Anda di halaman 1dari 5

9.

Penulisan Kesimpulan pada Visum Kejahatan Seksual


Secara umum, tujuan pemeriksaan korban kekerasan seksual adalah untuk:
melakukan identifikasi, termasuk memperkirakan usia korban,
menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya, bila
mungkin,
menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA),
menentukan pantas atau tidaknya korban untuk dikawin, termasuk
tingkat perkembangan seksual, dan
membantu identifikasi pelaku (Idries, 2008).
Pada pembuktian setiap kasus kejahatan seksual secara kedokteran forensik,
bantuan dokter sangat diperlukan, namun harus disadari bahwa kemampuan
dokter dalam rangka membantu mengungkap kasus kejahatan seksual sangat
terbatas sekali, sehingga tidak mungkin dokter dapat membantu mengungkap
adanya paksaan dan ancaman kekerasan mengingat kedua hal itu tidak
meninggalkan bukti medik. Dokter hanya diminta bantuannya untuk melakukan
pemeriksaan terhadap korban, suspek, dan barang bukti medik tindak perkosaan,
sehingga dalam pemeriksaan tersebut dokter diharap bisa memperjelas kasus
tindak pidana. (Hoediyanto & Harianto, 2010).

Pada visum et repertum kejahatan seksual yang terlampir pada makalah ini, pada
bagian kesimpulan disebutkan hanya hasil pemeriksaan luar dan derajat
klasifikasi luka korban. Berdasarkan buku Ilmu Kedokteran Forensik yang
diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, penulisan visum et
repertum luka tidak sesuai untuk kasus kejahatan seksual (perkosaan). Pada
peristiwa persetubuhan yang merupakan tindak kejahatan, dokter diminta untuk
mengemukakan apakah persetubuhan telah terjadi. Misalnya, pada perempuan
bukan perawan, persetubuhan mungkin tidak menimbulkan luka dan tidak ada
kualifikasi luka yang akan dikemukakan. Dalam kesimpulan visum et repertum
korban kejahatan susila diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada
atau tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan
perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda kekerasan (Anonim, 1997).
Selain itu, pada kesimpulan visum et repertum dokter tidak akan dan tidak boleh
mencantumkan kata perkosaan oleh karena kata tersebut mempunyai arti yuridis,
yaitu dalam hal ini paksaan, yang dalam hal ini di luar ilmu kedokteran
(Mansjoer et al, 2000).

10. Bentuk Surat Permintaan Visum et Repertum


Dalam melakukan tugas dan profesinya. Seorang dokter yang pada dasarnya
adalah seorang ahli sering kali harus melakukan pemeriksaan dan perawatan
korban sebagai akibat suatu tindak pidana, baik korban hidup maupun korban
mati, juga pemeriksaan terhadap barang bukti lain yang diduga berasal dari
tubuh manusia. Untuk melaksanakan tugas tersebut maka pihak yang berwenang
(penyidik) akan menyertainya dengan surat permintaan visum et repertum,
dengan demikian maka dokter akan melaporkan hasil pemeriksaannya secara
tertulis kepada pihak peminta visum et repertum tersebut (Hoediyanto &
Harianto, 2010).

Adapun bentuk surat permintaan visum et repertum (SPVR) menurut buku Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal yang dikeluarkan oleh Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga adalah sebagai berikut:
I. Di sudut kanan atas dicantumkan alamat kepada siapa SPVR dikirim
(misalnya rumah sakit atau dokter), dan disertai tanggal pengirimannya.
Kepada rumah sakit (direktur) sebaiknya tertera tujuannya yaitu:
Kepala bagian / SMF Bedah
Kepala bagian / SMF Obsgyn
Kepala bagian / SMF Penyakit dalam
Untuk korban mati, dialamatkan kepada Kepala Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik (dengan berkembangnya forensic klinik,
SPVR untuk korban hidup dapat juga dialamatkan kepada Kepala
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik)
II. Di sudut kiri atas dicantumkan alamat peminta visum et repertum
(misalnya Polsek, Polres mana), juga tentang nomor surat, hal dan
lampiran kalau ada.
III. Di tengah disebutkan SPVR untuk korban hidup atau mati (jenazah).
IV. Kemudian keterangan mengenai identitas korban (tentang nama, umur,
kelamin, kebangsaan, alamat, agama, dan pekerjaan).
V. Keterangan mengenai peristiwanya (modus operandi) antara lain:
Luka karena.
Keracunan (obat/racun)
Kesusilaan (perkosaan/perzinahan/perbuatan cabul dsb.)
Mati karena (listrik/ tenggelam/senjata api/senjata tajam dsb.)
VI. Permintaan pengobatan/perawatan bila korban tidak keberatan, untuk
korban hidup.
VII. Permintaan untuk melaporkan kepada penyidik bila korban sembuh,
pindah dokter/rumah sakit lain, pulang paksa, melarikan diri atau
meninggal.
VIII. Kolom untuk keterangan lain kalau perlu.
IX. Keterangan mengenai identitas penyidik (peminta visum et repertum),
tentang nama, pangkat, kesatuan, NRP, dan alamat. Kemudian
ditandatangani penyidik dan stempel dinas. Keterangan ini ditempatkan
di kanan bawah.
X. Kemudian di kiri bawah memuat keterangan tentang penerima SPVR
(petugas rumah sakit) dengan identitas naman, tanda tangan, tanggal dan
jam penerimaan. Kemudian petugas rumah sakit menanandatangani buku
ekspedisi polisi. Biasanya SPVR ini dibuat rangkap 2, satu untuk rumah
sakit dan satunya untuk arsip polisi.

Pada contoh SPVR yang terlampir, dapat diidentifikasi poin-poin SPVR yang
menunjukan keabsahan SPVR. Hal ini penting untuk diketahui dokter sebagai
ahli yang dimintakan visum et repertum. Adapun poin-poin tersebut adalah:
I. Kop surat.
II. Dilayangkan kepada siapa SPVR dan tanggal SPVR diberikan.
III. Isi, yang terdiri atas:
1. Dasar undang-undang atau rujukan yang dipakai
2. Identitas barang bukti yang diberikan (naman, usia, dikenal/tidak)
serta dijelaskan bentuk barang bukti yang diberikan (misalnya
rambut atau potongan tubuh manusia)
3. Penjelasan pokok, yang berisi kondisi korban saat kejadian yang
sekaligus menjelaskan jenis visum et repetum yang diminta oleh
penyidik.
Pada visum et repertum perlukaan, bagian ini memuat
akibat penganiayaan/kekerasan/luka
Pada visum et repertum kesusilaan, bagian ini memuat
diduga diperkosa/disetubuhi
Pada visum et repertum toksikologi, bagian ini memuat
diduga mengalami keracunan
Pada visum et repertum psikiatri, bagian ini memuat
berdasarkan UU KUHP pasal 44 maka hendak
dibuktikan apakah orang tersebut menderita sakit jiwa
4. Penjelasan tambahan, yang berisi kondisi korban sebelum dikirim
ke rumah sakit, meliputi kapan korban datang melapor, siapa
pihak yang melapor, oleh siapa korban diketemukan (jika ada)
dan perawatan medis yang telah diterima korban sebelum dikirim
ke rumah sakit,
Pada visum et repertum seketika, bagian ini tidak diisi
Pada visum et repertum sementara, bagian ini diisi
(contoh: untuk kepentingan penangkapan, maka hasil
pemeriksaan terhadap korban dibutuhkan segera)
Pada visum et repertum lanjutan, bagian ini diisi dengan
kondisi korban sempat dirawat di rumah sakit.
5. Maksud/tujuan, yaitu untuk mendapatkan pemeriksaan medis dan
dibuatkan visum et repertum, serta pengobatan/perawatan (bila
visum hidup)
6. Penutup
IV. Identitas penyidik serta stempel
V. Tanda serah terima
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran ed 3 jilid 1. Media Aesculapius : Jakarta
Hoediyanto & Hariadi A. 2010. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal ed 7.
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga : Surabaya

Anda mungkin juga menyukai