Anda di halaman 1dari 29

Library Manager

Date Signature

BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

PERBUATAN CABUL

Disusun Oleh :

Agnes Konis, S.Ked 1308012030

Monika L. I. Abatan, S.Ked 1308011012

Pembimbing :

dr. Indah Wulan Sari

Supervisor :

dr. M. Husni Cangara, Ph.D, Sp.PA, Sp.F, DFM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

MAKASSAR

2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini,menyatakan bahwa :

Nama : Agnes Konis, S.Ked 1308012030

Monika L. I. Abatan, S.Ked 1308011012

Judul Refarat : Perbuatan Cabul

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu

Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana.

Makassar, 1 November 2018

Mengetahui,

Pembimbing Supervisor

dr. Indah Wulan Sari dr. M. Husni Cangara, Ph.D, Sp.PA, Sp.F, DFM

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul...........................................................................................................................i

Lembar Pengesahan .................................................................................................................ii

Daftar Isi...................................................................................................................................iii

Kerangka Konsep …………………………………………………………………………….iv

Bab I Pendahuluan.....................................................................................................................5

Bab II Pembahasan ...................................................................................................................7

2.1 Definisi Perbuatan Cabul .......................................................................................7

2.2 Bentuk-bentuk Perbuatan Cabul ….........................................................................8

2.3 Pemeriksaan Kasus Perbuatan Cabul ....................................................................15

2.4 Dampak Perbuatan Cabul………………..............................................................25

Bab III Kesimpulan..................................................................................................................27

Daftar Pustaka..........................................................................................................................29
Diskusi Tanya Jawab Referat Perbuatan Cabul ……………………………………………..30

KERANGKA KONSEP

3
Definisi

Pencabulan

Psikologi Abnormalitas
Seksual

Bentuk-bentuk
Pencabulan

Kitab Undang-undang
Hukum Pidana

Anamnesis

PENCABULAN

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Kasus
Pencabulan
Pembuktian Kekerasan

Pemeriksaan Penunjang

Dampak Fisik

Dampak
Pencabulan

Dampak Psikologi

BAB I

4
PENDAHULUAN

Pencabulan merupakan tindak kejahatan seksual yang dapat terjadi pada anak maupun

orang dewasa. Adanya keterkaitan antara ilmu kedokteran dengan kejahatan seksual dapat

dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) serta Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memuat

ancaman hukuman serta tata cara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam

pengertian kasus kejahatan seksual. Oleh karena itu Ilmu Kedokteran Forensik erat kaitannya

dengan tindakan pencabulan.1

Di dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) telah diatur beberapa tindak

pidana yang berkaitan dengan kejahatan kesusilaan atau tindak pidana perbuatan cabul

menurut KUHP yakni pada Pasal 289 sampai Pasal 296. Dimana ancaman pidana pada Pasal

289 KUHP ialah selama-lamanya Sembilan tahun penjara. Dan kejahatan penipuan seperti

perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa dengan melakukan tipu muslihat terhadap anak

dibawah umur, hal tersebut juga khusus di atur pada undang-undang perlindungan anak

terbaru No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.1 Dalam kasus kekerasan baik yang

terjadi dirumah tangga maupun dalam masyarakat, seperti kasus penganiayaan fisik atau

seksual misalnya perkosaan, perempuan sebagai korban sejak awal telah dicurigai bahwa ia

sedikit banyak turut berkontribusi terhadap kejadian yang menimpanya (victim

participating).2

Pasal 289 KUHPidana dijelaskan perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang

melanggar kesopanan atau kesusilaan, tetapi juga setiap perbuatan terhadap badan sendiri

maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan, adalah perbuatan cabul. Perbuatan

cabul merupakan nama kelompok berbagai jenis perbuatan yang melanggar kesopanan atau

kesusilaan, juga termasuk perbuatan persetubuhan di luar perkawinan.2

5
Pasal 82 UU N0. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menetapkan

bahwa: setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk

melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300 juta rupiah dan

paling sedikit 60 juta rupiah.3

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Perbuatan Cabul


Perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan

kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan, misalnya cium-ciuman,

meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya, yang dilakukan

dengan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya

bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan.4


Definisi Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 390 RUU KUHP yang

diambil dari Pasal 289 KUHP adalah dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya:
a. Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan menyentuhkan

pada alat kelaminnya.


b. Seorang laki-laki merabai badan seorang anak perempuan wanita dan kemudian

membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat mengelus payudara dan menciumnya.

Pelaku melakukan hal tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya.1


Menurut R. Soesilo perbuatan cabul yaitu “Segala perbuatan yang melanggar

kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji semua itu dalam lingkungan nafsu birahi

kelamin, misalnya cium-ciuman meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan

lain sebagainya. Pada umumnya yang menjadi pencabulan ini adalah anak-anak”.2
Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual dengan

orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan kekerasan maupun

tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

diartikan sebagai berikut: pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji

sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun (tidak senonoh), tidak susila.5
2.2 Bentuk-bentuk Pencabulan

Pencabulan dilakukan dalam bentuk yang bervariasi mulai dari sentuhan hingga

perkosaan yang mengakibatkan trauma fisik.

7
Pencabulan dilakukan dalam bentuk yang bervariasi mulai dari sentuhan hingga

perkosaan yang mengakibatkan trauma fisik. Tindakan-tindakan yang termasuk dalam

pencabulan tersebut berupa: (6)

1. Exhibitionism atau sengaja memamerkan alat kelamin pada orang lain.


2. Voyeurism orang dewasa memperhatikan anak berganti pakaian atau mandi sampi

anak itu merasa risih dan malu.


3. Mencium, orang dewasa mencium anak dengan bernafsu, terutama pada mulut, dan

bahkan memasukkan lidah ke mulut anak.


4. Fonding, pelaku menyentuh, mengelus, atau meraba alat kelamin atau dada atau

bagian lain agar terangsang secara seksual.


5. Fellatio atau cunilingus, orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak alat

kelamin atau mulut.


6. Senggama baik vagina maupun anus (sodomi) orang dewasa memasukkan jari, benda

atau penisnya ke dalam vagina atau dubur anak.


7. Pornografi, anak ditunjukkan materi yang menggambarkan sepesifik hubungan

seksual antara orang dewasa, dewasa dan anak, atau anak sebagai bagian dari situasi

pencabulan.

Tindak Pidana Pencabulan Menurut KUHP perbuatan cabul diatur dari Pasal 289

sampai Pasal 296, dimana dikategorikan sebagai berikut:

a. Perbuatan cabul dengan Kekerasan atau ancaman kekerasan

Hal ini dirumuskan pada Pasal 289 KUHP sebagai berikut: “Barang siapa dengan

kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan

8
dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan

hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun”.

Disini tindak pidananya adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul. Yang

dimaksud dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan,

atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Sebagai

tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanya memaksa seseorang melakukan perbuatan

cabul, tetapi juga memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan untuk menunjukan sifat

berat dari tindak pidana sebagai perbuatan yang sangat tercela, maka diadakan minimum

khusus dalam ancaman pidananya”.

Ancaman pidana dalam KUHP maupun pada RUU KUHP adalah sama yakni sembilan

tahun penjara. Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada RUU KUHP adalah dalam

lingkungan nafsu birahi kelamin misalnnya seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan

seorang wanita dan menyentuhkan pada alat kelaminnya atau seorang laki-laki merabai badan

seorang anak laki-laki dan kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat

mengelus dan menciuminya. Pelaku melakukan hal tersebut untuk memuaskan nafsu

seksualnya.

b. Perbuatan cabul dengan orang pingsan


Hal ini dimuat pada Pasal 290 ayat (1) KUHP yang rumusannya sebagai berikut “Di

hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun kepada barang siapa melakukan

perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak

berdaya.” Kata “pingsan” di sinonimkan dengan kata-kata “tidak sadar”, “tidak ingat”,

sedang kata “tidak berdaya” adalah “tidak bertenaga” atau sangat lemah.

9
Kata “diketahuinya” adalah rumusan dolus atau sengaja. Dengan demikian si pelaku

mengetahui bahwa yang dicabulinya tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak sadar. Pasal

ini sama dengan Pasal 290 KUHP, menurut pasal ini melakukan perbuatan cabul adalah

dengan seseorang yang diketahuinya orang itu pingsan atau tidak berdaya.

c. Perbuatan cabul dengan orang yang belum 15 tahun


Hal ini di muat pada Pasal 290 ayat (2) KUHP yang bunyinya sebagai berikut

“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:

1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa

orang itu pingsan atau tidak berdaya.

2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang sedang diketahuinya atau patut

dapat disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun atau kalau

umurnya tidak jelas, bahwa orang itu belum pantas untuk dikawin.”

Pasal ini merupakan perlindungan terhadap anak/remaja. Perlu diperhatikan bahwa

pada pasal tersebut tidak ada kata “wanita” melainkan kata “orang”. Dengan demikian,

meskipun dilakukan terhadap anak/remaja pria, misalnya oleh homoseks atau yang disebut

sehari-hari oleh “tante girang” maka pasal ini dapat diterapkan. Tetapi jika sejenis maka hal

itu di atur Pasal 292.

Kata “diketahuinya atau patut disangka” merupakan unsur terhadap umur yakni pelaku

dapat menduga bahwa umur anak/remaja tersebut belum lima belas tahun.

d. Membujuk orang yang belum 15 tahun untuk dicabuli


Hal ini diatur pada Pasal 290 ayat (3) yang rumusannya sebagai berikut: “Dihukum

dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:

1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa

orang itu pingsan atau tidak berdaya.

10
2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau

sepatutnya diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau umumnya

tidak jelas, yang bersngkutan belum waktunya untuk dikawin.

3. Barang siapa yang membujuk seseorang, yang diketahui atau patut disangkanya bahwa

umur orang itu belum cukup lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas yang

bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan

dilakukan padanya perbuatan cabul. Hal ini tidak ada perbedaan dengan penjelasan

sebelumnya kecuali “pelaku”. Pelaku pada Pasal 290 ayat (3) bukan pelaku cabul tetapi

“yang membujuk”.

e. Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang sejenis

Hal ini diatur pada Pasal 292 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: “orang dewasa

yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang belum dewasa, yang sejenis kelamin

dengan dia, yang diketahuinya atau patut disangkanya belum dewasa dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.” Pasal ini melindungi orang yang belum

dewasa dari orang yang dikenal sebagai “homoseks” atau “Lesbian”. Dalam kamus besar

bahasa Indonesia di muat arti homoseksual” dan “lesbian”: “Dalam keadaan tertarik terhadap

orang dari jenis kelamin yang sama (homoseksual), sedang “lesbian”: wanita yang cinta

birahi kepada sesama jenisnya; wanita homoseks.”

Pada umumnya pengertian sehari-hari, homoseks dimaksudkan bagi pria sedangkan

lesbian dimaksudkan bagi wanita. Arti sebenarnya “homoseksual” adalah perhubungan

kelamin antara jenis kelamin yang sama. Kemungkinan karena untuk wanita disebut lesbian

maka untuk pria disebut homo seksual. Bagi orang dibawah umur, perlu dilindungi dari orang

dewasa yang homoseks/lesbian, karena sangat berbahaya bagi perkembangannya.

11
f. Dengan pemberian menggerakkan orang belum dewasa berbuat cabul
Hal ini diatur pada pasal 293 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
(1) Barang siapa dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah

memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan, dengan

sengaja mengajak orang dibawah umur yang tidak bercacat kelakuanya, yang

diketahuinya atau patut dapat disangkanya dibawah umur, mengerjakan perbuatan cabul

dengan dia atau membiarkan perbuatan cabul itu dengan dia, di hukum dengan hukuman

penjara selama-lamanya lima tahun.


(2) Penuntutan tidak dilakukan melainkan atas pengaduan orang yang terhadapnya kejahatan

itu dilakukan.
(3) Tenggang tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini lamanya masing-masing Sembilan

bulan dan dua belas bulan.”


Tindak pidana menurut pasal ini adalah menggerakkan seseorang yang belum dewasa

dan berkelakuan baik untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau

membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul. Sebagai alat untuk tindak pidana

mennggerakkan seseorang itu adalah memberi hadiah atau berjanji akan memberi uang atau

barang dan dengan jalan demikian pelaku lalu menyalah gunakan wibawa yang timbul dari

hubungan keadaan atau dengan demikian menyesatkan orang tersebut. Orang disesatkan atau

digerakkan itu haruslah belum dewasa atau diketahuinya belum dewasa atau patut harus di

duganya bahwa orang itu belum dewasa. Sementara itu seseorang yang belum dewasa atau

yang diketahuinya belum dewasa atau yang patut harus diduga bahwa ia belum dewasa

tersebut adalah berkelakuan baik.”


g. Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang dilakukan orang tua atau

yang mempunyai hubungan


Hal ini di atur pada pasal 294 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: (1) “barang

siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak

dibawah pengawasannya, yang belum dewasa atau dengan orang yang belum dewasa yang

pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya atau pun dengan

12
bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, di ancam dengan pidana penjara paling

lama tujuh tahun.


(2) Di ancam dengan pidana yang sama:
1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawahnya atau orang

yang dipercayakan atau diserahkan padanya.


2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat

bekerja kepunyaan Negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit gila,

lembaga social, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukan

kedalamnya. Pada kasus “pelecehan seksual” yang selalu diributkan terutama antara

atasan dengan bawahan pada hakikatnya dilindungi dengan pasal ini. Namun perlu

disadari bahwa pembuktiannya bukan hal yang tidak rumit. Misalnya sorang direktur,

pada suatu hari karena melihat pakaian sekretarisnya mencolok, akhirnya

menimbulkan keinginan baginya untuk mengelus-elus pantat dan payudaranya.

Karena tidak ada saksi lain atau alat bukti lain, bukan mustahil direktur tersebut

menjadikan sekretaris tersebut sebagai tersangka.


Tindak pidana yang disebutkan dalam pasal ini adalah melakukan perbuatan cabul atau

persetubuhan, yang telah disebut juga dalam pasalpasal sebelumnya. Menurut pasal ini

perbuatan cabul atau persetubuhan dilakukan dengan mereka yang dikategorikan khusus yaitu

yang dipercayakan padanya untuk diasuh, dididik atau dijaga. Demikian juga jika yang

melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan adalah pegawai negri dan dilakukan dengan

orang yang dalam pekerjaannya adalah bawahannya, atau dengan orang yang dipercayakan

atau diserahkan padanya untuk dijaga.


Menurut pasal ini maka perbuatan-perbuatan cabul atau persetubuhan adalah suatu

tindak pidana biasa.”


h. Memudahkan anak dibawah umur untuk berbuat cabul
Hal ini di atur pada pasal 295 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Di hukum:
1. Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan

sengaja menyebabkan atau memudahkan anaknya, anak tirinya atau anak piaraanya,

anak yang dibawah pengawasannya semuanya dibawah umur yang diserahkan padanya

13
supaya dipeliharanya, dididik atau dijaganya, atau bujangnya atau orang bawahannya,

keduanya dibawah umur yakni semua orang tersebut itu melakukan perbuatan cabul

dengan orang lain;


2. Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun barang siapa dengan

sengaja menyebabkan atau memudahkan dalam hal di luar yang di sebut pada butir 1

orang yang dibawah umur, yang diketahui atau patut dapat disangkanya bahwa ia

dibawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan orang lain.


(2) Kalau melakukan kejahatan itu oleh yang bersalah dijadikan pekerjaan atau

kebiasaan, maka hukuman itu boleh ditambah sepertiganya.


Berdasarkan penjelasan tersebut mengenai tindak pidana cabul yaitu suatu tindakan

yang dilakukan oleh seseorang yang di dorong oleh keinginan seksual untuk melakukan hal-

hal yang dapat membangkitkan hawa nafsu birahi, sehingga menimbulkan kepuasan pada

dirinya. Tindak pidana pencabulan itu terus berkembang hingga sekarang, dapat dikatakan

tidak ada perubahan yang berarti meski struktur dan budaya masyarakat berkembang menuju

kearah modern.

2.3 PEMERIKSAAN KASUS PERBUATAN CABUL


a. Anamnesis

Prinsip umum agar anamnesis berhasil :

- Menciptakan suasana yang nyaman dan tidak bersifat mengancam gunakan waktu

yang lebih lama.

- Anamnesis dilakukan dengan bahasa awam yang mudah dimengerti oleh korban,

Biarkan pasien menceritakan hal yang ingin ia ceritakan tanpa megarahkan ke suatu

jawaban yang spesifik

- Gunakan bahasa dan istilah-istilah yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi

korban, sekalipun mungkin terdengar vulgar.

14
- Wawancara memiliki nilai kesembuhan terhadap pasien, dan pasien mampu

mengendalikan perasaannya ketika menceritakan suasana kejadiannya.

- Tanyakan apakah pasien telah mandi, membersihkan diri, mengganti pakaian atau

minum obat-obatan sejak kejadian tersebut.

Secara keseluruhan data yang didapat harus meliputi(8)

a. Identitas: nama, umur, tanggal dan tempat lahir.


b. Riwayat medis.
c. Riwayat ginekologi; termasuk riwayat menstruasi (menars, lama, jumlah, siklus,

keteraturan, nyeri), metode kontrasepsi, riwayat penyakit menular seksual, riwayat

penyakit radang panggul, koitus terakhir, dst.


d. Tempat, tanggal, dan jam terjadinya
e. Deskripsi kejadian dengan kata-kata pasien sendiri.

Perlu ditanyakan apakah korban pingsan dan apa sebabnya, apakah karena korban

ketakutan hingga pingsan atau korban dibuat pingsan dengan obat tidur atau obat bius yang
(8)
diberi pelaku. Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian

pencabulan yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti3:

a. What & How:


 Adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya,
 Adanya upaya perlawanan,
 Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,
 Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau

setelah kejadian,
 Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),
 Apakah ada nyeri di daerah kemaluan,
 Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,

15
 Adanya perdarahan dari daerah kemaluan,
 Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina,
 Penggunaan kondom, dan
 Tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban

sudah buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan

sebagainya.
b. When:
 Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan
 Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
c. Where:
 Tempat kejadian, dan
 Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat

kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).


d. Who:
 Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,
 Jumlah pelaku,
 Usia pelaku, dan
 Hubungan antara pelaku dengan korban.
b. Pemeriksaan fisik
Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “top-to-toe”. Artinya, pemeriksaan

fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan

pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak

sadar atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat

ditunda dan dokter fokus untuk ”life-saving” terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan

pemeriksaan fisik, perhatikan kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat saat

anamnesis. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan

khusus. Pemeriksaan fisik umum mencakup3:

 Tingkat kesadaran,
 Keadaan umum,
 Tanda vital,
 Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),
 Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
 Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
 Status generalis,
 Tinggi badan dan berat badan,
 Rambut (tercabut/rontok)
 Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),

16
 Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang tercabut

atau patah),
 Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
 Tanda-tanda intoksikasi napza, serta
 Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah

kemaluan.
Secara umum tujuan pemeriksaan korban kejahatan seksual adalah untuk3:
 Melakukan identifikasi, termasuk memperkirakan usia korban;
 Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya, bila mungkin;
 Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi narkotika,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA);


 Menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin, termasuk tingkat perkembangan

seksual; dan
 Membantu identifikasi pelaku.

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban kejahatan

seksual3:

 Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan menunggu

terlalu lama. Hal ini penting untuk mencegah rusak atau berubah atau hilangnya

barang bukti yang terdapat di tubuh korban, serta untuk menenangkan korban dan

mencegah terjadinya trauma psikis yang lebih berat.


 Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis

kelaminnya dengan korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah untuk

mengurangi rasa malu korban dan sebagai saksi terhadap prosedur pemeriksaan dan

pengambilan sampel.
 Selain itu, hal ini juga perlu demi menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap

tuduhan palsu bahwa dokter melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap korban

saat pemeriksaan.
 Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap seluruh

bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.


 Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.

17
Pemeriksaan fisis perlu dilakukan sebelum 72 jam atau dimana masih terjadi perdarahan

ditempat-tempat tertentu, pada situasi ini pasien sebagai korban serangan seksual harus

diikuti dengan penemuan seperti epital sel, cairan semen, dan darah sebagai bukti. Setelah

lebih 72 jam dan tidak tampak luka akut maka pemeriksaan bisa ditunda. Pemeriksaan dapat

dijadwalkan setelah pemeriksaan oleh ahli jiwa atau tim investigasi. (8)

Pasien tersebut harus mendapatkan pemeriksaan fisis lengkap, termasuk status

perkembangan, perilaku, mental, dan status emosional. Perlu juga diperhatikan parameter

pertumbuhan dan perkembangan seksualnya. (8)

Tanda-tanda trauma perlu diperhatikan terutama daerah-daerah yang terdapat aktivitas

seksual di dalamnya seperti mulut, dada, perianal, daerah genital, pantat, dan anus. Segala

bentuk abnormalitas sebisanya didokumentasikan. (8)

Pada pasien perempuan, pemeriksaan genital perlu diperhatikan berupa labia majora

dan minora, klitoris, uretra, jaringan periuretra, hymen, lubang hymen, fossa navicularis, dan

fourchette posterior. (8)

Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah pemeriksaan

selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi Pada jenis-jenis selaput

dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan

selaput dara dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti

dengan penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan

dengan robekan. Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan menghilang, sedangkan

robekan tetap tampak dengan tepi yang tajam.

18
Gambar 1. Beragam jenis selaput dara

Banyak faktor yang mempengaruhi ukuran dari lubang hymen, dan struktur internalnya.

Ini termasuk bagaimana derajat relaksasi, besarnya, pada labia majora atau posisi pasien

tersebut supine, lateral, atau posisi knee to chest. Teknik ini sangat diperlukan untuk

mengetahui cara pelaku dan hasil yang didapatkan. Pemeriksaan spekulum atau digital

sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak yang prepubertal. (8)

Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak;

sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam postkoital,

19
dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang menjadi korban meninggal.

Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan

selaput dara yang robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 7-10

hari postkoital.2

Pada laki-laki selangkangan, penis, dan skrotum perlu diperhatikan adanya, skar,
(8)
cakaran, gigitan, dan discharge. Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan

persetubuhan, dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis.

Perlu juga dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit kelamin.7

c. Pembuktian Kekerasan
Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang menjadi

korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering ditemukan, yaitu di daerah

mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan

pada alat genital.2


Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, gigitan

(bite marks) serta luka-luka memar.2


Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas atau jejak

berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa pada wanita

korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa dokter harus menggunakan kalimat

tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum et Repertum yang dibuat, oleh karena tidak

ditemukannya tanda-tanda kekerasan mencakup dua pengertian: pertama, memang tidak ada

kekerasan, dan yang kedua kekerasan terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau

bekas tersebut sudah hilang.2


Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban tidak berdaya

merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan untuk

menentukan adanya racun atau obat-obatan yang kiranya dapat membuat wanita tersebut

20
pingsan; hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa pada setiap kasus kejahatan seksual,

pemeriksaan toksikologik menjadi prosedur yang rutin dikerjakan.2


d. Pemeriksaan Penunjang

Pasien yang mengalami kekerasan seksual berisiko mengalami penyakit menular

seksual seperti gonorrhea, chlamidya, syphiis, condyloma, herpes, pediculosis, tichomoniasis

vaginalis bahkan HIV.

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain (7,9) :

1. Pewarnaan gram dari sekret vaginal


Prinsip pemeriksaan dengan pewarnaan gram, kuman neisseria gonorrhea akan menyerap

cat carbol fuchsin sehingga kuman akan bewarna merah. Tujuan mencari kuman Neisseria

gonorrhea dalam secret genital. Pengambilan specimen, pembuatan dan pengiriman sediaan :
A. Pengambilan specimen
Alat loop/lidi kapas steril, kaca objek yang kering, bersih, lampu spiritus, kursi

obstetric, speculum vagina steril, sarung tangan, pinsil kaca, larutan salin steril ·
B. Cara pengambilan Pasien laki-laki
Bersihkan lubang kemaluan dengan lidi kapas steril yang sudah dibasahi nacl.

Dengan tekanan ringan pada alat kemaluan diurut dari bagian pangkal ke arah ujung

(belakang ke depan) · Secret yang di dapat dioleskan pada kaca objek, kemudian

diratakan sampai tipis


C. Pasien wanita :
-Pasien terbaring terlentang kedua lutut ditekuk pada kursi obstetric (posisi litotomi)
-Masukan speculum steril dengan hati-hati dan speculum dibuka

-Masukan ujung kapas lidi dan oleskan pada daerah endoservik. Gerakan lidi

melingkar ke kanan diamkan beberapa saat untuk penyerapan

-Secret yang didapat dioleskan pada kaca objek yang telah di beri nomor untuk

dibuat sediaan.

2. Tes serologi syphilis

Secara umum, tes serologi sifilis terdiri atas dua, yaitu:

21
1. Tes non-treponema

Termasuk dalam kategori ini adalah tes RPR (Rapid Plasma Reagin) dan VDRL

(Venereal Disease Research Laboratory). Tes serologis untuk mendeteksi imunoglobulin

yang merupakan antibodi terhadap bahan-bahan lipid sel-sel T. Pallidum yang hancur.

Antibodi ini dapat timbul sebagai reaksi terhadap infeksi sifilis. Namun antibodi ini juga

dapat timbul pada berbagai kondisi lain, yaitu pada infeksi akut (misalnya: infeksi virus

akut) dan penyakit kronis (misalnya: penyakit autoimun kronis). Oleh karena itu, tes ini

bersifat non-spesifik, dan bisa menunjukkan hasil positif palsu. Tes non-spesifik dipakai

untuk mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau keberhasilan

terapi.

2. Tes spesifik treponema

Termasuk dalam kategori ini adalah tes TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination

Assay), TP Rapid (Treponema Pallidum Rapid), TP-PA (Treponema Pallidum Particle

Agglutination Assay), FTA-ABS (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption). Tes

serologis yang termasuk dalam kelompok ini mendeteksi antibodi yang bersifat spesifik

terhadap treponema. Oleh karena itu, tes ini jarang memberikan hasil positif palsu. Tes ini

dapat menunjukkan hasil positif/reaktif seumur hidup walaupun terapi sifilis telah berhasil.

Tes jenis ini tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang

telah diterapi secara adekuat.Tes treponemal hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah

terinfeksi treponema, namun tidak dapat menunjukkan apakah seseorang sedang mengalami

infeksi aktif. Tes ini juga tidak dapat membedakan infeksi T pallidum dari infeksi treponema

lainnya.

3. Preparat basah Trichomonas vaginalis

22
Trichomonas vaginalis dapat diidentifikasi dari sediaan secret aging yang masih segar,

dimana kita dapat melihat organisme ini secara jelas beserta pergerakannya. Metode ini

dilakukan dengan mengambil sekret vagina dengan kapas aplikator berujung lalu setiap

kapas aplikator berujung dibilas dalam tabung reaksi yang berisi normal salin. Preparat

diletakkan pada kaca objek yang bersih dan diperiksa dibawah microskop cahaya untuk

mengamati gerakan cepat organisme. Trichomonas vaginalis dapat dibedakan dari

gerakkan khas tropozoit, ketika tidak bergerak, tropozoit sulit dibedakan dari inti sel epitel

vagina. Sensitivitas pemeriksaan mikroskopik dapat ditingkatkan dengan penambahan

pewarna acridine orange pada preparat basah.

2.4 Dampak Pencabulan


a. Dampak fisik

Dampak fisik pencabulan pada anak dapat berupa nyeri pada saat berkemih, vulva

atau penis menjadi merah, gejala infeksi, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat

buang air besar bahkan berdarah, sulit berjalan dan duduk, dilatasi vagina dan himen akibat

manipulasi jari, serta sulit berjalan dan duduk.(7,8,9)

b. Dampak psikis

Dampak psikis berupa gangguan kognitif, perilaku maupun perasaan. Pasien kadang

muncul perasaan tidak aman dan ingin dilindungi, merasa takut dan selalu cemas, menarik

diri dari lingkungan, selalu marah. Pada kasus tertentu dapat berkembang menjadi gangguan

stress pasca trauma / PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) (10)

Pencabulan memberikan dampak terutama ketika korban telah menjadi dewasa.

Misalnya: Terjadi gangguan kesehatan fisik, menurunnya sistem kekebalan tubuh, dan tidak

menunjukkan prestasi yang bagus di sekolah, mereka biasanya menolak untuk pergi ke

sekolah. Selain itu, mereka susah untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. (10) Satu dari

23
tiga anak yang menjadi korban pencabulan dilaporkan memberikan kebiasaan yang buruk di

sekolah, antara lain: (11) menghindari guru atau pendidik lainnya (43%), tidak pergi ke sekolah

(36%), tidak banyak bicara di kelas (34%), susah berkonsentrasi (31%), jarang bergaul di luar

rumah (29%), dan susah belajar (29%).

BAB III
KESIMPULAN

Perbuatan cabul sebagai salah satu bentuk kejahatan yang menyangkut tubuh,

kesehatan dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran

khususnya Ilmu Kedokteran Forensik yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasanya

perbuatan tersebut memang telah terjadi. Adanya kaitan antara Ilmu Kedokteran dengan

perbuatan cabul dapat dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tata

cara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus perbuatan

cabul.2

Perbuatan cabul Seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, maka ia diancam

dengan hukuman penjara maksimal 9 tahun (pasal 289 KUHP). Hukuman perbuatan cabul

24
lebih ringan, yaitu 7 tahun saja jika perbuatan cabul ini dilakukan terhadap orang yang

sedang pingsan, tidak berdaya, berumur dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawini

dengan atau tampa bujukan (pasal 290 KUHP). Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap

orang yang belum dewasa oleh sesama jenis diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun

(pasal 292 KUHP). Perbuatan cabul yang dilakukan dengan cara pemberian, menjanjikan

uang atau barang, menyalahgunakan wibawa atau penyesatan terhadap orang yang belum

dewasa diancam dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 293 KUHP). Perbuatan

cabul yang dilakukan terhadap anak, anak tiri, anak angkat, anak yang belum dewasa yang

pengawasan, pemeliharaan, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, dengan

bujang atau bawahan yang belum dewasa diancam dengan hukuman penjara maksimal 7

tahun.

Kasus – kasus persetubuhan yang merupakan tindakan pidana, terutama kasus

pencabulan hendaknya dilakukan pemeriksaan yang teliti dan waspada. Pemeriksaan harus

yakin dengan semua bukti-bukti yang ditemukannya karena berbeda dengan di klinik, ia tidak

lagi mempunyai kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang, guna memperoleh banyak

bukti. Dalam melaksanakan kewajiban dokter jangan sampai meletakkan atau mengabaikan

kepentingan si korban dibawah kepentingan pemeriksaan, terutama bila korbannya masih

anak-anak jangan sampai menambah trauma psikis yang sudah dideritanya. Visum et

repertum yang dihasilkan mungkin menjadi dasar untuk membebaskan terdakwa dari

penuntutan atau sebaliknya untuk menjatuhkan hukuman. Sebagai ahli klinis yang perhatian

utamanya tertuju pada kepentingan pengobatan penderita, memang agak sulit untuk

melakukan pemeriksaan yang berhubungan dengan pencabulan ini. Agar kesaksian seorang

dokter dalam perkara pidana mencapai sasarannya, yaitu membantu pengadilan dengan

sebaik-baiknya, dia harus mengenal undang – undang yang bersangkutan dengan tindak

25
pidana tersebut dan harus mengetahui unsur – unsur mana yang dibuktikan secara medik atau

yang memerlukan pendapat medik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tampi BM. Perbuatan Cabul dalam Pasal 290 KUHPidana Sebagai Kejahatan

Kesusilaan. 2015.
2. Purwanti. Ilmu kedokteran forensik untuk kepentingan penyidikan. Jakarta: Rayyana

Komunikasindo; 2014.p.245-6.
3. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) & KUHAP (Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana) beserta Penjelasannya. Surabaya; Sinarsindo Utama; 2015.


4. Widnyana IM. Asas- Asas Hukum Pidana, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010.
5. Jasmine S. Tindakan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Pencabulan. Jurnal.

Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2016.


6. Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik.Edisi pertama. Jakarta: Binarupa

aksara.2004
7. Meilia, PDI. Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanan KOrban Kekerasan Seksual.

[cited 29 September 2014] available at

26
http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_196Prinsip%20Pemeriksaan%20dan

%20Penatalaksanaan%20Korban%20Kekerasan%20Seksual.pdf. 2012
8. Dahlan, Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Semarang. 2003.
9. Sadock BJ dan Sadock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta : EGC. 2010.

DISKUSI TANYA JAWAB REFERAT PERBUATAN CABUL

MPPD UNIVERSITAS NUSA CENDANA

Pertanyaan :

1. Apa perbedaan perbuatan cabul dan pemerkosaan?


2. Pentingnya atau tujuan pemeriksaan gigi (gigi molar) pada kasus pencabulan?
3. Tindakan apa yang dapat dilakukan oleh dokter umum untuk dampak psikologis korban?
4. Pada pasien yang datang diatas 24 jam setelah kejadian, sebagai dokter di IGD apa yang

harus dilakukan?

Jawaban :

1. Pemerkosaan menurut KUHP pasal 285 didefinisikan sebagai “Barang siapa dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia

diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling

lama dua belas tahun”. Terdapat tiga hal yang ditekankan dalam KUHP untuk

membedakan pemerkosaan dan perbuatan cabul yaitu kekerasa atau ancaman kekerasan,

bersetubuh dengan wanita, dan diluar perkawinan.


Sementara perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan

kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan, misalnya cium-

27
ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya, yang

dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan seksual dengan cara

yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan. Perbuatan cabul

diatur dalam KUHP pasal 289 sampai 296.

2. Tujuan pemeriksaan gigi (gigi molar) pada kasus pencabulan untuk menentukan umur

korban yang tidak memiliki wali atau orang tua atau tidak memiliki identitas yang jelas.
Tanggapan : Jika tidak ada molar 3, apa konsekuensinya?
Jawaban : Jika molar 3 belum tumbuh makan dianggap korban masih dibawah umur.
Tanggapan : Untuk apa penentuan usia (dewasa atau anak-anak)?
Jawaban : Jika usia kurang dari 15 tahun maka dikenakan pasal 290 ayat 3 “Barang siapa

yang membujuk seseorang, yang diketahui atau patut disangkanya bahwa umur orang itu

belum cukup lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum

waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan padanya

perbuatan cabul. Hal ini tidak ada perbedaan dengan penjelasan sebelumnya kecuali

“pelaku””
3. Tindakan yang dilakukan adalah :
- Memberikan edukasi pada keluarga korban
- Jika membutuhkan obat atau terapi maka konsul jika ada dokter spesialis

Tanggapan :

- Di bidang psikiatri dilakukan visum kejiwaan dan terapi dengan obat-obatan.


- Melakukan pemeriksaan genital yaitu lakukan pemeriksaan baik pada genital pasien

maupun pemeriksaan oral dan pemeriksaan bakteri untuk menyingkirkan

kemungkinan tertular penyakit menular seksual dan terapi jika ada atau perlu.
4. Sebagai dokter IGD yang dilakukan adalah anamnesis dengan menanyakan apakah

pasien sudah mandi atau membersihkan diri dan sudah mengganti pakaian, menanyakan

apakah ada surat permintaan visum dan pakian pasien sudah dicuci atau belum. Jika

pasien belum membersihkan tubuh maka dilakukan pemeriksaan pada rambut, kuku, dan

pemeriksaan swab vagina.


Tanggapan : apakah pemeriksaan kuku dan rambut relatif bisa dilakukan atau tidak?

28
Jawaban : jika pasien telah mandi atau membersihkan tubuh pasien maka pemeriksaan

kuku dan rambut tidak relative dilakukan karena tidak akan didapatkan hasil yang

diharapkan. Namun tetap dilakukan pemeriksaan swab vagina dan pasien diminta untuk

kontrol 3 bulan kemudian.


Tanggapan : untuk kuku dan rambut, benda asing apa yang bisa ditemukan?
Jawaban : pada kuku yang di harapkan adalah ditemukan ada darah atau kulit epitel dan

pada rambut yang di harapkan adalah ditemukan ada darah, cairan mania tau rambut

pelaku.
Tanggapan : Pemeriksaan rambut agak susah dilakukan karena dibutuhkan adanya folikel

rambut yang ditemukan untuk pemeriksaan DNA.

29

Anda mungkin juga menyukai