Anda di halaman 1dari 14

PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA MASA ORDE BARU (Undang-

Undang)

Naila Salsabila Aulina (21103050132)

Rifyanul Hakim (21103050133)

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstrak :Sejarah Peradilan Agama di Indonesia itu hadir karena


Indonesia merupakan negara dengan penganut islam terbanyak di dunia
dan Sejarah panjang terbentuk Peradilan Agama, pada perkembangan
Peradilan Agama tidak secepat kilat karena banyak hal yang
mempengaruhinya dari hal kekuasaan dan politik pada tulisan ini akan
menjelaskan tentang perkembangan Peradilan Agama di Indonesia
pada zaman orde baru. Point pembahasan mengenai Peradilan Agama
tentang Dasar Hukum dan kewenanganya, tentang Undang-undang No
14 tahun 1970 mengenai kedudukanya sebagai Pengadilan Agama dan
Undang-undang no 1 Tahun 1974, keberadaan Pengadilan Agama
sesudah terbebntuknya Undang-undang No 7 Tahun 1989.

Kata Kunci : Sejarah, Peradilan, Indonesia.

Abstrac :The history of the Religious Courts in Indonesia exists


because Indonesia is the country with the most followers of Islam in the
world and has a long history of the formation of the Religious Courts.
The development of the Religious Courts is not lightning fast because
there are many things that influence it in terms of power and politics.
This article will explain the development of the Religious Courts. in
Indonesia during the New Order era. Points of discussion regarding
the Religious Courts regarding their legal basis and authority,
regarding Law No. 14 of 1970 regarding their position as Religious
Courts and Law No. 1 of 1974, the existence of Religious Courts after
the formation of Law No. 7 of 1989.

Keywords : Hstory, Court, Indonesia

1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jauh sebelum Indonesia menjadi negara merdeka, sudah ada Peradilan
Agama. Meskipun dalam bentuknya yang paling dasar dan nama penyebutan
yang berbeda, akan tetapi kehadirannya Peradilan Agama di Masyarakat masih
dibutuhkan warga negara Indonesia yang memeluk agama islam. Ini
mengingatkan bahwasanya tidak hanya bertindak sebagai "medan" akhir proses
penyelesaian masalah yang dialami masyarakat yang beragama islam, akan
tetapi juga sebagai pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dan pelindung bagi
umat islam. Karena itu, di tengah-tengah Masyarakat beragama islam di
Indonesia, keesistensiannya adalah kondisi yang tidak dapat dihindari (conditio
sine qua non) dan juga berkorelasi langsung dengan keberadaan masyarakat
beragama islam itu.
Peradilan Islam Indonesia adalah salah satu Lembaga.Islam Agama
yang sangat tua. Ia mempunyai banyak landasan yang kuat. Secara filosofis, ia
dibuat dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umat islam
akan penegakan hukum dan keadilan Allah. Secara spesifik, ia berkembang dari
konstitusi dan undang-undang yang berbeda. Secara historis, ia merupakan
bagian dari sistem peradilan Islam yang berlangsung sejak masa Rasulullah.
Secara sosiologis, masyarakat Islam Indonesia mendukung dan
mengembangkannya1.
Namun demikian, Dalam perkembangan sejarah hukum nasional, ada
banyak pro dan kontra mengenai perkembangan lembaga Peradilan Agama di
Indonesia yang begitu panjang sejarahnya, sangat panjang, penuh liku, dan
Syarat dengan pengaruh politik. Seiring berjalanya waktu, keberadaan dan
wewenangnya pun berubah tergantung pada siapa yang punya kuasa, saat itu.
Kehendak politik penguasa tetap dominan jika penguasa ingin peradilan
menjadi lemah atau bahkan hilang makan akan hilang Peradilan Agama
tersebut, akan tetapi umat Islam menginginkan, keberadaaan Peradilan Agama
di Indonesia tetap ada dan berjalan dengan hal itu Peradilan Agama memiliki

1
Sutomo,M., Marwiyah, S., dan Warohmah, N.M., Akar Historis Pengadilan Agama Masa Orde
Baru, Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, vol.7, No. 2, hlm.267-284

2
kekuatan yang signifikan karena di dukung umat dan Peradilan Agama memiliki
akar historis yang kuat dalam sejarah Masyarakat umat islam Indonesia.
Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Terhadap UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
Peradilan Agama termasuk dalam sistem peradilan negara, bersama dengan
Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan
Keempat lembaga peradilan tersebut memiliki posisi yang sama dan kekuasaan
yang sama. Di Indonesia Institusi Peradialan Agama merupakan Lembaga
kekuasaan Kehakiman bagi Masyarakat yang beragama islam mengernai
permasalahan tertentu yang berkaitan tentang Islam merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu2.
Makalah berjudul Perkembangan Pengadilan Agama pada Masa Orde
Baru akan menguraikan dinamika sejarah sebelum satu atap ini, dengan tiga
pembahasan yaitu : Dasar Hukum dan kewenanganya, tentang Undang-undang
No 14 tahun 1970 mengenai kedudukanya sebagai Pengadilan Agama dan
Undang-undang no 1 Tahun 1974, keberadaan Pengadilan Agama sesudah
terbebntuknya Undang-undang No 7 Tahunn 1989.
Makalah berjudul Perkembangan Pengadilan Agama pada Masa Orde
Baru akan menguraikan dinamika sejarah sebelum satu atap ini, dengan tiga
pembahasan yaitu : Dasar Hukum dan kewenanganya, tentang Undang-undang
No 14 tahun 1970 mengenai kedudukanya sebagai Pengadilan Agama dan
Undang-undang no 1 Tahun 1974, keberadaan Pengadilan Agama sesudah
terbebntuknya Undang-undang No 7 Tahunn 1989.

Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah studi pustaka atau library
research. Penelitian ini dengan mengumpulkan data-data atau informasi dari
sumber tertulis, seperti buku, jurnal, artikel dan sumber lainnya yang relevan
dengan masalh penelitian.

2
Ahmad, R., Peradilan Agama di Indonesia, Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vol.
6, No. 2, hlm. 311

3
II. PEMBAHASAN
A. Penataan Pengadilan Agama pada Masa Orde Baru, Kedudukan dan
Kewenangannya

Peradilan Agama, keberadaanya telah ada jauh sebelum kemerdekaan negara


Republik Indonesia. Dan telah ada semejak zaman Rasulullah dan kerajaan-kerajaan
Islam tedahulu. Peradilan agama dari masa ke masa telah mengalami pasang surut baik
dari sistem peradilannya, kedudukannya, dan kewenangannya. Sampai pada masa orde
baru pun peradilan agama belum menjadi peradilan yang independen. Karena masih
dibawah keterkaitan dengan Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama), dan
peradilan agama belum bisa secara langsung untuk memutuskan perkara melainkan
harus memutuskan dari Peradilan Umum dalam kasus-kasus tertentu seperti halnya
dalam perkara harta benda, termasuk juga adanya hak opsi untuk perkara kewarisan.

Kedudukan Peradilan Agama di Indonesia ditandai dengan produk-produk


hukum Islam yang menjadi landasan keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama.
Seperti halnya, pada masa orde baru terdapat produk hukum berupa undang-undang
dalam ruang lingkup keagamaan yang menciptakan Peradilan Agama yang sudah
mulai berkembang walaupun dalam sistem belum maju karena masih berkaitan dengan
Peradilan Umum dalam beracara.

Pada masa awal orde baru, kewenangan yang dimiliki Peradilan Agama baru
memiliki ruang lingkup persoalan Islam dalam bidang hukum keluarga seperti; nikah,
cerai/talak, wasiat,wakaf, waris dan lain-lain. Sedangkan persoalan ekonomi dan
perdata Islam yang lebih luas belum menjadi kewenangan Peradilan Agama bahkan
menyangkut persoalan hukum pidana itu belum menjadi kewenangannya3. Terkecuali
Peradilan Agama khusus di Aceh yang dinamakan Mahkamah Syar’iyah yang pada
hakekatnya merupakan pengembangan dari Peradilan Agama dengan perubahan
kewenangan yang meliputi perkara hukum pidana Islam (jinayat).

Namun dalam kewenangan Peradilan Agama tersebut masih terdapat persoalan


tertentu yakni belum tersusunnya hukum materiil seperti undang-undang. Lahirnya

3
Kamaruddin, Diskursus Penyatuatapan Peradilan Agama di bawah Mahkamah Agung, Jurnal AlAdl
Vol. 8, Januari 2015, Hlm. 59

4
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang meliputi, perceraian, perwalian,
penetapan asal-usul anak, nampak mulai ada perubahan dalam kekuasaan Peradilan
Agama. Walaupun UU perkawinan tersebut ditujukan kepada semua warga negara
tetapi dengan bagian yang sangat besar dialokasikan untuk hukum agama yang dimana
membuat pengaruh besar pada Peradilan Agama khususnya untuk umat Islam yang
terlihat jelas bahwa terdapat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dinilai islami.

Pengaruh Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah sangat


berpengaruh di Peradilan Agama yang memang tempat penyelesaian perkara bagi
orang Islam, pastilah ada pihak-pihak yang kurang bahagia terutama pihak selain
agama Islam atas pemberlakuan hukum Islam di Indonesia yang menurut mereka itu
mengganggu atas adanya Undang-undang ini. Sampai mereka protes ketika akan
disahkan dan masih dalam pembahasan Undang-undang tersebut. Selain Undang-
undang Perkawinan, kewenangan tambahan yang dimiliki Peradilan Agama yakni
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik (Pasal 12).

Seperti yang diketahui dinamika Peradilan Agama pada masa orde baru
ternyata mengalami pasang surut. Kewenangan Peradilan Agama tidak jauh dari faktor
politik termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Perkawinan tersebut. Karena
RUU Perkawinan tesebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perkawinan
dalam Islam. Terdapat beberapa pasal yang tenyata dipandang bertentangan dengan
ajaran Islam. Tetapi memang nyatanya UU Perkawinan ditujukan untuk warga negara
Indonesia.

5
B. Kedudukan Pengadilan Agama pasca UU No. 14 Tahun 1970 dan Pengaruh
Pengadilan Agama dengan disahkannya UU No. 1 Tahun 1974

Kedudukan pengadilan agama pasca UU No. 14 Tahun 1970 adalah sebagai


salah satu lingkungan peradilan umum di Indonesia. Kedudukan pengadilan agama
pasca UU No. 14 Tahun 1970 adalah sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman di Indonesia. Kedudukan pengadilan agama ini diatur dalam Pasal 20 UU
No. 14 Tahun 1970, yang berbunyi :

“Pengadilan agama adalah pengadilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di


lingkungan Peradilan Agama dalam hal memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
di tingkat pertama bagi orang-orang yang beragama Islam di Indonesia”.

Kedudukan Peradilan Agama semakin diperkuat dengan lahirnya Undang-


Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang mendudukkan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bersama peradilan lain yaitu Peradilan Umum, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peraturan ini membedakan empat
lingkungan peradilan berdasarkan kewenangan mengadilinya masing-masing.
Peradilan Umum adalah peradilan bagi perkara perdata dan pidana sedangkan
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan
peradilan yang khusus bagi perkara yang menjadi wewenangnya4.

Dengan keluarnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai
nampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan
prinsip-prinsip sebagai berikut : Pertama, Peradilan dilakukan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ; Kedua, Kekuasaan Kehakiman dilakukan
oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara; Ketiga, Mahkamah Agung adalah
Pengadilan Negara tertinggi. Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan
secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing diatur

4
Ayu Atika Dewi, Peradilan Agama dalam Lintasan Sejarah Kajian Pengaruh Teori Pemberlakuan
Hukum Islam terhadap Peradilan Islam di Indonesia, Jurnal Surya Kencana Sari, Vol. 12, Hlm. 26

6
dalam departemen yang bersangkutan. Kelima, suasana kekuasaan serta acara dari
badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal ini
dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan
agama dan memberikan status yang sama dengan peradilan-peradilan lainnya di
Indonesia.5

Namun demikian, dengan adanya kesejajaran badan peradilan secara hukum


dan berinduk pada Mahkamah Agung tetapi masih jauh dari kata pengharapan. Karena
masih menganut sistem dua atap yang dimana dalam UU No. 14 tahun 1970 hal ini
disebabkan karena pembinaan terhadap lembaga peradilan ada dua badan yang
bertindak selaku pembina, mengatur bahwa urusan organisasi, administrasi dan
finansial pengadilan berada di bawah eksekutif (Departemen) sementara urusan teknis
berada di bawah Depatemen Kehakiman. Dengan demikian, sampai masa Orde Baru
tetap saja Peradilan Agama dari segi status dan kedudukan belum bisa dikatakan
peradilan yang mandiri dan kokoh.

Pada tahun 1973 tepatnya pada 16 Agustus 1973, pemerintah Orde Baru
mengajukan sebuah rancangan undang-undang yang disebut dengan RUU tentang
perkawinan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi
undang-undang. Sebulan sebelum disahkannya undang-undang tersebut ternyata
terdapat reaksi keras dari kalangan umat Islam. Karena dalam RUU tersebut
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perkawinan dalam Islam. Dengan masa
yang bersamaan terdapat wakil umat Islam di parlemen yang bernama FPPP atau
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, yang juga menentang dengan adanya RUU
tersebut. Namun, melalui FPPP dan tokoh-tokoh Islam lainnya berusaha untuk
memaksimalkan agar Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.6

Terancamnya eksistensi Pengadilan Agama dalam Rancangan Undang-undang


tersebut merupakan salah satu dari masalah-masalah substansif lainnya yang

5
Miftakhur Ridlo, Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan Penjajahan
Sampai Kemerdekaan, Jurnal Asy-Syari’ah, Vol. 7, No. 2, Hlm. 164
6
EMK. Alidar, Hukum Islam di Indonesia pada Masa Orde Baru, Jurnal Legitimasi, Vol. 1, No. 2,
Januari-Juni 2012, Hlm. 90

7
menyebabkan masalah munculnya keresahan dan protes dri umat Islam baik di dalam
DPR maupun masyarakat luas, melalui FPPP dan tokoh Islam lainnya memberikan
jaminan-jaminan sebagai berikut :

1. Hukum Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau diubah;


2. Sebagai konsekuen dari Poin (1) alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi
atau diubah. Tugasnya Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman, dijamin kelangsungannya.
3. Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dihilangkan (didrop);
4. Pasal 12 ayat (1) dari rancangan Undang-undang disetujui untuk dirumuskan
sebagai berikut:
Ayat (1) : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ayat (2) : Tiap-tiap perkawinan wajib dicatat demi keterlibatan
administrasi negara.
5. Mengenai perceraian dan poligami perlu diusahakan adanya ketentuan-
ketentuan guna mencegah kewenang-wenangan.7

Dengan demikian, jaminan-jaminan trsebut dituangkan dalam norma yang ada pada
pasal-pasal Rancangan Undang-Undang. Dengan adanya jaminan tersebut DPR
menyetujui dan menerima Rancangan Undang-Undang perkawinan tersebut untuk
disahkan menjadi Undang-Undang.

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan,


maka dapat dikatakan bahwa mulai sejak saat itu perkembangan hukum Islam di
Indonesia khususnya dalam bidang hukum materil, telah menampakkan wujudnya
secara nyata dan menyelamatkan keberadaan Peradilan Agama. Setelah disahkannya
UU No. 1 tahun 1974, selanjutnya terdapat Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan
undang-undang perkawinan tersebut. Setelah itu muncul juga ketentuan Hukum Acara
di Pengadilan Agama walaupun baru sebagian kecil.

Dengan adanya undang-undang perkawinan maka kewenangan Peradilan


Agama meliputi perkawinan, perceraian, waris, dan wakaf, menjadi luas meliputi

7
Erfaniah Zuhriah, M.H., Peradilan Agama Indonesia, (Malang: Setara Press, 2016), hlm. 84-85

8
perkara-perkara yang ditetapkan oleh undang-undang seperti; infak, sedekah, nafkah
anak, hak asuh anak, wali, dan lainnya. Pemberian kewenangan yang lebih luas kepada
Pengadilan Agama ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan
bagi umat Islam di indonesia. Dengan kewenangan yang lebih luas, Pengadilan Agama
dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat dalam
menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum Islam.

C. Eksistensi dan sistem Peradilan Agama pada UU No. 7 Tahun 1989

Peradilan agama pada masa Orde Baru, terutama yang berkaitan dengan UU
No. 7 tahun 1989, mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. UU ini merupakan landasan hukum untuk sistem peradilan agama
di Indonesia selama masa Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. UU No.
7 tahun 1989 mengatur berbagai aspek peradilan agama, termasuk pendirian
pengadilan agama, kewenangan, prosedur peradilan, dan sebagainya. Selama masa
Orde Baru, pemerintah memiliki kontrol yang kuat terhadap lembaga-lembaga
peradilan, termasuk peradilan agama, untuk memastikan kepatuhan terhadap ideologi
dan kebijakan pemerintah.8

Namun, selama periode tersebut, ada kritik terhadap sistem peradilan


agama karena dianggap kurang independen dan rentan terhadap campur tangan
pemerintah. Pengadilan agama dipandang sebagai instrumen untuk mengendalikan
dan memantau isu-isu agama di masyarakat. Setelah era Orde Baru berakhir pada
tahun 1998, ada perubahan signifikan dalam sistem peradilan agama di Indonesia,
termasuk upaya untuk lebih meningkatkan independensi lembaga-lembaga peradilan
tersebut. Namun, UU No. 7 tahun 1989 masih memiliki pengaruh dalam sejarah
peradilan agama di Indonesia dan memberikan landasan hukum yang mendasari
perkembangan selanjutnya.

Secara umum isi UU No 7 tahun 1989 memiliki beberapa perubahan tentang


penyelenggaraan Peradilan Agama, yaitu:

8
Djalil, A. Basiq, 2010, Peradilan Agama di Indonesia (Gemuruhnya Politk Hukum Islam, Hukum
Barat, Hukum Adat, Bersama Pasang Sururt Lembaga Peradilan Hingga Lahirnya Peradilan Syari’at
Islam Aceh, (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,) h. 94

9
a. Perubahan tentang Dasar Hukum Penyelenggaraan Peradilan 1. Peraturan tentang
Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Stbld. Tahun 1882 No. 152 dan Stbld.
Tahun 1937 No. 116 dan 610). 2. Peraturan tentang Kerapatan Qadhi dan
Kerapatan Qodhi Besar untuk sebagian residensi Kalimantan Selatan dan Timur
(Stbld. Tahun 1937 No. 638 dan 639). 3. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957
tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'iyah di Luar Jawa dan
Madura (Lembaran Negara tahun 1957 No. 99). 4. Ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 63 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 9
b. Mengalami perubahan dalam kedudukan Peradilan Agama Indonesia dalam
struktur Peradilan Nasional. Menurut UU No. 7 tahun 1989, Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri memiliki status yang sama dengan peradilan lainnya.
Menurut ketentuan yang tercantum dalam pasal 107 ayat 1 butir d, ketentuan yang
tercantum dalam pasal 63 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara tahun 1974 No. 1, Tambahan Lembaran Negara No. 3019),
ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri
dicabut.
c. Mengalami Perubahan atas kedudukan Hakim, Menurut Pasal 11 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989, hakim ialah pejabat yang melaksanakan tugas
kekuasaan kehakiman. Ia adalah komponen yang sangat penting, bahkan
menentukan. Ayat 1 Pasal 15 menyatakan bahwa hakim diangkat dan
diberhentikan sebagai kepala negara oleh Presiden atas usul Mentri Religion
didasarkan pada persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
d. Susunan dan otoritas Pengadilan Agama telah berubah. Menurut Pasal 6, 7, dan 8
UU No. 7 tahun 1989, Pengadilan Agama (PA) berfungsi sebagai pengadilan
tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) berfungsi sebagai
pengadilan tingkat banding.Menurut pasal 49 ayat 1, Pengadilan Agama
bertanggung jawab untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-
perkara di tingkat pertama antara orang-orang Islam seperti perkawinan,
kewarisan, wakaf, hibah, dan shadaqah.10

9
Basri, Perkembangan Peradilan Agama Pasca Lahirnya UU No Tahun 1989 Hingga Saat Ini
(Kewenangan, Pembinaan, Pengawasan dan dasar Hukum). Fakultas Agama Universitas
Muhammadiyah Buton Baubau. 2017. Vol. XIII
10
A.basit Djalil, op.cit. hal 203

10
e. Perubahan yang berkaitan dengan cara administrasi Peradilan dijalankan. Dua
jenis administrasi ada di pengadilan di peradilan agama. Administrasi umum
menangani perkara dan tekhnis yudisial, dan administrasi umum menangani
kepegawaian dan umum.11

Sistem peradilan agama pada masa Orde Baru yang berkaitan dengan UU No.
7 tahun 1989 merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia yang mengatur kasus-
kasus perdata dan pidana yang berkaitan dengan masalah agama, terutama dalam hal
perkawinan, perceraian, warisan, dan masalah-masalah hukum keluarga lainnya.
Sistem peradilan agama ini dikelola oleh pengadilan agama yang ada di berbagai
daerah di. UU No. 7 tahun 1989 tersebut adalah dasar hukum yang mengatur sistem
peradilan agama di Indonesia pada masa Orde Baru. UU ini memuat ketentuan-
ketentuan mengenai pendirian pengadilan agama, kewenangan, prosedur peradilan,
dan sejumlah ketentuan terkait lainnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama mengatur sistem peradilan agama di Indonesia. Berikut adalah
beberapa poin penting yang diatur oleh UU No. 7 tahun 198912:

1. Pendirian Pengadilan Agama: UU ini mengatur pendirian pengadilan agama di


berbagai daerah di Indonesia.
2. Kewenangan: UU ini memberikan kewenangan kepada pengadilan agama
untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan masalah perdata dan
pidana yang melibatkan aspek-aspek hukum agama Islam.
3. Prosedur Peradilan: UU ini mengatur prosedur peradilan agama, termasuk tata
cara pengajuan gugatan, penyelesaian perkara, dan putusan pengadilan.
4. Isu Hukum Keluarga: UU No. 7 tahun 1989 mengatur berbagai isu hukum
keluarga seperti perkawinan, perceraian, warisan, dan hak-hak keluarga.
5. Putusan Pengadilan: UU ini memberikan kekuatan hukum pada putusan
pengadilan agama yang bersifat final dan mengikat.
6. Pelaksanaan Putusan: UU ini mengatur pelaksanaan putusan pengadilan agama
serta hukuman-hukuman pidana yang dapat diberikan dalam konteks hukum
agama.

11
Basri, op,cit. hal 35
12
Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

11
7. Kaitan dengan Hukum Nasional: UU ini juga menegaskan bahwa putusan
pengadilan agama tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional yang
berlaku.

12
III. KESIMPULAN

Peradilan Agama pada masa Orde Baru mengalami perkembangan yang cukup
signifikan, baik dari segi penataan, dasar hukum, wewenang, maupun kedudukannya.
Pada awal masa Orde Baru, Peradilan Agama masih berada di bawah naungan
Departemen Agama. Namun, pada tahun 1970, Peradilan Agama dipindahkan ke
bawah naungan Departemen Kehakiman. Hal ini mencerminkan komitmen pemerintah
Orde Baru untuk menjadikan Peradilan Agama sebagai bagian integral dari sistem
peradilan di Indonesia.

Kedudukan Peradilan Agama pada masa Orde baru diatur dalam UU No. 14
tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No.
1 Tahun 1974 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut,
Peradilan Agama memiliki kedudukan yang setara dengan Peradilan Umum. Pada
masa Orde Baru, Pengadilan Agama diberikan kewenangan yang yang lebih luas untuk
menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum Islam. Peradilan Agama
berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di kalangan
orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wakaf, wasiat, hibah,
dan ekonomi syariah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Sutomo,M., Marwiyah, S., dan Warohmah, N.M., Akar Historis Pengadilan Agama
Masa Orde Baru, Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, vol.7, No. 2,

Ahmad, R., Peradilan Agama di Indonesia, Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan
Hukum Islam, Vol. 6, No. 2

Kamaruddin, Diskursus Penyatuatapan Peradilan Agama di bawah Mahkamah


Agung, Jurnal AlAdl Vol. 8, Januari 2015

Ayu Atika Dewi, Peradilan Agama dalam Lintasan Sejarah Kajian Pengaruh Teori
Pemberlakuan Hukum Islam terhadap Peradilan Islam di Indonesia, Jurnal Surya Kencana
Sari, Vol. 12

Miftakhur Ridlo, Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan


dan Penjajahan Sampai Kemerdekaan, Jurnal Asy-Syari’ah, Vol. 7, No. 2

EMK. Alidar, Hukum Islam di Indonesia pada Masa Orde Baru, Jurnal Legitimasi,
Vol. 1, No. 2, Januari-Juni 2012,

Basri, Perkembangan Peradilan Agama Pasca Lahirnya UU No Tahun 1989 Hingga Saat Ini
(Kewenangan, Pembinaan, Pengawasan dan dasar Hukum). Fakultas Agama Universitas
Muhammadiyah Buton Baubau. 2017. Vol. XIII
Djalil, A. Basiq, 2010, Peradilan Agama di Indonesia (Gemuruhnya Politk Hukum Islam,
Hukum Barat, Hukum Adat, Bersama Pasang Sururt Lembaga Peradilan Hingga Lahirnya Peradilan
Syari’at Islam Aceh, (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,)

Erfaniah Zuhriah, M.H., Peradilan Agama Indonesia, (Malang: Setara Press, 2016)

14

Anda mungkin juga menyukai