Anda di halaman 1dari 14

Makalah

“Peradilan Agama di Indonesia dengan Penerapan Hukum Islam di Indonesia”.

OLEH KELOMPOK 3

1. Rani Sri Putri 1913040124


2. Selvia Darma 1913040142
3. Fathul Gani 1913040112

Dosen pembimbing:

NURHASNAH M.Ag

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) IMAM BONJOL PADANG

2020 M
Kata Pengantar

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Puji dan syukur dipersembahkan kepa


da ALLAH SWT, Tuhan seru sekalian alam, karena limpahan rahmat, nikmat, hidayah serta
kasih sayang Nya kepada pemakalah sehingga dapat menyelesaikan makalah ini, yang berjud
ul “Peradilan Agama di Indonesia dengan Penerapan Hukum Islam di Indonesia”.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus
membawa syariah yang mudah sebagai jalan dalam menempuh kebahagiaan dunia dan akhira
t menuju keridhaan-Nya. Selanjutnya pemakalah menyampaikan rasa terima kasih Kepada Ib
u NURHASNAH M.Ag Yaitu pembimbinng mata kuliah Peradilan Agama di Indonesia yang
telah membimbing pemakalah dalam mata kuliah ini.

Kami menyadari makalah yang kami buat ini tidaklah sempurna. Oleh karena itu, apa
bila ada kritik dan saran yang sifatnya membangun terhadap makalah ini, kami sangat berteri
makasih. Semoga dapat berguna bagi kita semua. Aamiin.

Padang,06 Oktober 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
adalah mutlak adanya satu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama ber
dasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran huku
m masyarakat dan bangsa Indonesia.

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Po


kok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah A
gung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan
yang lainnya sebagai peradilan negara.

Dalam menyelesaikan masalah-masalah perkara yang diajukan kepadanya wajib mem


perhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehing
ga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.

B. Rumusan Masalah
A. Peradilan Agama Sebagai Pranata Hukum
B. Penerepan Hukum Islam di Indonesia Melalui Infra Struktur dan Supra Struktur Sosia
l
C. Hubungan Peradilan Agama di Indonesia dengan Penerapan Hukum Islam di Indonesi
a
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peradilan Agama Sebagai Pranata Hukum

Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-VII. Ajaran-ajaran agama Islam secara perl
ahan-lahan diterima masyarakat Indonesia dan menggeser ajaran-ajaran agama Hindu sebagai
agama yang telah ada dan di anut oleh masyarakat sebelumnya. Penerapan ajaran agama Isla
m secara berangsur-angsur dijalankan dalam setiap kehidupan sehari-hari baik dalam pelaksa
naan ibadah seperti salat, puasa, zakat, pelaksanaan dalam muamalah, munakahat dan sebagai
nya .

Peradilan Agama pun mulai ada walaupun mula-mula masih dalam bentuk yang seder
hana yang belum terbentuk dalam suatu lembaga khusus dan pada akhirnya mengalami perke
mbangan menjadi sebuah lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Dalam sejarah perkembngannya Peradilan Agama di Indonesia mengalami pasang sur


ut dalam hal kewenangan dan kekuasaan mengadili perkara-perkara antara orang-orang yang
beragama Islam. Peradilan Agama dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman berpedoman p
ada ajaran-ajaran agama Islam.

Terdapat hubungan yang signifikan anatara Peradilan Agama dengan proses penerapa
n hukum Islam di Indonesia walaupun hanya terbatas pada bidang-bidang tertentu saja. Perdil
an Agama tidak mencakup pada masalah ibadah seperti salat, zakat, puasa dan lain-lain. Pera
dilan Agama tidak mencakup pula urusan pidana Islam (Jinayah dan hudud).

Peradilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebag
aimana telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaa
n kehakiman bagi rakyat pencar keadilan  yang beragama Islam mengenai perkara tertentu se
bagaimana dimaksud undang-undang.

Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan ha
kim serta segi-segi administrasi Peradilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:

1. Pengadilan Agama
2. Pengadilan Tinggi Agama.

Pengadilan Agama berkedudukan di Ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya m


eliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota Propinsi
dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup kemungkinan adanya p
engecualian. Pengadian Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Ting
gi Agama merupakan Pengadilan Tinggkat Banding. Peradilan Agama sebagai pelaksana kek
uasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.

Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, menuntut, dan mnyelesaikan per


kara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Yang dimaksud “antara orang yang beragama Islam” adalah orang atau badan huk
um yang dengan sendirinya menundukan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengena
i hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.

Kewenangan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 tenta
ng Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu:

1. Perkawinan
2. Waris
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Infak
8. Shodaqoh
9. Ekonomi Syariah.

Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan tingkat Banding yang memeriksa,


memmutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh pengadilan Agama dan me
rupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili
antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Pada Peradilan Agama dapat dibentuk pengkhususan penagadilan yang diatur dalam u
ndang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal 3A UU No. 3 Tahun 2006 tentang peruba
han atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

B. Penerapan Hukum Islam di Indonesia Melalui Infra Struktur Sosial dan Supra S
truktur Sosial

1. Institusi Hukum Islam Yang Di Bentuk Melalui Suprastruktur

Pengembangan hukum Islam melalui berbagai saluran baik melalui pranata sosial yan
g tersedia maupun badan penyelenggara kekuasaan Negara: legislatif, berupa Undang-Undan
g,Eksekutif yaitu peraturan Pemerintah, instruksi Presiden, peraturan menteri Agama, peratur
an menteri dalam negeri, dan keputusan menteri Agama. serta yudikatif, yaitu putusan Penga
dilan Agama dan pengadilan negeri.Adapun Institusi hukum Islam yang dibentuk oleh pemeri
ntah atau badan penyelenggara kekuasaan Negara (Suprastruktur) terbagi menjadi dua: perta
ma, di bidang peradilan/kehakiman (Yudikatif), kedua, di bidang pemerintah/menteri Agama
(Eksekutif).

a) Bidang Pemerintah (Eksekutif).

Adapun yang erat kaitannya dengan persoalan institusi ke Islaman maupun keluarga I
slam adalah Departemen Agama, Kementerian Agama adalah instansi pemerintah yang bertu
gas melaksanakan tugas umum pemerintah disektor keagamaan. Pembangunan bidang agama
sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional adalah untuk menciptakan manusia berakhla
q berbudipekerti luhur, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Esa, selain itu kehadiran
Kementerian Agama adalah memberikan jaminan hukum dan pelayanan kehidupan beragama,
bagi segenap bangsa Indonesia, sesuai dengan amanah Pancasila dan Undang Undang Dasar
1945 .

b) Bidang Peradilan/Kehakiman (Yudikatif)

Pada konteks Indonesia, pada periode sejarah penegakkan hukum yang memperlihatk
an bahwa kekuasaan kehakiman belum dapat dikualifikasi sebagai independen.

Pada kondisi sedemkian maka tidaklah dapat diharapkan, kekuasaan kehakiman dapat
menjalankan kekuasaannya secara merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Tetapi kemudian, Undang Undang Dasar pasca amandemen lebih tegas mengatur kek
uasaan kehakiman dengan menyatakan ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang m
erdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Konstitus
i dimaksud juga merumuskan secara tegas, siapa saja lembaga yang menjadi penyelenggara d
an bagian dari kekuasaan kehakiman, merumuskan tugas dan wewenangnya serta hal lain yan
g berkaitan dengan pengangkatan dan syarat menjadi Hakim Konstitusi dan anggota Komisi
Yudisial.

Peradilan agama telah tumbuh dan melembaga di bumi nusantara sejak agama Islam d
ianut oleh penduduk yang berada di wilayah ini, berabad-abad sebelum kedatangan penjajah,
keberadaan peradilan agama pada waktu itu belum mempunyai landasan hukum secara forma
l. Peradilan Agama ini muncul bersamaan dengan adanya kebutuan dan kesadaran hukum um
at Islam Indonesia.

Pengakuan akan adanya peradilan agama sangatlah berarti dalam negeri ini meskipun
dalam prakteknya pelaksanaan lembaga peradilan ini selalu disetir dan diintervensi oleh piha
k kolonial, oleh karena itu, keberadaan peradilan agama seperti itu belum menjamin terlaksan
anya lembaga peradilan yang didasarkan pada nilai-nilai keIslaman. Berbagai usaha telah dila
kukan umat Islam dalam rangka mewujudkan lembaga peradilan Agama yang diimpikan.

2. Institusi Hukum Islam Yang Di Bentuk Melalui Infrastruktur

Institusi hukum Islam yang dibentuk melalui pranata sosial yang tersedia (infrastruktu
r), yaitu melalui organisasi sosial maupun kemasyarakatan,baik yang bergerak di bidang pend
idikan lalu diasosiasikan dalam bentuk pesantren dan madrasah, maupun dalam bidang lainny
a, seperti fatwa yang diapresiasikan melalui MUI, institusi eonomi yang diasosiasikan menjad
i Baitul Mal Wa Tamwil (BMT), institusi zakat yang diasosiasikan menjadi Badan Amil Zaka
t, Infaq dan Shadaqah (BAZIS), institusi dakwah yang diasosiaikan menjadi Lembaga Dakwa
h Kampus (LDK). Semua institusi yang ada di Indonesia itu bertujuan memenuhu kebutuhan
masyarakat Muslim, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan nonfisik, institusi tersebut di ant
aranya ialah:

a) Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang d


idirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya oleh beberapa ulama
terkemuka yang kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh pesantren dan pelopor utamanya ada
lah KH. Hasyim Asyari, pendiri sekaligus pengasuh Pon Pes

b) Muhammadiyah

Muhammadiyah yang didirikan oleh KHA.Dahlan di Yogyakarta (1912), dalam perjal


anan sejarahnya selama lebih dari 85 tahun telah menunjukkan kemampuannya menghadapi b
erbagai perubahan sosial tanpa kehilangan identitasnya sebagai gerakan Islam amar-makruf n
ahi-munkar. Setidak-tidaknya ada lima era perubahan sosial dan proses pembangunan bangsa
yang telah dilalui oleh Muhammadiyah dengan relatif mulus.

c) Majelis Ulama Indonesia

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, z
uama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah uma
t Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pad
a tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil da
ri pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbag
ai penjuru tanah air.

3. Peran Dan Fungsi Institusi Hukum Islam Suprastruktur


a) Peradilan Agama

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenan
gan Pengadilan Agama dalam tingkat Pertama. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Und
ang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni menyangkut perkara-p
erkara:Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syar
i’ah.

Selain kewenangan tersebut, pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyeb
utkan bahwa “Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan a
wal bulan pada tahun Hijriyah”. Penjelasan lengkap pasal 52A ini berbunyi: “Selama ini peng
adilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kes
aksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ra
madhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan p
enetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadila
n Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kibl
at dan penentuan waktu shalat.Di samping itu, dalam penjelasan UU nomor 3 tahun 2006 dib
erikan pula kewenangan kepada PA untuk Pengangkatan Anak menurut ketentuan hukum Isla
m.

b) Kementerian Agama RI

Tugas pokok kementerian Agama ada 5 program pokok, yaitu (1) Meningkatkan pem
ahaman dan pengamalan agama, (2) Meningkatkan Kerukunan Umat Beragama, (3) Meningk
atkan mutu pendidikan agama (4) Meningkatkan mutu pelayanan haji (5) Meningkatkan tata
kelola pemerintahan yang baik.

C. Hubungan Peradilan Agama di Indonesia dengan Penerapan Hukum Islam di In


doneisa

Hubungan antara Peradilan Agama dengan proses penerapan hukum Islam dapat dilih
at dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama sebagai beri
kut.

1. Staatsblad Tahun 1854 Nomor 129

Pasal 78 peraturan ini menyatakan bahwa: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara s
esama orang Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia (pribumi) m
aka mereka tunduk pada keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut un
dang -undang agama atau ketentuan lama mereka.

Pengadilan Agama berdasarkan peraturan ini mempunyai kekuasaan untuk mengadili


orang Indonesia dalam perkara perdata Islam yang berkaitan dnegan kepentinga-kepentingan
antara individu dengan individu lain.

Penerapan hukum Islam jelas sekali dengan pernyataan yang ada di dalam peraturan i
ni dengan menyatakan “menurut undang-undang agama” yaitu berdasarkan hukum Islam. Pe
nerapan hukum Islam hanya menyangkut masalah keperdataan saja tidak termasuk di dalamn
ya mengenai pidana Islam (Jinayah dan hudud).
2. Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152

Berdasarkan peraturan ini secara juridis formal Peradilan Agama dibentuk oleh Pemer
inatah Kolonia Belanda untuk daerah Jawa dan Madura. Peradilan Agama secara formal diatu
r tetapi dalam praktiknya ternyata pegawai-pegawai yang diangkat serta hakim-hakim yang a
da tidak mendapatkan gaji sebagamana hakim-hakim atau pegawai-pegawai pengadilan di lin
gkungan peradilan lainnya.

Karena para ahli agama tidak ada yang mau diangkat menjadi hakim dan pegawai pen
gadilan, maka pegawai-pegawai yang diangkat akhirnya berasal dari pengurus-pengurus masj
id yang belum begitu menguasai ilmu-ilmu agama Islam akhirnya penerapan-penerapan huku
m Islam menjadi berkurang.

Penerapan hukum Islam berdasarkan peraturan ini menjadi lebih sempit baik dari segi
wilayah kekuasaan maupun segi kewenangan dalam menangani perkara-perkara dalam Peradi
lan Agama. Penerapan hukum Islam hanya terbatas pada wilayah Pulau Jawa dan Madura sel
ain daerah ini Peradilan Agama tidak dapat menjangkaub perkara-perkara tertentu yang diatur
dalam peraturan ini.

3. Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610

Penerapan hukum Islam pada Peradilan Agama terbatas pada masalah-masalah tertent
u, yaitu:

 Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam


 Perkara nikah
 Perkara talak (perceraian)
 Perkara rujuk
 Perceraian antara orang yang beragama Islam
 Memutuskan perceraian
 Menyatakan syarat-syarat untuk jatuhnya taklik talak terpenuhi
 Perkara mahar (mas kawin)
 Nafkah istri.
4. Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639

Di luar Jawa dan Madura penerapan ajaran agama Islam pada Peradilan Agama terbat
as pada daerah Kalimantan Selatan dan Timur saja. Penerapan masalah Islam terbatas pada m
asalah-masalah tertentu meliputi masalah yang diatur dalam staatsblad Tahun 1882 Nomor 15
2 jo. Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116  dan 610.

5. Peraturan Pemerintahan Nomor 45 Tahun 1957

Berdasarkan peraturan ini penerapan hukum Islam di luar Jawa dan Madura lebih luas
dibandingkan dengan peraturan Peradilan Agama di wilayah Jawa Madura sebagaimana diatu
r dalam Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Peradilan Agama di Kalimantan Selatan dan
Timur sebagaimana diatur dalam Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639.

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

Penerapan hukum Islam pada peradilan Agama dalam peraturan ini berlaku bagi selur
uh wilayah sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku secara menyeluruh bagi seti
ap warga negara Indonesia yang beragama Indonesia yang beragama Islam, mengubah dan m
enghapus peraturan-peraturan sebelumnya sepanjang tidak ditentukan lain dalam undang-und
ang ini.Penerapan hukum Islam dalam peraturan ini adalah sebagai berikut (Pasal 49).

a. Perkawinan

Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undan
g-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

b. Warisan, Wasiat dan Hibah

Dalam hal warisan penerapan hukum Islam meliputi:

 Penentuan siapa-siapa yang mennjadi ahli waris;


 Penentuan mengenai harta peninggalan;
 Penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
 Melaksanakan pemabagian harta peninggalan.
Mengenai wasiat dan hibah tidak diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, perkara wasiat dan hibah yang diperiksa oleh Pengadilan Agama biasanya  berdasarkan
pada kitab-kitab fiqh karangan para ulama fiqh. Baru tahun 1991 oleh Presiden Republik Indo
nesia telah ditetapkan Kompilasi Hukum Islam dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 19
91 yang menjadi dasar pemeriksaan perkara-perkara wasiat dan hibah.

c. Wakaf dan Sadaqah

Penerapan hukum Islam dalam bidang wakaf berkaitan dengan Perturan Pemerintahan
Nomor 28 Tahun 1977 tentang Pewakafan Hak milik. Kemudian dalam Pasal 17 Peraturan M
enteri Agama Nomor 1 Tahun 1987 pelaksanaan wakaf sesuai ajaran agama Islam.

Pengaturan lebih lengkap dalam masalah wakaf diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
Perkara shadaqah belum ada aturan yang mengatur secara juridis formal.
BAB III

PENUTUP

Hubungan yang signifikan antara Peradilan Agama dengan proses penerapan Hukum I
slam di Indonesia walaupun hanya terbatas pada bidang-bidang tertentu saja. Peradilan Agma
tidak mencakup pada masalah ibadah seperti shalat, zakat, haji, dan lain-lain. Peradilan Agam
a tidak mecakup pula urusan pidana Islam (jinayah dan hudud).

Prinsip-prinsip keislaman yang telah membaur dengan kebudayaan yang ada selanjutn
ya mampu bertransisi ke dalam pranata-pranata sosial dalam masyarakat, pranata sosial terseb
ut lekat dengan sebutan lembaga ataupun institusi. Eksistensi lembaga Islam yang ada lahir k
arna adanya pergesekan tingkat kebutuhan dengan kondisi masayrakat ketika itu, sehingga ke
beradaannya lebih berperan sebagai fasilitator untuk memenuhi hajat masyarakat ketika itu, p
osisi lembaga ini menjadi sangat penting manakala masyarakat dalam keadaan skeptis dalam
mencari status hukum atas permasalahan yang dihadapi dan lembaga Islam yang ada mampu
menjawab kebutuhan itu. inilah yang mempertegas betapa urgennya eksistensi lembaga Islam
ditengah masyarakat. Lembaga Islam yang demikian itu diistilahkan dengan sebutan Infrastru
ktur.

Baik lembaga infrastruktur maupun suprastruktur keduanya mempunyai andil besar d


alam memajukan potensi warga Negara terutama yang beragama Islam, keberadaan lembaga t
ersebut mampu memberikakan kontrol sikap masyarakat yang jauh dari nilai religiuisitas, me
ndorong masyarakat kearah kemajuan dengan memberikan bekal pengetahuan khususnya dibi
dang keagamaan dan meningkatkan sumber daya manusia lewat kegiatan sosial keagamaan, d
isamping itu juga lembaga tersebut memberikan fasilitas kepada masyarakat yang membutuh
kan pelayanan di berbagai sektor administrasi Negara.

Hubungan antara Peradilan Agama dengan proses penerapan hukum Islam dapat dilih
at dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama yaitu Statsbl
ad Tahun 1854 Nomor 129, Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152, Staatsblad Tahun 1937 Nom
or 116 dan 610, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639, Peraturan Pemerintahan Nomor
45 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
DAFTAR PUSTAKA

Basri, Cik Hasan. 2000. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Rajawali.

Ramulyo, M Idris. 1991. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Aga


ma. Jakarta: Ind-Hill.CO.

Tri Wahyudi, Abdullah. 2004. Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cik Hasan Bisri, Hukum Islam Dalam tatanan Masyarakat Indonesia, Cet. Pertama, (Jakarta:
Logos, 1998), hlm, 113.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008),


hlm,356.

 http://www.pa-batang.go.id

Anda mungkin juga menyukai