PENDAHULUAN
Saat ini di Indonesia, transplantasi organ ataupun jaringan diatur dalam UU No. 36 tahun
2009 tentang Kesehatan. Sedangkan peraturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta
Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia.
Walaupun transplantasi organ dan atau jaringan tersebut telah lama dikenal dan hingga
dewasa ini terus berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakan medik ini tidak dapat
dilakukan begitu saja karena masih harus dipertimbangkan dari segi nonmedik, yaitu dari segi
agama, hukum, budaya, etika, dan moral. Karena itu diperlukan kerja sama yang saling
mendukung antara pakar terkait (hukum, kedokteran, sosiologi, pemuka agama, pemuka
masyarakat), dengan pemerintah dan swasta.1
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum :
Mengetahui aspek medikolegal transplantasi organ tubuh manusia.
2. Tujuan Khusus :
a. Mengetahui definisi transplantasi organ tubuh manusia.
b. Mengetahui jenis-jenis transplantasi.
c. Mengetahui aspek hukum transplantasi organ tubuh manusia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
B. Tujuan
Transplantasi organ merupakan suatu tindakan medis memindahkan sebagian
tubuh atau organ yang sehat untuk menggantikan fungsi organ sejenis yang tidak dapat
berfungsi lagi. Transplantasi dapat dilakukan pada diri orang yang sama (auto
transplantasi), pada orang yang berbeda (homotransplantasi) ataupun antar spesies yang
berbeda (xeno-transplantasi). Transplantasi organ biasanya dilakukan pada stadium
terminal suatu penyakit, dimana organ yang ada tidak dapat lagi menanggung beban
karena fungsinya yang nyaris hilang karena suatu penyakit. Pasal 64 UU No 36 tahun
2009 menyatakan bahwa transplantasi merupakan salah satu pengobatan yang dapat
dilakukan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Secara legal transplantasi hanya boleh dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan
tidak boleh dilakukan untuk tujuan komersial (Pasal 64 ayat 2UU No 36 tahun 2009).
Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa organ atau jaringan tubuh merupaka
anugerah Tuhan YME sehingga dilarang untuk dijadikan obyek untuk mencari
keuntungan atau komersial.
F. Klasifikasi Transplantasi
Dilihat dari segi mana transplantasi diperoleh, maka dapat dibedakan sbb :
a. Pencangkokan organ tubuhnya sendiri (ototransplantasi), artinya organ yang
dicangkokan dari tubuhnya sendiri, seperti mengambil kulit kepala atau paha untuk
dipindahkan ke tangan dsb.
b. Pencangkokan organ tubuh manusia yang satu kepada manusia yang lainnya.
c. Pencangkokan tubuh hewan kepada manusia (heterotransplantasi), seperti dari
simanse kepada manusia.
Mengenai pencangkokan tubuh manusia yang satu kepada manusia yang lainnya dapat
diklasifikasikannya menjadi 3 (tiga) tipe :
a. Donor dalam keadaan hidup sehat.
b. Donor dalam keadaan hidup koma.
c. Donor dalam keadaan mati.
Sedangkan pencangkokan dari organ tubuh hewan dapat dibedakan menjadi
a. Hewan yang najis.
b. Hewan yang suci.
Dilihat dari segi dasar motif transplantasi dapat dibedakan :
a. Penyembuhan penyakit kronis yang mengancam jiwa.
b. Pemulihan cacat tubuh / praktek kedokteran.
c. Hanya ingin memperoleh kenikmatan dan pemuasan individual semata.
Melihat dari pengertian diatas, kita bisa membagi transplantasi itu pada 2 (dua) bagian :
1. Transplantasi Jaringan, seperti pencangkokan cornea mata.
2. Transplantasi Organ, seperti pencangkokan ginjal, jantung dan sebagainya.
Melihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang
ditransplantasikan) dan resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau organ),
ada 3 (tiga) macam pencangkokan, yaitu :
1. Auto Transplantasi, yaitu transplantasi dimana donor resipiennya satu individu.
Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan
daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2. Homo Transplantasi, yakni dimana transplantasi itu si donor dan resipiennya
individu yang sama jenisnya, (jenis disini bukan jenis kelamin, tetapi jenis
manusia dengan manusia). Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan
resipiennya dua individu yang masih hidup; bisa juga terjadi antara donor yang
telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup.
3. Hetero Transplantasi, yaitu donor dan resipiennya dua individu yang berlainan
jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan
resipiennya manusia. (Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Hasil
Muktamar NU, HL. 484).
Pada kasus auto transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi
penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir selalu dapat
dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada homo transplantasi dikenal adanya 3 (tiga) kemungkinan :
1. Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari
satu telur, maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi
penolakan. Pada golongan ini hasil transplantasinya serupa dengan hasil
transplantasi pada auto transplantasi.
2. Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya
adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar
daripada golongan pertama, tetapi masih lebih kecil daripada golongan
ketiga.
3. Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan
saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan
reaksi penolakan.
Pada waktu sekarang homo transplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik,
terlebih-lebih dengan menggunakan cadaver donor, karena :
1. Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, karena donor tidak
sulit dicari.
2. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama
dalam bidang immunologi, maka reaksi penolakan dapat ditekan
seminimal mungkin.
Pada hetero transplantasi hampir selalu menyebabkan timbulnya reaksi penolakan
yang sangat hebat dan sukar sekali diatasi. Maka itu penggunaannya masih terbatas pada
binatang percobaan. Tetapi pernah diberitakan adanya percobaan mentransplantasikan
kulit babi yang sudah di-iyophilisasi untuk menutup luka bakar yang sangat luas pada
manusia. Sekarang hampir semua organ telah dapat ditransplantasikan, sekalipun
sebagian masih dalam taraf menggunakan binatang percobaan, kecuali otak, karena
memang tehnisnya sulit. Namun demikian pernah diberitakan bahwa di Rusia sudah
pernah dilakukan percobaan mentransplantasikan “kepala” pada binatang dengan hasil
baik. (Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Hasil Muktamar NU, HL. 484-485).
Pasal 65
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan
pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat
dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.
Pasal 67
(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen
atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 68
(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan
obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh
dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
2. UU No 44 Tahun 2009
Pasal 1
a) Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh
beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh
tersebut.
b) Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang
sama dan tertentu.
c) Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau
jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi
dengan baik.
d) Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada
orang lain untuk keperluan kesehatan.
e) Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan, dan atau denyut jantung seseorang
telah berhenti.
Ayat yang di atas mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas, karena itu
IDI dalam seminar nasionalnya telah mencetuskan fatwa tentang masalah mati yang
dituangkan dalam SK PB IDI No. 336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 Maret 1988 yang
disusul dengan SK PB IDI No. 231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan
bahwa seseorang dikatakan mati, bila fungsi spontan pernapasan dan jantung telah
berhenti secara pasti (irreversibel), atau terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Selanjutnya dalam PP di atas terdapat pasal-pasal berikut:
Pasal 10
Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a dan huruf b, yaitu
harus dengan persetujuan tertulis penderita dan/ atau keluarganya yang terdekat setelah
penderita meninggal dunia.
Pasal 11
a. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan
oleh dokter yang ditunjuk oleh menteri kesehatan.
b. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan
oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.
Pasal 12
Dalam rangka transplantasi, penentuan saat mati ditentukan oleh dua orang dokter
yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.
Pasal 13
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a, pasal 14 dan pasal15 dibuat
di atas kertas berm aterai dengan 2 orang saksi.
Pasal 14
Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau Bank
Mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan persetujuan tertulis
keluarga yang terdekat.
Pasal 15
a. Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh
manusia diberikan oleh donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih
dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan
mengenai operasi, akibat-akibatnya, dan kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi.
b. Dokter sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 harus yakin benar, bahwa
calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari
pemberitahuan tersebut.
Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas kompensasi material apapun
sebagai imbalan transplantasi.
Pasal 17
Dilarang memperjualbelikan alat atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk ke
dan dari luar negeri. Sebagai penjelasan pasal 17 dan 18, disebutkan bahwa alat dan atau
jaringan tubuh manusia sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap insan tidaklah
sepantasnya dijadikan objek untuk mencari keuntungan. Pengiriman alat dan atau jaringan tubuh
manusia ke dan dari luar negeri haruslah dibatasi dalam rangka penelitian ilmiah, kerjasama dan
saling menolong dalam keadaan tertentu.
Pasal 16
(1) Penyelenggaraan pemanfaatan organ donor dilakukan dengan penerapan dan penapisan
teknologi kesehatan.
(2) Penerapan dan penapisan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
norma agama, moral, dan etika.
(3) Pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah donor
dinyatakan mati batang otak.
(4) Selain organ sebagaimana dimaksud ayat (1) pemanfaatan dapat dilakukan dalam bentuk
jaringan dan/atau sel.
Pasal 17
(1) Organ yang berasal dari mayat dapat diperoleh atas persetujuan calon donor sewaktu masih
hidup.
(2) Tata cara pelaksanaan donor organ dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
4.
4. Aspek Agama
a. Transplantasi Menurut Islam
Pandangan 5 (lima) agama di Indonesia tentang Transplantasi Organ pada
umumnya “diperbolehkan” dan sangat dianjurkan, karena merupakan sumbangan
kemanusiaan yang sangat terpuji dan merupakan wujud kasih sayang sesama manusia.
ASPEK ETIKA
Donasi dan Transplantasi dipandang dari Sudut Etika
Sebagaimana disebutkan diatas dalam transplantasi dibutuhkan dua pihak yaitu pemberi
donor dan penerima donor. Pemberi donor bisa digolongkan kedalam donor hidup dan donor
mati. Donor hidup dapat berasal dari keluarga dan non keluarga. Akan tetapi dalam
perkembangannya saat ini dimana kemiskinan dan tingginya tingkat kebutuhan akan organ
menyebabkan timbulnya donor komersial yaitu orang yang memberikan organnya dengan
imbalan uang.
Transplantasi dipandang dari sudut Etika harus dipertimbangkan dari sudut 4 (empat)
prinsip dasar Biomedikal Etik yaitu :
1. Hormat pada Otonomi (Respect for autonomy)
Bahwa mendonorkan organ merupakan perbuatan mulia. Keputusan untuk
mendonorkan organ merupakan keputusan (otonomi pendonor) yang diputuskansendiri
tanpa adanya paksaan dari pihak lain.
2. Tidak berbuat jahat atau membahayakan (Non Malefincence)
Setiap operasi transplantasi yang dijalankan selalu mengandung resiko. Donor
harus diberi penjelasan mengenai resiko yang akan apabila melakukan pendonoran.
Mempersiapkan team dokter yang mumpuni dibantu dengan teknologi yang memadai
dapat meminimalkan resiko kegagalan operasi. Untuk operasi transplantasi ginjal
(nephretocmy) tingkat kegagalan yang dilaporkan sekitar 0,03%.
3. Berbuat kebaikan (Beneficence)
Prinsip berbuat kebaikan mendikte kita untuk berbuat baik kepada orang lain,
terutama apabila tidak terkandung resiko bagi si pemberi kebaikan. Dalam hal
tranplantasi organ tujuan kebaikan tersebut dapat hilang apabila lebih tinggi resikonya.
4. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dalam Donasi dan Transplantasi Organ lebih relevan terhadap
alokasi organ, yang menyangkut kepada perlakuan yang adil, sama dan sesuai dengan
kebutuhan pasien yang tidak terpengaruh pada faktor lain.
Terkait dengan rasa keadilan tersebut dalam alokasi Donasi dan Transplantasi
Organ menimbulkan isu etika sebagai berikut:
a. Tahap I : Kekurangan Organ
b. Tahap II : Donor Organ
BAB III
PENUTUP
Transplantasi merupakan salah satu pilihan terapi yang sedang berkembang pesat.
Organ untuk transplantasi dapat diambil dari donor hidup atau donor jenazah dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan dari masing masing jenis donor . Saat ini,
kendala terbesar dalam pelaksanaan transplantasi baik di dunia maupun di Indonesia adalah
kurangnya organ donor yang kemudian melahirkan permasalahan komersialisasi organ.
Penggunaan donor jenazah adalah salah satu bentuk upaya untuk mengatasi
kekurangan organ. Sayangnya, implementasi medikolegal transplantasi organ dengan donor
jenazah di Indonesia hingga saat ini masih kurang. Penelitian ini dilakukan di 2 Rumah
Sakit di Semarang yang tercatat pernah melakukan transplantasi ginjal dengan donor hidup,
namun hanya salah satunya yang pernah menjalankan transplantasi kornea dari donor
jenazah.
Hambatan yang ditemui dari aspek medis dapat dibagi menjadi hambatan yang ditemui
dari pihak dokter atau Rumah Sakit sebagai penyelenggara dan dari pihak pasien sebagai
pihak penerima. Hambatan dari pihak penyelenggara adalah kekurangan sumber daya
manusia yang kompeten, kurangnya fasilitas, serta kurang aktifnya dokter dalam
mensosialisasikan transplantasi organ dari donor jenazah kepada pasien. Solusi untuk
masalah ini adalah dengan pengadaan atau pengikutsertaan tim dokter dalam pelatihan
khusus, pengupayaan penyediaan fasilitas, permintaan bantuan dana kepada Pemerintah yang
akan mampu mendorong kepercayaan diri dokter untuk lebih giat mensosialisasikan perihal
transplantasi organ dengan donor jenazah.
Sedangkan hambatan dari pihak pasien adalah kuatnya paradigma yang menyatakan
bahwa seharusnya jenazah dikebumikan dalam keadaan utuh serta kurangnya kesadaran
akan arti penting sebuah organ bagi kehidupan manusia lainnya. Untuk hambatan dari aspek
hukum adalah inkonsistensi dasar hukum yang menjadi acuannya sehingga perlu dibentuk
Peraturan Pemerintah yang baru mengikuti Undang-Undang yang saat ini berlaku berserta
Permenkes yang mengikutinya serta sosialisasi kepada dokter dan Rumah Sakit, dan masarakat
umum. Selain itu, perlu juga dibentuk peraturan perundangan yang mengatur perihal penyediaan
dana tambahan untuk pengadaan fasilitas pendukung untuk menunjang transplantasi organ
dari donor jenazah
BAB IV
SARAN
DAFTAR PUSTAKA