Anda di halaman 1dari 42

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KORBAN PEMERKOSAAN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah

Keperawatan Psikiatri

TIM DOSEN

Cau Kim Jiu, M.Kep Ph.D

Disusun :

1. Maria Sulistiowati
2. Noprita Mellanica
3. Yulia Apio

ITIKES MUHAMMADIYAH KALIMANTAN BARAT

Tahun 2022/2023

i
Kata Pengantar

Puji dan syukur Tim penulis panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa atas
Rahmat-Nya yang telah dilimpahkan sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Korban pemerkosaan” yang merupakan salah satu
tugas Mata Kuliah Keperawatan Psikiatri.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan masih terdapat beberapa


kekurangan, hal ini tidak lepas dari terbatasnya pengetahuan dan wawasan yang penulis
miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang
konstruktif untuk perbaikan di masa yang akan datang, karena manusia yang mau maju
adalah orang yang mau menerima kritikan dan belajar dari suatu kesalahan.

Akhir kata dengan penuh harapan penulis berharap semoga makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Korban Pemerkosaan” mendapat ridho dari Allah
SWT, dan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Amiin....

Ketapang , Ferbruari 2023

Tim Penulis

ii
Daftar isi
Kata Pengantar...................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................iv
PENDAHULUAN........................................................................................................iv
A. LATAR BELAKANG MASALAH......................................................................iv
B. TUJUAN PENULISAN........................................................................................iv
BAB II...........................................................................................................................1
KONSEP DASAR..........................................................................................................1
A. PENGERTIAN.......................................................................................................1
B. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI.................................................................................2
C. KLASIFIKASI.......................................................................................................5
D. PATOFISIOLOGI..................................................................................................6
E. PATHWAYS KEPERAWATAN.........................................................................10
F. MANIFESTASI KLINIK.....................................................................................11
G. PENATALAKSANAAN.....................................................................................13
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG.........................................................................14
I. PENGKAJIAN.....................................................................................................14
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN..........................................................................17
K. INTERVENSI DAN RASIONAL........................................................................18
L. DISCHARGE PLANNING..................................................................................31
BAB III........................................................................................................................33
PENUTUP....................................................................................................................33
A. KESIMPULAN....................................................................................................33
B. SARAN................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................35

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus
pelecehan seksual di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di
klinik.sexual abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an.
Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih
luas di Inggris, seperti dari Childhood Matters (1996): Sekitar 100 000 anak
mengalami pengalaman seksual yang berpotensi mengarah ke seksual abuse
(FKUI, 2006).
Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak
jarang dijadikan objek kesewenangan. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003).Jumlah ini menjadi 547
kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus
kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual.
Gambaran paradoks tersebut memancing pertanyaan. Mengapa kekerasan seksual
sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya?
Di samping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si korban,
kasus kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan
Singarimbun (2004), bahwa modernisasi sering diasosiasikan sebagai
keserbabolehan melakukan hubungan seksual (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang
terjadi pada anak-anak. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
(YKAI) pada tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969
kasus kekerasan seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlah
itu, 75 persen korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama
pemerkosaan (42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen)
(FKUI, 2006).

1
B. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse.


2. Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse.
3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksual abuse.
4. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse.
5. Untuk mengetahui tentang pathway dari seksual abuse.
6. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse.
7. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan dari seksual abuse.
8. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang dari seksual abuse.
9. Untuk mengetahui tentang pengkajian dari seksual abuse.
10. Untuk mengetahui tentang diagnosa keperawatan dari seksual abuse.
11. Untuk mengetahui tentang intervensi dan rasional dari seksual abuse.
12. Untuk mengetahui tentang discharge planning dari seksual abuse.

2
3
BAB II

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau


penyuka anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang
melakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah.
Penyakit ini ada dalam kategori Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan
terhadap aktivitas seksual yang meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa
sakit atau penghinaan (Pramono, 2009).
Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak
menurut Resna dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006:60) diklasifikasi
menjadi tiga kategori, antara lain: perkosaan, incest, dan eksploitasi. Perkosaan
biasanya terjadi pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan
memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan
seksual atau aktivitas seksual lainnya antarindividu yang mempunyai hubungan
dekat, yang perkawinan di antara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur,
maupun agama. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi (Suda,
2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku
seksual secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki
kekuasaan terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual
pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang
dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut,
merasa bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan (FKUI, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak mencakup penganiayaan
seksual secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat
kelamin atau bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi
vagina/anus menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak membuka
pakaian, sampai tindak perkosaan. Sedangkan penganiyaan non fisik
diantaranya memperlihatkan benda-benda yang bermuatan pornografi atau
aktivitas seksual orang dewasa, eksploitasi anak dalam pornografi (gambar,
foto, film, slide, majalah, buku), exhibitionism, atau mengintip kamar
tidur/kamar mandi (voyeurism). (Suda, 2006).

4
B. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah


Studi Fenomenologi”, Faktor penyebab sexual abuse adalah :
Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual
yang dialami oleh subyek adalah sebagai berikut:
a. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak
memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat
subyek menjadi korban kekerasan seksual..
b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan
mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku
tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.
c. Faktor ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah
memuluskan rencananya dengan memberikan imingiming kepada
korban yang menjadi target dari pelaku. (Jurnal Terlampir)
Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan
seksual terhadap anak”, dampak sexual abuse adalah :
Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan
bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak
menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang
berhubungan dengan penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat,
kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis,
kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh diri, keluhan somatik, depresi
(Roosa, Reinholtz., Angelini, 1999). Selain 7 itu muncul gangguan-gangguan
psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit lain
(termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif,
kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera
fisik kepada anak, (Widom, 1999; Levitan, Rector, Sheldon, & Goering, 2003;
Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie , Heath , Dunne, Bucholz ,
Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000)
Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam
pola penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain:

5
1. Teori biologis
a. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak
dapat mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu
b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter
(misalnya epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin)
dapat memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat
impulsimpuls agresif
c. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan
herediter sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif
seksual, baik ikatan genetik langsung maupun karyotip genetik XYY
telah diteliti sebagai kemungkinan.
d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma
dan penyakit-penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah
dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.
2. Teori psikologis
a. Teori psikoanalitik. Berbadai teori psikoanalitik telah membuat
hipotesa bahwa agresi dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari
ketidakperdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila
kebutuhankebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak
terpenuhi.
b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku
agresif dan kekerasan dipelajari dari model yang membawa dan
berpengaruh. 8 Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau
yang orang tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin
untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa.
3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial)
Pengaruh sosial.Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif
terutama merupakan hasil dari struktur budaya dan social
seseorang.Pengaruhpengaruh social dapat berperan pada kekerasan saat
individu menyadari bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat
dipenuhi melalui cara-cara yang lazim dan mereka mengusahakan
perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk memperoleh akhir
yang diharapkan.

6
Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexual abuse) pada
anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti
atau majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga,
atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau
kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga.Kekerasan pada
anak adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingukup ini.
2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang
kenal dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga,
teman, orangtua dari teman sekolah.
3. Ritualistic abuse Mencakup kekerasan yang di lakukan oleh orang
dewasa untuk mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi
keperluan pribadinya.
4. Institutional abuse 9 Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup
institusi tertentu seperti sekolah, tempat penitipan anak, kamp
berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya.
5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or
stranger abuse) Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat
umum. Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan
seksual yang menimpa anak. Orang yang mencabuli anak-anak
dianggap orang yang mengalami disfungsi karena kecanduan
alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang
mapan, serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Cok Gede
Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan
ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang
Anak, menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan
meluasnya budaya permisif, dan ketidakkonsistenan pihak
kepolisian dalam mengambil tindakan hukum terhadap pelaku
incest (Suda, 2006).
Koran Tokoh (Edisi 337/TahunVII, 5—11 Juni 2005:14) menulis beberapa
pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orangtua.

7
1. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena
alasan kesehatan atau telah lama menduda.
2. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang
ditekuninya.
3. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya,
atau melihat anak perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk.
Bahkan, bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak
perempuan, karena terpengaruh film porno (Atmadja, 2005:139 dalam Suda,
2006).

C. KLASIFIKASI

Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah :
1. Perkosaan.
10 Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan.
Diperkirakan 22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban
perkosaan. Untuk di Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang
diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan yang dilaporkan ke polisi. Sebagian
besar perkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban alias orang
dekat korban.
2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia
menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32%
perempuan dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan
seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah
anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan dekat, atau teman.
Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak biasanya
adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
3. Kekerasan seksual terhadap pasangan.
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang
dilakukan seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban
kekerasan adalah perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifka
Annisa bersama UGM, UMEA University, dan Women’s Health Exchange
USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000
menunjukkan bahwa 22% perempuan mengalami kekerasan seksual.

8
Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19%) melaporkan bahwa biasanya mereka
dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka
selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah kekerasan yang
dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, semata-mata
karena sang korban adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah kekerasan
berbasis gender. Berikut adalah kekerasan berbasis gender:
4. Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong,
mencambuk, dll.
5. Kekerasan emosional / verbal: Mengkritik, membuat pasangan merasa
bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina, dll.
6. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,
membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll
7. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di
mana bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
8. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.
9. Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi,
menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
10. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan
benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll.

D. PATOFISIOLOGI

Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak
dapat terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan
menahun. Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak
terjadi begitu saja, melainkan melalui beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan
bahwa apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba
menyentuh sisi kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian,
penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan
permainan dan menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku
dapat mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya
berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa

9
anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku
mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan
pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang
yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa
aman. Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :
a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri
b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri
c. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap
e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan
bagian lainnya.
f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling
menstimulasi.
g. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban
h. Sodomi
i. Petting
j. Penetrasi alat kelamin pelaku

Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya


adalah anak-anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat
pengawasan dari orang yanglebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya
kehadiran secara fisik, kedekatan emosional antara ibu dan anak pun
merupakan faktor yang penting (Maria, 2008).
Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah
sebagai berikut :
1. Stress: akut, traumatic – PTSD (post traumatik stress disorder)
2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri
3. Rasa takut, cemas
4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya
Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan
dampak jangka pendek maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak
lainnya, ada kemungkinan gangguan tersebut di 'tekan' sehingga tidak

10
teramati dari luar sampai ada pemicu yang menampilkan gejolak emosi
mereka, misalnya saat anak memasuki usia remaja dan mulai dekat dengan
lawan jenis, atau pada saat mereka akan menikah. selain itu, sangat
mungkin anak yang 13 menjadi korban kekerasan seksual kemudian justru
malah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain (Maria, 2008).
Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria,
hendaknya tetap mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada
posisi anak sebagai korban, yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan
trauma, tapi juga perlu penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku
kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin
sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh
pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk
eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang
dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang
dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri
dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan
seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008).
Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak
perempuan di masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau
psikologis.Jika meminjam gagasan Giddens (2004) tentang kekerasan
lakilaki dalam menyalurkan libidonya, tindakan tersebut berkaitan dengan
label yang diberikan masyarakat kepada laki-laki.Laki-laki harus jantan
menangani sektor publik dan urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya sistem
ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal,
bahkan terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya,
harga diri mereka dalam keluarga dan masyarakat mengalami
goncangan.Begitu pula hubungan seksual mereka dengan istrinya bisa
terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua, impotensi,
ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini
menimbulkan rasa tidak aman dan kekawatiran yang mendalam (Suda,
2006).
Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya
(Tower, 2002 dalam Maria, 2008) :

11
1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga. 14 Dilakukan oleh ayah,
ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual mungkin pula
dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang tinggal serumah
dengan korban.
2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga
Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan
jenis kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan
sebagainya.Sebagian besar pelaku adalah pria dan orang yang melakukan
orang yang cukup dikenal oleh korban, misalnya tetangga, guru, sopir,
baby-sittter.Pelaku bisa saja mengalami kelainan seperti paedophilia,
pecandu seks, atau sangat mungkin teman sebaya. Kemungkinan pelaku
penah menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya,atau menirukan
perilaku orang lain. salah satu penyebabnya adalah untuk mengatasi trauma
akibat kekesaran seksual yang dialaminya, atau sekedar memenuhi rasa
ingin tahu.
Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus,
fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan
penipisan/kerusakan hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan
terhadap anak umumnya berjangka panjang, antara lain: kemarahan,
kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan,
kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk.

12
E. PATHWAYS KEPERAWATAN

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah


Studi Fenomenologi”, pathway sexual abuse adalah :

Kogmisi
Individu dengan peristiwa traumatis
- Ketakutan
(kekerasan seksual)
- Menyalahkan diri sendiri
- Sulit berkonsentrasi

Adanya pikiran negatif

(menganggap dirinya
tidak berdaya )
Body

- Pengabaian terhadap diri sendiri


- Jarang masuk sekolah dengan
intensitas sering sakit
Pengulangan pikiran negatif

Negative belief

Terkekang dalam Individu belum mampu


perasaan simpatik yang menimalisir tekanan
Dukungan sosial
mendalam kronik
(social support)
(stress state)

Action
13

Individu mampu
Manipulasi kognisi

Mengalihkan pada hal yang


sifatnya hiburan

Strategi mengatasi maslah


F. MANIFESTASI KLINIK
-perubahan mental
Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi
-menumbuhkan pikiran positif
Fenomenologi”, Dampak psikologis sexual abuse adalah:
Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga
bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional
a. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-
hari.
b. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus
ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
c. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana
hati serta menyalahkan diri sendiri. (Jurnal Terlampir)
Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991 dalam Minangsari
(2007), mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual adalah anak
lakilaki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan
pelakunya adalah orang yang mereka kenal dan percaya.
Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas.
Ada anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya
dengan bersikap "manis" dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat
perhatian.Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan
bukti mutlak, tetapi jika tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan
terlihat terusmenerus dalam jangka waktu panjang, kiranya perlu segera
mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami pelecehan seksual
(minangsari, 2007)
Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama:
1. Balita
a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut,
iritasi kencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa
penyebab jelas bisa merupakan indikasi seks oral.

14
b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada
siapa saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan
kelakuan yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk,
dan ngompol), menarik diri atau depresi, serta perkembangan
terhambat.

2. Anak usia prasekolah Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut:


a. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol,
hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus,
sakit perut, sembelit.
b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba
berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual.
c. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium secara
seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-
terangan pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang
aktivitas seksual, dan rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah
seksual.
3. Anak usia sekolah
Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan
belajar, seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos,
hubungan dengan teman terganggu, tidak percaya kepada orang
dewasa, depresi, menarik diri, sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi
buruk, tak suka disentuh, serta menghindari hal-hal sekitar buka
pakaian.
4. Remaja

Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri,
pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan
remaja, penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur,
seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa.

Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi dari


penganiayaan/kekerasan seksual pada anak (sexual abuse) antara lain :

1. Infeksi saluran kemih yang sering

15
2. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk

3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut


secara sering atau gelisah saat duduk

4. Sering muntah

5. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa


sebelum waktunya

6. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain

7. Penganiyaan seksual pada anak yang lain.

G. PENATALAKSANAAN

Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan


seksual terhadap anak”, terapi sexual abuse adalah :
Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah
mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis,
social, sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan yang masih
dimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak,
Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain
(play therapy) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan
menggalikan perasaan anak korban kekerasan seksual. Melalui terapi bermain
selain kasus dapat diidentifikasi apa yang terjadi pada diri anak, anak juga
dapat mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya.
Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu :
a. The dynamics of sexual abuse.
Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada kasus
tersebut kdsalahan dan tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada
korban. Anak dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak
seksual.
b. Protective behaviors counseling.

16
Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi
kerentannya sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi;
berkata tidak terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh
secepatnya dari orang yang kelihatan sebagai abusive person; melaporkan
pada orangtua atau orang dewasa yang dipercaya dapat membantu
menghentikan perlakuan salah.
c. Survivor/self-esteem counseling.
Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka
sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan
(survivor) dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling
counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak
yang mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai perasaan.
Kemudian mereka didorong untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya
yang tidak menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse maupun
sesudahnya. Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat
memfokuskan perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah
menyakitinya, atau kepada orang tua, polisi, pekerja sosial, atau lembaga
peradilan yang tidak dapat melindungi mereka.
d. Cognitif terapy.
Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan seseorang
mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-
pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada


anak dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji
skrining (misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skala
internalisasi yang menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan,
depresi, pengendalian berlebihan atau di bawah pengendalian, agresif dan
antisosial.

I. PENGKAJIAN

17
Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan
seksual (sexual abus) antara lain :
1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau
tidur berlebihan, mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang
asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun
karena tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang
selamat.)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak
berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme
pertahanan yang paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap
menunduk, takut (terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja,
perubahan finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain.
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang
c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia),
makan berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat
badan yang sesuai .
5. Higiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca
(penganiayaan seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan
kotor/tidak terpelihara.
6. Neurosensori

18
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat
amuk atau pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan
usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran
adanya pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan
konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin
sangat waspada, cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan
penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk,
ketrampilan koping terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain :
gelisah (korban selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi
kepribadian ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian
ambang (koeban inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda
cedera eksternal.
7. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul
kronis, spastik kolon, sakit kepala).
8. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air
panas, rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan
yang tidak wajar, ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan
kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera
internal. 22
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam
aktivitas dengan risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang
dapat menghindari bahaya di dalam rumah.
9. Seksualitas

19
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi
kompulsif, permainan seks dewasa sebelum waktunya,
kecenderungan mengulang atau melakukan kembali pengalaman
inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual
menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa
berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama
pada anak).

10. Interaksi sosial


Merikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal
kurang responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan
pernyataan kritik, penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa
rendah diri. Pencapaian restasi dis ekolah rendah atau prestasi di sekolah
menurun.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Menurut Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007) diagnosa keperawatan


yang dapat dirumuskan pada anak yang mengalami sexual abuse antara lain :
1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban
perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan
berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah
3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
pengasuhan yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari
nyeri fisik atau cidera dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya,
biasanya terjadi dalam waktu lama.
4. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep
diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan
hubungan antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan
5. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan koping individu
tidak efektif

20
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan a nsietas dan hiperaktif
7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan
balik atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan
penurunan makna diri
8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah
yang berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota
keluarga mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena
menghadapi anak dengan gangguan dalam jengka waktu lama
9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan
kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi,
interpretasi yang salah tentang informasi.

K. INTERVENSI DAN RASIONAL

Menurut Videbeck (2008), Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007)


intervensi keperawatan yang dapat dirumuskan untuk mengatasi diagnosa
keperawatan diatas antara lain :
1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban
perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan
berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang
Tujuan :
a. Tujuan jangka pendek : Luka fisik anak akan sembuh tanpa
komplikasi
b. Tujuan jangka panjang : anak akan mengalami resolusi berduka
yang sehat, memulai proses penyembuhan psikologis.

Intevensi :

a. Smith (1987) menghubungkan pentingnya


mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban
perkosaan : saya prihatin hal ini terjadi padamu, anda aman
disini, saya senang anda hidup, anda tidak bersalah. Anda
adalah korban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun keputusan
yang Anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang
karena anda hidup. Rasional : Wanita tau anak yang telah

21
diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan
harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga
sangat ragu-ragu dengan dirinya dan menyalahkan diri
sendiri dan pernyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa
percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri anak
b. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan
dan mengapa dilakukan. Pastikan bahwa pengumpulan data
dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi Rasional
: Untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk
meningkaytkan rasa percaya
c. Pastikan bahwa anak memiliki privasi yang adekuat untuk
semua intervensi-intervensi segera pasca krisis. Cobaan
sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera
atau mengumpulkan bukti segera. Atau mengumpulkan bukti
segera Rasional : Anak pasca trauma sangat rentan.
Penambahan orang dalam lingkungannya meningkatkan
perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan ansietas
d. Dorong anak untuk menghitung jumlahs erangan kekerasan
seksual. Dengarkan, tetapi tidak menyelidiki Rasional :
Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan
kesempatan untuk katarsis bahwa anak perlu memulai
pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk
tindak lanjut secara legal, dan seorang perawat sebagai
pembela anak dapat menolong untuk mengurangi trauma
dari pengumpulan bukti
e. Diskusikan dengan anak siapa yang dapat dihubung untuk
memberikan dukungan atau bantuan. Berikan informasi
tentang rujukan setelah perawatan Rasional : Karena ansietas
berat dan rasa takut, anak mungkin membutuhkan bantuan
dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan
informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya
(misalnya psikoterapi, klinik kesehatan jiwa, kelompok
pembela masyarakat).

22
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan :
a. Tujuan jangka pendek : Anak mengenali dan menyatakan
secara verbal pilihan-pilihan yang tersedia dengan demikian
merasakan beberapa kontrol terhadap situasi kehidupan
(dimensi waktu ditentukan secara individu)
b. Tujuan jangka panjang : Anak memperlihatkan kontrol
situasi kehidupan dengan membuat keputusan tentang apa
yang harus dilakukan berkenaan dengan hidup bersama
siklus penganiyaan seksual (dimensi waktu ditentukan secara
individual)

Intervensi :

a. Dalam berkolaburasi dengan tim medis, pastikan bahwa semua


cedera fisik, fraktur, luka bakar mendapatkan perhatian segera,
mengambiul foto jika anak mengijinkan merupakan ide yang baik
Rasional : Keamanan anak merupakan prioritas keperawatan. Foto
dapat digunakan sebagai bukti jika tuntutan dilakukan
b. Bawa anak wanita tersebut ke dalam area yang pribadi untuk
melakukan wawancara Rasional : Jika anak disertai dengan pria
yang melakukan pelecehan seksual pada anak, kemungkinan besar
ia tidak jujur sepenuhnya tentang cederanya atau pengalaman
seksualnya
c. Jika seorang anak wantia datang sendiri atau berserta dengan
orang tuanya, pastikan tentang keselamatannya. Dorong untuk
mendiskusikan peristiwa pemerkosaan yang telah dilakukan.
Tanyakan pertanyaan tentang apakah hal ini telah terjadi
sebelumnya. Jika pelaku kekerasan seksual minum obat bius, jika
anak tersebut memiliki tempat yang aman untuk pergi dan apakah
ia berminat dalam tuntutan yang mendesak Rasional : Beberapa
anak wanita berusaha untuk menyimpan rahasia tentang bagimana
cedera seksual yang dideritanya terjadi dalam usaha untuk
melindungi orang tuanya atau saudaranya atau karena mereka takut

23
bahwa orang tuanya atau saudaranya akan membunuh mereka jika
menceritakan hal tersebut
d. Pastikan bahwa usaha-usaha menyelamatkan tidak diusahakan
oleh perawat. Berikan dukungan, tetapi ingat bahwa keputusan
akhir harus dibuat oleh anak Rasional : Membuat keputusan untuk
dirinya sendiri memberikan rasa kontrol situasi kehidupannya
sendiri. Memberikan penilaian dan nasehat adalah tidak terapeutik
e. Tekankan pentingnya keamanan, smith (1987) menyarankan suatu
pernyataan seperti, ya itu telah terjadi. Sekarang ke mana anda
ingin pergi dari sini ?. Burgess (1990) menyatakan "Korban perlu
dibuat sadar tentang berbagai sumber yang tersedia untuk dirinya.
Hal ini dapat mencakup hotline krisis, kelompok-kelompok
masyarakat untuk wanita dan anak yang pernah dianiaya secara
seksual, tempat perlindungan, berbagai tempat konseling. Rasional
: Pengetahuan tentang pilihan-pilihan yang tersedia dapat
membantu menurunkan rasa tidak berdaya dari korban, tetapi
kewenangan yang sesungguhnya datang hanya saat ia memilih
untuk menggunakan pengetahuan itu bagi keuntungannya sendiri.

3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan


pengasuhan yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari
nyeri fisik atau cidera dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya,
biasanya terjadi dalam waktu lama.
Tujuan :
a. Tujuan jangka pendek : Anak akan mengembangkan
hubungan saling percaya dengan perawat dan melaporkan
bagaimana tanda cedera terjadi (dimensi waktu ditentukan
secara individu)
b. Tujuan jangka panjang : Anak akan mendemonstrasikan
perilaku yang konsisten dengan usia tumbuh dan
kembangnya.

Intervensi :

24
a. Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada
anak. Buat catatab yang teliti dari luka memarnya
(dalam berbagai tahap penyembuhan), laserasi, dan
keluhan anak tentang area nyeri pada derah yang
spesifik, misalnya kemaluan. Jangan mengabaikan atau
melalaikan kemungkinan penganiayaan seksual. Kaji
tanda nonverbal penganiayaan, perilaku agresif, rasa
takut yang berlebihan, hiperaktivitas hebat, apatis,
menarik diri, perilaku yang tidaks esuai dengan usianya
Rasional : Suatu pemeriksaan fisik yang akurat dan
seksama dibutuhkan agar perawatan yang tepat dapat
diberikan untuk pasien
b. Adakan wawancara yang dalam dengan orang tua atau
orang dekat yang menyertai anak. Pertimbangkan jika
cidera dilaporkan sebagai suatu kecelakaan, apakah
penjelasan ini berlasan? Apakah cedera tersebut
konsisten dengan penjelasan yang diberikan? Apakah
cedera tersebut konsisten dengan kemampuan
perkembangan anak ? Rasional : Ketakutan terhadap
hukuman penjara atau kehilangan kesempatan
memelihara anak mungkin menempatkan orang tua
penyiksa pada sikap membela diri. Ketidaksesuaian
dapat ditandai dalam deskripsi kejadian, dan adanya
usaha untuk menutupu keterlibatan merupakan suatu
pertahanan diri yang umum yang dapat dilepaskan dalam
suatu wawancara yang dalam.
c. Gunakan pertandingan atau terapi bermain untuk
memperoleh rasa percaya anak. Gunakan teknik-teknik
ini untuk membantu dalam menjelaskan sisi lain dari
cerita anak tersebut Rasional : Menetapkan hubungan
saling percaya dengans eorang anak yang teraniaya
sangatlah sukar. Mereka mungkin tidak ingin untuk
disentuh. Jenis-jenis aktivitas bermain ini dapat
memberikan suatu lingkungan yang tidak mengancam

25
yang dapat meningkatkan usaha anak untuk
mendiskusikan masalah-masalah yang menyakitkan ini
d. Tentukan apakah cedera yang dialami dibenarkan
untuk dilaporkan kepada yang berwenang. Undang-
Undang negara yang spesifik harus masuk ke dalam
keputusan apakah ya atau tidak untuk melaporkan
dugaan penganiayaan seksual anak. Rasional : Suatu
laporan (umumhya dibuat) jika ada alasan untuk
mencurigai bahwa seseorang anak telah dicederai
sebagai suatu akibat penganiayaan seksual. Alasan untuk
mencirugai ditetapkan saat ada tandatanda
ketidaksesuaian atau ketidakkonsistenan dalam
menjelaskan cedera pada anak. Kebanayakan negara
membutuhkan individu-individu berikut melaporkan
kasus dari anak yang dicurigai dianiaya seksual : semua
pekerja kesehatan, semau terapis kesehatan jiwa, guru-
guru, pengasuhpengasuh anak, pemadam kebakaran,
anggota medis gawat darurat dan anggota penyelenggara
hukum. Laporan dibuat oleh Departemen Pelayanan
Sosial dan rehabiulitasi atau Badan penyelenggara
Hukum.

4. Koping individu tidak efektif berhubungan dengankelainan fungsi dari


system keluarga dan perkembangan ego yang terlambat, serta
penganiayaan dan pengabaian anak
Tujuan :
a. Anak mengembangkan dan menggunakan keterampilan
koping yang sesuai dengan umur dan dapat diterima sosial
dengan kriteria hasil :
b. Anak mampu menundakan pemuasan terhadap
keinginannya, tanpa terpaksa untuk menipulasi orang lain
c. Anak mampu mengekspresikan kemarahan dengan cara
yang dapat diterima secara sosial

26
d. Anak mampu mengungkapkan kemampuan-kemampuan
koping alternatif yang dapat diterima secara sosial sesuai
dengan gaya hidup dari yang ia rencanakan untuk
menggunakannya sebagai respons terhadap rasa frustasi

Intervensi :

a. Pastikan bahwa sasaran-sasarannya adalah realistis


Rasional : penting bagi anak untuk nmencapai sesuatu, maka
rencana untuk aktivitas-aktivitas di mana kemungkinan
untuk sukses adalah mungkin. Sukses meningkatkan harga
diri
b. Sampaikan perhatian tanpa syarat pada anak Rasional :
Komunikasi dari pada penerimaan anda terhadapnya sebagai
makhluk hidup yang berguna dapat meningkatkan harga diri
c. Sediakan waktu bersama anak, keduanya pada saty ke satu
basis dan pada aktivitas-aktivitas kelompok Rasional : Hal
ini untuk menyampaikan pada anak bahwa anda merasa
bahwa dia berharga bagi waktu anda
d. Menemani anak dalam mengidentifikasi aspek-aspek positif
dari dan dalam mengembangkan rencana-rencana untuk
merubah karakteristik yang lihatnya sebagai negatif Rasional
: identifikasi aspek-aspek positif anak dapat membantu
mengembangkan aspek positif sehingga mempunyai koping
individu yang efektif
e. Bantu anak mengurangi penggunaan penyangkalan sebagai
suatu mekanisme sikap defensif. Memberikan bantuan yang
positif bagi identifikasi masalah dan pengembangan dari
perilaku-perilaku koping yang lebih adaptif Rasional :
Penguatan positif membantu meningkatkan harga diri dan
meningkatkan penggunaan perilaku-perilaku yang dapat
diterima oleh anak
f. Memberi dorongan dan dukungan kepada anak dalam
menghadapi rasa takut terhadap kegagalan dengan mengikuti
aktivitas-aktivitas terapi dan melaksanakan tugas-tugas baru.

27
Beri pangakuan tentang kerja keras yang berhasil dan
penguatan positif bagi usaha-usaha yang dilakukan
Rasional : Pengakuan dan penguatan positif meningkatkan
harga diri.
5. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep
diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan
hubungan antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan
Tujuan :
Anak mampu mempertahankan ansietas di bawah tingkat sedang,
sebagaimana yang ditandai oleh tidak adanya perilaku-perilaku yang
tidak perilaku yang tidak mampu dalam memberi respons terhadap
stres .
Intervensi :
a. Bentuk hubungan kepercayaan dengan anak. Bersikap jujur,
konsisten di dalam berespons dan bersedia. Tunjukkan rasa hormat
yang positif dan tulus Rasional : Kejujuran, ketersediaan dan
penerimaan meningkatkan kepercayaan pada hubungan anak
dengan staf atau perawat
b. Sediakan aktivitas-aktivitas yang diarahkan pada penurunan
tegangan dan pengurangan ansietas (misalnya berjalan atau joging,
bola voli, latihan dengan musik, pekerjaan rumah tangga,
permainan-permainan kelompok Rasional : tegangan dan ansietas
dilepaskan dengan aman dan dengan manfaat bagi anak melalui
aktivitas-aktivitas fisik
c. Anjurkan anak untuk mengidentifikasi perasaan-perasaan yang
sebenarnya dan untuk mengenali sensiri perasaan-perasaan
tersebut padanya Rasional : Anak-anak vemas sering menolak
hubungan antara masalahmasalah emosi dengan ansietas mereka.
Gunakan mekanisme-mekanisme pertahanan projeksi dan
pemibdahan yang dilebih-lebihkan
d. Perawat harus mempertahankan suasana tentang Rasional :
Ansietas dengan mudah dapat menular pada orang lain

28
e. Tawarkan bantuan pada wajtu-waktu terjadi peningkatan ansietas.
Pastikan kembali akan keselamatan fisik dan fisiologis Rasional :
Keamanan anak adalah prioritas keperawatan
f. Penggunaan sentuhan menyenangkan bagi beberaoa anak.
Bagaimanapun juga anak harus berhati-hati terhadap
penggunaannya Rasional : sebagaimana ansietas dapat membantu
mengembangkan kecurigaan pada beberapa individu yang dapat
salah menafsirkan sentuhan sebagai suatu agresi
g. Dengan berkurangnta ansietas, temani anak untuk mengetahui
peristiwa-peristiwa tertentu yang mendahului serangannya.
Berhasil pada respons-respons alternatif pada kejadian selanjutnyta
Rasional : Rencana tindakan memberikan anak perasaan aman
untuk penanganan yang lebih berhasil terhadap kondisi yang sulit
jika terjadi lagi
h. Berikan obat-obatan dengan obat penenang sesuai dengan yang
diperintahkan. Kaji untuk keefektifitasannya, dan beri
petunjukkepada anak mengenai kemungkinan efek-efek samping
yang memberi penharuh berlawanan Rasional : Obat-obatan
terhadap ansietas (misalnya diazepam, klordiasepoksida,
alprazolam) memberikan perasaan lega terhadap efek-efek yang
tidak berjalan dari ansietas dan mempermudah kerjasama anak
dengan terapi.

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif


Tujuan :
a. Anak mampu untuk mencapai tidur tidak terganggu selama 6
sampai 7 jamn setiap malam dengan kriteria hasil:
b. Anak mengungkapkan tidak adanya gangguan-gangguan
pada waktu tidur
c. Tidak ada gangguan-gangguan yang dialamti oleh perawat
d. Anak mampu untuk mulai tidur dalam 30 menit dan tidur
selama 6 sampai 7 jam tanpa terbangun

29
Intervensi

a. Amati pola tidur anak, catat keadaan-keadaan yang


menganggu tidur Rasional : Masalah harus diidentifikasi
sebelum bantuan dapat diberikan
b. Kaji gangguan-gangguan pola tidur yang berlangsung
berhubungan dengan rasa takut dan ansietas-ansietas
tertentu Rasional : Ansietas yang dirasakan oleh anak
dapat mengganggu pola tidur anak sehingga perlu
diidentifikasi penyebabnya
c. Duduk dengan anak sampai dia tertidur Rasional :
kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan rasa
aman
d. Pastikan bahwa makanan dan minuman yang
mengandung kafein dihilangkan dari diet anak Rasional :
Kafein adalah stimulan SSP yang dapat mengganggu
tidur
e. Berikan sarana perawatan yang membantu tidur
(misalnya : gosok punggung, latihan gerak relaksasi
dengan musik lembut, susu hangat dan mandi air hangat)
Rasional : Sarana-sarana ini meningkatkan relaksasi dan
membuat bisa tidur
f. Buat jam-jam tidur yang rutin, hindari terjadinya deviasi
dari jadwal ini Rasional : Tubuh memberikan reaksi
menyesuaikan kepada suatu siklus rutin dari istirahat dan
aktivitas
g. Beri jaminan ketersediaan kepada anak jika dia
terbangun pada malam hari dan dalam keadaan
ketakutan Rasional : Kehadiran seseorang yang
dipercaya memberikan rasa aman.

7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan


balik atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan
penurunan makna diri

30
Tujuan :
a. Anak akan mendemonstrasikan kemampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain tanpa menjadi defensif,
perilaku merasionalisasi atau mengekspresikan pikiran
waham kebesaran dengan kriteria hasil :
b. Anak mengungkapkan dan menerima tanggung jawab
terhadap perilakunya sendiri
c. Anak mengungkapkan korelasi antara perasaan-perasaan
ketidakseimbangan dan keperluan untuk mempertahankan
ego melalui rasionalisasi dan kemuliaan
d. Anak tidak menertawakan atau mengkritik orang lain
e. Anak berinteraksi dengan orang lain dengan situasi-situasi
kelompok tanpa bersikap defensive
Intervensi :
a. Kenali dan dukung kekuatan-kekuatan ego dasar Rasional :
memfokuskan pada spek-aspek positif dari kepribadian dapat
membantu untuk memperbaiki konsep diri
b. Beri semangat kepada anak untuk menteahui dan mengungkapkan
dan bagaimana perasaan ini menimbulkan perilaku defensif, seperti
menyalahkan oprang lain karena prilakunya sendiri Rasional :
Pengenalan masalah adalah langkah pertama pada proses perubahan
ke arah resolusi
c. Berikan segera sebenarnya umpan balik yang tidaj mengancam
untuk perilaku-perilaku yang tidak dapat diterima Rasional : Anak
mungkin kurang pengetahuan tentang bagaiamna dia diterima oleh
orang lain. Berikan informasi ini dengan cara yang tidak
mengancam dapat membantu untuk mengeliminasi perilaku yang
tidak diinginkan
d. Bantu anak untuk mengidentifikasi situasi-situasi yang
menimbulkan sifat defensif dan praktik bermain peran dengan
respons-respons yang lebih sesuai Rasional : Bermain peran
memberikan percaya diri untuk menghadapi situasi-situasi yang
sulit jika hal-hal tersebut benar-benar terjadi

31
e. Berikan dengans egera umpan balik positif bagi perilaku-perilaku
yang dapat diterima Rasional : Umpan balik positif meningkatkan
harga diri dan memberi semangat untuk mengulangi perilaku-
perilaku yang diinginkan
f. Membantu anak untu menetapkan sasaran-sasaran yang realistis,
konkret dan memerlukan tindakan-tindakan yang cocok untuk
mencapai sasaransasaran ini Rasional : Keberhasilan akan
meningkatkan harga diri
g. Evaluasi dengan anak keefektifan perilaku-perilaku yang baru dan
diskusikan adanya perubahan untuk perbaikan Rasional : Karena
keterbatasan kemampuan untuk memecahkan masalah, bantuan
mungkin diperlukan untuk menetapkan kembali dan
mengembangkan strategi baru, pada keadaan di mana metode-
metode koping baru tertentu terbukti tidak efektif.

8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah


yang berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota
keluarga mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena
menghadapi anak dengan gangguan dalam jangka waktu lama.
Tujuan :
a. Orang tua mendemonstrasikan metode intervensi yang lebih
konsisten dan efektif dalam berespons perilaku anak dengan
kriteria hasil :
b. Mengungkatkan dan mengatasi perilaku negatif pada anak
c. Mengidentifikasi dan menggunakan sistem pendukung yang
diperlukan Intervensi :
a) Berikan informasi dan material yang
berhubungan dengan gangguan anak dan
teknik menjadi orang tua yang efektif
Rasional : Pengetahuan dan ketrampilan yang
tepat dapat meningkatkan keefektifan peran
orang tua
b) Dorong individu untuk mengungkapkan
perasaan secara verbal dan menggali alternatif

32
cara berhubungan dengan anak Rasional :
Konseling suportif dapat membantu keluarga
dalam mengembangkan strategi koping
c) Beri umpan balik positif dan dorong metode
menjadi orang tua yang efektif Rasional :
Penguatan positif dapat meningkatkan harga
diri dan mendorong kontinuitas upaya
d) Libatkan saudara kandung dalam diskusi
keluarga dan perencanaan interaksi keluarga
yang lebih efektif Rasional : Masalah keluarga
mempengaruhi semua anggota keluarga dan
tindakan lebih efektif bila setiap orang terlibat
dalam terapi tersebut
e) Libatkan dalam konseling keluarga Rasional :
terapi keluarga dapat membantu mengatasi
masalah global yang mempengaruhi seluruh
struktur keluarga. Gangguan pada salah satu
anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh
anggota keluarga
f) Rujuk pada sumber komunitas esuai indikasi,
termasuk kelompok pendukung orang tua,
kelas menjadi orang tua Rasional :
mengembangkan sistem pendukung dapat
meningkatkan kepercayaan diri dan
keefektifan orang tua. Pemberian model peran
atau harapan untuk masa depan

9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan


kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi,
interpretasi yang salah tentang informasi
Tujuan :
a. Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang
penyebab masalah perilaku, perlunya terapi dalam
kemampuan perkembangan dengan kriteria hasil :

33
b. Berpartisipasi dalam pembelajaran dan m,ulai bertanya dan
mencari informasi secara mandiri
c. Mencapai tujuan kognitive yang konsisten sesuai tingkat
temperamen

Intervensi :

a. Berikan lingkungan yang tenang, ruang kelas berisi


dirinya sendiri, aktivitas kelompok kecil. Hindari
tempat yang terlalu banyak stimulasi, seperti bus
sekolah, kafetaria yang ramai, aula yang ramai
Rasional : Peredaan dalam stimulasi lingkungan dapat
menurunkan distraktibilitas. Kelompok kecil dapat
meningkatkan kemampuan untuk tepat pada tugas dan
membantu klien mempelajari interaksi yang tepat
dengan orang lain, menghindari rasa terisolasi
b. Beri materi petunjuk format tertulis dan lisan dengan
penjelasan langkah demi langkah Rasional :
Keterampilan belajar yang terurut akan meningkat.
Mengajarkan anak keterampilan pemecahan masalah,
mempraktikkan contoh situasional. Keterampilan
efektif dapat meningkatkan tingkat prestasi
c. Ajarkan anak dan keluarga tentang penggunaan
psikostimulan dan antisipasi respons perilaku Rasional
: penggunaan psikostimulan mungkin tidak
mengakibatkan perbaikan kenaikan kelas tanpa
perubahan pada ketrampilan studi anak
d. Koordinasi seluruh rencana terapi dengan sekolah
personel sederajat, anak, dan keluarga Rasional :
keefektifan kognitif paling mungkin meningkat ketika
terapi tidak terfragmentasi, juga tidak terlewatkannya
intervensi signifikan karena kurangnya komunikasi
interdisiplin.

L. DISCHARGE PLANNING

34
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain :
1. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi
2. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer
3. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya
4. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka
5. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada
6. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera
7. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer
8. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia
untuk dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan
9. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi
bermain
10. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif

35
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakangan ini
semakin banyak muncul dipermukaan. Hal ini belum tentu merupakan indikator
meningkatnya jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi adalah fenomena
gunung es, jumlah yang terlihat belum tentu menunjukkan fakta yang
sesungguhnya.Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum
merupakan salah satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual.
Penganiayaan seksual pada anak didefinisikan sebagai adanya tindakan seksual
yang mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden membuka pakaian, menyentuh
dengan cara yang tidak pantas dan penetrasi (koitus seksual), yang dilakukan
dengan seorang anak untuk kesenangan seksual orang dewasa. Insest telah
didefinisikan sebagai eksploitasi seksual pada seorang anak di bawah usia 18 tahun
oleh kerabat atau buka kerabat yang merupakan orang dipercaya dalam keluarga
(Townsend, 1998). Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin
sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain.
Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-
memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya,
baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya. Dengan adanya
azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang

36
mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali
menjadi korban (Maria, 2008). Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan
pada genital dan anus, fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan
penipisan/kerusakan hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap
anak umumnya berjangka panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi
buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku
baik menjadi buruk.

B. SARAN

Berdasarkan asuhan keperawatan anak pada retardasi mental maka disarankan :


1. Perawat
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan seksual
abuse dapat melibatkan anak dalam brain Gym untuk memfokuskan perhatian
anak dan melupakan peristiwa trauma akibat penganiayaan seksual.
2. Sekolah
Sekolah dapat bekerja sama dengan keluarga dan para dokter untuk membantu
anak korban aniaya seksual di sekolah. Komunikasi terbuka antara orangtua dan
staf sekolah dapat merupakan kunci keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri
di sekolah.
3. Keluarga/Orang tua
Keluarga atau orang tua dalam membantu anak yang mengalami seksual abuse
harus memberikan perawatan anak dengan metode yang berbeda dengan anak
yang normal. Oleh karena itu hendaknya orang tua atau keluarga menyusun
kegiatan sehingga anak mempunyai rutinitas yang sama tiap hari, mengatur
kegiatan harian, menggunakan jadwal untuk pekerjaan rumah, dan
memperpertahankan aturan secara konsisten dan berimbang.

37
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E. Townsend, M.C. Moorhouse, M.F. (2007). Rencana asuhan


keperawatan
Psikiatri (terjemahan).Edisi 3.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Elia, H. (2003). Korban Pelecehan Seksual Usia Muda ..!.
http://64.203.71.11/kesehatan/news/0307/21/103523.htm. Diakses tanggal 28
Februari 2015
FKUI.(2006). Pendahuluan Sebuah Tinjauan .http://www.freewebs.com/
childabusea1/.htm. Diakses tanggal 28 Februari 2015 Freewebs, (2006).Pola
Child
Sexual Abuse. http://www.freewebs.com/ forensik_sexual_abuse/.htm. Diakses
tanggal 28 Februari 2015
Jeanne Wess, and Videbeck (2008) Metode Penelitian Pengetahuan Sosial. Alih bahasa:
Sulistia, Mujianto, Sofwan, Ahmad, dan Suhardjito. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Maria. (2008). Hadapi Kekerasan Seksual Pada Anak Hendaknya Tetap
Mempertimbangkan Faktor Psikologis
http://apindonesia.com/new/index.php?option=com_content&task
=view&id=1656&Itemid=62. Diakses 28 Februari 2015

Minangsari, D. (2007. Merespons Anak yang Mengalami Pelecehan Seksual!.

38
http://www.kesrepro.info/?q=node/194. Diakses tanggal 28 Februari 2015

Pramono, B. (2009). Penyiksaan Anak.


http://groups.yahoo.com/group/ urantiaindonesia/message/1516. Diakses
tanggal 28 Februari 2015 41
Smith, M.S. (1998). Sexual harassment in the Workplace: Perspectives, Frontiers and
Response Strategies. Vol 5 Women & Work, Sage Publications, New
Delhi.
Suda, I.K, (2006). Topik Interaktif: "Membedah Penyebab Kekerasan Seksual terhadap
Anak"Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak
http://www.dradio1034fm.or.id/detail.php?id=4269. Diakses 28 Februari
2015

Townsend, M.C. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri
pedoman Untuk Pembuatan rencana Perawatan (terjemahan).Edisi
3.Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC

39

Anda mungkin juga menyukai