Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

ANATOMI BATANG TUBUH DAN KONFLIK NORMA

UNDANG-UNDANG N0.24 TAHUN 2011

Prof. Dr. M. Khoirul Huda, S.H., M.H

Oleh:

dr. Ahmad Fadhli Busthomi, Sp.OG 20210620077

dr. Suwondo Ariyanto,Sp.JP 20210620078

dr. Dewi Puspitorini Husodo, Sp.An. 20210620079

dr. Nanang Widodo,SpB 20210620080

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HANG TUAH

SURABAYA

2022
ANATOMI BATANG TUBUH
Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial

Kerangka Rincian
A. JUDUL  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial
 UU BPJS
B. PEMBUKAAN
1. Frasa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
2. Jabatan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
3. Konsiderans Menimbang
a. bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan
program negara yang bertujuan memberikan
kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat;
b. bahwa untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan
sosial nasional perlu dibentuk badan
penyelenggara yang berbentuk badan hukum
berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba,
keterbukaan, kehatihatian, akuntabilitas,
portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana
amanat, dan hasil pengelolaan
c. dana jaminan sosial seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar
kepentingan peserta;
d. bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52
Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, harus dibentuk
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan
Undang-Undang yang merupakan transformasi
keempat Badan Usaha Milik Negara untuk
mempercepat terselenggaranya sistem jaminan
sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial;
4. Dasar Hukum 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23A, Pasal 28H ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 34 ayat (1) dan
ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional
5. Diktum  Dengan persetujuan bersama DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
 Memutuskan
 Menetapkan
 Peraturan UNDANG-UNDANG TENTANG
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN
SOSIAL
C. BATANG TUBUH
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 sampai Pasal 4
BAB II Pembentukan dan
Ruang Lingkup
 Bagian Kesatu Pasal 7
Pembentukan
 Bagian Kedua Ruang Pasal 8
Lingkup
BAB IV Fungsi, Tugas,
Wewenang, Hak, dan
Kewajiban
 Bagian Kesatu Fungsi Pasal 9
 Bagian Kedua Tugas Pasal 10
 Bagian Ketiga Wewenang Pasal 11
 Bagian Keempat Hak Pasal 12
 Bagian Kelima Kewajiban Pasal 13
BAB V Pendaftaran Peserta
dan Pembayaran Iuran
 Bagian Kesatu Pasal 14 sampai Pasal 18
Pendaftaran Peserta
 Bagian Kedua Pasal 19
Pembayaran Iuran
BAB VI Organ BPJS
 Bagian Kesatu Struktur Pasal 20
 Bagian Kedua Pasal 21 dan Pasal 22
Dewan Pengawas
 Bagian Ketiga Pasal 23 dan Pasal 24
Direksi
BAB VII Persyaratan, Tata
Cara Pemilihan dan
Penetapan, dan
Pemberhentian Anggota
Dewan Pengawas dan
Anggota Direksi
 Bagian Kesatu
Persayaratan Anggota
Dewan Pengawas dan
Anggota Direksi
 Paragraf 1 Pasal 25
Persyaratan
Umum
 Paragraf 2 Pasal 26 dan Pasal 27
Persyaratan
Khusus
 Bagian Kedua Tata Pasal 28 sampai Pasal 31
Cara Pemilihan dan
Penetapan Anggota
Dewan Pengawas
dan Anggota Direksi
 Bagian Ketiga Pasal 32 sampai Pasal 36
Pemberhentian
BAB VIII Pasal 37 dan Pasal 38
Pertanggungjawaban
BAB IX Pengawasan Pasal 39
BAB X Aset
 Bagian Kesatu Pasal 40
Pemisahan Aset
 Bagian Kedua Aset BPJS Pasal 41 dan Pasal 42
 Bagian Ketiga Aset Pasal 43
Dana Jaminan Sosial
 Bagian Keempat Biaya Pasal 44 dan Pasal 45
Operasional
BAB XI Pembubaran BPJS Pasal 46 dan Pasal 47
BAB XII Penyelesaian
Sengketa
 Bagian Kesatu Pasal 48
Penyelesaian Pengaduan
 Bagian Kedua Pasal 49
Penyelesaian Sengketa
melalui Mediasi
 Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Pasal 50
melalui Pengadilan
BAB XIII Hubungan Pasal 51
Dengan
Lembaga Lain
BAB XIV Larangan Pasal 52 dan Pasal 53
BAB XV Ketentuan Pidana Pasal 54 dan Pasal 55
BAB XVI Ketentuan Lain- Pasal 56
Lain
BAB XVII Ketentuan Pasal 57
Peralihan
BAB XVIII Ketentuan Pasal 58 sampai Pasal 71
Penutup
A. Norma Kabur

Norma kabur adalah keadaan dimana norma sudah ada tetapi tidak memiliki
arti yang jelas atau norma tersebut menimbulkan lebih dari satu makna yang
membuat norma tersebut kabur. Mengandung tafsir suatu norma yang kabur dalam
hal ini diperkuat dengan tidak adanya suatu penjelasan yang signifikan dan atau
suatu penjelasan yang lugas dan terarah untuk menjelaskan suatu makna.
Contoh kekaburan norma dalam UU 24 tahun 2011 terdapat pada Pasal 19
ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 55 UU BPJS. Kekaburan norma tersebut terjadi
karena dianggap tidak adanya batasan yang jelas mengenai unsur-unsur pelanggaran
pada pasal tersebut sehingga dalam prakteknya terdapat beberapa pelanggaran
keterlambatan perusahaan dalam membayar iuran BPJS.
Dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan bahwa pemberi kerja dalam
hal ini perusahaan wajib untuk memungut iuran peserta BPJS dan menyetorkannya
kepada BPJS. Demikian pula dengan pemberi kerja wajib membayarkan iurannya
kepada BPJS.
Analisa:
Dari kedua pasal tersebut perusahaan yang sudah menjadi peserta BPJS
wajib untuk memungut iuran, membayar dan menyetor iuran yang menjadi beban
peserta dari pekerjanya kepada BPJS. Dalam UU BPJS Pasal 55 kemudian
disebutkan adanya sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar Pasal 19 ayat (1)
atau ayat (2) : “Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”
Terlihat bahwa UU BPJS sangat ketat dalam menertibkan perusahaan untuk
melaksanakan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) yang menjadi kewajibannya setelah
menjadi peserta BPJS. Namun, dari konstruksi dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2)
jo. Pasal 55 UU BPJS terdapat kekaburan norma (vague norm). Kekaburan norma
adalah kondisi dimana suatu kata atau kalimat di dalam perundang-undangan tidak
mempunyai arti yang tepat dan karena itu tidak dapat dijadikan suatu dasar hukum/
hukum itu tidak bisa diterapkan. Kekaburan norma tersebut, menyebabkan penegak
hukum/institusi terkait di lapangan memiliki tafsir yang berbeda. Dalam hal ini ialah
tidak adanya batasan yang jelas mengenai unsur pelanggaran pasal tersebut. Dalam
pasal tersebut, tidak ditegaskan mengenai tolak ukur keterlambatan, ukuran tersebut
tidak ada dalam unsur-unsur pasal tersebut, padahal hal ini diperlukan karena norma
ini adalah norma yang menggunakan sanksi pidana, maka secara mutatis mutandis,
keberadaan norma ini juga merupakan norma pidana yang mengharuskan adanya
unsur yang tegas dan jelas. Unsur-unsur tindak pidana adalah merupakan indikator
atau tolok ukur dalam memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak.
Dalam prateknya dengan adanya norma kabur ini akan menyebabkan
ketidakjelasan perbedaan apabila didapatkan pelanggaran karena perusahaan
terlambat melakukan pembayaran iuran BPJS. Sebagai contoh apabila perusahaan A
terlambat membayarkan iuran selama satu bulan dan perusahaan B yang terlambat
membayar iuran enam bulan apakah kedua perusahaan ini akan dikenakan sanksi
pidana yang sama padahal dari segi waktu keterlambatan ada perbedaan yang
signifikan.
Keberadaan Pasal 19 jo. 55 UU BPJS yang menggunakan insturmen sanksi
pidana memiliki beberapa implikasi. Oleh karena Pasal 19 jo. 55 UU BPJS
menggunakan sanksi pidana, maka norma tersebut harus tunduk dan patuh terhadap
kaidah-kaidah dan asas-asas dalam hukum pidana, meskipun diketahui bersama
bahwa UU BPJS bukanlah undang-undang dengan kategori pidana khusus, karena
nantinya penegakan norma tersebut juga salah satunya akan menggunakan
instrumen hukum acara pidana yang yang juga merupakan bagian dari penegakan
hukum pidana, sehingga penerapannya harus didasarkan pada kehati-hatian. Dapat
dikatakan juga, bahwa keberadaan Pasal 19 jo. 55 UU BPJS adalah hukum pidana
materil, Tirtaamidjaja menjelaskan pidana materiil adalah adalah kumpulan aturan
hukum yang menentukan pelanggaran pidana; menetapkan syarat-syarat bagi
pelanggaran pidana untuk dapat dihukum; menunjukkan orang yang dapat dihukum
dan menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana.
Dalam suatu rumusan norma yang merupakan kebijakan harus memiliki
kriteria wajib yang salah satunya adalah tercantum secara jelas dan tegas sehingga ia
dapat dilaksanakan dan tidak menimbulkan kekaburan hukum/vague norm. Dalam
norma pasal 19 ayat 1 dan 2 tidak memenuhi kriteria rumusan yang jelas, tegas dan
tidak implementatif karena tidak terdapatnya ‘jangka waktu’ kapan suatu subjek
hukum dalam pasal 19 itu dikatakan sudah melakukan tindak pidana. Dalam pasal
19 ayat 1 hanya mengatakan: Pemberi Kerja wajib memungut iuran yang menjadi
beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS. Yang menjadi
pertanyaan adalah, kapan durasi jangka waktu penyetorannya dan kapan perbuatan
ini baru dapat dikatakan tindak pidana karena korporasi tidak melakukan kewajiban,
apakah harus menunggu ada laporan tidak melaksanakan kewajiban, atau
dibutuhkan durasi waktu tertentu. Dalam pasal 19 ayat (2) juga tidak ada yang
menjelaskan demikian, dimana dalam pasal itu hanya penegasan yakni “Pemberi
Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya
kepada BPJS”. Jika dijabarkan, maka unsur dari pasal tersebut adalah:
1. Pemberi kerja;
2. Kewajiban memungut iuran yang menjadi beban peserta;
3. Menyetorkannya kepada BPJS.
Pasal 19 UU BPJS adalah norma yang kabur, karena tidak mengatur secara
terang mengenai unsur-unsur perbuatan pidana/bestandel delict, khususnya
mengenai kriteria waktu kapan pemberi kerja dinyatakan tidak memenuhi
kewajiban, sebagaimana tercantum dalam rumusan frasa Kewajiban memungut
iuran yang menjadi beban peserta. Hal-hal ini tidak ada dalam UU BPJS, akan tetapi
unsur-unsur tersebut ada dalam beberapa peraturan pelaksana, salah satunya PP No.
86 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi
Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja,
Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Dengan pendekatan PP tersebut, baru kita dapat melihat kapan dan bagaimana
mengenai unsur pidana dimana pemberi kerja ‘dapat’ dikatakan tidak melakukan
kewajiban. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip hukum pidana, dimana
dijelaskan bahwa unsur-unsur pidana harus ditegaskan secara tegas terang
benderang/expresis verbis dalam undang-undang, bukan dalam peraturan pelaksana.

B. Norma Kosong

Kekosongan atau “vacuum”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,


kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat dan sebagainya) kosong atau kehampaan,
yang dalam kamus hukum diartikan dengan “vacuum” yang diterjemahkan atau di
artikan sama dengan “kosong atau lowong”. Dari penjelasan tersebut maka secara
sempit “kekosongan hukum” dapat diartikan sebagai “suatu keadaan kosong atau
ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tertib
(tertentu) dalam masyarakat,” sehingga kekosongan hukum dalam hukum positif
lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan”.
Contoh kekaburan norma dalam UU 24 tahun 2011 terdapat pada Pasal 17.
Pasal itu berbunyi:
(1) Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan
setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
teguran tertulis, denda; dan/atau tidak mendapat pelayanan tertentu.
(3) Pengenaan sebagaimana publik sanksi dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b dilakukan oleh BPJS.
(4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan administratif dengan Pemerintah
Analisa :
Pada Pasal 17 dijelaskan adanya pemberian sanksi administratif apabila
pemberi kerja tidak mendaftar dan memberikan data pemberi kerja maupun
pekerjanya. Melihat dari pasal ini, pemberian sanksi administratif ini harusnya juga
dimasukkan pada pelanggaran apabila tidak melakukan pembayaran iuran yang
dimana iuran ini berkaitan dengan sustaibilitas keuangan Program Jaminan Sosial.
Dalam Pasal 17 disebutkan sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda
dan/atau tidak mendapatkan pelayanan tertentu. Kami rasa sanksi ini juga
seharusnya disebutkan pada pemberi kerja dan pekerja yang tidak membayarkan
iuran BPJS khususnya sanksi tidak mendapatkan pelayanan publik.

C. Norma Konflik
Norma konflik adalah suatu Peraturan Perundang-Undangan yang tumpang
tindih dan tidak selaras satu sama lain atau yang lebih dikenal dengan istilah Konflik
Norma, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik norma vertikal ialah
ketidakselarasan antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah sesuai
dengan tata urutan hierarki Peraturan Perundang-Undangan menurut Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Konflik
Norma Horizontal merupakan ketidakselarasan antara suatu norma yang memiliki
kedudukan yang sejajar di dalam tata tata urutan hierarki Peraturan
PerundangUndangan menurut Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Contoh kekaburan norma dalam UU 24 tahun 2011 terdapat pada Pasal 11
yang berbunyi:
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS
berwenang untuk:
a. menagih pembayaran Iuran
b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan
jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas,
kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;
c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan
Pemberi Kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan jaminan sosial nasional;
d. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar
pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang
ditetapkan oleh Pemerintah;
e. e.membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
f. mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang
tidak memenuhi kewajibannya;
g. melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai
ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan
h. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan
program Jaminan Sosial.

Contoh kedua juga terdapat pada Pasal 14 yang berbunyi Pasal 14 “Setiap orang,
termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia,
wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial.”

Analisa :
Pasal 11 huruf d memberikan kewenangan kepada BPJS untuk membuat
kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas
kesehatan berdasarkan standar tarif yang ditetapkan pemerintah. Hal ini
bertentangan (disharmoni) dengan Pasal 24 ayat (1) UU SJSN yang memberikan
kewenangan kepada BPJS untuk membuat kesepakatan mengenai besaran
pembayaran kepada fasilitas kesehatan dengan asosiasi fasilitas kesehatan. Perlu
dilakukan harmonisasi antara Pasal 11 huruf d UU BPJS dengan Pasal 24 ayat (1)
UU SJSN terkait. mekanisme kesepakatan penetapan besaran pembayaran kepada
fasilitas kesehatan sehingga BPJS Kesehatan dapat melakukan pemetaan dan
pertimbangan variasi antar Faskes dengan cara berkoordinasi dengan asosiasi
fasilitas kesehatan wilayah terkait.
Pada Pasal 14 UU BPJS yang berbunyi “Setiap orang, termasuk orang asing
yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta
program Jaminan Sosial.” Artinya, seluruh pekerja yang bekerja di Indonesia
diwajibkan untuk didaftarkan pada BPJS Ketenagakerjaan di Indonesia dan tidak
ada opsi lain berkaitan dengan jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun dan jaminan kematian. Pada Pasal 34 UU No. 7 tahun 2016 menyebutkan
bahwa: “Setiap Orang yang melakukan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman
wajib memberikan perlindungan atas risiko Penangkapan Ikan, Pembudidayaan
Ikan, dan Usaha Pergaraman pada Nelayan Buruh, Penggarap Lahan Budi Daya,
dan Penggarap Tambak Garam melalui: a. Asuransi Perikanan atau Asuransi
Pergaraman untuk kecelakaan kerja; dan b. asuransi jiwa untuk kehilangan jiwa.”
Bunyi Pasal 34 UU No. 7 Tahun 2016 tersebut, mewajibkan pemberi kerja
untuk mendaftarkan pekerjanya pada perusahaan asuransi baik Badan Usaha Milik
Negara (selanjutnya disebut BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (selanjutnya
disebut BUMD) di bidang asuransi yang ditugasi oleh pemerintah dalam hal resiko
kecelakaan kerja bagi nelayan buruh di Indonesia.
BUMN dan BUMD adalah Badan Usaha yang bersifat Privat yang sifat
dasarnya adalah mencari keuntungan. Hal ini bertolak belakang dengan pasal 4 UU
BPJS yakni: “BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan
prinsip: a. kegotongroyongan; b. nirlaba; c. keterbukaan; d. kehati-hatian; e.
akuntabilitas; f. portabilitas; g. kepesertaan bersifat wajib; h. dana amanat; dan i.
hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan Peserta.”
Pasal 4 huruf b UU BPJS tersebut menyebutkan bahwa BPJS
diselenggarakan berdasarkan prinsip nirlaba atau dapat disebut non-profit.
Berdasarkan hal diatas maka terjadi pertentangan norma antara UU BPJS tentang
sifat kepesertaan wajib yang tertuang dalam pasal 14 dan 15 ayat (1) UU BPJS
dengan pasal 34 UU No. 7 tahun 2016 mewajibkan pemberi kerja mendaftarkan
nelayan buruh pada perusahaan asuransi baik BUMN atau BUMD yang ditugasi
oleh pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai