Anda di halaman 1dari 13

PERADILAN AGAMA PRESPEKTIF POLITIK HUKUM DI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah


Politik Hukum

Dosen Pengampu:
Dr. H. Umar Ma’ruf,S.H., Sp.N., M.HUM.

Oleh:
RONI AKROMA
NIM :

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AGUNG
SEMARANG 2022

1
A. Abstrak
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) Apa dasar filosofis,
sosiologis dan yuridis Peradilan Agama di Indonesia, dan (2) Eksistensi dan kedudukan Peradilan
Agama dalam sistem hukum Indonesia. Adapun hasil dari kajian lieteratur menunjukkan;
Pertama, Dasar filosofis keberadaan Peradilann Agama di Indonesia adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia terutama sila pertama “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Sedangkan dasar sosiologis adalah norma-norma bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam, kemudian dasar yuridis yang merupakan landasan konstitusional
keberadaan Peradilan Agama di Indonesia adalah Pancasila, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan
UUD 1945. Kedua, Keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama sudah diakui secara resmi
sejak dari zaman kolonial dengan terbitnya keputusan Raja Belanda (KB) No. 24 tanggal 19
Januari 1882 yang dimuat dalam Stb. 1882 No. 152. Kemudian lahir UU Nomor 7 Tahun 1989
merupakan momentum kebangkitan dari keberadaan Peradilan Agama di Indonesia, Pengadilan
Agama mencapai puncak kekokohannya dengan lahirnya Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Dan terakhir kedudukan dan kewenangan yang dimiliki Peradilan
Agama semakin diperkokoh lagi sehingga benar-benar sudah menjadi peradilan yang mandiri
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang diubah lagi dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009, Keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama yang sudah kokoh dalam
sistem hukum di Indonesia sekarang ini harus disertai dengan bukti kepada masyarakat pencari
keadilan (justice seekers) dan warga Negara Indonesia umumnya bahwa Pengadilan Agama
sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia dapat memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat termasuk kesiapan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yang sudah
menjadi kewenangan baru Pengadilan Agama.
Kata Kunci: Peradilan Agama, Politik Hukum, eksistensi Peradilan Agama.

ABSTRACT
The aims of this paper is to describe: (1) What is the philosophical, sociological and
juridical basis of the Religious Courts in Indonesia, and (2) The existence and position of the
Religious Courts in the Indonesian legal system. The results of the literature study show; First,
the philosophical basis for the existence of Religious Courts in Indonesia are the values
contained in the Pancasila adopted by the Indonesian people, especially the first principle of
"Belief in One Supreme God". While the sociological basis is the norms of the Indonesian nation,
which is predominantly Muslim, then the juridical basis which is the constitutional basis for the
existence of the Religious Courts in Indonesia is Pancasila, the Presidential Decree of July 5
1959, and the 1945 Constitution. Second, the existence and position of the Religious Courts has
been officially recognized since the colonial era with the issuance of the Decree of the King of the
Netherlands (KB) No. 24 dated January 19, 1882 which was published in Stb. 1882 No. 152.
Then the birth of Law Number 7 of 1989 is a momentum for the revival of the existence of the
Religious Courts in Indonesia, the Religious Courts reached the peak of their robustness with the
issuance of Law Number 4 of 2004 concerning Judicial Power. And lastly, the position and
authority of the Religious Courts has been further strengthened so that it has become an
independent judiciary with the birth of Law Number 3 of 2006 which was amended again by Law
Number 50 of 2009, The existence and position of a strong Religious Court In the current legal
system in Indonesia, it must be accompanied by evidence to the justice seekers and Indonesian
citizens in general that the Religious Courts as part of the Indonesian legal system can provide
excellent service to the community, including readiness in resolving sharia economic disputes
which have become the authority. new Religious Court.
Keywords: Religious Courts, Legal Politics, the existence of Religious Courts.
1
B. Pendahuluan
Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di
nusantara ini. Menurut pendapat yang disimpulakan oleh Seminar Masuknya Islam ke Indonesia
yang diselenggaran di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah
atau pada abad VII /VIII M. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke nusantara
pada abad XIII M. Daerah pertama yang didatangi adalah pesisir utara pulau Sumatra dengan
pembentukan masyarakat Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara 1. Selama proses
islamisasi penduduk pribumi, hukum Islam memiliki peranan yang cukup besar, hal ini dapat
dilihat dalam beberapa fakta sejarah bahwa ketika saudagar muslim hendak menikah dengan
wanita pribumi, maka wanita tersebut harus masuk Islam terlebih dahulu, dan proses pernikahan
dilangsungkan sesuai dengan tuntutan agama Islam, demikian halnya dalam hal mengatur
hubungan antar keluarga, mendidik anak sampai dengan setelah adanya anggota keluarga
meninggal, maka hukum waris mengikuti syariat Islam.
Hukum Islam sejak kedatangannya di bumi Nusantara Indonesia hingga pada hari ini
tergolong Hukum yang hidup (living law) di dalam masyarakat. Bukan saja karena Hukum Islam
merupakan identitas Agama yang dianut oleh mayoritas penduduk bangsa indonesia hingga saat
ini, akan tetapi dalam dimensi amaliahnya dibeberapa daerah ia telah menjadi bagian tradisi
(adat) masyarakat, yang terkadang dianggap sakral.
Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan mengakar
pada budaya masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena fleksibilitas dan elastisitas yang
dimiliki hukum Islam. Artinya kendatipun hukum Islam tergolong hukum otonom, karena adanya
otoritas Tuhan yang maha kuasa di dalamnya, akan tetapi dalam tataran implementasi ia sangat
applicable dan acceptable dengan berbagai jenis budaya lokal. Karena itu bisa dipahami dalam
lintasan sejarahnya di Indonesia menjadi kekuatan moral mayarakat yang mampu menjadi
sumber hukum positif Negara, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Menjelang abad XIII M masyarakat muslim sudah ada di Perlak, Samudera Pasai dan
Palembang. Dari masyarakat muslim ini lahir kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia sangat berpengaruh bagi perkembangan hukum Islam.
Pada awal periode masuknya Islam, bentuk peradilan yang dilaksanakan masih sangat sederhana.
Yaitu dalam bentuk tahkim kepada pemuka agama. Para pihak yang terlibat dalam suatu perkara
perselisihan dengan sukarela menyerahkan perkara mereka kepada orang yang dianggap bisa
1
Daud Ali, 1993, dalalm Ahmad R, "Peradilan Agama di Indonesia", YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum
dan Hukum Islam, Vol. 6, No. 2, Desember 2015, 311
2
menjadi penengah dan orang yang berperkara akan tunduk dengan keputusannya. Tradisi ini
merupakan cikal bakal peradilan agama di Indonesia 2.
Peradilan Agama di Indonesia sebenarnya merupakan Instansi yang cukup tua usianya,
lebih tua dari departemen Agama sendiri, bahkan lebih tua dari Negara Republik Indonesia dan
sudah ada sejak munculnya kerajaankerajaan Islam di bumi nusantara ini. Berbagai literatur yang
menguraikan bahwa sejak abad ke 16 Miladiyah kaum muslimin di negeri ini sudah berkenalan
dengan Peradilan Agama. Nama yang diberikan terhadap Peradilan Agama di berbagai tempat
ketika itu adalah Peradilan Serambi Peradilan Surau, Mahkamah Syariah, Mahkamah Balai
Agama, Majelis Peradilan Agama Islam, Badan Hukum Syara’, Pengadilan Penghulu, Qadhi
syara’3.
Peradilan Agama telah tumbuh dan melembaga di bumi nusantara sejak agama Islam dianut
oleh penduduk yang berada di wilayah ini, berabad-abad sebelum kehadiran penjajah.
Keberadaan Peradilan Agama pada waktu itu belum mempunyai landasan hukum secara formal.
Peradilan Agama ini muncul bersamaan dengan adanya kebutuhan dan kesadaran hukum umat
Islam Indonesia4.
Eksistensi dan kedudukan Peradilan Agama dewasa ini yang sudah setara dengan
peradilan-peradilan lainnya setelah sebelumnya mengalami pasang surut dan perjalanan yang
berliku-liku yang dimulai diakui secara resmi sejak zaman kolonial dalam kondisi yang masih
sangat sederhana dan kewewenangan yang sangat terbatas kemudian mendapat momentum
kebangkitannya dengan peristiwa disahkan serta diundangkannya Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 pada era pemerintahanm
orde baru selanjutnya pada era reformasi eksistensi dan kedudukan Peradilan Agama mencapai
puncak kekokohannya dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Dan
terakhir kedudukan dan kewenangan yang dimiliki Peradilan Agama semakin diperkokoh lagi

2
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (RajaGrafindo Persada, jakarta, 2000),
35-36
3
H.Zuffran Sabrie, Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila Dialog Tentang Rancangan Undang-
UNdang Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), 8
4
Munawir Sjadzali, “Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama
di Indonesia”. Dalam Tjun Surjaman (ed.). Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. (Bandung: Remaja
Rosdakarya. Cet. I, 1991), 55
3
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang diubah lagi dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 20095.
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh politik hukum terhadap keberadaan dan kedudukan
Peradilan Agama di Indonesia yang ditandai dengan produk-produk hukum yang menjadi
landasan keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama itu sendiri diperlukan beberapa indikator
tertentu, dalam hal ini adalah dasar filosofis, sosiologis dan yuridis dari keberadaan Peradilan
Agama di Indonesia. Makalah ini akan mencoba untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan
keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama dalam sistem hukum Indonesia, yang keberadaanya
dipengaruhi oleh politik hukum.
C. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini adalah:
1. Apakah dasar filosofis, sosiologis dan yuridis dari keberadaan Peradilan Agama di
Indonesia?
2. Bagaimana keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama dalam sistem hukum Indonesia?
D. Pembahasan
1. Dasar Filosofis, Sosiologis dan Yuridis Peradilan Agama di Indonesia
a. Dasar Filosofis Peradilan Agama di Indonesia
Pancasila merupakan dasar dari politik hukum bangsa Indonesia yang menghendaki
berkembangnya suatu tatanan kehidupan beragama dan hukum agama dalam kehidupan
bangsa dan negara Indonesia. Teori “Lingkaran Konsentris’ menunjukkan keeratan
hubungan antara agama, hukum dan negara. Negara berdasar atas hukum yang berfalsafah
Pancasila melindungi agama dan penganut agama, bahkan berusaha memasukkan ajaran
dan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammad Hatta
menyatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum Republik Indonesia, Syariah Islam
berdasarkan al-Qur’an dan Hadits dapat dijadikan peraturan perundang-undangan
Indonesia6.
Pancasila sebagai falsafah negara, dasar negara dan hukum dasar memposisikan
agama dan hukum agama pada kedudukan fundamental. Dalam hukum nasional hukum

5
A. Havizh Martius, "Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia", Jurnal Hukum Diktum, Volume
14, Nomor 1, Juli 2016: 55 - 66
6
Ichtijanto, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional” dalam Mimbar Hukum No. 13 Thn V,
Jakarta; Yayasan al- Hikmah, 17
4
agama sebagai wujud pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah unsur hukum dan
bahan hukum, bahkan merupakan jiwa dan ruh hukum nasional. Dalam pembinaan hukum
nasional, termasuklah di dalamnya membina hukum nasional yang dalam hal ini adalah
hukum Islam. Undang-Undang Peradilan Agama merupakan perwujudan dan
pengembangan hukum Islam sekaligus menunjang pembinaan hukum nasional yang
berlaku di Indonesia. Ketersediaan pranata hukum merupakan keniscayaan dalam
pembangunan nasional.
b. Dasar Sosiologis Peradilan Agama di Indonesia
Hukum Islam telah menyatukan mayoritas rakyat Indonesia. Ini merupakan sebuah
kenyataan bahwa hukum Islam telah menjadi bagian hukum positif Indonesia, bahkan sejak
berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam masa lampau telah menerapkan hukum Islam
sebagai hukum positif di dalamnya. Snouck Hurgronje pun mengakui bahwa pada abad ke-
16 sudah muncul kerajaankerajaan Islam, seperti: Mataram, Banten, Cirebon yang
berangsur-angsur mengislamkan warga masyarakatnya. Sedangkan untuk kelengkapan
pelaksanaan hukum Islam, telah didirikan Peradilan Surambi dan Majelis Syara’ 7.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda pun hukum Islam pernah dipraktekkan di
Indonesia secara murni karena penguasa pemerintahan menghendakinya. Oleh karena itu,
dalam masa pemerintahan Hindia Belanda sampai menjelang merdeka, embrio Peradilan
Agama seperti yang terdapat dalam kerajaan-kerajaan Islam tidak dapat dinafikan dan
diabaikan. Selain secara kronologis sulit dikubur, karena telah menyatu dalam masyarakat
Islam, juga secara politis Hindia Belanda mempunyai kepentingan8. Selanjutnya van
Vallenhoven memperkenalkan teori resepsi yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat
diberlakukan bila telah diterima oleh hukum adat 9. Padahal dalam penelitian yang
dilakukan di zaman kemerdekaan, ternyata sebaliknya yang benar, bahwa hukum adat baru
dapat diterima bila telah diserap oleh Hukum Islam.

7
Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, (Jakarta, Khairul Bayan, 2004),75
8
Amrullah Ahmad, dkk, 1994 dalam Havizh Martius, "Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia",
Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 1, Juli 2016: 55 - 66
9
Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta, Rineka Cipta, 1990), 97.
5
c. Dasar Yuridis Peradilan Agama di Indonesia
Menurut Mahfud MD, ada tiga landasan konstitusional yang dapat dipakai sebagai
dasar pijak bagi Peradilan Agama di Indonesia, yaitu Pancasila, Dekrit Presiden 5 Juli
1959, dan UUD 194510.
Pertama, Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dapat dijadikan
dasar bagi berlakunya hukum-hukum agama di Indonesia, sebab setiap agama mendasarkan
diri pada keimanannya pada Tuhan. Dengan Pancasila sebagai dasar negara maka hukum
agama yang diyakini para penganutnya memperoleh legalitas konstitusi untuk diberlakukan
sekaligus untuk meruntuhkan teori receptie yang dulunya dipakai sebagai dasar kebijakan
pemerintah kolonial Belanda.
Kedua, Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak dikeluarkannya inpres No. 12 Tahun 1968
yang memberi penegasan bahwa Pancasila yang resmi dipakai adalah Pancasila yang
terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tangga 18 Agustus 1945 oleh
PPKI. Dan dengannya maka Piagam Jakarta tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi
pemberlakuan pelembagaan sesuatu. Adanya Peradilan Agama tidak ada kaitannya dengan
Piagam Jakarta yang dibakukan di dalam konsideren Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu.
Artinya: ada atau tidak ada Piagam Jakarta eksistensi Peradilan Agama tetap memiliki
peluang konstitusional. Secara yuridis, adanya peradilan agama diberi peluang oleh UUD
1945 yang secara riil dikristalisasi di dalam aturan peralihan Pasal II yang kemudian
dikukuhkan di dalam berbagai peraturan perundangundangan yang lain.
Ketiga, UUD 1945. Satu hal yang pasti bahwa eksistensi Peradilan Agama di alam
kemerdekaan didasarkan pada ketentuan Pasal II aturan Peralihan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa semua “lembaga dan peraturan yang ada (pada saat sebelum Indonesia
merdeka) masih terus berlaku selama belum dibuat lembaga dan peraturan baru menurut
UUD”.
Dengan demikian berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan tersebut Lembaga Peradilan
Agama dapat terus hidup selama belum ada ketentuan baru mengubahnya. Ternyata
kemudian ada aturan-aturan baru yang menguatkan eksistensinya. Pada tahun 1948
Peradilan Agama dijadikan salah satu bagian Peradilan Umum, tetapi sebelum ketentuan
tersebut dapat berlaku sudah ada sebuah UU yang memberikan pengakuan bahwa Peradilan
Agama adalah lembaga yang mandiri yakni UU Darurat No. 1 Tahun 1951. di dalam Pasal
10
Moh. Mahfud. MD, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press, 1993), 18
6
1 ayat (2) UU Darurat No, 1 Tahun 1951 diacantumkan penghapusan semua peradilan adat
dan swapraja, kecuali Peradilan Agama jika merupakan bagian tersendiri dari Peradilan
Swapraja.
Meskipun sempat mengalami beberapa kendala, namun Peradilan Agama dapat terus
berjalan dan memperoleh legalitasnya. Selanjutnya setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pada
tahun 1964 pemerintah mengundangkan UU No. 19 Tahun 1964 (tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman) yang secara tegas menyebutkan adanya empat
lingkungan peradilan di Indonesia yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian pada zaman Orde Baru dikeluarkan
lagi UU No. 14 Tahun 1970 (tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman) yang di dalam
Pasal 10 tetap melembagakan empat lingkungan peradilan seperti yang dianut di dalam UU
No. 19 Tahun 1964.
2. Keberadaan dan Kedudukan Peradilan Agama
Berkenaan dengan eksistensi dan kedudukan Peradilan Agama di Indonesia, maka
tidak dapat lepas dari pergumulan politik yang cukup panjang dan sering mengalami pasang
surut antara umat Islam dengan pemerintah. Legitimasi terhadap Peradilan Agama sebagai
lembaga resmi mulai diakui oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1882. Adanya
pengakuan ini hanya bersifat politis, karena dalam perjalanannya kerapkali Peradilan
Agama dikebiri dan dikurangi kekuasaan dan kewenangannya.
Peradilan Agama tahun 1882 disebut “Raad Agama”, kemudian dikukuhkan oleh
pemerintah Hindia Belanda menjadi Priesterraad dengan suatu keputusan Raja Belanda
(KB) No. 24 tanggal 19 Januari 1882 yang dimuat dalam Stb. 1882 No. 152. Berdasarkan
keputusan Raja Belanda ini dibentuklah Peradilan agama di Jawa dan Madura (Beplling
betreffende de priesterraden of Java en Madura) yang dinamakan priesterraad. Pada
umumnya para ahli hukum Islam Indonesia menganut pandangan bahwa istilah
priesterraad tidaklah tepat, karena dalam Islam tidaklah dikenal adanya Peradilan Paderi
atau Peradilan Pendeta11.
Dalam perjalanan sejarahnya Peradilan Agama sering tersendat, sebagai akibat
adanya kepentingan yang tidak sejalan antara pemerintah dan sebagian besar umat Islam.
Seperti di atas telah diutarakan, Pemerintah Hindia Belanda terus mengekang dan
membatasi wewenang Peradilan Agama, dalam upaya menjauhkan umat Islam dari
11
Amrullah Ahmad, dkk, 1994 dalam Havizh Martius, "Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia",
Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 1, Juli 2016: 55 - 66
7
ajarannya. Kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda, kiranya hampir serupa dengan
kekhawatiran Gladstone, Perdana Menteri Inggris di zaman Victoria. Pada suatu saat di
depan House of Commans, sambil memegang al-Qur’an dia berkata: “Selama buku ini
masih kita dapati pada orangorang Mesir, kita tidak akan mendapatkan ketenangan dan
kedamaian di negeri ini”12.
Dalam memperoleh dukungan rakyat, pemerintah Hindia Belanda merangkul
kalangan feodal dan menyisihkan ulama dari birokrasi. Ulama dan umat Islam merespon
sikap itu dengan sikap menentang pemerintahan baik secara terang-terangan maupun secara
diamdiam. Dalam konfrontasi ini, sedikit banyak pemerintah Hindia Belanda
mengasingkan sebagian besar umat Islam dari ajarannya dan membentuk citra seolah-olah
Islam identik dengan kekumuhan dan keterbelakangan.
Pada tahun 1969, Prof. Mahali, S.H, setelah membuat kertas kerja berjudul:
”Beberapa Catatan tentang Peradilan Agama” yang mencatat segala peraturan resmi yang
menyangkut peradilan Agama di daerah-daerah seluruh Indonesia mulai dari tahun 1808,
menyimpulkan bahwa ternyata semua peraturan tertulis yang dapat ditelusuri dari zaman itu
menunjuk pada adanya suatu Peradilan Agama dalam pelbagai bentuk dan tingkatan di
seluruh nusantara. Peraturan-peraturan tersebut bukan menciptakan, tetapi memberikan
petunjuk kepada para pejabat waktu itu terutama kepada para bupati tentang bagaimana
sikap yang harus diambil terhadap semua Peradilan Agama itu.
Pada awal masa kemerdekaan dengan hilangnya ketergantungan pemerintahan
kepada pemerintahan kolonila Belanda, Raad Agama kemudian secara resmi disebut
sebagai Peradilan Agama, istilah ini disebut dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No.
14 tahun 1970 tentang Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 2
menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya. Dan pada Pasal 63 disebutkan yang dimaksud dengan
Peradilan Agama dalam Undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang
beragama Islam. Pasal ini memperkuat dasar hukum adanya Pengadilan Agama.
Saat hubungan hubungan politik Pemerintah orde baru dengan umat Islam sedang
harmonis dan melakukan saling akomodasi, dan ini ternyata mendapat dukungan luas dari
Umat Islam, lahirlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hal itu seakan-akan menjadi
12
Achmad Roestandi, “Prospek Peradilan Agama” dalam Amrullah Ahmad dkk. Prospek Hukum Islam dalam
Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: PP IKAHA, 1994), 313.
8
kado mewah bagi umat Islam. Pada saat musim akomodasi UU pemerintah tidak ragu untuk
mengajukan RUU yang sangat didambakan oleh umat Islam. Dari segi perundang-
undangan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah lompatan 100 tahun, dan dari segi
hukum substantif dia adalah lompatan 100 windu. Itulah mungkin sebabnya RUUPA begitu
ramai ditanggapi13.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 bertujuan mengakhiri
keanekaragaman peraturan perundangundangan yang selama ini mengatur Pengadilan
Agama, demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam
kerangka sistem dan tata hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Meski demikian, undang-undang ini masih memberikan ruang intervensi bagi
eksekutif, karena pimpinan kepegawaian masih dibawah Departemen Agama.
Pada zaman reformasi, eksistensi dan kedudukan Peradilan Agama semakin kokoh
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
semua lingkungan peradilan, termasuk Peradilan Agama, pembinaan organisasi,
administrasi dan finansialnya dialihkan dari pemerintah kepada Mahkamah Agung. Dengan
berlakunya Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004, hubungan antara Peradilan Agama
dengan Departemen Agama secara struktural dan organisatoris sudah terputus sama sekali.
Selanjutnya eksistensi dan kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memperluas kewenangan Pengadilan
Agama dengan penanganan perkara zakat, infak dan ekonomi syari’ah dari pada yang
sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yakni perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadakah.
Terakhir kedudukan dan kewenangan yang dimiliki Peradilan Agama semakin
diperkokoh lagi dengan lahirnya Undang- Undang Nomor 50 Tahun 2009.
Perubahan/tambahan baru dalam undangundang ini di antaranya sebagai berikut:
a. Pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama
b. Hakim Adhoc di Peradilan Agama
c. Pengawasan Internal oleh MA dan eksternal oleh KY
d. Putusan bisa dijadikan dasar mutasi
e. Seleksi pengangkatan hakim dilakukan oleh MA dan KY
13
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya,
(Jakarta, Gema Insani Press, 1996), 78.
9
f. Pemberhentian hakim atas usulan MA dan atau KY via KMA
g. Tunjangan hakim sebagai pejabat negara
h. Usia pensiun hakim 65 bagi PA dan 67 bagi PTA. Panitera/PP, 60 PA dan 62
PTA
i. Pos Bantuan Hukum di setiap Pengadilan Agama
j. Jaminan akses masyarakat akan informasi pengadilan, dan
k. Ancaman pemberhentian tidak hormat bagi penarik pungli.
Dengan demikian, kedudukan Peradilan Agama di era reformasi, selain sudah
semakin kuat kedudukannya juga telah mengalami pengembangan kelembagaan, tidak
hanya menyangkut pengembangan Peradilan Agama di Nanggroe Aceh Darussalam22, juga
pengembangan secara struktur seperti yang terlihat pada Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama.

E. Penutup
Berdasarkan pemaparan dasar filosofis, sosiologis dan yuridis serta keberadaan dan
kedudukan Peradilan Agama dalam sistem hukum Indonesia di atas, maka setidaknya dapat
diambil dua kesimpulan utama. Pertama Dasar filosofis keberadaan Peradilann Agama di
Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia
terutama sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menjiwai sila-sila lainnya. Sedangkan
dasar sosiologis keberadaan Peradilan Agama yang berdasarkan hukum Islam merupakan
cerminan normanorma bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Hukum Islam sudah
menjadi hukum yang hidup dalam masayarakat Indonesia sejak Islam mulai berkembang di
nusantara. Adapun dasar yuridis yang merupakan landasan konstitusional keberadaan Peradilan
Agama di Indonesia adalah Pancasila, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan UUD 1945.
Kedua, Keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama sudah diakui secara resmi sejak dari
zaman kolonial dengan terbitnya keputusan Raja Belanda (KB) No. 24 tanggal 19 Januari 1882
yang dimuat dalam Stb. 1882 No. 152 tetapi kondisinya mengalami pasang surut namun secara
umum citra Peradilan Agama hanya sebagai “quasi pengadilan”. Lahirnya UU Nomor 7 Tahun
1989 merupakan momentum kebangkitan dari keberadaan Peradilan Agama di Indonesia yang
mengakhiri keanekaragaman peraturan perundangundangan yang selama ini mengatur Pengadilan
Agama dan mencapai puncak kekokohannya dengan lahirnya Undang- Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 yang menyatakan bahwa semua lingkungan peradilan, termasuk Peradilan Agama,
10
pembinaan organisasi, administrasi dan finansialnya dialihkan dari pemerintah kepada
Mahkamah Agung.
Dan terakhir kedudukan dan kewenangan yang dimiliki Peradilan Agama semakin
diperkokoh lagi sehingga benar-benar sudah menjadi peradilan yang mandiri dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 yang juga memperluas kewenangan Pengadilan Agama termasuk kewenangan
mengadili sengketa ekonomi syariah. Keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama yang sudah
kokoh dalam sistem hukum di Indonesia sekarang ini harus disertai dengan bukti kepada
masyarakat pencari keadilan (justice seekers) dan warga Negara Indonesia umumnya bahwa
Pengadilan Agama sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia dapat memberikan pelayanan
prima kepada masyarakat termasuk kesiapan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah
yang sudah menjadi kewenangan baru Pengadilan Agama.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amrullah dkk. Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional
di Indonesia. Jakarta: PP IKAHA. 1994
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya. Jakarta, Gema Insani Press. 1996
Handayani, Johannes dan Kiki. Peranan Filsafat Hukum Dalam Mewujudkan Keadilan. Jurnal
Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni. Vol. 2, No. 2, Oktober 2018: 720-725
Hazairin, Demokrasi Pancasila. Jakarta, Rineka Cipta.1990
Hans Kelsen, 1998, General Theory of Law and State, London University, USA.
Halim, Abdul. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, RajaGrafindo Persada,
Jakarta. 2000
Ichtijanto, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional” dalam Mimbar Hukum
No. 13 Thn V. Jakarta; Yayasan al- Hikmah,
MD, Moh Mahfud. Politik Hukum di Indonesia, cet ke-3. Jakarta: Rajawali Press. 2010
MD, Moh. Mahfud. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia. Yogyakarta: UII Press. 1993
Martius, Havizh. "Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia", Jurnal Hukum Diktum,
Volume 14, Nomor 1, Juli 2016
Muchsan. Hukum Tata Pemerintahan, Penerbit Liberty, Yogyakarta. 1985
Narasita, Laksmi. 2020. Posisi Filsafat Hukum Dalam Mewujudkan Keadilan. Diunduh melalui:
https://www.krjogja.com/angkringan/opini/posisi-filsafat-hukum-dalam-mewujudkan-
keadilan/
Neil C. Chamelin, et.al., 1975, Introduction to Criminal Justice, Prentice-Hall, New Jersey
R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang ke II. Pradnja Paramita, Jakarta.
1972
11
Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia. Jakarta, Khairul Bayan. 2004
R, Ahmad. "Peradilan Agama di Indonesia", YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum
Islam, Vol. 6, No. 2, Desember 2015
Sabrie, Zuffran. Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila Dialog Tentang Rancangan.
Surjaman, Tjun. Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Cet. I. 1991
Soejadi. Refleksi mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasinya di Indonesia, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. 2003.
Undang-UNdang Peradilan Agama. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu. 2001

12

Anda mungkin juga menyukai