Anda di halaman 1dari 20

Dr. Absar Kartabrata, S.H,.M.

Hum
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis.
(Vide Pasal 1 ayat (1) UU No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan)
 Hukum Kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum
tertulis saja tetapi juga Yurisprudensi, Traktat, Konvensi,
Doktrin, Konsensus dan Pendapat Para Ahli Hukum
maupun kedokteran.

 Hukum tertulis, Traktat, Konvensi atau Yurisprudensi,


mempunyai kekuatan mengikat (the binding authority),
tetapi Doktrin, Konsensus atau Pendapat Para Ahli tidak
mempunyai kekuatan mengikat, tetapi dapat dijadikan
pertimbangan oleh hakim dalam melaksanakan
kewenangannya, yaitu menemukan hukum baru.
Perangkat Hukum Perdata,
Pidana dan Tata Usaha Negara.
(Pihak-pihak dan sanksi Dalam
UU No. 36 Tahun 2009)
Hukum Tertulis
Dualisme/Pluralisme (Legal Standing BW)
Deskripsi Sistem (Pasal 163 IS jo 131
Hukum Perdata IS)Inpres tgl 27 Des
1966 No 31/1966 Hukum Tidak Tertulis
(Hukum Adat)

Tidak Jelas
Pembinaan
Unifikasi Kelemahan
Hukum
hukum (Weakness)
Nasional
Tidak Lengkap
LEGAL STANDING BW SEBAGAI
HUKUM POSITIF
a.Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
Tentang Pokok Agraria
b.Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
No. 3 Tahun 1963
c.Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
d.Asas Hukum : Res Judicata Proveretate
Habetur
PERANAN HAKIM DALAM
PEMBENTUKAN HUKUM
 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa Hakim dan Hakim
Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

 Pasal 10 ayat (1) UU No. 48/2009 :


Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.

Ketentuan tersebut menggambarkan kewajiban hakim untuk


melakukan penemuan hukum
Jenis-Jenis Metode Interpretasi
1. Metode subsumptif
hakim harus menerapkan suatu teks undang-undang
terhadap kasus in-konkreto dengan sekedar
menerapkan silogisme

2. Interpretasi gramatikal
menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai
kaidah bahasa, kaidah hukum tata bahasa
3. Interpretasi Historis
a. interpretasi menurut sejarah undang-undang
mencari maksud dari kehendak pembuat undang-
undang ketika undang-undang itu dibentuk
b. interpretasi sejarah hukum
memahami undang-undang dalam konteks seluruh
sejarah hukum

4. Interpretasi Sistematis
menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan
5. Interpretasi Sosiologis atau Teleologis
menerapkan makna undang-undang berdasarkan
tujuan kemasyarakatan

6. Interpretasi Komparatif
membandingkan antara berbagai sistem hukum

7. Interpretasi Futuristik
menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang
dengan berpedoman pada undang-undang yang
belum mempunyai kekuatan hukum
8. Interpretasi Restriktif
menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan
membatasi atau mempersempit makna dari ketentuan
tersebut

9. Interpretasi Ekstensif
menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan
melampaui atau memperluas makna dari ketentuan
tersebut
Jenis-Jenis Metode Konstruksi
1. Argumentum Per Analogiam (Analogi)
Metode penemuan hukum dimana hakim mencari
esensi yang lebih umum pada suatu perbuatan yang
diatur oleh undang-undang dengan pada perbuatan
atau peristiwa yang secara konkret dihadapi hakim

2. Argumentum A Contrario
Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika
undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk
peristiwa tertentu
3. Rechtsvervijnings (Penghalusan Hukum)
Metode ini bertujuan untuk mengkonkritkan suatu
aturan hukum yang terlalu abstrak

4. Fiksi Hukum
Berlandaskan asas in dubio pro reo yaitu asas bahwa
setiap orang dianggap mengetahui undang-undang
Peraturan Perundang-undang di Bidang Kesehatan
1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUPerdata)

4. Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit

5. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

6. Peraturan Perintah (PP) No. 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia kedokteran

7. Peraturan Perintah (PP) No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

8. Permenkes RI No. 585/Men.Kes/Per/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik

9. Permenkes RI No. 729a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Recor

10. Kepdirjen Pelayanan Medis No. HK.00.06.6.5.1866 tentang Pedoman Persetujuan


Tindakan Medis (Informed Consent)

11. Permenkes 161/2010 tentang Uji kompetensi


HUBUNGAN HUKUM DOKTER-PASIEN

1. Aspek Hukum Perdata


Pasal 1320 KUHPerdata jo Pasal 1365 KUHPerdata

2. Aspek Hukum Pidana

Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”

Pasal 103 KUHP : “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.

Lex Generalis
Pasal 346, 347, 348, 349, 359, 360 dan 386 KUHP

Lex Spesialis
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Aspek Hukum Pidana
1. Lex Generalis
Pasal 346 KUHP:
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
Pasal 347:
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun

Pasal 348:
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun
Pasal 349:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Pasal 359
Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan
paling lama satu tahun.
Pasal 360:
1. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
2. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu
lima ratus rupiah.

Pasal 386:
1. Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan,
minuman atau obat-obatan yang diketahuinya bahwa itu dipalsu, dan
menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.

2. Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu jika nilainya atau
faedahnya menjadi kurang karena sudah dicampur dengan sesuatu bahan lain.
Lex Specialis

1. Bab X Pasal 75 sampai dengan Pasal 80 Undang-Undang


No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
2. Bab XX tentang Ketentuan Pidana mulai Pasal 190 s/d
Pasal 201 Undang-Undang No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan
3. Bab XIII Pasal 62 sampai dengan Pasal 63 Undang-
Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Ajaran Penyertaan (deelneming)
Turut serta Delneming (Belanda), Compicity (Inggris), yaitu suatu perbuatan
(tindak pidana) yang dilakukan lebih dari satu orang (deelneming);

Penyertaan Menurut KUHP


Penyertaan menurut KUHP. diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian
besar, yaitu:

1. Pembuat/ Dader (Pasal 55) yang terdiri dari


a. Pelaku (pleger)
b. Yang menyuruh melakukan (doenpleger)
c. Yang turut serta (medepleger)
d. Penganjur (uitlokker)

2. Pembantu/ Medeplichtige (Pasal 56) yang terdiri dari :


a. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan
b. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan

Anda mungkin juga menyukai