Sumber: http://www.dinamikakepri.com/2016/07/ngerih-dan-miris-sebulan-
pasien.html
Disalin dari www.dinamikakepri.
Kajian :
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana salah satu orang atau
lebih menikat dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut seorang pakar
hukum Prof.Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Dua pihak itu sepakat untuk menetukan peraturan atau kaidah atau hak dan
kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalani. Kesepakatan ini
adalah untuk menimbulkan perikatan. Akibat hukum, menimbulkan hak dan
kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada akibatnya, si pelanggar
dapat dikenakan akibat hukum dan sanksi. Dapat disimpukan bahwa perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji pada seseorang lain atau dimana
dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa tersebut
timbullan suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perjanjian.
Perjanjian tersebut melahirkan perikatan antara dua orang/pihak yang
membuatnya yang menyangkut antara hak dan kewajiban.
Dari kasus di atas dapat disimpulakan bahwa hubungan yang terjadi antara
keluarga pasien dengan pihak rumah sakit adalah suatu perjanjian yang ditandai
dengan adanya penandatanganan lembar persetujuan (informed consent), yang
melahirkan suatu kata sepakat, dimana pihak rumah sakit sepakat untuk
meberikan pertolongan kepada pasien dan keluarga pasien sepakat untuk melunasi
biaya perawatan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun kenyataannya
ada suatu kesenjangan yang terjadi antara keluarga pasien dengan pihak rumah
sakit, dimana pihak rumah sakit tidak memberikan penjelasan yang mendetail
tentang perjanjian yang dibuat diawal dan penjelasan mengenai keadaan pasien
juga tidak diberikan secara transparan kepada pihak keluarga, hal ini membuat
suatu pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat. Karena diawal pihak rumah
sakit menjelaskan pasien yang merupakan anggota BPJS tidak dikenai biaya
seperti pasien yang bukan anggota BPJS dan penjelasan tersebut disampaikan
dengan keluarga pasien, sehingga keluarga bersedia menandatangani lembar
persetujuan. Dalam kasus ini pihak rumah sakit melanggar salah satu asas dalam
perjanjian yaitu Asas Konsensualisme (concensualism) yang disimpulkan dalam
pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu
syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah
pihak. Kesepakatan yang telah dibuat oleh pihak rumah sakit dengan keluarga
pasien dilanggar oleh pihak rumah sakit sehingga keluarga pasien merasa haknya
tidak terpenuhi secara utuh dimana hal ini menimbulkan sanksi hukum.
Pada kasus perjanjian diatas, ditandai dengan penandatanganan lembar
persetujuan (informed consent). Informed consent merupakan persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Informed consent diperlukan
untuk memastikan bahwa pasien telah mengerti semua informasi yang dibutuhkan
untuk membuat keputusan, dan pasien mampu memahami informasi yang relevan
dan pasien memberikan persetujuan. Informed consent menunjukan kepada
peraturan hukum yang menentukan kewajiban para tenaga medis dalam interaksi
dengan pasien. Selain itu memberikan sanksi (dalam keadaan tertentu)apabila
terjadi penyimpangan terhadap apa yang sudah ditentukan. Dari sudut pandang
etika, informed consent adalah pencetusan dan berakar dalam nilai-nilai otonomi
didalam masyarakat yang diyakini sebagai hak-hak mereka dalam menentukan
nasibnya sendiri apabla akan dilakukan tindakan medik. Pemberian lembar
persetujuan (informed consent) kepada keluarga sebelum pasien mendapatkan
pertolongan operasi caesar dalam proses persalinan oleh pihak rumah sakit
memang sudah benar adanya, namun pihak rumah sakit di akhir perjanjian
melakukan hal yang tidak sesuai dalam lembar persetujuan tersebut. Dimana
informed consent merupakan suatu informasi pertama yang harus keluarga pasien
cermati dan pahami sebelum mengambil keputusan., karena didalam informed
consent harus menyantumkan penjelasan tentang :
1. Diagnosa yang ditegakkan
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut
4. Resiko-resiko dari tindakan tersebut
5. Konsekuensinya apabila tidak dilakukan tindakan
6. Kadangkalanya biaya-biaya yang menyangkut tindakan tersebut.
Sedangkan tata cara pelaksanaan tindakan medis yang akan dilakukan oleh
dokter pada pasien lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 UU No.29 Tahun 2009
tentang Praktek Kedokteran yang menegaskan sebagai berikut :
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
diberikan penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan lengkap sebagimana dimaksid pada ayat (2) sekurang-
kurangnya mencakup :
1) Diagnosis dan tata cara tindakan medis.
2) Tujuan tindakan medis dilakukan.
3) Alternatif tindakan lain dan resiko.
4) Resiko komplikasi yang mungkin terjadi
5) Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Kesimpulan :
Setelah dikaji dari sisi hukum dan etika, kasus yang dialami oleh Selviyanti dan
bayinya dengan pihak RSUD Embung Fatimah merupakan suatu kasus
pelanggran hak pasien dengan melanggar perjanjian yang sudah disepakati.
Dimana perjanjian tersebut ditandai dengan penandatanganan lembar persetujuan
(informed consent). Hal tersebut sudah benar adanya, namun dalam kenyataan
informasi yang seharusnya diterima keluarga pasien tidak diberikan secara jelas
dan rinci oleh pihak rumah sakit. Penjelasan tersebut mengenai keadaan pasien
sebelum tindakan, diagnosa pasien, resiko yang mungkin terjadi, dan biaya
perawatan. Pada saat dilakukan perjanjian, pihak keluarga sudah menjelaskan dan
melampirkan data bahwa pasien menggunakan BPJS dan oleh pihak rumah sakit
pelunasan pembayaran hanya sebesar Rp.1.500.000, namun dalam
pelaksanaannya tidak sesuai dengan kesepakatan, hal ini sudah bisa dianggap
suatu pelanggaran kesepakatan dan harus mendapatkan sanksi. Ditambah lagi
pihak rumah sakit terkesan lepas tangan dan tidak peduli dengan keadaan dan
aduan keluarga pasien tentang hal ini, padahal itu masuk dalam salah satu
tanggung jawab hukum rumah sakit dalam memberikan perlindungan dan
kepastian hukum kepada pasien..
Rekomendasi :
Diharapkan dengan adanya kasus ini dapat dijadikan suatu pembelajaran dan
contoh. Sebagai pasien sudah seharusnya mendapatkan hak yang adil dalam
pengambilan keputusan akan tindakan medis yang diterima dengan memperoleh
informasi yang selengkap-lengkapnya diberikan pihak rumah sakit yang
direalisasikan dengan adanya lembar persetujuan (informed consent). Dan dalam
informed consent seharusnya terdapat informasi yang jelas sesuai dengan aturan
yang sudah ditetapkan. Lembar persetujuan tidak hanya sekedar kertas yang perlu
ditandatangani oleh pasien sebelum mendapat tindakan medis namun itu bernilai
hukum, dimana didalamnya dijelaskan tentang hak dan kewajiban pasien serta
rumah sakit, dan dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan kesepakatan yang
telah dibuat, dan apabila dilanggar dapat mengajukan ke ranah hukum. Selain itu
sudah seharusnya pihak rumah sakit melaksanakan tanggung jawab hukum sesuai
dengan UU No.44 Tahun 2009 pasal 3 yaitu :
1. Mempermudahkan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan.
2. Memberikan perlindungan hukm terhadap keselamatan
pasien,masyarakat,lingkungan rumah sakit, dan sumber daya manusia di
rumah sakit.
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit, dan rumah sakit.