Kejahatan Seksual
Disusun Oleh
Pembimbing
dr. Muhammad Galih Irianto, Sp.F
1
Latar Belakang
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini dapat ditemukan di
seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia maupun jenis kelamin.
Besarnya. insiden yang dilaporkan di setiap negara berbeda-beda.
2
Definisi Kejahatan Seksual
Kejahatan seksual adalah tindakan seksual apa pun yang dilakukan seseorang pada yang
lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Kejahatan seksual terdiri dari penetrasi genital, oral,
atau anal oleh bagian tubuh pelaku atau oleh sebuah objek benda.
Beberapa varian kejahatan seksual antara lain pemerkosaan dalam pernikahan (marital
rape) dilakukan oleh suami/istri dengan paksa terhadap pasangannya; acquitance rape, dilakukan
oleh orang yang telah dikenal sebelumnya, incest dilakukan terhadap saudara kandung sendiri;
date rape dilakukan pada saat sedang kencan; statutory rape bermakna adanya hubungan seksual
dengan seorang perempuan dibawah umur, yang rentang usianya ditentukan oleh hukum (rentang
usia 14-18 tahun); child sexual abuse diartikan dengan interaksi antara seorang anak dengan
dewasa dimana anak tersebut digunakan sebagai perangsang seksual dari orang dewasa itu atau
orang lain.
Kejahatan terhadap kesusilaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan sesorang yang
menimbulkan kepuasan seksual dan di sisi lain perbuatan tersebut mengganggu kehormatan orang
lain. Kejahatan seksual ialah kejahatan yang timbul diperoleh melalui persetubuhan.
Pesetubuhan adalah masuknya penis ke dalam vagina, sebagian atau seluruhnya, dengan
atau tanpa ejakulasi, setidaknya melewati verstibulum. Percabulan adalah setiap penyerangan
seksual tanpa terjadi persetubuhan.
Aspek hukum mengenai kejahatan terhadap kesusilaan dan kejahatan seksual ialah :
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun : 1a. Seorang pria telah kawin yang
melakukan gendak (overspel), padahal diketahui, bahwa pasal 27 BW berlaku baginya 1b.
Seorang wanita telah kawin yang melakuakan gendak, padahal diketahui, bahwa pasal 27 berlaku
baginya.
3
KUHP 285
KUHP pasal 89 :
“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”
Persetubuhan diluar perkawinan antara pria dan wanita yang berusia diatas 15 tahun tidak
dapat dihukum kecuali jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita yang dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya.
“Persetubuhan diluar perkawinan antara pria dan wanita dibawah 15 tahun harus ada
pengaduan dari korban atau keluarganya” (pasal 287 KUHP).
Khusus untuk yang usianyadibawah 12 tahun maka untuk penuntutan tidak diperlukan
adanya pengaduan.
Tindak pidana ini merupakam persetubuhan dengan wanita yang menurut undang-undang
belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi sudah diatas 12 tahun,
penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan. Jadi dengan keadaan itu
4
persetubuhan tersebut merupakan delik aduan, bila tidak ada pengaduan, tidak ada penuntutan.
Tetapi keadaan ini akan berbeda jika :
(1)“Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286,287,288, dan 290 itu berakibat
luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.”
(2)“Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286,287,288,dan 290 itu berakibat
matinya orang dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.”
“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau anak
perliharaannya, anak yang dibawah pengawasannya, anak yang dibawah umur yang diserahkan
kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang dibawah
umur, dihukum penjara selama-lamanya 7 tahun.”
Untuk perbuatan yang trakhir ini pelakunya dapat dihukum maksimal 9 tahun penjara
(pasal 286 KUHP) jika persetubuhan dilakukan terhadap wanita yang diketahui atau sepatutnya
dapat diduga berusia dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin maka pelakunya dapat
diancam hukuman penjara maksimal 9 tahun.
Pengertian perkosaan menurut Sexual Offence Act 2003 di England and Wales, seseorang
bersalah karena memperkosa jika seorang laki-laki secara sengaja mempenetrasikan penisnya ke
dalam vagina atau anus atau mulut orang lain dimana orang lain tersebut tidak mengizinkan dan si
laki-laki tidak memiliki alas an bahwa orang lain tersebut mengizinkannya.
5
Pengertian penyerangan dengan penetrasi jika seorang laki-laki secara sengaja
mempentrasikan bagian tubuh atau apapun ke dalam vagina dan anus orang lain, dimana orang
lain tersebut tidak mengizinkannya dan si laki-laki tidak memiliki alas an bahwa orang lain
tersebut mengizinkannya.
Pengertian penyerangan seksual adalah jika seorang laki-laki secara sengaja menyentuh
secara seksual ke orang lain. Lalu orang lain tersebut tidak mengizinkannya dan si laki-laki tidak
memiliki alasan bahwa si orang lain tersebut mengizinkannya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum dilakukan pemeriksaan. Berikut hal-hal
yang perlu diperhatikan sebelum pemeriksaan :
Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter harus
melakukannya berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang. Korban harus
diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Apabila korban datang sendiri
dengan membawa surat permintaan dari polisi, korban jangan diperiksa dahulu tetapi diminta
untuk kembali kepada polisi dan datang bersama polisi.
Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan atas keadaan yang didapatkan pada tubuh
korban pada saat permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Jika dokter telah memeriksa
korban yang datang di rumah sakit, atau di tempat praktek atas inisiatif korban sendiri tanpa
permintaan polisi, lalu beberapa waktu kemudian polisi mengajukan permintaan untuk dibuatkan
Visum et Repertum, maka hasil pemeriksaan sebelumnya tidak boleh dicantumkan dalam
Visum et Repertum karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang dirikorban sebelum ada
pemintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan rahasia kedokteran yang wajib
disimpannya (KUHP pasal 322).
6
Dalam hal demikian, korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan Visum et
Repertum dibuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu permintaan diajukan. Hasil
pemeriksaan yang lalu tidak dicantumkan dalam bentuk Visum et Repertum, tetapi dalam bentuk
surat keterangan.
2. Informed Consent
Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu dari pihak
korban, karena meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi, belum tentu korban menyetujui
dilakukannya pemeriksaan atas dirinya. Selain itu, bagian yang akan diperiksa meliputi daerah
yang bersifat pribadi. Jika korban sudah dewasa dan tidak ada gangguan jiwa, maka dia berhak
memberi persetujuan, saudaranya atau pihak keluarga tidak berhak memberikan persetujuan.
Sedangkan jika korban anak kecil dan jiwanya terganggu, maka persetujuan diberikan oleh
orangtuanya atau saudara terdekatnya, atau walinya.
Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang dan dapat
memberikan rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi jumlah orang yang berada
dalam kamar pemeriksaan, hanya dokter, perawat, korban, dan keluarga atau teman korban apabila
korban menghendakinya. Pada saat memeriksa, dokter harus didampingi oleh seorang perawat
atau bidan.
Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan cemas dikamar
periksa. Pemeriksa harus menjelaskan terlebih dahulu tindakan-tindakan yang akan
dilakukan pada korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan ke pengadilan. Visum et
Repertum diselesaikan secepat mungkin agar perkara dapat cepat diselesaikan.
7
Pemeriksaan medis
Anamnesis
Anamnesis adalah wawancara antara dokter dan pasien atau keluarganya atau orang yang
mempunyai hubungan dekat dengan pasien. Anamnesis bertujuan agar dokter memperoleh
informasi atau data yang berhubungan dengan pasien. Selain itu, anamnesis juga bertujuan untuk
membina hubungan baik dan kepercayaan dokter dan pasien secara profesional kompetensi.
Anamnesis terbagi atas auto-anamnesis, yaitu wawancara yang dilakukan antara dokter
dengan pasien yang bersangkutan, dan allo-anamnesis yaitu pada dasarnya sama dengan
autoanamnesis, bedanya yang menceritakan adalah orang lain yang mempunyai hubungan dekat
dengan pasien. Hal ini penting bila kita berhadapan dengan anak kecil/ bayi atau orang tua
yangsudah mulai pikun atau penderita yang tidak sadar/ sakit jiwa.
Pada umumnya anamnesis yang diberikan oleh orang sakit dapat dipercaya, sebaliknya
anamnesis yang diperoleh dari korban tidak selalu benar. Terdorong oleh berbagai maksud atau
persaan, misalnya maksud untuk memeras, rasa dendam, menyesal atau karena takut
padaayah/ibu, korban mungkin mengemukakan hal-hal yang tidak benar. Anamnesis merupakan
suatu yang tidak dapat dilihat atau ditemukan oleh dokter sehingga bukan merupakan
pemeriksaan yang obyektif, sehingga seharusnya tidak dimasukkan dalam Visum et Repertum.
Anamnesis dibuat terpisah dan dilampirkan pada Visum et Repertum dengan judul
“keterangan yang diperoleh dari korban”. Dalam mengambil anamnesis, dokter meminta pada
korban untuk menceritakan segala sesuatu tentang kejadian yang dialaminya dansebaiknya terarah.
Pada kasus perkosaan dan delik susila lainnya perlu dikumpulkan informasi-informasi sebagai
berikut :
Umur
Umur korban amat perlu ditentukan pada pemeriksaan medis, karena hal itu menentukan
jenis delik (delik aduan atau bukan), jenis pasal yang dilanggar dan jumlah hukuman yang
dapat dijatuhkan. Dalam hal korban mengetahui secara pasti tanggal lahirnya/umurnya,
apalagi jika dikuatkan oleh bukti diri (KTP, SIM, dan sebagainya), maka umur dapat
langsung disimpulkan dari hal tersebut.
8
Status perkawinan.
Haid : siklus, terakhir.
Penyakit kelamin dan kandungan.
Penyakit lain, seperti : epilepsi, katalepsi, syncope.
Pernah bersetubuh? Waktu persetubuhan terakhir ? Menggunakan kondom ?
Waktu kejadian
Hal khusus yang perlu diketahui adalah waktu kejadian tanggal dan jam kejadian. Bila
waktu antara kejadian dan pelaporan kepada yang berwajib berselang beberapa hari
/minggu dapat diperkirakan mengapa ia tidak dapat menemukan spermatozoa, atau
tanda-tanda lain dari persetubuhan.
Tempat kejadian
Sebagai petunjuk dalam pencarian trace evidence yang berasal dari tempat
kejadian, misalnya rumput, tanah, dan sebagainya yang mungkin melekat pada pakaian
atau tubuh korban. Sebaiknya petugas pun dapat mengetahui dimana harus mencari trace
evidence yang ditinggalkan oleh korban atau pelaku.
Perlawanan korban
Perlu diketahui apakah korban melawan. Jika korban melawan maka pada
pakaian mungkin ditemukan robekan, pada tubuh korban mungkin ditemukan
tanda-tanda kekerasan dan pada alat kelamin mungkin ditemukan berkas perlawanan.
Kerokan kuku mungkin menunjukkan adanya sel-sel epitel kulit dan darah yang berasal
dari pelaku.
Apakah korban pingsan?
Cari tahu apakah korban pingsan. Ada kemungkinan korban menjadi pingsan oleh laki-
laki pelaku dengan pemberian obat-obatan. Dalam hal ini jangan lupa untuk mengambil
urindan darah untuk pemeriksaan toksikologik.
Apakah terjadi penetrasi dan ejakulasi
Apakah setelah kejadian korban mencuci, mandi atau menganti pakaian
9
Pemeriksaan Luar dan Dalam
Pemeriksaan Pakaian
Pemeriksaan pakaian perlu dilakukan dengan teliti. Pakaian diteliti helai demi helai, apakah
terdapat: Robekan lama atau baru sepanjang jahitan atau melintang pada pakaian, Kancing terputus
akibat tarikan, Bercak darah, air mani, lumpur, dan sebagainya yang berasal dari tempat kejadian.
Catat apakah pakaian dalam keadaan rapi atau tidak, benda-benda yang melekat
danpakaian yang mengandung trace evidence dikirim ke laboratorium kriminologi untuk
pemeriksaan lebih lanjut.
Adakah tanda-tanda bekas kekerasan, memar atau luka lecet pada daerah mulut, leher,
pergelangan tangan, lengan, paha bagian dalam dan pinggang.
Dicatat pula tanda perkembangan alat kelamin sekunder, pupil, refleks cahaya, pupil pin
point, tinggi dan berat badan, tekanan darah, keadaan jantung, paru dan abdomen.
Pemeriksaan bagian khusus (daerah genitalia) meliputi ada tidaknya rambut kemaluan
yang saling melekat menjadi satu karena air mani yang mengering, gunting sebagai sampel untuk
diperiksa laboratorium. Cari pula bercak air mani di sekitar alat kelamin, kerok dengan sisi tumpul
skalpel atau ‘swab’ dengan kapas lidi yang dibasahi dengan larutangaram fisiologis.
Pada vulva, teliti adanya tanda-tanda bekas kekerasan, seperti hiperemi, edema, memar dan
luka lecet (goresan kuku). Introitus vagina apakah hiperemi/edema? Dengan kapas lididiambil
bahan untuk pemeriksaan sperma dari vestibulum.
10
Periksa jenis selaput dara, adakah ruptur atau tidak. Bila ada, tentukan ruptur baru atau
lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti apakah sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar
orifisium, sebesar ujung jari kelingking, jari telunjuk, atau 2 jari. Sebagai gantinya boleh juga
ditentukan ukuran lingkaran orifisium, dengan cara ujung kelingking atau telunjuk dimasukkan
dengan hati-hati ke dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda
pada sarung tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang perawan kira-
kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan persetubuhan dapat terjadi menurut Voight
adalah minimal 9 cm.
Harus diingat bahwa persetubuhan tidak selalu disertai dengan deflorasi. Pada ruptur lama,
robekan menjalar sampai ke insertio disertai adanya parut pada jaringan dibawahnya. Ruptur yang
tidak sampai insertio, bila sudah sembuh tidak dapat dikenal lagi.
Periksa pula apakah frenulum labiorum pudendum dan commisura labiorum posterior utuh
atau tidak. Periksa vagina dan serviks dengan spekulum, bila keadaan alat genital mengijinkan.
Adakah tanda penyakit kelamin.
Pasien atau korban dirujuk pada seorang psikolog atau psikiater untuk diperiksa status
kejiwaan atau mentalnya. Pasien mungkin menderita trauma psikis dan perubahan tingkah laku.
11
Perujukan dan pemeriksaan ini berkaitan dengan pelaporan dalam visum et repertum juga untuk
pengobatan.
Dampak kejahatan seksual lebih dari apa yang bisa kita bayangkan. Stephen J. Sossetti
dengan tepat mengatakan bahwa ”dampak kejahatan seksual pada anak adalah membunuh
jiwanya”. Luka kejahatan akan dibawa oleh seorang anak hingga ia dewasa, menjadi luka abadi
yang sulit dihilangkan.
Korban kejahatan seksual akan mengalami pasca trauma yang pahit. Kejahatan seksual
dapat merubah kepribadian anak seratus delapan puluh derajat. Dari yang tadinya periang menjadi
pemurung, yang tadinya energik menjadi lesu dan kehilangan semangat hidup. Pada beberapa
kasus, ada pula anak yang menjadi apatis dan menarik diri, atau menjadi psikososial dengan
prilaku agresif, liar dan susah diatur.
Dampak lain yang akan muncul dari kekerasan pelecehan pelajar akan melahirkan
pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri anak
untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kekerasan yang terjadi pada peserta didik
di sekolah dapat mengakibatkan dampak psikis yaitu: Trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak
aman, dendam, menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif,
serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress, depresi dsb.
Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan prestasi, perubahan
perilaku yang menetap, Anak yang mengalami tindakan kekerasan kejahatan seksual tanpa ada
penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut, merasa terancam
dan merasa tidak bahagia berada diantara teman-temannya. Mereka juga jadi pendiam, sulit
berkomunikasi baik dengan guru maupun dengan sesama teman. Bisa jadi mereka jadi sulit
mempercayai orang lain, dan semakin menutup diri dari pergaulan. Sebagai korban, mereka
kehilangan haknya atas pendidikan, dan haknya untuk bebas dari segala bentuk kekerasan fiisik
dan mental yang tidak manusiawi. Martabat anak direndahkan. Pertumbuhan dan perkembangan
anak akan terhambat.
12
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto, Arief. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Mun’im Idries, Abdul. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Tanggerang : Binarupa Aksara.
Sampurna, Budi. 2003. Peranan Ilmu Forensik Dalam Penegakan Hukum. Jakarta.
James JP, Jones R, Karch SB, Manlove J. 2011. Simpson’s Forensic Medicine. 13th Edition.
London: Hodder & Stoughton Ltd.
13