Keperawatan Psikiatri
TIM DOSEN
Disusun :
1. Maria Sulistiowati
2. Noprita Mellanica
3. Yulia Apio
Tahun 2022/2023
i
Kata Pengantar
Puji dan syukur Tim penulis panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa atas
Rahmat-Nya yang telah dilimpahkan sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Korban pemerkosaan” yang merupakan salah satu
tugas Mata Kuliah Keperawatan Psikiatri.
Akhir kata dengan penuh harapan penulis berharap semoga makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Korban Pemerkosaan” mendapat ridho dari Allah
SWT, dan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Amiin....
Tim Penulis
ii
Daftar isi
Kata Pengantar...................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................iv
PENDAHULUAN........................................................................................................iv
A. LATAR BELAKANG MASALAH......................................................................iv
B. TUJUAN PENULISAN........................................................................................iv
BAB II...........................................................................................................................1
KONSEP DASAR..........................................................................................................1
A. PENGERTIAN.......................................................................................................1
B. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI.................................................................................2
C. KLASIFIKASI.......................................................................................................5
D. PATOFISIOLOGI..................................................................................................6
E. PATHWAYS KEPERAWATAN.........................................................................10
F. MANIFESTASI KLINIK.....................................................................................11
G. PENATALAKSANAAN.....................................................................................13
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG.........................................................................14
I. PENGKAJIAN.....................................................................................................14
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN..........................................................................17
K. INTERVENSI DAN RASIONAL........................................................................18
L. DISCHARGE PLANNING..................................................................................31
BAB III........................................................................................................................33
PENUTUP....................................................................................................................33
A. KESIMPULAN....................................................................................................33
B. SARAN................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................35
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus
pelecehan seksual di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di
klinik.sexual abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an.
Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih
luas di Inggris, seperti dari Childhood Matters (1996): Sekitar 100 000 anak
mengalami pengalaman seksual yang berpotensi mengarah ke seksual abuse
(FKUI, 2006).
Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak
jarang dijadikan objek kesewenangan. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003).Jumlah ini menjadi 547
kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus
kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual.
Gambaran paradoks tersebut memancing pertanyaan. Mengapa kekerasan seksual
sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya?
Di samping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si korban,
kasus kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan
Singarimbun (2004), bahwa modernisasi sering diasosiasikan sebagai
keserbabolehan melakukan hubungan seksual (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang
terjadi pada anak-anak. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
(YKAI) pada tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969
kasus kekerasan seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlah
itu, 75 persen korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama
pemerkosaan (42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen)
(FKUI, 2006).
1
B. TUJUAN PENULISAN
2
3
BAB II
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
4
B. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI
5
1. Teori biologis
a. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak
dapat mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu
b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter
(misalnya epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin)
dapat memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat
impulsimpuls agresif
c. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan
herediter sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif
seksual, baik ikatan genetik langsung maupun karyotip genetik XYY
telah diteliti sebagai kemungkinan.
d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma
dan penyakit-penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah
dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.
2. Teori psikologis
a. Teori psikoanalitik. Berbadai teori psikoanalitik telah membuat
hipotesa bahwa agresi dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari
ketidakperdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila
kebutuhankebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak
terpenuhi.
b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku
agresif dan kekerasan dipelajari dari model yang membawa dan
berpengaruh. 8 Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau
yang orang tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin
untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa.
3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial)
Pengaruh sosial.Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif
terutama merupakan hasil dari struktur budaya dan social
seseorang.Pengaruhpengaruh social dapat berperan pada kekerasan saat
individu menyadari bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat
dipenuhi melalui cara-cara yang lazim dan mereka mengusahakan
perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk memperoleh akhir
yang diharapkan.
6
Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexual abuse) pada
anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti
atau majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga,
atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau
kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga.Kekerasan pada
anak adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingukup ini.
2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang
kenal dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga,
teman, orangtua dari teman sekolah.
3. Ritualistic abuse Mencakup kekerasan yang di lakukan oleh orang
dewasa untuk mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi
keperluan pribadinya.
4. Institutional abuse 9 Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup
institusi tertentu seperti sekolah, tempat penitipan anak, kamp
berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya.
5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or
stranger abuse) Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat
umum. Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan
seksual yang menimpa anak. Orang yang mencabuli anak-anak
dianggap orang yang mengalami disfungsi karena kecanduan
alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang
mapan, serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Cok Gede
Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan
ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang
Anak, menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan
meluasnya budaya permisif, dan ketidakkonsistenan pihak
kepolisian dalam mengambil tindakan hukum terhadap pelaku
incest (Suda, 2006).
Koran Tokoh (Edisi 337/TahunVII, 5—11 Juni 2005:14) menulis beberapa
pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orangtua.
7
1. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena
alasan kesehatan atau telah lama menduda.
2. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang
ditekuninya.
3. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya,
atau melihat anak perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk.
Bahkan, bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak
perempuan, karena terpengaruh film porno (Atmadja, 2005:139 dalam Suda,
2006).
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah :
1. Perkosaan.
10 Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan.
Diperkirakan 22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban
perkosaan. Untuk di Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang
diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan yang dilaporkan ke polisi. Sebagian
besar perkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban alias orang
dekat korban.
2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia
menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32%
perempuan dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan
seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah
anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan dekat, atau teman.
Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak biasanya
adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
3. Kekerasan seksual terhadap pasangan.
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang
dilakukan seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban
kekerasan adalah perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifka
Annisa bersama UGM, UMEA University, dan Women’s Health Exchange
USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000
menunjukkan bahwa 22% perempuan mengalami kekerasan seksual.
8
Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19%) melaporkan bahwa biasanya mereka
dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka
selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah kekerasan yang
dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, semata-mata
karena sang korban adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah kekerasan
berbasis gender. Berikut adalah kekerasan berbasis gender:
4. Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong,
mencambuk, dll.
5. Kekerasan emosional / verbal: Mengkritik, membuat pasangan merasa
bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina, dll.
6. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,
membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll
7. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di
mana bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
8. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.
9. Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi,
menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
10. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan
benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll.
D. PATOFISIOLOGI
Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak
dapat terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan
menahun. Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak
terjadi begitu saja, melainkan melalui beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan
bahwa apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba
menyentuh sisi kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian,
penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan
permainan dan menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku
dapat mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya
berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa
9
anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku
mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan
pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang
yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa
aman. Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :
a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri
b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri
c. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap
e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan
bagian lainnya.
f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling
menstimulasi.
g. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban
h. Sodomi
i. Petting
j. Penetrasi alat kelamin pelaku
10
teramati dari luar sampai ada pemicu yang menampilkan gejolak emosi
mereka, misalnya saat anak memasuki usia remaja dan mulai dekat dengan
lawan jenis, atau pada saat mereka akan menikah. selain itu, sangat
mungkin anak yang 13 menjadi korban kekerasan seksual kemudian justru
malah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain (Maria, 2008).
Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria,
hendaknya tetap mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada
posisi anak sebagai korban, yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan
trauma, tapi juga perlu penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku
kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin
sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh
pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk
eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang
dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang
dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri
dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan
seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008).
Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak
perempuan di masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau
psikologis.Jika meminjam gagasan Giddens (2004) tentang kekerasan
lakilaki dalam menyalurkan libidonya, tindakan tersebut berkaitan dengan
label yang diberikan masyarakat kepada laki-laki.Laki-laki harus jantan
menangani sektor publik dan urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya sistem
ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal,
bahkan terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya,
harga diri mereka dalam keluarga dan masyarakat mengalami
goncangan.Begitu pula hubungan seksual mereka dengan istrinya bisa
terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua, impotensi,
ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini
menimbulkan rasa tidak aman dan kekawatiran yang mendalam (Suda,
2006).
Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya
(Tower, 2002 dalam Maria, 2008) :
11
1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga. 14 Dilakukan oleh ayah,
ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual mungkin pula
dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang tinggal serumah
dengan korban.
2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga
Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan
jenis kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan
sebagainya.Sebagian besar pelaku adalah pria dan orang yang melakukan
orang yang cukup dikenal oleh korban, misalnya tetangga, guru, sopir,
baby-sittter.Pelaku bisa saja mengalami kelainan seperti paedophilia,
pecandu seks, atau sangat mungkin teman sebaya. Kemungkinan pelaku
penah menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya,atau menirukan
perilaku orang lain. salah satu penyebabnya adalah untuk mengatasi trauma
akibat kekesaran seksual yang dialaminya, atau sekedar memenuhi rasa
ingin tahu.
Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus,
fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan
penipisan/kerusakan hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan
terhadap anak umumnya berjangka panjang, antara lain: kemarahan,
kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan,
kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk.
12
E. PATHWAYS KEPERAWATAN
Kogmisi
Individu dengan peristiwa traumatis
- Ketakutan
(kekerasan seksual)
- Menyalahkan diri sendiri
- Sulit berkonsentrasi
(menganggap dirinya
tidak berdaya )
Body
Negative belief
Action
13
Individu mampu
Manipulasi kognisi
14
b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada
siapa saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan
kelakuan yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk,
dan ngompol), menarik diri atau depresi, serta perkembangan
terhambat.
Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri,
pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan
remaja, penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur,
seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa.
15
2. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk
4. Sering muntah
G. PENATALAKSANAAN
16
Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi
kerentannya sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi;
berkata tidak terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh
secepatnya dari orang yang kelihatan sebagai abusive person; melaporkan
pada orangtua atau orang dewasa yang dipercaya dapat membantu
menghentikan perlakuan salah.
c. Survivor/self-esteem counseling.
Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka
sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan
(survivor) dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling
counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak
yang mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai perasaan.
Kemudian mereka didorong untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya
yang tidak menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse maupun
sesudahnya. Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat
memfokuskan perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah
menyakitinya, atau kepada orang tua, polisi, pekerja sosial, atau lembaga
peradilan yang tidak dapat melindungi mereka.
d. Cognitif terapy.
Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan seseorang
mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-
pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. PENGKAJIAN
17
Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan
seksual (sexual abus) antara lain :
1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau
tidur berlebihan, mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang
asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun
karena tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang
selamat.)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak
berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme
pertahanan yang paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap
menunduk, takut (terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja,
perubahan finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain.
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang
c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia),
makan berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat
badan yang sesuai .
5. Higiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca
(penganiayaan seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan
kotor/tidak terpelihara.
6. Neurosensori
18
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat
amuk atau pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan
usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran
adanya pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan
konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin
sangat waspada, cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan
penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk,
ketrampilan koping terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain :
gelisah (korban selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi
kepribadian ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian
ambang (koeban inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda
cedera eksternal.
7. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul
kronis, spastik kolon, sakit kepala).
8. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air
panas, rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan
yang tidak wajar, ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan
kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera
internal. 22
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam
aktivitas dengan risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang
dapat menghindari bahaya di dalam rumah.
9. Seksualitas
19
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi
kompulsif, permainan seks dewasa sebelum waktunya,
kecenderungan mengulang atau melakukan kembali pengalaman
inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual
menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa
berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama
pada anak).
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
20
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan a nsietas dan hiperaktif
7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan
balik atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan
penurunan makna diri
8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah
yang berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota
keluarga mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena
menghadapi anak dengan gangguan dalam jengka waktu lama
9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan
kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi,
interpretasi yang salah tentang informasi.
Intevensi :
21
diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan
harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga
sangat ragu-ragu dengan dirinya dan menyalahkan diri
sendiri dan pernyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa
percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri anak
b. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan
dan mengapa dilakukan. Pastikan bahwa pengumpulan data
dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi Rasional
: Untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk
meningkaytkan rasa percaya
c. Pastikan bahwa anak memiliki privasi yang adekuat untuk
semua intervensi-intervensi segera pasca krisis. Cobaan
sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera
atau mengumpulkan bukti segera. Atau mengumpulkan bukti
segera Rasional : Anak pasca trauma sangat rentan.
Penambahan orang dalam lingkungannya meningkatkan
perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan ansietas
d. Dorong anak untuk menghitung jumlahs erangan kekerasan
seksual. Dengarkan, tetapi tidak menyelidiki Rasional :
Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan
kesempatan untuk katarsis bahwa anak perlu memulai
pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk
tindak lanjut secara legal, dan seorang perawat sebagai
pembela anak dapat menolong untuk mengurangi trauma
dari pengumpulan bukti
e. Diskusikan dengan anak siapa yang dapat dihubung untuk
memberikan dukungan atau bantuan. Berikan informasi
tentang rujukan setelah perawatan Rasional : Karena ansietas
berat dan rasa takut, anak mungkin membutuhkan bantuan
dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan
informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya
(misalnya psikoterapi, klinik kesehatan jiwa, kelompok
pembela masyarakat).
22
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan :
a. Tujuan jangka pendek : Anak mengenali dan menyatakan
secara verbal pilihan-pilihan yang tersedia dengan demikian
merasakan beberapa kontrol terhadap situasi kehidupan
(dimensi waktu ditentukan secara individu)
b. Tujuan jangka panjang : Anak memperlihatkan kontrol
situasi kehidupan dengan membuat keputusan tentang apa
yang harus dilakukan berkenaan dengan hidup bersama
siklus penganiyaan seksual (dimensi waktu ditentukan secara
individual)
Intervensi :
23
bahwa orang tuanya atau saudaranya akan membunuh mereka jika
menceritakan hal tersebut
d. Pastikan bahwa usaha-usaha menyelamatkan tidak diusahakan
oleh perawat. Berikan dukungan, tetapi ingat bahwa keputusan
akhir harus dibuat oleh anak Rasional : Membuat keputusan untuk
dirinya sendiri memberikan rasa kontrol situasi kehidupannya
sendiri. Memberikan penilaian dan nasehat adalah tidak terapeutik
e. Tekankan pentingnya keamanan, smith (1987) menyarankan suatu
pernyataan seperti, ya itu telah terjadi. Sekarang ke mana anda
ingin pergi dari sini ?. Burgess (1990) menyatakan "Korban perlu
dibuat sadar tentang berbagai sumber yang tersedia untuk dirinya.
Hal ini dapat mencakup hotline krisis, kelompok-kelompok
masyarakat untuk wanita dan anak yang pernah dianiaya secara
seksual, tempat perlindungan, berbagai tempat konseling. Rasional
: Pengetahuan tentang pilihan-pilihan yang tersedia dapat
membantu menurunkan rasa tidak berdaya dari korban, tetapi
kewenangan yang sesungguhnya datang hanya saat ia memilih
untuk menggunakan pengetahuan itu bagi keuntungannya sendiri.
Intervensi :
24
a. Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada
anak. Buat catatab yang teliti dari luka memarnya
(dalam berbagai tahap penyembuhan), laserasi, dan
keluhan anak tentang area nyeri pada derah yang
spesifik, misalnya kemaluan. Jangan mengabaikan atau
melalaikan kemungkinan penganiayaan seksual. Kaji
tanda nonverbal penganiayaan, perilaku agresif, rasa
takut yang berlebihan, hiperaktivitas hebat, apatis,
menarik diri, perilaku yang tidaks esuai dengan usianya
Rasional : Suatu pemeriksaan fisik yang akurat dan
seksama dibutuhkan agar perawatan yang tepat dapat
diberikan untuk pasien
b. Adakan wawancara yang dalam dengan orang tua atau
orang dekat yang menyertai anak. Pertimbangkan jika
cidera dilaporkan sebagai suatu kecelakaan, apakah
penjelasan ini berlasan? Apakah cedera tersebut
konsisten dengan penjelasan yang diberikan? Apakah
cedera tersebut konsisten dengan kemampuan
perkembangan anak ? Rasional : Ketakutan terhadap
hukuman penjara atau kehilangan kesempatan
memelihara anak mungkin menempatkan orang tua
penyiksa pada sikap membela diri. Ketidaksesuaian
dapat ditandai dalam deskripsi kejadian, dan adanya
usaha untuk menutupu keterlibatan merupakan suatu
pertahanan diri yang umum yang dapat dilepaskan dalam
suatu wawancara yang dalam.
c. Gunakan pertandingan atau terapi bermain untuk
memperoleh rasa percaya anak. Gunakan teknik-teknik
ini untuk membantu dalam menjelaskan sisi lain dari
cerita anak tersebut Rasional : Menetapkan hubungan
saling percaya dengans eorang anak yang teraniaya
sangatlah sukar. Mereka mungkin tidak ingin untuk
disentuh. Jenis-jenis aktivitas bermain ini dapat
memberikan suatu lingkungan yang tidak mengancam
25
yang dapat meningkatkan usaha anak untuk
mendiskusikan masalah-masalah yang menyakitkan ini
d. Tentukan apakah cedera yang dialami dibenarkan
untuk dilaporkan kepada yang berwenang. Undang-
Undang negara yang spesifik harus masuk ke dalam
keputusan apakah ya atau tidak untuk melaporkan
dugaan penganiayaan seksual anak. Rasional : Suatu
laporan (umumhya dibuat) jika ada alasan untuk
mencurigai bahwa seseorang anak telah dicederai
sebagai suatu akibat penganiayaan seksual. Alasan untuk
mencirugai ditetapkan saat ada tandatanda
ketidaksesuaian atau ketidakkonsistenan dalam
menjelaskan cedera pada anak. Kebanayakan negara
membutuhkan individu-individu berikut melaporkan
kasus dari anak yang dicurigai dianiaya seksual : semua
pekerja kesehatan, semau terapis kesehatan jiwa, guru-
guru, pengasuhpengasuh anak, pemadam kebakaran,
anggota medis gawat darurat dan anggota penyelenggara
hukum. Laporan dibuat oleh Departemen Pelayanan
Sosial dan rehabiulitasi atau Badan penyelenggara
Hukum.
26
d. Anak mampu mengungkapkan kemampuan-kemampuan
koping alternatif yang dapat diterima secara sosial sesuai
dengan gaya hidup dari yang ia rencanakan untuk
menggunakannya sebagai respons terhadap rasa frustasi
Intervensi :
27
Beri pangakuan tentang kerja keras yang berhasil dan
penguatan positif bagi usaha-usaha yang dilakukan
Rasional : Pengakuan dan penguatan positif meningkatkan
harga diri.
5. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep
diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan
hubungan antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan
Tujuan :
Anak mampu mempertahankan ansietas di bawah tingkat sedang,
sebagaimana yang ditandai oleh tidak adanya perilaku-perilaku yang
tidak perilaku yang tidak mampu dalam memberi respons terhadap
stres .
Intervensi :
a. Bentuk hubungan kepercayaan dengan anak. Bersikap jujur,
konsisten di dalam berespons dan bersedia. Tunjukkan rasa hormat
yang positif dan tulus Rasional : Kejujuran, ketersediaan dan
penerimaan meningkatkan kepercayaan pada hubungan anak
dengan staf atau perawat
b. Sediakan aktivitas-aktivitas yang diarahkan pada penurunan
tegangan dan pengurangan ansietas (misalnya berjalan atau joging,
bola voli, latihan dengan musik, pekerjaan rumah tangga,
permainan-permainan kelompok Rasional : tegangan dan ansietas
dilepaskan dengan aman dan dengan manfaat bagi anak melalui
aktivitas-aktivitas fisik
c. Anjurkan anak untuk mengidentifikasi perasaan-perasaan yang
sebenarnya dan untuk mengenali sensiri perasaan-perasaan
tersebut padanya Rasional : Anak-anak vemas sering menolak
hubungan antara masalahmasalah emosi dengan ansietas mereka.
Gunakan mekanisme-mekanisme pertahanan projeksi dan
pemibdahan yang dilebih-lebihkan
d. Perawat harus mempertahankan suasana tentang Rasional :
Ansietas dengan mudah dapat menular pada orang lain
28
e. Tawarkan bantuan pada wajtu-waktu terjadi peningkatan ansietas.
Pastikan kembali akan keselamatan fisik dan fisiologis Rasional :
Keamanan anak adalah prioritas keperawatan
f. Penggunaan sentuhan menyenangkan bagi beberaoa anak.
Bagaimanapun juga anak harus berhati-hati terhadap
penggunaannya Rasional : sebagaimana ansietas dapat membantu
mengembangkan kecurigaan pada beberapa individu yang dapat
salah menafsirkan sentuhan sebagai suatu agresi
g. Dengan berkurangnta ansietas, temani anak untuk mengetahui
peristiwa-peristiwa tertentu yang mendahului serangannya.
Berhasil pada respons-respons alternatif pada kejadian selanjutnyta
Rasional : Rencana tindakan memberikan anak perasaan aman
untuk penanganan yang lebih berhasil terhadap kondisi yang sulit
jika terjadi lagi
h. Berikan obat-obatan dengan obat penenang sesuai dengan yang
diperintahkan. Kaji untuk keefektifitasannya, dan beri
petunjukkepada anak mengenai kemungkinan efek-efek samping
yang memberi penharuh berlawanan Rasional : Obat-obatan
terhadap ansietas (misalnya diazepam, klordiasepoksida,
alprazolam) memberikan perasaan lega terhadap efek-efek yang
tidak berjalan dari ansietas dan mempermudah kerjasama anak
dengan terapi.
29
Intervensi
30
Tujuan :
a. Anak akan mendemonstrasikan kemampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain tanpa menjadi defensif,
perilaku merasionalisasi atau mengekspresikan pikiran
waham kebesaran dengan kriteria hasil :
b. Anak mengungkapkan dan menerima tanggung jawab
terhadap perilakunya sendiri
c. Anak mengungkapkan korelasi antara perasaan-perasaan
ketidakseimbangan dan keperluan untuk mempertahankan
ego melalui rasionalisasi dan kemuliaan
d. Anak tidak menertawakan atau mengkritik orang lain
e. Anak berinteraksi dengan orang lain dengan situasi-situasi
kelompok tanpa bersikap defensive
Intervensi :
a. Kenali dan dukung kekuatan-kekuatan ego dasar Rasional :
memfokuskan pada spek-aspek positif dari kepribadian dapat
membantu untuk memperbaiki konsep diri
b. Beri semangat kepada anak untuk menteahui dan mengungkapkan
dan bagaimana perasaan ini menimbulkan perilaku defensif, seperti
menyalahkan oprang lain karena prilakunya sendiri Rasional :
Pengenalan masalah adalah langkah pertama pada proses perubahan
ke arah resolusi
c. Berikan segera sebenarnya umpan balik yang tidaj mengancam
untuk perilaku-perilaku yang tidak dapat diterima Rasional : Anak
mungkin kurang pengetahuan tentang bagaiamna dia diterima oleh
orang lain. Berikan informasi ini dengan cara yang tidak
mengancam dapat membantu untuk mengeliminasi perilaku yang
tidak diinginkan
d. Bantu anak untuk mengidentifikasi situasi-situasi yang
menimbulkan sifat defensif dan praktik bermain peran dengan
respons-respons yang lebih sesuai Rasional : Bermain peran
memberikan percaya diri untuk menghadapi situasi-situasi yang
sulit jika hal-hal tersebut benar-benar terjadi
31
e. Berikan dengans egera umpan balik positif bagi perilaku-perilaku
yang dapat diterima Rasional : Umpan balik positif meningkatkan
harga diri dan memberi semangat untuk mengulangi perilaku-
perilaku yang diinginkan
f. Membantu anak untu menetapkan sasaran-sasaran yang realistis,
konkret dan memerlukan tindakan-tindakan yang cocok untuk
mencapai sasaransasaran ini Rasional : Keberhasilan akan
meningkatkan harga diri
g. Evaluasi dengan anak keefektifan perilaku-perilaku yang baru dan
diskusikan adanya perubahan untuk perbaikan Rasional : Karena
keterbatasan kemampuan untuk memecahkan masalah, bantuan
mungkin diperlukan untuk menetapkan kembali dan
mengembangkan strategi baru, pada keadaan di mana metode-
metode koping baru tertentu terbukti tidak efektif.
32
cara berhubungan dengan anak Rasional :
Konseling suportif dapat membantu keluarga
dalam mengembangkan strategi koping
c) Beri umpan balik positif dan dorong metode
menjadi orang tua yang efektif Rasional :
Penguatan positif dapat meningkatkan harga
diri dan mendorong kontinuitas upaya
d) Libatkan saudara kandung dalam diskusi
keluarga dan perencanaan interaksi keluarga
yang lebih efektif Rasional : Masalah keluarga
mempengaruhi semua anggota keluarga dan
tindakan lebih efektif bila setiap orang terlibat
dalam terapi tersebut
e) Libatkan dalam konseling keluarga Rasional :
terapi keluarga dapat membantu mengatasi
masalah global yang mempengaruhi seluruh
struktur keluarga. Gangguan pada salah satu
anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh
anggota keluarga
f) Rujuk pada sumber komunitas esuai indikasi,
termasuk kelompok pendukung orang tua,
kelas menjadi orang tua Rasional :
mengembangkan sistem pendukung dapat
meningkatkan kepercayaan diri dan
keefektifan orang tua. Pemberian model peran
atau harapan untuk masa depan
33
b. Berpartisipasi dalam pembelajaran dan m,ulai bertanya dan
mencari informasi secara mandiri
c. Mencapai tujuan kognitive yang konsisten sesuai tingkat
temperamen
Intervensi :
L. DISCHARGE PLANNING
34
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain :
1. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi
2. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer
3. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya
4. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka
5. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada
6. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera
7. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer
8. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia
untuk dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan
9. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi
bermain
10. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif
35
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakangan ini
semakin banyak muncul dipermukaan. Hal ini belum tentu merupakan indikator
meningkatnya jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi adalah fenomena
gunung es, jumlah yang terlihat belum tentu menunjukkan fakta yang
sesungguhnya.Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum
merupakan salah satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual.
Penganiayaan seksual pada anak didefinisikan sebagai adanya tindakan seksual
yang mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden membuka pakaian, menyentuh
dengan cara yang tidak pantas dan penetrasi (koitus seksual), yang dilakukan
dengan seorang anak untuk kesenangan seksual orang dewasa. Insest telah
didefinisikan sebagai eksploitasi seksual pada seorang anak di bawah usia 18 tahun
oleh kerabat atau buka kerabat yang merupakan orang dipercaya dalam keluarga
(Townsend, 1998). Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin
sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain.
Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-
memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya,
baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya. Dengan adanya
azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang
36
mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali
menjadi korban (Maria, 2008). Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan
pada genital dan anus, fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan
penipisan/kerusakan hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap
anak umumnya berjangka panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi
buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku
baik menjadi buruk.
B. SARAN
37
DAFTAR PUSTAKA
38
http://www.kesrepro.info/?q=node/194. Diakses tanggal 28 Februari 2015
Townsend, M.C. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri
pedoman Untuk Pembuatan rencana Perawatan (terjemahan).Edisi
3.Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC
39