Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK II

AIDS PADA ANAK

Dosen Pengampu
Ns. Ika Purnamasari,. M.Kep

Disusun Oleh :
1. Devika Amara Safiitri (2021270064)
2. Aji Tarno Arif Sujjatmiko (2021270078)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN
JAWATENGAH DI WONOSOBO
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah AWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul AIDS Pada Anak. Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas kelompok
mata kuliah Keperawatan Anak II yang diampu oleh Ns. Ika Purnamasari,. M.Kep.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Wonosobo, 09 Desember 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
AIDS (Acquire Immune Deficiency Sindrom) merupakan kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut
HIV (Rendi & Margareth, 2012). Human Immunodeficiency Virus (HIV)
merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh menurun yang
kemudian mengakibatkan AIDS (Hutapea, 2015). HIV/AIDS untuk pertama
kali ditemukan pada tahun 1981 di Atlanta, Amerika Serikat. Jumlah
HIV/AIDS cenderung meningkat dan terjadi perluasan penyebaran di daerah
terinfeksi. Di Indonesia, sejak pertama kali dijumpai kasus infeksi HIV pada
tahun 1987.(Hutapea, 2015) Penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi dan anak
bisa terjadi saat masa antepartum (dalam kandungan) , intrapartum (selama
persalinan), postpartum (bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang
terinfeksi), melalui pemberian ASI dan penularan melalui darah yang tercemar
HIV (Nursalam & Kurniawati, 2009). Saat ini pentingnya pencegahan
penularan HIV dari Ibu ODHA ke bayi dimana sebagian besar ODHA
perempuan berada pada usia subur, lebih dari 90% kasus HIV pada anak
ditularkan dari ibunya pada masa prenatal.
Menurut (UNAIDS, 2019) jumlah anak di bawah 15 tahun yang terinfeksi
HIV/AIDS di dunia tahun 2018 sejumlah 1.700.000 kasus, sedangkan anak di
bawah 15 tahun yang baru terinfeksi HIV/AIDS di dunia tahun 2018 sejumlah
160.000 kasus dan anak yang meninggal di bawah 15 tahun yang terinfeksi
HIV/AIDS di dunia tahun 2018 sejumlah 100.000 kasus. 2 Jumlah AIDS di
Indonesia yang dilaporkan pada tahun 1987 – Maret 2019 total 115.601 kasus
dengan 1.536 kasus perbulan Januari Sampai Maret 2019 , sedangkan jumlah
HIV di Indonesia yang dilaporkan sejak tahun 2005 – Maret 2019 total 338.363
kasus dengan 11.081 kasus perbulan Januari Sampai Maret 2019. Indonesia
terdiri dari 34 Provinsi, dimana Bali memasuki urutan ke 6 dari 10 provinsi
yang melaporkan jumlah HIV terbanyak pada bulan Januari-Maret 2019 dengan
jumlah 577 kasus. Jumlah AIDS terbanyak pada bulan Januari-Maret 2019, Bali
masuk peringkat ke 4 dari 10 Provinsi dengan AIDS sebanyak 157 kasus.
(Kementerian Kesehatan RI, 2019) Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Bali
data kumulatif kasus HIV menurut kelompok umur dari tahun 1987-November
2019 di Provinsi Bali jumlah kasus HIV pada anak dengan kelompok umur 5-14
tahun sebanyak 164 kasus, diikuti kelompok umur 1-4 tahun sebanyak 455
kasus dan dibawah 1 tahun sebanyak 154 kasus. Berdasarkan data dari Rumah
Sakit Umum Daerah Wangaya jumlah anak dengan positif HIV di Ruang
Kaswari dari tahun 2017 – 2019 mengalami peningkatan, terdapat 422 kasus
tahun 2017, 546 kasus tahun 2018 dan 598 kasus tahun 2019.
Berdasarkan hasil penelitian (Oumer et al., 2019) penelitian berjudul
Malnutrition as predictor of survival from anti-retroviral treatment among
children living with HIV/AIDS in Southwest Ethiopia: survival analysis
menjelaskan bahwa anak yang terinfeksi HIV/AIDS yang menerima terapi anti
retrovirus mengalami kehilangan nafsu makan, kesulitan menelan dan muntah.
Sebanyak 239 anak dari 243 anak yang dengan prevalensi 98,4 % dilaporkan
mengikuti konseling gizi 3 selama masa tindak lanjut terapi anti retrovirus.
Prevalensi anak yang mengalami kehilangan napsu makan 95,7%, kesulitan
menelan 41,7% dan muntah 49,7%. Masalah keperawatan yang muncul pada
anak dengan HIV/AIDS salah satunya yaitu defisit nutrisi, dimana defisit
nutrisi merupakan asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolism (SDKI DPP PPNI, 2016).
Penyebab dari defisit nutrisi yaitu ketidakmampuan menelan makanan,
ketidakmampuan mencerna makanan, ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient,
peningkatan kebutuhan metabolism, faktor ekonomi (mis. Finansial tidak
mencukupi), faktor psikologis (mis. Stress, keengganan untuk makan). Upaya
yang dapat dilakukan untuk mengatasi defisit nutrisi yaitu dengan manajemen
nutrisi dan promosi berat badan (SIKI DPP PPNI, 2018). Gejala dan tanda
mayor dari deficit nutrisi secara objektif yaitu berat badan menurun minimal
10% di bawah rentang ideal, sedangkan gejala dan tanda minor secara subyektif
yaitu cepat kenyang setalah makan, kram/nyeri perut, nafsu makan menurun
dan secara obyektif yaitu bising usus hiperaktif, otot pengunyah lemah, otot
menelan lemah, membrane mukosa pucat, sariawan, serum albumin turun,
rambut rontok berlebih, diare.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari AIDS ?
2. Apa Klasifikasi AIDS ?
3. Bagaimana Komplikasi AIDS pada anak ?
4. Bagaimana patofisiologi AIDS pada anak ?
5. Bagaimana pencegahan AIDS pada anak ?
6. Bagaimana penatalaksanaan AIDS pada anak?
7. Bagaimana Pandangan Islam tentang AIDS pada anak ?
8. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan AIDS pada anak ?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi AIDS
2. Mengetahui klasifikasi pada AIDS
3. Memahami Komplikasi AIDS pada anak
4. Memahami patofisiologi AIDS pada anak
5. Memahami pencegahan AIDS pada anak
6. Memahami penetalaksanaan AIDS pada anak
7. Memahami pandangan Islam tentang AIDS pada anak
8. Memahami Konsep Asuhan Keperawatan AIDS pada anak
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Menurut Agustina (2017) Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
merupakan kumpulan gejala penyakit akibat penurunan system imun tubuh
yang disebabkan oleh retrovirus yaitu HIV yang menyebabkan penurunan
kekebalan system kekebalan tubuh secara simptomatis atau asimptomatis. HIV
atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus penyebab AIDS yang dapat
menurunkan system kekebalan tubuh karena menyerang leukosit. Virus HIV
asalah retrovirus yang termasuk dalam family lentivirus. Virus HIV
mempunyai enzim revese transcriptase yang memungkinkan virus ini untuk
mengubah informasi genetic yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA
(Dian, 2017).
Seseorang yang terinfeksi HIV dapat diibaratkan sebagai gunung es
(Lestary, Sugiharti dan Susyanty, 2016) yang dimana HIV memang tidak
tampak tetapi penyebarannya mengakibatkan banyaknya kasus HIV baik di
Indonesia maupun di dunia. AIDS / Acquired Immune Deficiency Syndrom
merupakan sekelompok gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus HIV.
Gejalanya ditandai dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh sehingga dapat
menimbulkan neoplasma sekunder, infeksi oporturnistik, dan manifestasi
neurologis lainnya (Kummar, et al. dalam Yuliyanasari, 2016).
Perkembangan dari mulai terpaparnya virus HIV hingga ke fase AIDS
membutuhkan waktu yang cukup lama yakni dengan masa inkubasi selama 6
bulan – 5 tahun, dalam masa tersebut orang yang terpapar virus HIV akan terus
mengalami penurunan kekebalan (Nandasari & Hendrati, 2015).
B. Klasifikasi
1. Fase 1
Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar dan
terinfeksi. Tetapi ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan
tes darah. Pada fase ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja
terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan
sembuh sendiri).
2. Fase 2
Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini
individu sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah
dapat menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala –
gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).
3. Fase 3
Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala AIDS.
Gejala – gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada
waktu malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening,
flu yang tidak sembuh – sembuh, nafsu makan berkurang dan badan
menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini
sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.
4. Fase 4
Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan
tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul penyakit
tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru –
paru yang menyebabkan radang paru – paru dan kesulitan bernafas, kanker,
khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi usus yang
menyebabkan diare parah berminggu – minggu, dan infeksi otak yang
menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala
C. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia
oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik Kompleks dimensia AIDS
karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel
saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi social. Enselophaty akut, karena reaksi
terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis
/ ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total /
parsial. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik,
dan maranik endokarditis. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh
serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV).
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma,
dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat
badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik,demam atritis.
c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal
yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri
rectal, gatal-gatal dan siare.
4. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas
pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek
nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri.
D. Patofisiologi
Penularan HIV ke Bayi dan Anak, bisa dari ibu ke anak, penularan melalui
darah, penularan melalui hubungan seksual (pelecehan seksual pada anak).
Penularan dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS
sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun), sehingga terdapat risiko
penularan infeksi yang bisa terjadi saat kehamilan (in uteri). Berdasarkan
laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah
0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS,
kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% SAMPAI 35%, sedangkan jika
sudah ada gejala pada ibu kemungkinan mencapai 50%.penularan juga terjadi
selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit
atau membran mucosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan . semakin lama proses kelahiran, semakin besar pula risiko
penularan, sehingga lama persalinanbisa dicegah dengan operasi sectio
caecaria. Transmisi lain juga terjadi selama periode postpartum melalui ASI,
risiko bayi tertular melaui ASI dari ibu yang positif sekitar 10% (Nurs dan
Kurniawan, 2013:161).
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS
diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50%
orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun
pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS.
Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat,
virus HIVmenyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi
infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang
disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya
menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus
yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang
disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker
atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama
sel-sel limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+
atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan
mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag
dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel
ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T
penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya
terhadap infeksi dan kanker. Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan
kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau
tahun. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL
darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya
menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan
HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam
darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam
darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita.
Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut.
Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah
membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi
menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+
biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka
penderita menjadi rentan terhadap infeksi. Infeksi HIV juga menyebabkan
gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan antibodi) dan
seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini
terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita,
tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi
oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit
CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan
tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah virus HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan
sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode jendela”
(window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama
lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap
HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian baru
timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan sindrom/kumpulan
gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai menjadi AIDS membutuhkan
waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah
diketahui HIV positif. (Heri, 2012).
E. Pencegahan
Penularan HIV dari dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui 4 cara, mulai saat
hamil, saat melahirkan dan setelah lahir yaitu: penggunaan antiretroviral
selama kehamilan, penggunaan antiretroviral saat persalinan dan bayi yang
baru dilahirkan, penggunaan obstetrik selama selama persalinan,
penatalksanaan selama menyusui. Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral
load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh
kurang efektif untuk menularkan HIV. Persalinan sebaiknya dipilih dengan
metode sectio caecaria karena terbukti mengurangi resiko risiko penularan HIV
dari ibu ke bayi sampai 80%.walaupuncaesaria. demikian bedah caesar juga
memiliki risiko penularan HIV dari ibu kebayi sampai 80%. Bila bedah caesar
selektif disertai penggunaan terapi antiretroviral, maka risiko dapat ditirinkan
sampai 87%. Walaupun demikian bedah caesar juga mempunyai risiko karena
imunitas ibuyang rendah sehingga bisa terjadi keterlambatan penyembuhan
luka, bahkan bisa terjadi kematian saat operasi oleh karena itu persalinan
pervaginam dan sectio caecaria harus dipertimbangkan sesuai kondisi gizi,
keuangan, dan faktor lain. Namun jika melahirkan dengan pervaginam maka
beberapa tindakan harus dihindari untuk meminimalisir risiko, seperti terlalu
sering melakukan pemeriksaan dalam atau memecahkan ketuban sebelum
pembukaan lengkap (Nurs dan Kurniawan, 2013:165).
F. Penatalaksanaan
1. Pengobatan pada Anak dengan HIV/AIDS
Prinsip pemberian ART pada anak hampir sama dengan dewasa, tetapi
pemberian ART pada anakmemerlukan perhatian khusus tentang dosisi dan
toksisitasnya. Pada bayi, sistem kekebalannya mulai dibentuk dan
berkembang selama beberapa tahun pertama. Efek obat pada bayi dan anak
juga akan berbeda dengan orang dewasa (Nurs dan Kurniawan, 2013:168).
Pedoman pengobatan HIV/AIDS pada Anak menurut (Departemen
Kesehatan Indonesia: Direktotat Jendran Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2008:35) yaitu Rejimen Lini pertama yang
direkomendasikan adalah 2 Nucleosida Reverse Transkriptase Inhibitor
(NRTI) + 1 Non Nucleosida Reverse Transkriptase Inhibitor (NNRTI):
2. Perawatan pada Anak dengan HIV/AIDS
a. Nutrisi pada Anak dengan HIV/AIDS
Pemberian Nutrisi pada bayi dan anakdengan HIV/AIDS tidak
berbeda dengan anak yang sehat, hanya saja asupan kalori dan proteinnya
perlu ditingkatkan. Selain itu perlu juga diberikan multivitamin, dan
antioksidan untuk mempertahankan kekebalan tubuh dan menghambat
replikasi virus HIV. sebaiknya dipilih bahan makanan yang risiko
alerginya rendah dan dimasak dengan baik untuk mencegah infeksi
oportunistik. Sayur dan buah-buahan juga harus dicuci dengan baik dan
sebaiknya dimasak sebelum diberikan kepada anak. Pemberian (Nurs dan
Kurniawan, 2013:167).
b. Dukungan sosial spiritual pada Anak dengan HIV/AIDS
Anak yang didiagnosis HIV juga mendatangkan trauma emosi yang
mendalam bagi keluarganya. Orang tua harus menghadapi masalah berat
dalam perawatan anak, pemberian kasih sayang, dan sebagainya sehingga
dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak. Orang tua memerlukan
waktu untuk mengatasi masalah emosi, syok, kesedihan, penolakan,
perasaan berdosa, cemas, marah, dan berbagai perasaan lain. Anak perlu
diberikan dukungan terhadap kehilangan dan perubahan mencaku (1)
memberi dukungan dengan memperbolehkan pasien dan keluarga untuk
membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan perasaan keluarga, (2)
membangkitkan harga diri anak serta keluarganya dengan melihat
keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah, (3)
menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya, (4)
mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat
mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau orang lain (Nurs dan
Kurniawan, 2013:169).
G. Pandangan Islam tentang AIDS pada anak
“Sesungguhnya Allah Taala mengutus seorang malaikat di dalam rahim.
Malaikat itu berkata: Ya Tuhan! Masih berupa air mani. Ya Tuhan! Sudah
menjadi segumpal darah. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal daging.
Manakala Allah sudah memutuskan untuk menciptakannya menjadi manusia,
maka malaikat akan berkata: Ya Tuhan! Diciptakan sebagai lelaki ataukah
perempuan? Sengsara ataukah bahagia? Bagaimanakah rezekinya? Dan
bagaimanakah ajalnya? Semua itu sudah ditentukan dalam perut ibunya”.
(Shahih Muslim No.4785).
H. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Fokus Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR
b. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori
ditemui keluhan utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui pada
pasien HIV AIDS yaitu, demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan),
diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus,
penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan,
infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida
Albicans, pembengkakan kelenjer getah bening diseluruh tubuh,
munculnya Harpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh
tubuh.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS
adalah : pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien
yang memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada dan
demam, pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat
badan drastis.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya
riwayat penggunaan narkotika suntik, hubungan seks bebas atau
berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS, terkena cairan tubuh
penderita HIV/AIDS.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang
menderita penyakit HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua
yang terinfeksi HIV. Pengkajian lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat
pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja di tempat hiburan malam,
bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial).
2. Pola aktivitas sehari-hari (ADL)
a. Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan menglami perubahan atau
gangguan pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti
pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien
kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung
dibantu oleh keluarga atau perawat.
c. Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu makan,
mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami
penurunan BB yang cukup drastis dalam waktu singkat (terkadang lebih
dari 10% BB).
d. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus berdarah.
e. Pola Istirahat dan tidur
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur mengalami
gangguan karena adanya gejala seperi demam dan keringat pada malam
hari yang berulang. Selain itu juga didukung oleh perasaan cemas dan
depresi pasien terhadap penyakitnya.
f. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami
perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya
seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka yang menarik diri dari
lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerja, karena depresi terkait
penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh yang lemah.
g. Pola presepsi dan konsep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah, cemas,
depresi, dan stres.
h. Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan, dan
gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya
ingat, kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan
kognitif lain yang terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.
i. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang dapat
mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien merasa malu atau harga
diri rendah.
j. Pola penanggulangan stres
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisah
dan depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu perawatan,
perjalanan penyakit, yang kronik, perasaan tidak berdaya karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain-lain, dapat menyebabkan
penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang kontruksif
dan adaptif.
k. Pola reproduksi seksual
Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya terganggu
karena penyebab utama penularan penyakit adalah melalui hubungan
seksual.
l. Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal nya akan
berubah, karena mereka menggap hal menimpa mereka sebagai balasan
akan perbuatan mereka. Adanya perubahan status kesehatan dan
penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai dan kepercayaan pasien
dalam kehidupan pasien, dan agama merupakan hal penting dalam hidup
pasien.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran Umum
Compos mentis cooperatif, sampai terjadi penurunan tingkat kesadaran,
apatis, samnolen, stupor bahkan coma.
b. Berat Badan
Biasanya terdapat penurunan
c. Tinggi Badan
Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap)
d. Kepala
Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis seboreika
e. Mata
Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak ikhterik, pupil
isokor, reflek pupil terganggu,
f. Hidung
Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
g. Gigi dan Mulut
Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-bercak putih seperti krim
yang menunjukkan kandidiasi.
h. Leher
kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi jamur
Cryptococcus neoformans), biasanya ada pembesaran kelenjer getah
bening,
i. Jantung
Biasanya tidak ditemukan kelainan
j. Paru-paru
Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi dinding dada pada pasien
AIDS yang disertai dengan TB, Napas pendek (cusmaul), sesak nafas
(dipsnea).
k. Abdomen
Biasanya terdengar bising usus yang Hiperaktif
l. Kulit
Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-tanda lesi (lesi
sarkoma kaposi).
m. TD
Biasanya ditemukan dalam batas normal
n. Nadi Pernafasan
Terkadang ditemukan frekuensi pernafasan meningkat
o. Suhu
Biasanya ditemukan Suhu tubuh menigkat karena demam.
p. Ekstremitas
Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun, akral dingin.

4. Diagnosa Keperawatan (SDKI)

a. Defisit Nutrisi (D.0019)


b. Gangguan Interaksi Sosial (D.0118)
c. Resiko Infeksi (D.0142)
d. Resiko Ketidakseimbangan Cairan (D.0036)
5. Rencana Tindakan Keperawatan

a. Defisit Nutrisi (D.0019)


Kriteria Hasil Intervensi
Nafsu makan (L.03024) Managemen Nutrisi (I.030119)
1. Keinginan makan meningkat 1. Identifikasi nutrisi
2. Kemampuan merasakan 2. Identifikasi elergi dan
makanan meningkat intoleransi makanan
3. Asupan nutrisi meningkat 3. Berikan makanan yang tinggi
4. Stimulasi untuk makan kalori dan tinggi protein
meningkat 4. Berikan makanan yang tinggi
serat serat untuk mencegah
konstipasi
5. Ajarkan diet yang di
programkan
6. Kolaborasi dengan ajli gizi
untuk menentukan jumlah kalori
b. Gangguan interaksi sosial (D.0118)
Kriteria Hasil Intervensi
Interaksi Sosial (L.13115) Modifikasi perilaku keterampilan
1. Perasaan nyaman dengan situasi sesial :
sosial membaik 1. Identifikasi penyebab
2. Perasaan mudah menerima atau kurangnya keterampilan sosial
mengkomunikasikan perasaan 2. Identifikasi fokus pelatihan
membaik keterampilan sosial
3. Kontak mata membaik 3. Motivasi untuk berlatih
4. Kooperatif dalam bermain keterampilan sosial
dengan teman sebaya membaik 4. Jelaskan tujuan melatih
5. Perilaku sesuai usia membaik keterampilan sosial
5. Edukasi keluarga untuk
dukung keterampilan sosial

c. Resiko Infeksi
Kriteria Hasil Intervensi
Tingkat Infeksi (L.14137) Pencegahan Infeksi (I.14539)
1. Kenersihan badan membaik 1. Monitor tanda dan gejala lokan
2. Gangguan kognitif membaik dan sistemik
3. Demam membaik 2. Batasi jumlah pengunjung
3. Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan pasien
dan lingkungan pasien
4. Jelaskan tanda dan gelaja infeksi
5. Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
6. Kolaborasi pemberian imunisasi,
jika perlu
d. Resiko Ketidakseimbangan Cairan (D.0036)
Kriteria Hasil Intervensi
Keseimbangan Cairan (L.03020) Managemen Cairan
1. Asupan cairan tercukupi 1. Monitor status hidrasi
2. Dehidrasi membaik 2. Monitor berat badan harian
3. Tekanan darah arteri rata – rata 3. Monitor berat badan sebelum
membaik dan sesudah dianalisis
4. Mata cekung membaik 4. Catat intake output dan hitung
5. Berat badan membaik balance cairan
5. Berikan asupan cairan sesuai
kebutuhan
6. Berikan cairan inta vena, jika
perlu
7. Kolaborasi pemberian diuretik,
juka perlu
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. HIV/AIDS yang terjadi pada anak dapat karena penularan dari ibu saat
kehamilan, ataupun saat kelahiran selain itu, HIV pada anak juga dapat
terjadi akibat pelecehan seksual pada anak.
2. Diagnosis HIV pada anak dengan pemeriksaan darah untuk mendeteksi virus
HIV pada anak, dapat dilakukan 2 kali yaitu sebelum dan setelah umur 18
bulan.Salah satu pencegahan penularan HIV pada anak akibat transmisi
maternal yaitu dengan sectio caesaria.
3. Penatalaksanaan kasus HIV pada Anak, tidak hanya pengaturan ART,
namun juga faktor Nutrisi harus diperhatikan mengiingat anak adalah fase
pertumbuhan.
4. Kasus HIV pada anak, menurut Kajian dalam Islam dapat dikategorikan
sebuah takdir dari penipta, sehingga perlu kesabaran.
B. Saran
Transmisi penularan HIV pada anak disominasi akibat penularan dari ibu
ke anak, sehingga untuk memutuskan mata rantai HIV pada anak, peranan
berbagai tim kesehatan sangat mengingat anak sebagai generasi lanjutan yang
sangat diperlukan untuk berlangsungnya proses regenerasi, sehingga tim
kesehatan terkhususnya, harus memberikan perhatian khusus pada kasus
tersebut. Salah satu upaya nyata adalah memberikan edukasi kepada
masyarakat luas, terutama ibu hamil agar malakukan pemeriksaan deteksi HIV.
Dan mengkonsumsi ART apabila positif HIV. Serta Sectio Caesaria saat partus.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, D. R., Efiyanti, C., Yunihastuti, E., Ujainah, A., & Rozaliyani, A.
(2017). Diagnosis dan Tata Laksana Pneumocystis Carinii Pneumonia
(PCP)/Pneumocystis Jirovecii Pneumonia pada pasien HIV: Sebuah
Laporan Kasus. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 4(4), 209.
https://doi.org/10.7454/jpdi.v4i4.149

Alan, N., & Khorshid, L. (2019). The effects of different positions on saturation
and vital signs in patients. Nursing in Critical Care.
https://doi.org/10.1111/nicc.12477

Brunner & Suddarth’s. (2013). Medical Surgical Nursing (12nd edn). In Medical
Surgical Nursing (2nd edn). Wolters Kluwer health.
https://doi.org/10.5005/jp/books/10522

Hidayati, afif nurul, Rosyid, alfian nur, Nugroho, cahyo wibisono, Asmarawati, tri
pudy, Ardhiansyah, azril okta, Bakhtiar, A., Amin, M., & Nasronudin.
(2019). Manajemen HIV/AIDS : Terkini, Komprehensif dan
Multidisiplin (Hidayati Afif Nurul dkk (ed.); 1st ed.). pusat penerbitan
dan percetakan Universitas Airlangga.

Kabashneh, S., Alkassis, S., & Ali, H. (2020). Pneumonia Caused by Three
Separate Microorganisms Simultaneously in a Patient Infected with
Human Immunodeficiency Virus. Cureus, 12(4).
https://doi.org/10.7759/cureus.7804

Kartikasari, R. (2018). Asuhan Keperawatan Pneumonia Pada An.N Dan An.A


Dengan Masalah Keperawatan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas
Di Ruang Bougenville Rsud dr.Haryoto Lumajang Tahun 2018. Laporan
Tugas Akhir, 1– 81.
https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/87250/Ratih
Kartikasari _152303101082.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Kemenkes. (2020). Infodatin HIV AIDS. 1–8.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodat
in

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik (1 ed). PPNI.

Pramesti, A. (2021). Asuhan Keperawatan Pada Tn. K Pasien Stroke. In Journal


information (Vol. 10, Issue I).

Kekurangan Volume Cairan pada Kasus Diare di Kelurahan Sari Rejo Medan
Polonia Karya Tulis Ilmiah (KTI) Disusun dalam Rangka
Menyelesaikan. C.
https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/2921/142500132.p
df?se quence=1&isAllowed=y

Rusmania, N. (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pencegahan


HIV/AIDS pada Wanita Pekerja Seks Komersial. Thesis, 151, 10–17.
https://doi.org/10.1145/3132847.3132886

Suardana, I Ketut. Jana Yanti Putri, Putu. Mertha, I. M. (2018). Pengaruh


Pemberian Deep Breathing Exercise Terhadap Peningkatan Status
Pernapasan Pada Pasien Ppok. 1, 1–9.

Sudigdoadi, S. (2020). Imunopatogenesis Infeksi HIV. Mikrobiologi Fakultas


Kedokteran Universitas Padjadjaran, 33(9), 33-1251-33–1251.

Syafrudin. (2011). Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan untuk Bidan. CV Trans


Info Media.

Teng, X. bao, Shen, Y., Han, M. feng, Yang, G., Zha, L., & Shi, J. feng. (2021).
The value of high-flow nasal cannula oxygen therapy in treating novel
coronavirus pneumonia. European Journal of Clinical Investigation,
51(3), 1–6. https://doi.org/10.1111/eci.13435

Anda mungkin juga menyukai