Anda di halaman 1dari 8

TUGAS INDIVIDU

MATA KULIAH HUKUM DAN ETIKA


KAJIAN KASUS PERJANJIAN DALAM PRAKTEK
KEPERAWATAN

Dosen Pengampu : Dr.dr.Faisal Amri, SH,M.Hum

Nama : Umi Margi Rahayu


NIM : P1337420816010

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG


PROGRAM MAGISTER TERAPAN KESEHATAN
PRODI KEPERAWATAN
2016
Kasus :
Batam, Dinamika Kepri - Selviyanti (25) warga Pulau Labuh, dimana
pertama kalinya mempercayakan RSUD Embung Fatimah, Batu Aji, Batam untuk
menangani persalinan pertamanya, bukannya berakhir bahagia malah berdampak
tidak mengenakan bagi dirinya maupun bagi keluarga besarnya, pasalnya hanya
karena masalah ini, kakak Selvianty juga meninggal mendadak setelah
mendengarkan besarnya nominal biaya perobatannya yang harus dibayarkan
kepada rumah sakit yakni mencapai Rp 48 juta.
Kronologis kejadian adalah pada tangal 19 Juni 2016, Selviyanti (25) yang
kehamilannya memasuki minggu ke 42 merasakan mulas dan kontraksi pada
perutnya. Selviyanti awalnya berharap dapat melahirkan di puskesmas dekat
rumahnya, namun setelah diperiksa oleh bidan setempat, didapatkan hasil bahwa
Selviyanti mengalami masalah dengan proses persalinannya, yaitu air ketuban
dalam rahimnya sudah mengering (ketuban pecah dini) dan posisi janinnya
sungsang. Melihat keadaan tersebut bidan setempat menganjurkan keluarga untuk
membawa Selviyanti ke RSUD Embung Fatimah untuk segera mendapatkan
pertolongan yang lebih serius.
Sesampainya di RSUD Embung Fatimah, Selviyanti langsung di bawa ke
Ruang Operasi, mengingat kondisinya yang sudah harus mendapatkan
pertolongan. Sebelum operasi dimulai, suami pasien terlebih dulu ditanyai oleh
petugas UGD soal pembayaran, dan suami korban menjelaskan bahwa istrinya
menggunakan BPJS, dari penjelasan bidan dan dokter yang saat itu menghampiri
suami pasien, dijelaskan bahwa keluarga pasien tidak harus membayar biaya
rumah sakit yang terlalu mahal, hanya Rp. 1.500.000 untuk biaya perawatan.
Mendengar penjelasan tersebut suami pasien tidak mempermasalahkan, yang
penting istrinya segera mendapat pertolongan. Dan untuk melanjutkan tindakan,
bidan dan dokter memberikan kertas persetujuan tindakan (informed consent)
kepada suami pasien untuk ditandatangai, tanpa ada penjelasan yang lebih lanjut
dan setelah dibaca oleh suami pasien, lembar tersebut ditandatangabi oleh suami
pasien.
Setelah 4 hari setelah proses operasi, keluarga pasien menanyakan kondisi
Selviyanti karena ingin segera pulang kerumah, dan mendengar penjelasan bidan
di ruang dimana Selviyanti dirawat, suami pasien dianjurkan untuk langsung
melunasi pembayaran di bagian administrasi rumah sakit, karena Selviyanti
diperbolehkan pulang oleh dokter yang menanganinya. Pada saat ingin melunasi
pembayaran, suami pasien dan keluarga terkejut karena biaya operasi dan
perawaan istrinya mencapai 48 juta. Mendengar hal tersebut kakak pasien seketika
pingsan dan meninggal. Suami pasien langsung meminta penjelasan dari ruangan
dan dokter yang menangani istrinya. Tanpa ada penjelasan lanjut dan memuaskan
dari pihak ruangan dan dokter, nominal yang memang seharusnya dilunasi sebesar
Rp. 48 juta. Keluarga pasien merasa tertipu karena hal ini tidak sesuai dengan
penjelasan dan perjanjian awal sebelum menandatangai lembar persetujuan dan
jumlah tersebut tidak dicantumkan secara jelas pada lembar persetujuan.
Ditambah lagi tidak ada penjelasan yang resmi dan memuaskan soal biaya rumah
sakit yang nominalnya cukup besar. Dan karena keluarga belum bisa melunasi
pembayaran, sampai tanggal 20 Juli 2016, Selviyanti dan bayinya masih disandra
oleh pihak rumah sakit. Kasus ini keluarga adukan ke pihak kepolisian karena
merasa tertipu dan tidak mendapat keadilan dari pihak rumah sakit.

Sumber: http://www.dinamikakepri.com/2016/07/ngerih-dan-miris-sebulan-
pasien.html
Disalin dari www.dinamikakepri.

Kajian :
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana salah satu orang atau
lebih menikat dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut seorang pakar
hukum Prof.Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Dua pihak itu sepakat untuk menetukan peraturan atau kaidah atau hak dan
kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalani. Kesepakatan ini
adalah untuk menimbulkan perikatan. Akibat hukum, menimbulkan hak dan
kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada akibatnya, si pelanggar
dapat dikenakan akibat hukum dan sanksi. Dapat disimpukan bahwa perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji pada seseorang lain atau dimana
dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa tersebut
timbullan suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perjanjian.
Perjanjian tersebut melahirkan perikatan antara dua orang/pihak yang
membuatnya yang menyangkut antara hak dan kewajiban.
Dari kasus di atas dapat disimpulakan bahwa hubungan yang terjadi antara
keluarga pasien dengan pihak rumah sakit adalah suatu perjanjian yang ditandai
dengan adanya penandatanganan lembar persetujuan (informed consent), yang
melahirkan suatu kata sepakat, dimana pihak rumah sakit sepakat untuk
meberikan pertolongan kepada pasien dan keluarga pasien sepakat untuk melunasi
biaya perawatan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun kenyataannya
ada suatu kesenjangan yang terjadi antara keluarga pasien dengan pihak rumah
sakit, dimana pihak rumah sakit tidak memberikan penjelasan yang mendetail
tentang perjanjian yang dibuat diawal dan penjelasan mengenai keadaan pasien
juga tidak diberikan secara transparan kepada pihak keluarga, hal ini membuat
suatu pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat. Karena diawal pihak rumah
sakit menjelaskan pasien yang merupakan anggota BPJS tidak dikenai biaya
seperti pasien yang bukan anggota BPJS dan penjelasan tersebut disampaikan
dengan keluarga pasien, sehingga keluarga bersedia menandatangani lembar
persetujuan. Dalam kasus ini pihak rumah sakit melanggar salah satu asas dalam
perjanjian yaitu Asas Konsensualisme (concensualism) yang disimpulkan dalam
pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu
syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah
pihak. Kesepakatan yang telah dibuat oleh pihak rumah sakit dengan keluarga
pasien dilanggar oleh pihak rumah sakit sehingga keluarga pasien merasa haknya
tidak terpenuhi secara utuh dimana hal ini menimbulkan sanksi hukum.
Pada kasus perjanjian diatas, ditandai dengan penandatanganan lembar
persetujuan (informed consent). Informed consent merupakan persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Informed consent diperlukan
untuk memastikan bahwa pasien telah mengerti semua informasi yang dibutuhkan
untuk membuat keputusan, dan pasien mampu memahami informasi yang relevan
dan pasien memberikan persetujuan. Informed consent menunjukan kepada
peraturan hukum yang menentukan kewajiban para tenaga medis dalam interaksi
dengan pasien. Selain itu memberikan sanksi (dalam keadaan tertentu)apabila
terjadi penyimpangan terhadap apa yang sudah ditentukan. Dari sudut pandang
etika, informed consent adalah pencetusan dan berakar dalam nilai-nilai otonomi
didalam masyarakat yang diyakini sebagai hak-hak mereka dalam menentukan
nasibnya sendiri apabla akan dilakukan tindakan medik. Pemberian lembar
persetujuan (informed consent) kepada keluarga sebelum pasien mendapatkan
pertolongan operasi caesar dalam proses persalinan oleh pihak rumah sakit
memang sudah benar adanya, namun pihak rumah sakit di akhir perjanjian
melakukan hal yang tidak sesuai dalam lembar persetujuan tersebut. Dimana
informed consent merupakan suatu informasi pertama yang harus keluarga pasien
cermati dan pahami sebelum mengambil keputusan., karena didalam informed
consent harus menyantumkan penjelasan tentang :
1. Diagnosa yang ditegakkan
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut
4. Resiko-resiko dari tindakan tersebut
5. Konsekuensinya apabila tidak dilakukan tindakan
6. Kadangkalanya biaya-biaya yang menyangkut tindakan tersebut.

Sedangkan tata cara pelaksanaan tindakan medis yang akan dilakukan oleh
dokter pada pasien lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 UU No.29 Tahun 2009
tentang Praktek Kedokteran yang menegaskan sebagai berikut :
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
diberikan penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan lengkap sebagimana dimaksid pada ayat (2) sekurang-
kurangnya mencakup :
1) Diagnosis dan tata cara tindakan medis.
2) Tujuan tindakan medis dilakukan.
3) Alternatif tindakan lain dan resiko.
4) Resiko komplikasi yang mungkin terjadi
5) Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.

Didalam UU sudah diatur secara jelas tata cara sebelum memberikan


tindakan medis kepada pasien, dan tata cara membuat suatu lembar persetujuan
(informed consent) yang baik dan benar. Namun pihak rumah sakit tidak
menjelaskan secara jelas tindakan yang dilakukan, resiko yang mungkin terjadi,
tujuan dilakukan tindakan tersebut, serta tidak mencantumkan biaya secara jelas.
Dan kesepakatan yang dibuat tidak tertera di lembar persetujuan yang
ditandatangani oleh pihak keluarga. Bisa dicurigai adanya kesengajaan yang
dilakukan oleh pihak rumah sakit dalam menentukan biaya perawatan, dan
melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Hal ini juga melanggar Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang
Persetujuan Tindakan Medis pada Bab I, Pasal 1 huruf (a).
Pada kasus ini pihak rumah sakit terkesan lepas tangan dengan keadaan
dan aduan pasien dan hal ini tidak sesuai dengan salah satu tanggung jawab
hukum rumah sakit yaitu : memberikan perlindungan hukum terhadap
keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit, dan sumber daya
manusia di rumah sakit. Dan memberikan kepastian hukum kepada pasien,
masyarakat, sunber daya menuasia rumah sakit, dan rumah sakit. Pihak rumah
sakit terkesan tidak peduli dengan nasib pasien sehingga membiarkan Selviyanti
dan bayinya selama sebulan menunggu kepastian hukum dari kasus ini dengan
disandra di rumah sakit.

Kesimpulan :
Setelah dikaji dari sisi hukum dan etika, kasus yang dialami oleh Selviyanti dan
bayinya dengan pihak RSUD Embung Fatimah merupakan suatu kasus
pelanggran hak pasien dengan melanggar perjanjian yang sudah disepakati.
Dimana perjanjian tersebut ditandai dengan penandatanganan lembar persetujuan
(informed consent). Hal tersebut sudah benar adanya, namun dalam kenyataan
informasi yang seharusnya diterima keluarga pasien tidak diberikan secara jelas
dan rinci oleh pihak rumah sakit. Penjelasan tersebut mengenai keadaan pasien
sebelum tindakan, diagnosa pasien, resiko yang mungkin terjadi, dan biaya
perawatan. Pada saat dilakukan perjanjian, pihak keluarga sudah menjelaskan dan
melampirkan data bahwa pasien menggunakan BPJS dan oleh pihak rumah sakit
pelunasan pembayaran hanya sebesar Rp.1.500.000, namun dalam
pelaksanaannya tidak sesuai dengan kesepakatan, hal ini sudah bisa dianggap
suatu pelanggaran kesepakatan dan harus mendapatkan sanksi. Ditambah lagi
pihak rumah sakit terkesan lepas tangan dan tidak peduli dengan keadaan dan
aduan keluarga pasien tentang hal ini, padahal itu masuk dalam salah satu
tanggung jawab hukum rumah sakit dalam memberikan perlindungan dan
kepastian hukum kepada pasien..

Rekomendasi :
Diharapkan dengan adanya kasus ini dapat dijadikan suatu pembelajaran dan
contoh. Sebagai pasien sudah seharusnya mendapatkan hak yang adil dalam
pengambilan keputusan akan tindakan medis yang diterima dengan memperoleh
informasi yang selengkap-lengkapnya diberikan pihak rumah sakit yang
direalisasikan dengan adanya lembar persetujuan (informed consent). Dan dalam
informed consent seharusnya terdapat informasi yang jelas sesuai dengan aturan
yang sudah ditetapkan. Lembar persetujuan tidak hanya sekedar kertas yang perlu
ditandatangani oleh pasien sebelum mendapat tindakan medis namun itu bernilai
hukum, dimana didalamnya dijelaskan tentang hak dan kewajiban pasien serta
rumah sakit, dan dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan kesepakatan yang
telah dibuat, dan apabila dilanggar dapat mengajukan ke ranah hukum. Selain itu
sudah seharusnya pihak rumah sakit melaksanakan tanggung jawab hukum sesuai
dengan UU No.44 Tahun 2009 pasal 3 yaitu :
1. Mempermudahkan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan.
2. Memberikan perlindungan hukm terhadap keselamatan
pasien,masyarakat,lingkungan rumah sakit, dan sumber daya manusia di
rumah sakit.
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit, dan rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai