Oleh:
Kelompok IV
Rezi Trioctavia Sangadji
Dheny Surya Aditya
Agita Danaparamita Dharsono
I Putu Gede Arya Wedana
Andrian Triwibawanto
Pembimbing:
dr. Ngesti Lestari,SH,SpF(K)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini penerapan ilmu kedokteran forensik dikalangan masyarakan semakin
banyak digunakan. Perkembangan ilmu kedokteran forensik yang semakin maju,
menjadikan ilmu kedokteran forensik banyak dipergunakan sebagi kepentingan peradilan
dan dalam perkembangannya ilmu kedokteran forensik juga digunakan dibidang non
peradilan. Dalam beberapa permasalahan ilmu kedokteran forensik sering digunakan untuk
penentuan kematian seseorang sebagai individu. Dalam hal ini selain untuk penentuan
kematian dan sebab kematian diperlukan beberapa pemeriksaan forensik, seperti
pemeriksaan dalam, pemeriksaan luar dan pemeriksaan penunjang (Sampurna, 2008)
Dalam mempelajari dan mendalami ilmu kedokteran forensik, terdapat suatu hal
yang spesifik untuk para dokter yaitu mengetahui dan memahami beberapa peraturan dan
ketentuan hukum yang berhubungan dengan bantuan kepada para penegak hukum. Ini vise
versa dengan perlunya para penegak hukum mengetahui dan memahami pengetahuan dan
pemeriksaan yang bersifat medis
Hal demikian dapat dipahami karena ilmu kedokteran forensik merupakan jembatan
antara pengetahuan kedokteran dan hukum, dan itu mengandung konsekuensi kedua pihak
harus sama-sama memahami seluruh materi ilmu kedokteran forensik dengan utuh
sehingga apa yang ingin disampaikan oleh kalangan kesehatan dapat dipahami oleh
kalangan hukum dan sebaliknya kalangan kesehatan dapat mengetahui bantuan atau
pemeriksaan yang diperlukan kalangan penegak hukum yang berlandaskan pada undangundang kesehatan dan Rumah Sakit (Budianto, et. al., 1997). Tidak mudah bagi para calon
dokter atau dokter untuk mendalami dan memahami ketentuan hukum yang berhubungan
dengan pelayanan medikolegal. Menghafal ketentuan hukum dan pasal demi pasal dalam
perundang-undangan kesehatan dan Rumah Sakit tanpa memahami unsur penting yang
terkandung di dalamnya.
1.2 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahu peran pemeriksaan kedokteran forensik kaitannya dengan UU
Kesehatan dan UU RS.
1.3 Manfaat Penulisan
Agar nantinya sebagai seorang dokter, Kita dapat memahami peran pemeriksaan
kedokteran forensik dengan UU Kesehatan dan UU RS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pemeriksaan Forensik
Pemeriksaan forensik adalah pemeriksaan dari ujung kepala sampai kaki untuk
menemukan jejas atau luka, sekaligus mengambil sampel bila diperlukan guna membantu
proses investigasi polisi dalam menyelesaikan suatu kasus kriminal (Rull, 2011).
Pemeriksaan forensik adalah satu bagian penting dalam penulisan visum et repertum.
Visum et repertum sendiri merupakan suatu laporan tertulis dari ahli dokter yang dibuat
berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau
fisik, ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan
yang sebaik-baiknya (Soeparmono, 2002), sebagaimana tercantum dalam pasal 179
KUHAP (Sampurna, 2008).
Bantuan dokter dalam kepentingan peradilan ini tertuang dalam KUHAP pasal 133,
179, dan 180, yang mana seorang dokter jika dimintakan kepadanya untuk membuat visum
et repertum, maka secara hukum dokter tersebut wajib melakukan, dan tidak ada alasan
untuk menolak (Sampurna, 2008; Idris, 2009)
2.2 Jenis Pemeriksaan Forensik
Menurut Susanti (2012), pemeriksaan kedokteran forensik meliputi korban
hidup dan korban mati yang berhubungan dengan tindak pidana.
2.2.1
1. Jika luka derajat satu, dipakai kalimat yang ada di pasal 352 KUHP
(penganiayaan ringan) yaitu: cedera menimbulkan penyakit/halangan dalam
menjalankan pekerjaan/jabatan dan pencahariannya untuk sementara waktu,
2. Jika luka derajat dua, dipakai kalimat yang ada di pasal 351 KUHP
(penganiayaan),
penyakit/halangan
yaitu:
cedera/luka
dalam
tersebut
menjalankan
tidak
menimbulkan
pekerjaan/jabatan
dan
pencahariannya,
3. Jika luka derajat tiga, kalimatnya sesuai dengan kriteria dalam pasal 90 KUHP
yang cocok dengan luka/cedera yang ditemukan (Atmadja, 2008; Afandi, 2011;
Susanti, 2012).
B. Kasus Kesusilaan
Tindakan asusila yang diatur dalam undang-undang di antaranya adalah perkosaan
dan pencabulan. Pada kasus kejahatan seksual tugas dokter adalah mencari adanya
tanda- tanda kekerasan dan adanya tanda-tanda persetubuhan. Pembuktian dilakukan
dengan dua cara yaitu membuktikan adanya penetrasi penis ke dalam vagina, oral
dan/atau anus serta membuktikan adanya ejakulasi, atau adanya air mani di dalamnya
(Afandi, 2011; Meilia, 2012).
Penetrasi penis ke dalam vagina dapat mengakibatkan robekan selaput dara atau
bila dilakukan dengan kasar dapat merusak selaput lendir daerah vulva dan vagina
ataupun laserasi, terutama daerah posterior fourchette. Robekan selaput dara akan
bermakna jika masih baru, masih menunjukkan adanya tanda kemerahan di sekitar
robekan. Pada beberapa korban ada yang memiliki selaput dara yang elastis sehingga
tidak mudah robek. Pembuktian persetubuhan akan menghadapi kendala jika: korban
dengan selaput dara yang sebelumnya telah robek lama, korban diperiksa sudah lama,
korban yang memiliki selaput dara elastis, penetrasi yang tidak lengkap (Susanti 2012).
Pembuktian persetubuhan yang lain adalah dengan memeriksa cairan mani di
dalam liang vagina korban. Dari pemeriksaan cairan mani akan diperiksa sel
spermatozoa dan cairan mani sendiri. Namun kendala dalam pemeriksaan cairan mani
adalah korban yang sebelumnya berhubungan seksual dengan orang lain, korban yang
terlambat diperiksa, koitus interuptus, pelaku memakai kondom (Sampurna, 2008; Afandi,
2011; Meilia, 2012)
Menurut Susanti (2012), pembuktian korban tindak pidana pada kejahatan seksual
mengharuskan pemeriksa bekerja dalam waktu yang singkat. Sebab, sampel rentan
rusak apabila terdapat selang yang lama antara kejadian dan pemeriksaan. Dengan
pemeriksaan, yang meliputi: autopsi, exhumatio, dan identifikasi forensik. Autopsi adalah
pemeriksaan terhadap jenazah baru, meliputi pemeriksaan dalam dan luar terhadap jenazah
yang dimintakan oleh polisi penyidik, sesuai dengan KUHAP Pasal 133 ayat 1 yang
berbunyi: Dalam hal penyidik untuk kepentingan pengadilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan kepada ahli Kedokteran
Kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya, dengan tujuan menemukan proses penyakit
dan/atau
adanya
cedera,
melakukan
interpretasi
atas
penemuan
tersebut,
dan
menerangkan sebab kematian, serta mencari hubungan sebab-akibat antara kelainankelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian (Daulay, 2011)
Pemeriksaan jenazah seharusnya dilakukan sendiri oleh dokter karena pada
prinsipnya dokter memiliki cukup pengetahuan untuk membedakan apakah suatu kematian
itu wajar atau tidak. Begitu seorang dokter Puskesmas mendapat laporan mengenai
kematian salah seorang warga, maka ia wajib melakukan pemeriksaan luar terhadap
jenazah tersebut (Wati, 2014).
Kompetensi dokter umum sebenarnya adalah pemeriksaan luar jenazah saja,
sedangkan pemeriksaan dalam tidak dibebankan kepadanya (Susanti, 2012). Prinsip dan
tata cara pemeriksaan serta pencatatan visum et repertum pada korban meninggal adalah
memeriksa semua bagian tubuh jenazah tanpa melewatkan satu bagian pun, lalu mencatat
ke dalam formulir laporan obduksi. Pada bagian kesimpulan, dokter hanya menulis luka
yang ditemukan, kekerasan penyebab dan sebab kematian. Sedangkan cara kematian
bukan kewenangan dokter untuk menyatakan dalam visum et repertum (Sampurna, 2008;
Afandi, 2011).
Jika pada pemeriksaan, dokter tidak menemukan luka, tanda kekerasan, atau tandatanda keracunan, sementara anamnesisnya mengarah pada kematian akibat penyakit,
maka ia dapat langsung memberikan surat kematian (Formulir A). Jenazah bisa
dikembalikan kepada keluarga korban. Dalam Formulir A, dokter harus mencantumkan
nomor penyakit yang diduga sebagai sebab kematian, yang mana tercantum pada bagian
belakang formulir. Formulir A diperlukan keluarga korban untuk keperluan administrasi
kependudukan, seperti penyimpanan jenazah, pengangkutan jenazah ke luar kota/negeri,
serta pembuatan akta kematian, guna pengurusan warisan, asuransi, izin kawin lagi, dsb.
(Wati, 2014)
Berdasarkan tujuannya, autopsi terbagi atas: (1) Autopsi Anatomi, dilakukan untuk
keperluan pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran. Apabila dalam batas 2 x 24 tidak ada
ahli waris yang mengakuinya, maka mayat bisa dikirim ke laboratorium pendidikan. Setelah
diawetkan di laboratorium anatomi, mayat disimpan sekurang-kurangnya satu tahun
sebelum digunakan untuk praktikum. Menurut hukum, mayat menjadi milik negara setelah
lewat tiga tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada kalanya, seseorang mewariskan mayatnya
setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran, hal ini diatur dalam KUHPerdata pasal 935.
(2) Autopsi Klinik, dilakukan apabila kematian mayat diduga terjadi akibat suatu penyakit.
Tujuannya adalah menentukan sebab kematian pasti, menganalisis kesesuaian antara
diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, patogenesis penyakit, dan lain sebagainya, (3)
Autopsi klinis dilakukan atas persetujuan tertulis dari ahli waris, ada kalanya dari pihak ahli
waris sendiri yang memintanya, (4) Autopsi Medikolegal/Forensik, dilakukan pada mayat
yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar, seperti kecelakaan,
pembunuhan, atau bunuh diri. Autopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan
dengan suatu kasus / perkara.
Tujuan dari autopsi ini adalah untuk memastikan identitas seseorang yang masih
belum diketahui dengan jelas, menentukan saat, sebab, dan mekanisme kematian, untuk
mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti guna identifikasi benda penyebab dan pelaku
kejahatan, serta untuk membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam
bentuk visum et repertum. Berdasarkan bentuk atau teknik pemeriksaannya, autopsi dapat
dibedakan menjadi pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam.
A. Teknik Pemeriksaan Luar
Pemeriksaan luar adalah pemeriksaan jenazah dengan mengamati kelainan yang
ditimbulkan oleh tindak kekerasan pada tubuh korban bagian luar. Hasil pemeriksaan
kemudian dicatat dan dibuat deskripsi secara sistematis berdasarkan titik-titik
anatomis yang tetap pada tubuh korban. Khusus pada korban wanita tidak boleh
digunakan puting susu sebagai titik anatomis, karena puting susu merupakan titik
anatomis yang mobile (tidak tetap). Titik anatomis yang dianjurkan adalah titik yang
paling dekat dengan jejas atau luka (Sampurna, 2008).
Hal-hal yang perlu dilaporkan ketika membuat pemeriksaan luar meliputi (Mansjoer,
2000; Hamdani, 2000):
1. Identitas korban,
2. Label, tutup/bungkus, tinggi-berat badan, perhiasan, pakaian, benda di samping
mayat,
3. Mencari
tanda-tanda
kematian
primer
dan
sekunder, serta
perubahan
Pemeriksaan dalam dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian pasti dari suatu
jenazah. Pemeriksaan dalam bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut ini (Idries,
1997):
1. Insisi I, dimulai dari bawah tulang rawan krikoid pada garis tengah tubuh hingga
prosesus xifoideus, kemudian 2 jari paramedian kiri dari pusar sampai simfisis
pubis. Dengan demikian tidak perlu melingkari pusat. Insisi I sering dipakai untuk
kasus dengan kelainan di leher. Insisi ini dimaksudkan agar daerah leher dapat
bersih dari darah, sehingga kelainan yang minimal pun dapat terlihat, misalnya
pada kasus pencekikan, penjeratan, dan penggantungan.
2. Insisi Y, untuk pria menggunakan model sayatan dangkal: sayatan dimulai dari
tepat di bawah selangka dan sejajar dengan tulang tersebut kiri dan kanan
sehingga bertemu pada bagian tengah (incisura jugularis). Kemudia dilanjutkan
ke arah bawah tepat di garis pertenghan sampai ke simfisis pubis, menghindari
umbilikus. Untuk wanita menggunakan model sayatan dalam: yang dimulai dari
tepat di bawah buah dada, dari lateral (anterior axillary line) menuju medial
(prosesus xyphoideus), kiri dan kanan. Insisi Y semata-mata dilakukan untuk
alasan
kosmetik
sehingga
jenazah
yang
sudah
diberi
pakaian
tidak
2. Toksikologi, bisa diambil dari lambung dan isinya, seluruh usus dan isinya
dengan membuat sekat ikatan pada usus setiap jarak 60 cm, darah, hati, ginjal,
otak, urine, empedu, dll.
3. Bakteriologi, sampel diambil dari darah jantung dan sediaan limpa untuk
4.
5.
6.
7.
8.
pembiakan kuman.
Apus otak, limpa, dan hati, untuk kasus malaria
Analisis biokimia darah dan cairan serebrospinal
Analisis urin dan feses
Usapan vagina dan anus, untuk kejahatan seksual
Cairan uretra.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 UU 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Forensik
adalah
pelayanan
pemeriksaan
dikembangkan menjadi pusat layanan dan registrasi kematian yang lebih menyeluruh,
tidak terbatas pada yang memerlukan pemeriksaan kedokteran forensik saja.
Tujuan pelayanan forensik di RS adalah :
1.
2.
Memberi pelayanan
berlaku.
3.
Memberi layanan konsultasi medikolegal dan etika dalam lingkungan rumah sakit,
keprofesian maupun antar institusi.
3.1
(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat
dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi
pendidikan kedokteran
(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap mayat yang tidak diurus oleh keluarganya, atas persetujuan
tertulis keluarganya.
(3) Mayat sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
harus
telah
diawetkan,
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 121
(1) Badah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh
dokter sesuai dengan kealhian dan kewenangannya.
(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis
ditemukan adanya dugaan tindakan pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan
Pasal 124
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma
agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.
Pasal 125
korban yang masih hidup untuk mengetahui tanda- tanda kekerasan dan pada jenazah
untuk melakukan identifikasi identitas, pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, dan
pemeriksaan tambahan. Sehingga pemerintah Indonesia membuat UU RS dan UU
kesehatan untuk mengatur yang berisi ketentuan- ketentuan kepada seorang dokter, Rumah
sakit, hak dari pasien/ korban/ jenazah, serta penyidik yang meminta tolonbg tenaga ahli
untuk membantu proses penyelidikan suatu kasus.
4.2 Saran
Sebagai seorang dokter yang berkaitan dengan proses peradilan setidaknya kita harus
mengetahui undang- undang di negara Republik Indonesia yang berkaitan dengan kasus
perkara tersebut agar tidak salah dalam
DAFTAR PUSTAKA
Atmodirono, H. 1980. Visum et Repertum dan Pelaksanaannya. Surabaya: Airlangga
University Press
Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1997
Daulay,
PA.
2011.
USU
Institutional
Repository.
Universitas
Sumatera.
http://repository.usu.ac.id/bitstream. Diakses pada 14 Mei 2016 pukul 15:2
Hoediyanto. 2007. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya: Bagian
IKF dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Unair.
Hamdani, Njowito. 2000. Autopsi. Ilmu Kedokteran Kehakiman Edisi Kedua. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Hal 48 59
Idries, AM. 1997. Prosedur Khusus. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama.
Jakarta: Binarupa Aksara. Hal 354-61
Idries AM, Sugiharto AF. Visum et Repertum, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik
bagi Praktisi Hukum. Sagung Seto. Jakarta. 2009.
Kristanto E, Isries AM. Hak Undur Diri dalam Pemeriksaan di Sidang Pengadilan dalam
Konteks Rahasia Kedokteran. Dalam: Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam
Proses Penyidikan Edisi Revisi. Sangung Seto. Jakarta. 2008. Hal 252-6.