Anda di halaman 1dari 33

Referat Radiologi

GAMBARAN RADIOLOGIS PADA TORSIO TESTIS

Oleh :

Dilla Anindita 06120173

Suci Lestari 0910311013

Mutia Lailani 0910312027

PRESEPTOR:

dr. Rozetti, Sp.Rad

BAGIAN RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M. DJAMILPADANG

2014

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat radiologi yang

berjudul Torsio Testis. Makalah ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Radiologi RSUP DR M Djamil

Padang, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Rozetti, Sp.Rad sebagai

preseptor. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca

demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga berharap makalah ini dapat

memberikan dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman tentang Torsio

Testisdari segi ilmu radiologi terutama bagi diri penulis dan bagi rekan-rekan

sejawat lainnya.

Padang, Agustus 2014

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................2

Daftar Isi...........................................................................................................3

Daftar Gambar..................................................................................................4

Daftar Tabel.5

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................6


1.2 Tujuan Penulisan.....................................................................................7
1.3 Batasan Masalah......................................................................................7
1.4 Metode Penulisan....................................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Testis.........................................................................................9

2.2 Definisi....................................................................................................10

2.3 Epidemiologi...........................................................................................11

2.4 Etilogi......................................................................................................11

2.5 Patogenesis..............................................................................................12

2.6 Manifestasi Klinis...................................................................................13

2.7 Diagnosis.................................................................................................13

2.8 Pemeriksaan Penunjang Radiologis........................................................15

2.9 Diagnosis Banding..................................................................................27

2.10 Terapi...................................................................................................... 27

2.11 Komplikasi..............................................................................................28

BAB III KESIMPULAN................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................33

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi Testis dan Spermatic Cord .............................................. 9

Gambar 2.2 Tiga jenis torsio testis. A. Intravaginal. B. Ekstravaginal.


C. Torsi di sepanjang mesenteri epididymis ............................................. 11

Gambar 2.3. Temuan spektrum normal dari aliran arteri normal. Aliran biasa,
impedansi rendah, diastolik tinggi intratestikular (a) kontras dengan
spektrum deferensial impedansi yang lebih tinggi (b) .............................. 16

Gambar 2.4. Gambaran normal pembuluh darah intratestikular


pada color Doppler ....................................................................................18

Gambar 2.5. Torsio testis akut. Pengurangan aliran darah komplit


intratestikular ............................................................................................18

Gambar 2.6 Snail shell pada avaskular tipikal supratestikular pada

torsio ........................................................................................................ 19

Gambar 2.7. Torsio komplit dengan aliran kapsular .......................................... 19

Gambar 2.8. Gambaran skintigrafi normal skrotum ........................................... 21

Gambar 2.9. Pasien laki-laki umur 26 tahun dengan nyeri skrotum kanan
setelah trauma (sport injury). Scan menunjukkan area fotofenik yang
besar di dalam testis kanan yang sesuai dengan gambaran torsio akut ...... 22

Gambar 2.10. Pasien laki-laki umur 19 tahun dengan pembengkakan


skrotum kanan. Scan menunjukkan pembesaran testis kanan dan area
fotofenik di tengah yang dikelilingi oleh daerah hiperemis
(doughnut sign) yang sesuai dengan gambaran torsio yang hilang ........... 23

Gambar 2.11. Pasien laki-laki umur 22 tahun dengan nyeri testis kiri. Scan
menunjukkan gambaran aliran darah dan konsentrasi penanda di
skrotum kiri sesuai dengan gambaran epididimo-orkitis .......................... 24

Gambar 2.12. (a) Potongan aksial T2 dan (b) Gambaran T1-weighted MR


yang menunjukkan sinyal T2 tinggi yang homogen dan T1 intermediate
yang homogen pada kedua testis (yang ditunjuk panah). (c) Gambaran
potongan aksial T1-weighted MRI setelah pemberian gadolinium
intravena yang menunjukkan penurunan enhancement testis kiri
(yang ditunjuk panah) dibandingkan dengan kanan. (d) Gambaran
potongan koronal T1-weighted MRI yang menunjukkan torsio spermatic
cord kiri (yang ditunjuk panah) ................................................................ 26

4
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gambaran radiologis tipikal pada pasien dengan


nyeri akut skrotum ................................................................................. 20

5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord yang terpuntir yang

mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis

dan epididymis. Torsio testis merupakan suatu kegawatdaruratan vaskuler yang

murni dan memerlukan tindakan bedah yang segera. Jika kondisi ini

tidak ditangani dalam waktu singkat (dalam 4 hingga 6 jam setelah onset nyeri)

dapat menyebabkan infark dari testis, yang selanjutnya akan diikuti oleh atrofi

testis (Sutton, 2003).

Torsio testis juga merupakan kegawatdaruratan urologi yang paling sering

terjadi pada laki-laki dewasa muda, dengan angka kejadian 1 diantara 4000 orang

dibawah usia 25 tahun. Torsio testis harus selalu dipertimbangkan pada pasien-

pasien dengan akut skrotum hingga terbukti tidak, namun kondisi tersebut juga

harus dibedakan dari keluhan nyeri testis lainnya. Keterlambatan dan kegagalan

dalam dignosis dan terapi akan menyebabkan proses torsio yang berlangsung

lama, sehingga pada akhirnya menyebabkan kematian testis dan jaringan

disekitarnya. Penatalaksanaan torsio menjadi tindakan darurat yang harus segera

dilakukan karena angka keberhasilan serta kemungkinan testis tertolong akan

menurun seiring dengan bertambahnya lama waktu terjadinya torsio (Cassar, et al,

2008).

1.2. Batasan Masalah

6
Pembahasan referat ini dibatasi pada definisi, anatomi,etiologi, patogenesis,

diagnosis, pemeriksaan radiologi dan penatalaksanaan torsio testis.

1.3. Tujuan Penulisan

Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan

penulis khususnya mengenai gambaran radiologis torsio testis.

1.4. Metode Penulisan

Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada beberapa

literatur.

BAB II

7
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Pada masa awal kehamilan, testis berkembang di retroperitoneum di bawah ginjal.

Bersamaan dengan perubahan duktus wolfii menjadi epididimis dan vas deferens,

gubernakulum berkembang menjadi peritoneum. Prosesus vaginalis dimulai

sebagai cekungan peritoneum pada minggu ke 10 gestasi dan memulai

perpindahan testis melalui abdomen menuju ke skrotum. Maternal chorionic

gonadothropin merangsang pertumbuhan testis dan kemungkinan juga memicu

migrasinya (Williams, et al, 2008).

Pada orang dewasa, testis merupakan sepasang struktur organ yang

berbentuk oval dengan ukuran 4x2,5x2,5cm dan berat kurang lebih 20 gram.

Terletak di dalam skrotum dengan axis panjang pada sumbu vertikal dan biasanya

testis kiri terletak lebih rendah dibanding kanan. Testis diliputi oleh tunika

albuginea pada 2/3 anterior kecuali pada sisi dorsal dimana terdapat epididimis dan pedikel

vaskuler. Sedangkan epididimis merupakan organ yang berbentuk kurva yang

terletak disekeliling bagian dorsal dari testis. Suplai darah arteri pada testis dan

epididimis berasal dari arteri renalis. Antara minggu ke12 dan 17 kehamilan, testis

mengalami migrasi trans abdominal menuju lokasi di dekat cincin inguinal interna

(Sjamsuhidajat, 2007).

8
Gambar 2.1. Anatomi Testis dan Spermatic Cord

2.2 Definisi

Torsio testis adalah keadaan terpuntirnya spermatic cord karena rotasi

testis yang mengakibatkan terjadinya iskemia testis. Menurut terjadinya, torsio

testis tebagi menjadi torsi intravaginal dan torsi ekstravaginal. Torsi intravaginal

merupakan keadaan dimana posisi cord yang terpuntir berada di dalam tunika

vaginalis ., sedangkan torsi ekstravaginal adalah torsi yang terjadi di atas level

skrotum (Sutton, 2003).

Torsio testis terbagi menjadi torsi komplit dan torsi inklomplit, dan ada

kemungkinan terjadinya torsi spontan serta detorsi (Sutton, 2003). Derajat dari

torsio testis menentukan berat iskemia yang terjadi pada testis dan berpengaruh

terhadap kerusakan irreversible yang terjadi pada testis (Cassar, et al, 2008).

9
2.3 Epidemiologi

Torsio testis merupakan kasus kegawatdaruratan bedah yang sering muncul,

dimana kasus ini terjadi sebanyak lebih dari 26%. Walaupun bisa terjadi pada

semua usia, torsio testis paling sering terjadi pada anak lelaki dan pria muda

sebesar 1 dari 4000 pasien yang berusia kurang dari 25 tahun (Cassar, et al, 2008).

Bentuk yang paling sering terjadi adalah subtipe intravaginal yang

merupakan 90% dari keseluruhan kasus dan biasa terjadi pada anak usia 12

sampai 18 tahun. Pada infan dan neonatal lebih banyak terjadi torsio ekstravaginal

sedangkan pada kelompok usia yang lebih tua lebih banyak terjadi torsio

intravaginal. Malformasi Bell dan Clapper merupakan keadaan anatomis yang

memicu terjadinya resiko rotasi testis dan 80% kasus ini terjadi secara bilateral

dimana torsio bilateral simultan terjadi lebih dari 5% kasus (Sutton, 2003).

2.4 Etiologi

Testis dapat terputar dalam kantong skrotum (torsio) akibat perkembangan

abnormal dari tunika vaginalis dan funikulus spermatikus dalam masa

perkembangan janin. Torsio dari funikulus spermatikus dan testis juga dapat

terjadi pada masa janin atau neonatus di dalam rahim atau sewaktu persalinan

(Price dan Wilson, 2005).

Trauma dapat menjadi faktor penyebab pada sekitar 50% pasien, torsio

timbul ketika seseorang sedang tidur karena spasme otot kremaster (Price dan

Wilson, 2005). Kadang torsio dicetuskan oleh cedera olahraga (Sjamsuhidajat,

2007).

10
2.5 Patogenesis

Secara anatomis, terdapat dua jenis torsio testis: intravaginal dan ekstravaginal.

Terdapat jenis lain yaitu testis yang terpuntir di sepanjang mesenterika epididimis

(Norton, et al, 2008).

Torsio testis terjadi pada anak dengan insersi tunika vaginalis tinggi di

funikulus spermatikus sehingga funikulus dengan testis dapat terpuntir di dalam

tunika vaginalis (Sjamsuhidajat, 2007). Jenis torsio ini disebut sebagai torsio

funikulus spermatikus intravaginalis (Price dan Wilson, 2005).

Torsio di dalam rahim atau sewaktu persalinan terjadi pada funikulus

bagian inguinalis di atas insersi tunika vaginalis dan dikenal sebagai torsio

funikulus spermatikus ekstravaginalis. Torsio ekstravaginalis hanya terjadi pada

neonatus; umumnya asimtomatik dan seringkali sewaktu pemeriksaan fisik awal

pada bayi baru lahir, yaitu terdapat massa skrotum yang padat disertai daerah

bewarna biru pada kulit skrotum yang menutupi massa tersebut (blue dot sign)

dan seringkali testis telah menjadi nekrotik seluruhnya (Price dan Wilson, 2005).

Trauma karena spasme otot kremaster terjadi akibat testis kiri berputar

berlawanan arah jarum jam dan testis kanan berputar searah jarum jam. Aliran

darah berhenti, dan terbentuk edema; kedua keadaan tersebut menyebabkan

iskemia testis (Price dan Wilson, 2005).

Gambar 2. 2 Tiga jenis torsio testis. A. Intravaginal. B. Ekstravaginal.


C. Torsi di sepanjang mesenteri epididymis (Norton, et al, 2008)

11
2.6. Manifestasi Klinis

Pasien mengeluh nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya mendadak dan

diikuti pembengkakan pada testis. Keadaan itu dikenal sebagai akut skrotum

(Purnomo, 2011).

Nyeri dapat menjalar kearah daerah inguinal atau perut sebelah kanan

bawah sehingga jika tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan apendisitis akut.

Keadaan ini biasanya tidak disertai dengan demam (Purnomo, 2011).

Hiperemia reaktif pada kulit skortum juga dapat terlihat. Pada umumnya,

berkurangnya aliran darah ke testis tidak terjadi dengan cepat atau komplit; akan

tetapi, terdapat penurunan bertahap seiring dengan meningkatnya edema. Oleh

karena itu, bukan hanya tidak terdapatnya aliran darah yang menjadi temuan

diagnostik yang penting, tetapi juga menurunnya aliran darah pada salah satu sisi

skrotum dibandingkan sisi kontralateral yang normal (Gourtsoyiannis dan Ros,

2005).

2.7 Diagnosis

Aspek yang paling penting dalam menentukan diagnosis yang tepat adalah

anamnesis dan pemeriksaan fisik (Kandeel, 2007). Jika pada anamnesis dan

pemeriksaan fisik telah begitu mengarahkan kepada torsio testis, dianjurkan untuk

segera dilakukan evaluasi bedah pada pasien (Perkin, et al, 2008).

Anamnesis mengenai durasi gejala, jenis dan kualitas nyeri, apakah

terdapat gejala mual dan muntah, onset terjadinya gejala, aktivitas yang sedang

dilakukan ketika gejala pertama kali muncul, dan respon pasien terhadap semua

gejala, penting untuk ditanyakan. Riwayat trauma juga penting, tetapi tidak harus

12
ada pada torsio testis. Riwayat operasi testis sebelumnya juga menurunkan

kemungkinan terjadinya torsio testis (Kandeel, 2007).

Riwayat nyeri skrotum sebelumnya yang terjadi tiba-tiba dan cepat teratasi

mengarahkan pada kemungkinan torsio intermiten. Lebih dari 50% pasien torsio

testis mengalami episode nyeri testis akut sebelumnya. Riwayat keluarga

sebelumnya dapat mendukung diagnosis karena familial torsion pada testis juga

telah banyak dilaporkan (Kandeel, 2007).

Pada pemeriksaan fisik, testis yang terpuntir terlihat tertarik atau terangkat

pada skrotum (Perkin, et al, 2008). Pada palpasi, dapat teraba puntiran, axis testis

yang abnormal, posisi epididimis pada skrotum yang abnormal, atau axis testis

yang abnormal jika dibandingkan dengan testis kontralateralnya. Terdapatnya

salah satu dari tanda tersebut sangat mendukung diagnosis torsio testis. Tidak

adanya refleks kremaster juga menunjukkan torsio testis, akan tetapi hal tersebut

normal pada anak laki-laki berumur kurang dari 30 bulan (Baren, 2008).

Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada torsio testis dapat tidak cukup

untuk menentukan diagnosis torsio testis. Hal tersebut disebabkan oleh posisi

epididimis dapat terlihat normal pada rotasi 360 atau 720 (Baren, 2008).

Jika temuan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak meyakinkan

untuk menegakkan diagnosis, segera diindikasikan pemeriksaan radiologis

skintigrafi, USG, atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Baren, 2008).

Pemeriksaan tersebut berguna untuk membedakan torsio testis dengan keadaan

akut skrotum yang lain. Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya

leukosit dalam urin dan pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi,

13
kecuali pada torsio testis yang sudah lama dan tidak mengalami peradangan steril

(Purnomo, 2011).

2.8. Pemeriksaan Radiologis

Pencitraan harus dilakukan hanya dalam kasus yang samar-samar di mana

kecurigaan untuk torsi testis rendah. Setiap pasien dengan riwayat dan

pemeriksaan fisik yang mencurigakan untuk torsio testis harus menjalani operasi

segera karena kasus ini merupakan gawat darurat (Erika, 2006).

Pemeriksaan penunjang radiologis yang dapat dilakukan seperti

skintigrafi, USG, atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Baren, 2008)

Pemeriksaan radiologis tersebut akan dijelaskan masing-masingnya dibawah ini :

2.8.1 USG

Modalitas yang paling umum digunakan adalah Doppler ultrasonografi yang

merupakan Gold Standar untuk pemeriksaan torsio testis yang memiliki

sensitivitas 82-90% dan spesifisitas 100%. (Purnomo,2011).

Aliran darah Intratesticular dapat divisualisasikan dengan Doppler

ultrasonografi. Pada pasien dengan torsio testis, aliran darah di testis akan

menurun atau tidak ada dibandingkan dengan testis yang tanpa gejala.. Pada

awalnya, testis mungkin telah menurun ekogenisitasnya, meskipun

ekogenisitasnya dapat meningkat jika telah terjadi infark (Erika, 2006).

Doppler ultrasonografi juga dapat membedakan antara iskemia dan

inflamasi. Pada pasien dengan peradangan, seperti orchitis, aliran darah

intratesticularnya akaan meningkat. Pada epididimitis, testis dalam ukuran

14
normal, tapi epididimis menjadi besar. Ultrasonografi juga dapat membedakan

kelainan testis (misalnya, torsio, tumor) dari kelainan diluar testis (misalnya,

hidrokel, abses, hematoma). (Erika, 2006)

Tetapi dari pemeriksaan Doppler Ultrasonografi ini juga bisa didaptkan

negatif palsu yang dapat disebabkan oleh torsi intermiten atau torsi awal ketika

hanya aliran vena yang tersumbat. Positif palsu hasil juga dapat terjadi karena

aliran darah tidak mungkin terdeteksi dalam testis praremaja yang lebih kecil.

(Erika, 2006)

Gambaran ultrasonografi normal dijelaskan dibawah ini (Sorin, et al,

2010):

a. Pada orang dewasa, aliran resistansi rendah, dengan komponen sistolik luas

dan aliran antegrade holodiastolic dicatat dalam intratesticular dan kapsuler

arteri. Normal indeks resistensi (RI) adalah 0,6, mulai 0,5-0,7. Asimetri

antara kedua testis mungkin ditemui. Kecepatan puncak sistolik di

sentripetal, arteri intratesticular kurang dari 15 cm / detik.

b. Pada kelompok pediatrik, aliran lebih sulit untuk menggambarkan, karena

hipovaskularisasi fisiologis testis. Nilai rata-rata RI ditemukan 0.87 pada

anak dengan testis kurang dari 4cc volume.

15
Gambar 2.3. Temuan spektrum normal dari aliran arteri normal. Aliran biasa, impedansi rendah,
diastolik tinggi intratestikular (a) kontras dengan spektrum deferensial impedansi yang lebih tinggi
(b).

16
Gambar 2.4. Gambaran normal pembuluh darah intratestikular pada color Doppler

Sedangkan gambran torsio testis dapat dilihat pada gambara dibawah ini

dimana akan terliihat kurangnya atau bahkan tidak adanya aliran darah ke testis

(Sorin, et al, 2010):

Gambar 2.5. Torsio testis akut. Pengurangan aliran darah komplit intratestikular.

17
Gambar 2.6. Snail shell pada avaskular tipikal supratestikular pada torsio.

Gambar 2.7. Torsio komplit dengan aliran kapsular.

18
Meskipun pemeriksaan skintigrafi mungkin lebih sensitif untuk torsi testis,

USG lebih cepat dan lebih mudah tersedia. Ini adalah pertimbangan penting dalam

suatu kondisi yang membutuhkan diagnosis cepat. (Erika, 2006)

Berikut perbedaan gambaran torsio testis pada pemriksaan ultrasonografi

dengan skintigrafi (Erika,2006):

Tabel 2.1. Gambaran radiologis tipikal pada pasien dengan nyeri akut skrotum
Diagnosis Gambaran Ultrasonografi Gambaran Skintigrafi
Testis Normal Echogenitas yang homogen dan Ambilan simetris homogen
dikelilingi oleh garis tipis yang
terang (tunika albugenia)
Torsio Testis Tidak ada atau menurunnya Penurunan perfusi pada lesi
aliran darah fotogenik sisi yang terkena pada
gambaran statis
Epididimitis/Orkitis Peningkatan aliran darah Peningkatan perfusi

2.8.2 Skintigrafi

Pemeriksaan ini menggunakan technetium-99 tracer untuk menilai aliran darah

testis. Memiliki sensitivitas dan spesifitas 90-100%. Adanya daerah yang

mengandung sedikit proton pada salah satu skrotum merupakan tanda

patognomonik terjadinya torsio (Purnomo,2011). Skintigrafi merupakan

pemeriksaan penunjang darurat jika ternyata dengan pemeriksaan ultrasonografi

meragukan atau non konklusif.Pada pemeriksaan ini tidak ada persiapan apapun

dari pasien. Total waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaanhanya 12-

15 menit (Saleh O,2012).

Penelitian oleh bagian radiologi universitas kedokteran King Khalid Saudi

Arabia,ditemukan sembilan pasien (43%) mengeluhkan nyeri skrotum satu sisi

dan 12 orang (57%) mengalami nyeri sisi kanan (p> 0,05). Delapan dari total

pasien (38%) didiagnosis mengalami torsio testis dari skintigrafi, dimana tujuhnya

dikonfirmasi melalui pemebedaan (Saleh O, 2012).

19
Gambar-gambar dibawah ini akan menunjukkan pola skintigrafi dari

berbagai gangguan testis (Shaleh O,2012):

Gambar 2.8. Gambaran skintigrafi normal skrotum

20
Gambar 2.9. Pasien laki-laki umur 26 tahun dengan nyeri skrotum kanan setalah trauma (sport
injury). Scan menunjukkan area fotofenik yang besar di dalam testis kanan yang sesuai dengan
gambaran torsio akut.

21
Gambar 2.10. Pasien laki-laki umur 19 tahun dengan pembengkakan skrotum kanan. Scan
menunjukkan pembesaran testis kanan dan area fotofenik di tengah yangdikelilingi oleh daerah
hiperemis (doughnut sign) yang sesuai dengan gambaran torsio yang hilang.

22
Gambar 2.11. Pasien laki-laki umur 22 tahun dengan nyeri testis kiri. Scan menunjukkan
gambaran aliran darah dan konsentrasi penanda di skrotum kiri sesuai dengan gambaran
epididimo-orkitis.

Skintigrafi skrotum telah memainkan peran penting dalam manajemen

darurat skrotum. Terutama digunakan untuk membedakan torsio testis dengan

kondisi patologis lain yang menyebabkan nyeri skrotum akut. Skintigrafi ini

sangat akurat dalam mengkonfirmasi apakah torsio testis atau tidak. (Saleh

O,2012)

Pada skintigrafi skrotum yang normal, aliran darah samar tetapi simetris

divisualisasikan dalam skrotum dan testis. Namun, bila ada torsio testis, maka

aliran darah berkurang atau tidak ada pengiriman konsekuen radiotracer pada

penyumbatan arteri spermatika. Jika arteri iliaka memasok darah ke testis

mungkin kadang-kadang dilihat sebagai nubbin sign. Tahap akhir dari torsio testis,

23
disebut sebagai "kehilangan torsi," hiperemia reaktif sekitar testis yang terkena

akan memberikan tampilan tanda donat atau tanda cincin. Pola skintigrafi pada

peradangan atau infeksi akan terlihat peningkatan aliran darah ke sisi yang terkena

dan peningkatan konsentrasi radiotracer pada skrotum. Terjadi peningkatan

penyerapaan pada satu sisi menunjukkan adanya perdangan sedangkan terjadinya

penurunan penyerapan di satu sisi maka menunjukkan torsio testis. (Saleh

O,2012)

2.8.3. MRI

CDUS merupakan modalitas pencitraan terbaik untuk mengevaluasi awal

kelainan pada skrotum atau testis, termasuk torsio testis tetapi ternyata banyak

positif palsu dari CDU terutama pada torsio testis inkomplit sehingga dibutuhkan

modalitas lainnya seperti MRI (Gotto, et al, 2010).

Sebuah studi retrospektif oleh Gotto, et al di bagian urologi dan radiologi

Universitas British Columbia, Kanada melakukan pemeriksaan MRI pada 39

pasien torsio testis mendapatkan bahwa MRI meniliki sensitivitas 100%,

spesifisitas 93% dan nilai prediksi negatif 96%. Tetapi penelitian ini hanya

dilakukan pada torsio inkomplit. (Gotto, et al, 2010).

Dibawah ini dapat dilihat gambaran MRI pasien dengan torsio testis:

24
Gambar 2.12. (a) Potongan aksial T2 dan (b) Gambaran T1-weighted MR yang menunjukkan
sinyal T2 tinggi yang homogen dan T1 intermediate yang homogen pada kedua testis (yang ditunjuk
panah). (c) Gambaran potongan aksial T1-weighted MRI setelah pemberian gadolinium intravena
yang menunjukkan penurunan enhancement testis kiri (yang ditunjuk panah) dibandingkan dengan
kanan. (d) Gambaran potongan koronal T1-weighted MRI yang menunjukkan torsio spermatic cord
kiri (yang ditunjuk panah).

Ditemukannnya torsi simpul dan pola pusaran air pada MRI non kontras

merupakan tanda terjadinya torsio testis, yang dihasilkan dari spermatika kord,

hal ini memiliki akurasi 100% dalam mendiagnosis torsio testis inkomplit pada

pasien dengan subakut nyeri skrotum. Selain ditemukannya kord yang terpluntir ,

meningkat ukuran testis yang disebabkan oleh terhalangnya aliran vena juga

merupakan petunjuk terdapatnya torsio testis.Pada kasus torsio komplit maka

MRI dengan kontras mampu membuat diagnosis dengan terlihatnya jumlah

kontras yang tidak sama pada kedua skrotum. Pmeriksaan MRI ini juga dilakukan

25
jika temuan klinis dan pemeriksaan USG masih meragukan untuk menegakkan

diagnosis. (G T Gotto,2010)

2.9. Diagnosis Banding

Diagnosis banding pada torsio testis diantaranya adalah torsio apendiks,

epididimis, trauma testis, tumor, polyorchidism, hernia inguinal inkarserata,

purpura Henoch-Schonlein, hidronefrosis akut, funikulitis, dan edema skrotum

idiopatik. Purpura Henoch-Schonlein merupakan vaskulitis yang dapat melibatkan

skrotum dan dapat menyerupai torsio testis (Kandeel, 2007).

Hilangnya nyeri dengan mengangkat skrotum (tanda Prehn),

menyingkirkan kemungkinan epididimitis. Piuria yang lebih menunjukkan

kemungkinan epididimitis, dapat terjadi pada 30% pasien torsio testis. Satu-

satunya pemeriksaan fisik yang dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosis

torsio testis adalah terdapatnya refleks kremaster (Baren, 2008).

2.10. Terapi

Penatalaksanaan torsio testis terbagi atas dua cara yaitu tanpa pembedahan dan

dengan tindakan pembedahan :

2.10.1. Detorsi Manual

Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan jalan

memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio

biasanya ke medial, maka dianjurkan untuk memutar testis ke arah lateral dahulu,

kemudian jika tidak terjadi perubahan, dicoba detorsi ke arah medial. Hilangnya

26
nyeri setelah detorsi menandakan bahwa detorsi telah berhasil. Jika detorsi

berhasil operasi harus tetap dilaksanakan (Purnomo, 2011).

2.10.2. Operasi

Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada arah

yang benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian viabilitas testis yang

mengalami torsio, mungkin masih viable (hidup) atau sudah mengalami nekrosis.

Jika testis masih hidup, dilakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos

kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral (Purnomo, 2011).

Orkidopeksi dilakukan dengan mempergunakan benang yang tidak diserap

pada 3 tempat untuk mencegah agar testis tidak terpuntir kembali, sedangkan pada

testis yang sudah mengalami nekrosis dilakukan pengangkatan testis

(orkidektomi) dan kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Testis

yang telah mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada dalam skrotum akan

merangsangterbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan

testis di kemudian hari (Purnomo, 2011).

2.11. Prognosis

Adapun prognosis dari torsio testis dapat dinilai dari berbagai aspek seperti

dijelaskan dibawah ini:

2.11.1. Fertilitas

Penilitian-penelitian mengenai prognosis fertilitas dari torsio testis menunjukkan

hasil yang bervariasi dan bertentangan. Dalam sebuah penelitian, kemungkinan

27
torsio testis unilateral mempengaruhi spermatogenesis berikutnya adalah sekitar

50% pasien dan kemungkinan gangguan produksi sebesar 20% (Tekgul et al,

2008).

2.11.2. Subfertilitas

Subfertilitas ditemukan pada 36-39% pasien torsio testis. Analisis semen

menunjukkan hasil normal pada 5-50% pada follow up jangka panjang. Intervensi

bedah dini (rata-rata waktu torsi < 13 jam) dengan detorsi dapat mempertahankan

fertilitas, tetapi periode torsi lama (rata-rata waktu torsi 70 jam) diikuti dengan

orkidektomi dapat membahayakan fertilitas (Tekgul et al, 2008).

Sebuah penilitan mengidentifikasi antibodi antisperma dalam semen

pasien dengan torsio testis dan menghubungan level antibodi dengan infertilitas,

sementara penelitian-penelitian lainnya telah gagal untuk mengkonfirmasi hasil

ini. Anderson et al. menemukan abnormalitas testis kontralateral pada biopsi yang

dilakukan pada saat operasi dan tidak mendeteksi adanya antibodi antisperma

kasus setelah torsio testis (Tekgul et al, 2008).

2.11.3. Kadar Androgen

Sebuah studi pada tikus menunjukkan penurunan jangka panjang produksi

androgen testis setelah torsio testis. Efek ini diperkirakan disebabkan oleh stres

reperfusi / stres oksidatif dalam testis. Meskipun level FSH, LH dan testosteron

lebih tinggi pada pasien setelah torsio testis dibandingkan dengan kontrol normal,

fungsi endokrin testis tetap dalam rentang normal pada pasien setelah torsio testis

(Tekgul et al, 2008).

28
2.11.4. Kanker Testis

Terdapat 3,2 kali lipat kemungkinan peningkatan risiko tumor testis 6-13 tahun

setelah torsio testis. Namun, dua dari sembilan kasus torsio testis tidak

berkembang menjadi tumor dan empat memiliki tumor yang berasal dari testis

kontralateralnya dan menjalar ke testis yang terpuntir (Tekgul et al, 2008).

2.11.5. Nitrat Oksida

Sebuah penelitian pada tikus menemukan bahwa torsio testis tidak menyebabkan

penurunan respon terhadap nitric oxide-mediated relaxant dari testis yang

diisolasi (Tekgul et al, 2008).

29
BAB III

KESIMPULAN

Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord yang terpuntir yang

mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis

dan epididymis. Torsio testis merupakan suatu kegawatdaruratan vaskuler yang

murni dan memerlukan tindakan bedah yang segera.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada torsio testis dapat tidak cukup

untuk menentukan diagnosis torsio testis. Jika temuan pada anamnesis dan

pemeriksaan fisik tidak meyakinkan untuk menegakkan diagnosis, segera

diindikasikan pemeriksaan radiologis skintigrafi, USG, atau Magnetic Resonance

Imaging (MRI). Pemeriksaan tersebut berguna untuk membedakan torsio testis

dengan keadaan akut skrotum yang lain.

Modalitas yang paling umum digunakan adalah Doppler ultrasonografi

yang merupakan Gold Standar. Aliran darah Intratesticular dapat divisualisasikan

dengan Doppler ultrasonografi. Pada pasien dengan torsio testis, aliran darah di

testis akan menurun atau tidak ada dibandingkan dengan testis yang tanpa

gejala.Doppler ultrasonografi juga dapat membedakan antara iskemia dan

inflamasi. Pada pasien peradangan aliran darah intratesticularnya akan

meningkat. Pada epididimitis, testis dalam ukuran normal, tapi epididimis menjadi

besar. Ultrasonografi juga dapat membedakan kelainan testisdari kelainan diluar

testis.

Skintigrafi merupakan pemeriksaan penunjang darurat jika ternyata

dengan pemeriksaan ultrasonografi meragukan atau non konklusif. Pada

30
skintigrafi skrotum yang normal, aliran darah samar tetapi simetris

divisualisasikan dalam skrotum dan testis..Terjadi peningkatan penyerapaan pada

satu sisi menunjukkan adanya perdangan sedangkan terjadinya penurunan

penyerapan di satu sisi maka menunjukkan torsio testis.

Pemeriksaan MRI ini juga dilakukan jika temuan klinis dan pemeriksaan

USG masih meragukan untuk menegakkan diagnosis. Ditemukannnya torsi

simpul dan pola pusaran air pada MRI non kontras merupakan tanda terjadinya

torsio testis.Selain itu meningkat ukuran testis yang disebabkan oleh terhalangnya

aliran vena juga merupakan petunjuk terdapatnya torsio testis.Pada kasus torsio

komplit maka MRI dengan kontras mampu membuat diagnosis dengan

terlihatnya jumlah kontras yang tidak sama pada kedua skrotum.

Tatalakasana torsio testis dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu detorsi

manual atau tanpa pembedahan dan dengan pembedahan atau operasi untuk

reposisi testis yang terpluntir.

31
DAFTAR PUSTAKA

Baren JM. Pediatric Emergency Medicine. Philadelphia. Saunders Elseviers.


2008; 648-650.
Cassar S, Bhatt S, Paltiel HJ, Dogra VS. Role of Spectral Doppler Sonography in
the Evaluation of Partial Testicular Torsion. Journal of Diagnostic
Medical Sonography. 2013;29: 225-231.
Dudea SM, Ciurea A, Chiorean A, Botar-Jid. Doppler Application in Testicular
and Scrotal Disease. 2010;12: 43-51.
Gotto GT, Chang SD, Nigro MK. MRI in the Diagnosis of Incomplete Testicular
Torsion. The British Journal of Radiology. 2010;83: 105-107.
Gourtsoyiannis NC, Ros PR. Radiologic-Phatologic Correlation from Head to
Toe: Understanding the Manifestations of Disease. Boston. Springer-
Verlag. 2005; 566-568.
Kandeel FR. Male Reproductive Dysfunction: Pathophysiology and Treatment.
New York. Informa Healthcare USA, Inc. 2007; 166-167.
Norton JA, Barie PS, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, et al.
Pediatric Surgery. New York. Springer Science+Bussiness Media, LLC.
2008; 679.
Perin RM. Pediatric Hospital Medicine : Textbook of Inpatient Management. 2nd
Edition. Philadelphia. Lippicott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer
Bussiness. 2008; 665.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6. Jakarta. EGC. 2005; 1381-1391.
Purnomo BB. Dasar-Dasar Urologi. Edisi 3. Jakarta. CV Sagung Seto. 2011; 233-
236.
Ringdahl E, Teague L. Testicular Torsion. American Family Physician. 2006;74:
1739-1743.
Saleh O, El-Sharkawi MS, Imran MB. Scrotal Scintigraphy in Testicular Torsion:
An Experience at a Tertiary Care Centre. IMJM. 2012;11: 9-16.
Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat de Jong. Edisi 3. Jakarta.
EGC. 2010; 916-917.
Sung KS, Setty BN, Castro-Aragon I. Sonography of Pediatric Scrotum on the Ts-
Torsion Trauma, and Tumors. American Journal of Roentgenology.
2012;198: 996-1003.

32
Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging. 7th Edition. London. Churchill
Livingstone. 2003; 1026-1027.
Tekgl S, Riedmiller H, Gerharz E, Hoebeke P, Kocvara R, Nijman R, Radmayr
C, Stein R. Guidelines on Paediatric Urology. European Society for
Paediatric Urology. 2008; 14-15.
William NS, Bulstrode CJK, OConnell PR. Bailey & Loves Short Practice of
Surgery. 25th Edition. London. Hodder Arnold. 2008; 1377-1380.

33

Anda mungkin juga menyukai