Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

ABSES PERITONSILER

Oleh :

AMALINA DIVA MURBARANI HARIYANTO

201410330311135

KELOMPOK 1

ETLS 27.2

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Abses peritonsil adalah abses yang paling sering ditemukan di antara abses

leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia

leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi,

mulut, tenggorok dan sekitarnya. Sekalipun tonsilitis akut merupakan penyakit

yang benigna, abses peritonsil merupakan komplikasi tonsilitis akut, yang dapat

mengancam jiwa jika tidak diobati dengan adekuat dan cepat.

Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri

penginfeksi tenggorokan ke salah satu ruangan areolar yang longgar di sekitar

faring sehingga menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah

menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas oto konstriktor faring.

Abses peritonsil disebut juga Quinsy, abses terjadi di antara tonsil dan

kapsulnya, infeksi dapat meluas menyebabkan obstruksi saluran napas, abses

dapat pecah, terjadi asfiksi pus dan nekrosis menghasilkan sepsis atau perdarahan.

Pada abses peritonsil ditemukan kumpulan pus yang berlokasi antara kapsul

fibrosa tonsil palatina (biasanya di pul atas) dan otot konstriktor faringeal

superior. Daerah ini terdiri atas jaringan ikat longgar, infeksi dapat menjalar

dengan cepat membentuk cairan yang purulen. Inflamasi yang progresif dapat

meluas secara langsung ke arah parafaring, palatum mole, mediastinitis, dehidrasi,

pneumonia, hingga infeksi ke intrakranial berupa thrombosis sinus kavernosus,

meningitis, abses otak dan obstruksi jalan nafas.


B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang abses

peritonsiler baik mengenai anatomi, definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,

gejala klinik, diagnosis, diagnosis banding, dan penatalaksanaan.

C. Manfaat Penelitian

Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan

pemahaman penulis maupun pembaca mengenai abses peritonsiler beserta

patofisiologi dan penanganannya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.

Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga

mulut yaitu tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil faring (adenoid), tonsil lingual

(tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding

faring/Gerlach’s tonsil).

Tonsil palatina adalah suatu masa jaringan limfoid yang terletak di dalam

fosa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot

palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval

dengan panjang 2-5 cm, masingmasing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang

meluas ke dalam jaringan tonsil

Permukaan sebelah dalam tonsil atau permukaan yang bebas, tertutup oleh

membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas ke

dalam kantung atau kripta yang membuka ke permukaan tonsil. Tonsil tidak selalu
mengisi seluruh fosa tonsil, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fosa

supratonsil. Bagian luar tonsil terikat longgar pada m.konstriktor faring superior,

sehingga tertekan setiap kali menelan. Muskulus palatoglosus dan

m.palatofaringeus juga menekan tonsil. Tonsil terletak dilateral orofaring, dibatasi

oleh:

Potongan sagital tonsil

a. Lateral : m.konstriktor faring superior

b. Anterior : m.palatoglosus

c. Posterior : m.palatofaringeus

d. Superior : palatum mole

e. Inferior : tonsil lingual


2.2 Definisi

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada

bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah

peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah di daerah

Pillar tonsil anteroposterior, fossa pririform inferior, dan palatum superior.

Abses peritonsil merupakan kumpulan/timbunan pus (nanah) yang

terlokalisir/terbatas pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari

suppurative tonsillitis.

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di

spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m .

Kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului infeksi tonsilopharingitis 5-

7 hari sebelumnya.

2.3 Epidemiologi

Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20 sampai 40

tahun. Pada anak jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan penyakit

kekebalan tubuh, tetapi pada anak infeksi dapat menyebabkan gangguan obstruksi

jalan nafas. Persentase efek gangguan jalan nafas sama pada anak laki-laki dan

perempuan. Penelitian di seluruh dunia dilaporkan insidens abses peritonsil

ditemukan 10 -37 per 100.000 orang. Biasanya unilateral, bilateral jarang

ditemukan. Abses peritonsil adalah kumpulan pus di dalam ruangan antara tonsil

dan otot m. konstriktor superior. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60

tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang

terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tetapi infeksi bisa
menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Bukti

menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan penggunaan antibiotik oral

untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi untuk berkembangnya abses

peritonsil.

2.4 Etiologi

Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun

yang anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil

adalah Streptococcus pyogene (Group A beta- hemolitic streptococcus) sedangkan

organisme anaerob yang berperan adalah fusobacterium. Untuk kebanyakan abses

peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerob dan

anaerob. Kuman aerob: Grup A beta-hemolitik streptococci (GABHS) Group B, C,

G streptococcus, Hemophilus influenza (type b and nontypeable) Staphylococcus

aureus, Haemophilus parainfluenzae, Neisseria species. Mycobacteria sp. Kuman

Anaerob: Fusobacterium Peptostreptococcuse, Streptococcus sp. Bacteroides.

Virus : Eipsten-Barr Adenovirus Influenza A dan B, Herpes simplex,

Parainfluenza.

2.5 Patofisiologi

Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut,

walaupun dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi memasuki kapsul

tonsil sehingga terjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan nanah.

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh

karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati

daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga

dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan


(stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis.

Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih

lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan

mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi

kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan

menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Kelenjar

Weber adalah kelenjar mucus yang terletak di atas kapsul tonsil, kelenjar ini

mengeluarkan air liur ke permukaan kripta tonsil. Kelenjar ini bisa tertinggal pada

saat tonsilektomi, sehingga dapat menjadi sumber infeksi setelah tonsilektomi.

Dilaporkan bahwa penyakit gigi dapat memegang peranan dalam etiologi abses

peritonisl. Fried dan Forest menemukan 27% adanya riwayat infeksi gigi. Abses

peritonsil mengalami peningkatan pada penyakit periodontal dibandingkan

tonsilitis rekuren.

2.6 Gejala Klinik

Nyeri tenggorok yang sangat (Odinofagi) dapat merupakan gejala

menonjol, dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan

menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi

hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut

berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi), sampai nyeri alih ke telinga (otalgi).

Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid.

Pemeriksaan fisik kadang-kadang sukar dilakukan, karena adanya trismus. Gejala

yang klasik adalah trismus, suara bergumam, disebut hot potato voice, dan uvula

terdorong ke arah yang sehat. Demam hanya ditemukan sebanyak 25% kasus.

Palatum mole tampak membengkak dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi.
Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis,

mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah. Palpasi

(jika mungkin) dapat membedakan abses dari selulitis.

2.7 Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit, gejala klinis, dan

pemeriksaan fisik. Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan

diagnosis. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi

merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil.

Yang merupakan “gold standar” untuk mendiagnosis abses peritonsil adalah

dengan mengumpulkan pus dari abses dengan menggunakan jarum aspirasi.

Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan

dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu

selain untuk diagnosis, juga untuk perencanaan penatalaksanaan.

Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium

seperti darah lengkap, pemeriksaan radiologi polos posisi antero-posterior hanya

menunjukkan “distorsi” dari jaringan tetapi tidak berguna untuk menentuan pasti

lokasi abses, pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang

hipodens, yang menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena, di samping

itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini

dapat membantu untuk rencana operasi. Ultrasonografi merupakan teknik yang

sederhana dan noninvasif dapat membantu dalam membedakan antara selulitis

dan awal abses.


2.8 Diagnosis Banding

Abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibular, angina ludovici. Pada

semua penyakit abses leher dalam, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya

gerakan membuka mulut merupakan keluhan yang paling umum. Untuk

membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya, diperlukan

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.

2.9 Penatalaksanaan

Setelah dibuat diagnosa absesperitonsil, segera dilakukan aspirasi

kemudian insisi abses dan drainase. Masih ada kontroversi antara insisi drainase

dengan aspirasi jarum saja, atau dilanjutkan dengan insisi dan drainase, Gold

standard adalah insisi dan drainase abses. Pus yang diambil dilakukan

pemeriksaan kultur dan resistensi test. Penanganan meliputi, menghilangkan

nyeri, dan antibiotik yang efektif mengatasi Staphylococcus aureus dan bakteri

anaerob.

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat

simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat Pemilihan antibiotik

yang tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum.

Penisilin merupakan “drug of chioce” pada abses peritonsil dan efektif pada 98%

kasus jika yang dikombinasikan dengan metronidazole. Metronidazole merupakan

antimikroba yang sangat baik untuk infeksi anaerob.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian

diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling

menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar

uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.


Kemudian pasien dilanjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan

bersama-sama tindakan drainase abses disebut tonsilektomi “a’ chaud”. Bila

tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesdah drainase abses disebut tonsilektomi “a’

tiede”, dan bila tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu sesaudah drainase abses

disebut tonsilektomi “a’ froid”.

Pada umunya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3

minggu sesudah drainase abses.

2.10 Komplikasi

a. Abses pecah dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru dan piemie.

b. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses

parafaring. Pada penjalaran selanjutnya masuk ke mediastinum dan terjadi

mediastinitis.

c. Penjalaran ke intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus,

meningitis dan abses otak.


BAB III

KESIMPULAN

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di

spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat diantara tonsil dengan

m.kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infeksi

tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya. Abses peritonsil paling sering terjadi

pada umur 20-40 tahun. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses

peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-Hemolitik

Streptococcus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan

organisme anaerob yanng berperan adalah Fusobacterium, Prevotella,

Porphyromonas, Preptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler

diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lainsub febris, disfagia, odinofagia,

yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah terasa sakit karena

muskulus masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia)

ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah

yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem pallatum molle, trismus

(terbatasnya kemampuan membuka rongga mulut) yang dikarenakan oleh adanya

inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan

spasme muskulus tersebut, torticolis (terbatasnya gerakan leher) yang diakibatkan

limfadenopati dan inflamasi otot.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring

sampai dehidrasi dan sepsis. Di dapatkan nyeri tekan dan pembesaran kelenjar

regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole,
eksudasi tonsil dan pergerakan uvula kontralateralpada stadium infiltrasi diberikan

antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air

hangat serta kompres dingin pada leher.


DAFTAR PUSTAKA

Marbun EM, 2016, Diagnosis, Tatalaksana dan Komplikasi Abses Peritonsil, Staf
Pengajar Bagian THT UKRIDA, Jakarta Barat, J. Kedokt Meditek Volume
22, No. 60 Sept-Des 2016.
Prijadi NJ, 2011, Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Peritonsil, Bagian
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Rahman S, 2013, Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Leher Dalam, Bagian


Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas/RSUP. Dr. M. Djamil.

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, 2012,
Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai