jakarta . sedang Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara adalah daerah angkatan laut
yang berpusat di Makasar.

7. Masa Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia

Dalam UU No. 14 tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman ditegaskan :


a. Prinsip Peradilan dilakukan”demi keadilan beradasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
(Pasal 4 ayat 1) Proses Peradilan Sederhana , cepat dan biaya ringan ( Pasal 4 ayat 2)
b. Kekuasan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan :
 Peradilan Umum
 Peradilan Agama
 Peradilan Militer
 Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 10 Ayat 1)
c. Kasasi berada di tangan Mahkamah Agung untuk semua lingkungan Peradilan
Negara , (pasal 10ayat 2,3, dan 4)
d. Badan-badan Peradilan (di luar lingkungan departemen kehakiman secara
organisatoris , administrative dan financial tetap berada di bawah kekuasaan masing-masing
departemen (Pasal 11 Ayat 1) ; dan
e. Susunan kekuasaan dan acara dari badan-badan peradilan tersebut diatur dalam
Undang-Undang tersendiri (Pasal 12).

Dalam pasal 63 ayat 1 di tegaskan bahwa, Yang dimaksud dengan pengadilan dalam Undang-
Undang ini adalah
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam
b. Pengadilan Umum bagi lainnya.
Setelah berlakunya UU No. 1 tahun 1974 dan setelah berlakunya UU no. 7 tahun 1989
terdapat 16 hal yang merupakan wewenang Pengadilan Agama. selanjutnya dikeluarkan Pengaturan
Menteri Agama ( PMA) No. 3 tahun 1975 tentang kewajiban pegawai pencatat nikah.
Pada tahun 1985 di keluarkan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung . dalam
Pasal 1 ditetapkan bahwa , Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara Sebagaimana
dimaksud dalam ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat Republic Indonesia NO. III MPR / 1978.
Dalam pasal 2 ditetapkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Agama Tertinggi dari semua
lingkungan pengadilan , yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lainnya.
Tahun 1989 -1999
Setalah berlakunya UU No. 7 tahun 1989,di keluarkan tiga peraturan yaitu :
a. Surat edaran Mahkamah Agung No. 1tahun 1990, tanggal 12 maret 1990 tentang
petunjuk pembuatan penetapan sesuai pasal 84 ayat 4 UU No. 7 tahun 1989;
b. Surat edaaran menteri agama No. 2 tahun 1990 tentang petunjuk pelaksanaan UU No. 7
tahun 1990; dan
c. Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991tentang penyebar luasan Kompilasi Hokum Islam.
Empat lingkungan kekuasaan kehakiman yaitu:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Berdasarkan pasal 11 UU No.14 tahun 1970 empat lingkungan kekuasaan kehakiman tersebut diatas
secara administrative, organisatoris, dan financial berada di bawah lingkungan departemen masing-
masing. Dengan demikian departemen kehakiman membawahi peradilan umum dan peradilan tata
usaha Negara , departemen agama membawahi peradilan agama dan departemen pertahanan dan
keamanan (dahulu) membawahi peradilan militer.

SEJARAH SINGKAT PERADILAN AGAMA


Jauh sebelum pemerintah colonial belanda menginjak kaki di Indonesia , yang dewasa ini
penduduknya mayoritas islam, ini telah terbentuk masyarakat islam ysng kuat. Di beberapa daerah
di Indonesia islam sebagai Agama resmi dan Hokum Negaranya, seperti sultan-sultan di aceh,
pagaruyung dan bonjol (minang kabau), Demak, Pajang, Mataram, Banjar, Pasai, bahkan juga di
Malaka dan Brunai Semenanjung Malaya.
Prof.Mr.Lodewijk Willem Christian Van Den Berg ini pulalah yang menappealkan kepada
pemerintah belanda agar kepada orang-orang Indonesia yang beragama islam yang beragama islam
tetap diperlakukan hokum islam walaupun dengan beberapa penyimpangan seperti tercantum semula
dalam pasal (75 RR Pasal 78) dan pasal 109 RR stbld statbladaad 1854 No. 129 di Negeri Belanda
dan S. 1855 No.2 di Hindia Belanda.
Pemerintah colonial belanda untuk pertama kali dibentuk peradilan agama yang berbeda-
beda dalam wilayah hindia belanda (indonesia) seperti:
1. di jawa dan madura terdapat peradilan agama tetapi hakim tersendiri tidak ada,
Peradilan Agama di lakukan oleh pemimpin-pemimpin masjid yang dinamakan penghulu.
2. di Aceh , Jambi Sambas Pontianak, di daerah-daerah pantai Kalimantan Tenggara ,
Sulawesi, Ternate, Ambon terdapat Hakim Agama tersendiri , di samping pegawai-pegawai
mesjid, hakim agama yang disebut Kali, Qadhi atau Hakim.
3. di Minang kabau atau Sumatra barat sekarang tidak terdapat hakim Agama tersendiri
akan tetapi urusan agama diadili oleh rapat agama nagari yang anggota-anggotanya terdiri
dari kepala-kepala Nagari.
4. di Tanah Gayo, Alas dan Batak di Sumatra, disebagian besar Sumatra selatan ,
Bangka, beliton, dan minahasahanya dikenal segolongan pegawai agama yang diserahi
memelihara mesjid-mesjidpegawai melaksanakan perkawinan dan perkerjaan lain-lain
menurut syari’at islam, tetrapi disamping itu tidak melakukan kekuasaan kehakiman. Oleh
karena tidak adanya hakim agama maka sengketa tentang perkawinan dan perceraian
diantara hakim pribumi.

D. PENGERTIAN PERADILAN AGAMA


Pengadilan Agama adalah tempat dimana lakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran
yang diridhoi Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu majelis hakim atau Mahkamah . Peradian
agama di sebut juga Mahkamah Syari’ah yang berarti Pengadilan atau mahkamah yang tugasnya
menyelesaikan perselisihan hokum agama atau hokum syaraq. Peradilan agama hanya khusus
berlaku bagi orang yang beragama islam saja.
Memisahkan atau mendamaikan antara dua pihak atau lebih yang berselisih dengan
menggunakan hokum Allah. Terdapat pada Al-qur’an surat al-ma’idah ayat 49 (Q. V : 49) ”hendaklah
kamu menghukum di antara mereka menurut peraturan yang diturunkan Allah” .?
Dan apabila kamu menghukum di antara manusia hendaklah kamu hokum dengan seadil-
adilnya (Q. IV : 58).
Bahwa pengadilan agama hanya menyelesaikan sebagian kecil hokum Perdata Islam.
Hukum Perdata dalam hal ini terbatas hanya mengenai hokum Perkawinan , Harta Benda, Warisan
dan hokum hokum Perikatan seperti Wakaf, Hibah, Baitul mal dan sebagainya. Justru karena itu
peradilan agama atau mahkamah syari’ah tidak berkuasa memutuskan perselisihan perbedaan
paham tentang masalah agama pada umumnya.
Pengertian PA menurut dalam perundang-undangan di Indonesia sebagaimana tersebut
dalam 134 ayat 21.S (indsiche staatsregeling) atau stbld. 1929 no. 221 (wet op de staats inrichting
van nederlands indie) yang di keluarkan dan ditetapkan pada tahun 1929 dan mulai berlaku tanggal 1
januari 1929 dimana dinyatakan : Bahwa perkara perdata antara orang-orang islam jikalau
hokum adat mereka menghendaki, diadili oleh hakim agama sekedar tidak ditentukan lain
dengan ordonansi.
Peradilan agama merupakan terjemahan dari goddienstige rechts praak yang berarti
peradilan agama.
Yang di maksud PA adalah daya upaya untuk mencari keadilan atau penyelesaian
perselisihan hokum yang dilkukan menurut peraturan-peraturan dalam agama.

Anda mungkin juga menyukai