Anda di halaman 1dari 3

Nama : Christian Viery

NIM : B10015013
Mata Kuliah : Hukum dan Gender
Dosen Pengajar : Hj. Hafrida, S. H., M. H.
Akbar Kurnia, S. H., M. H.

BIAS GENDER DALAM PENGATURAN MENGENAI


PERKOSAAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA INDONESIA

Berikut adalah pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia


(selanjutnya disebut sebagai KUHP) yang mengatur mengenai perkosaan.

Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya
belum lima belas tahun, atau kalau umumnya tidak jelas, bahwa belum
waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita
belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan
pasal 291 dan pasal 294.

Pasal 288
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita
yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana
penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
Pasal-pasal diatas mencerminkan bias gender terhadap pengaturan mengenai perkosaan.
Setidaknya, ada dua point bias gender yang dapat ditarik dari pasal-pasal diatas, yaitu

1. Dalam konsep yang dianut oleh pasal-pasal tersebut, perkosaan hanya ditujukan
kepada perempuan (istilah yang digunakan adalah wanita). Pasal-pasal tersebut
memposisikan wanita sebagai kaum yang lemah. Hal ini dikarenakan secara jelas
pasal-pasal diatas hanya mengkategorikan objek dari perkosaan adalah wanita.
2. Konsep dari pasal-pasal diatas tidak berpihak pada sebagian kecil dari golongan
laki-laki/pria yang menjadi korban dari perkosaan. Sejalan dengan hal tersebut, pasal-
pasal diatas (secara tidak langsung) juga hanya memposisikan pria sebagai pelaku dari
perkosaan.

Jika merujuk kepada pengertian yang diberikan oleh Statuta Roma (sebagai dasar bagi
Mahkamah Pidana Internasional), perkosaan mencakup definisi yang luas, dimana yang
dimaksud dengan perkosaan adalah:

The perpetrator invaded the body of a person by conduct resulting in penetration,


however slight, of any part of the body of the victim or of the perpetrator with a
sexual organ, or of the anal or genital opening of the victim with any object or any
other part of the body.
The invasion was committed by force, or by threat of force or coercion, such as that
caused by fear of violence, duress, detention, psychological oppression or abuse of
power, against such person or another person, or by taking advantage of a coercive
environment, or the invasion was committed against a person incapable of giving
genuine consent.
Melihat definisi pada tersebut, dapat ditarik beberapa unsur dari delik perkosaan, yaitu:

1. Menyerang tubuh seseorang (invaded the body of a person)


2. Dengan melakukan penetrasi sekecil apapun (by conduct resulting in penetration,
however slight)
3. Terhadap (of) :
a. bagian tubuh korban atau pelaku dengan organ seksual (any part of the body of the
victim or of the perpetrator with a sexual organ); atau
b. pembukaan anal atau genital korban dengan benda atau bagian tubuh apapun (the
anal or genital opening of the victim with any object or any other part of the body)
4. yang dilakukan dengan (was committed by) :
a. kekerasan (force); atau
b. pemaksaan (threat of force or coercion); atau
c. dengan memanfaatkan lingkungan yang koersif (taking advantage of a coercive
environment) atau
d. dilakukan terhadap orang-orang yang tidak berdaya (committed against a person
incapable of giving genuine consent).

Kata kunci utama dari perkosaan adalah penetrasi. Terhadap objek dari penetrasi
tersebut, terdapat dua lingkup. Pertama adalah terhadap bagian tubuh korban atau pelaku
dengan organ seksual (of any part of the body of the victim or of the perpetrator with a sexual
organ). Bagian tubuh tersebut juga melingkupi bukaan lain pada tubuh manusia, seperti
rongga mulut. Namun yang menjadi perhatian adalah frasa korban atau pelaku (the victim
or the perpetrator) yang digunakan pada pengertian diatas. Frasa tersebut menunjukan
adanya kemungkinan perkosaan terhadap laki-laki. Karena jika penetrasi dengan organ
seksual ditujukan kepada pelaku, maka dapat dipastikan bahwa korban dari perkosaan adalah
laki-laki.

Kedua adalah terhadap pembukaan anal atau genital korban dengan benda atau bagian tubuh
apapun (of the anal or genital opening of the victim with any object or any other part of the
body). Ketentuan ini juga menunjukan adanya peluang perkosaan terhadap laki-laki.
Sepanjang frasa pembukaan anal atau genital korban (the anal or genital opening of the
victim) tidak diberikan definisi secara sempit (bahwa ditujukan kepada satu jenis kelamin
saja), maka perkosaan dapat terjadi, baik pada laki-laki maupun perempuan. Hal ini dapat
dilihat dengan mengutip sebuah kasus di portal berita online intenasional.kompas.com
tertanggal 08 Agustus 2017. Seorang pria berkewarganegaraan Republik Demokratik Kongo,
Stephen Kigoma, menjadi korban perkosaan yang dilakukan oleh sejumlah pria. Berkaca
pada kasus tersebut, bukan tidak mungkin kasus-kasus serupa dapat diterjadi di Indonesia.
Sementara di Indonesia, belum ada pengaturan mengenai perkosaan terhadap laki-laki
dewasa. Ketentuan pada Pasal 292 KUHP hanya mengakomodir perbuatan cabul yang
dilakukan dalam lingkup sesama jenis antara orang yang dewasa dan dibawah umur.

Pasal-pasal yang menunjukan adanya bias gender dalam pengaturan perkosaan dihapuskan.
Bukan sebuah hal yang mustahil bagi seorang laki-laki menjadi korban dalam perkosaan. Jika
tidak segera diubah, hal itu akan berakibat kepada tidak adanya payung hukum bagi laki-laki
yang menjadi korban perkosaan. Padahal Pasal 28G ayat (1) j.o 28D ayat (1) dengan tegas
memberikan kepada setiap orang (baik laki-laki atau perempuan) perlindungan atas diri
pribadi dan kehormatan serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sudah seharusnya
perlindungan-perlindungan demikian juga diberikan kepada laki-laki yang menjadi perkosaan.

Anda mungkin juga menyukai