Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Selain abses peritonsil,
abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici (Ludwigs angina), atau abses
submandibula juga termasuk abses leher bagian dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara
fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,
tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh
perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan akan mengakibatkan
terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri
dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi. (1)
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher. Gabungan dari bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsilar. Tempat yang biasa
terjadi abses adalah di bagian pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan
palatum superior.(2)
Abses peritonsil terbentuk karena penyebaran organisme bakteri yang menginfeksi
tenggorokan pada satu ruangan areolar yang longgar disekitar faring yang biasa
menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus bagian kapsul tonsil,
tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.(3)
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation)
pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang
terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.
Pada abad XIV gejala dari penyakit abses peritonsil ini sudah dialami oleh masyarakat
Inggris, tetapi pada saat itu istilah abses peritonsil belum dikenal, begitu juga
penatalaksanaannya tidak seperti saat ini. Abses peritonsil memiliki angka kejadian yang
cukup tinggi dan dapat menimbulkan komplikasi yang fatal, seperti dapat meluas ke daerah
parafaring, daerah intrakranial dan bila abses tersebut pecah spontan bisa terjadi perdarahan
serta terjadinya mediastinitis yang dapat menimbulkan kematian. Hal ini bisa terjadi bila
penanganan yang tidak tepat dan terlambat.
Angka kejadian pada penyakit abses peritonsil berdasarkan usia banyak menyerang
pada usia 15 tahun sampai dengan 35 tahun, berdasarkan jenis kelamin belum ada literatur
yang menggambarkan adanya perbedaan jumlah kejadian abses peritonsil pada laki-laki dan
perempuan.

1
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. I
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Tugurejo Rt 03/IV
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Periksa : 24 Maret 2017

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 24 Maret 2017, jam 10.00 WIB secara
autoanamnesa dan di Bangsal amarylis RSUD Tugurejo.
1. Keluhan Utama
Nyeri menelan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli THT-KL dengan keluhan nyeri tenggorok dan nyeri
menelan sejak 5 hari yang lalu, nyeri dirasakan terus menerus di seluruh
tenggorokan terutama pada bagian dinding atas mulut. Pasien mengatakan awal
mula keluhan dirasakan setelah pasien sering mengkonsumsi makanan pedas dan
berlemak serta rutin minum kopi. Dua hari sebelum ke poli THT-KL pasien merasa
demam, batuk dan sakit di tenggorok semakin tambah berat sehingga menyebabkan
pasien kesulitan saat makan, mulut menjadi berbau dan suara menggumam. Pasien
tidak mengeluh adanya nyeri telinga, pusing, mimisan, pilek, cairan yang mengalir
pada tenggorokan, mual dan muntah.
Pasien belum berobat ke dokter namun pasien sudah mengkonsumsi obat
penurun panas sebelumnya tetapi keluhan yang dirasakan tidak berkurang.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit serupa : disangkal
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
d. Riwayat HT : disangkal
e. Riwayat DM : disangkal
f. Riwayat penyakit lain : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat sakit serupa : disangkal
b. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi

2
Pasien bekerja sebagai wiraswasta. Pasien sudah menikah dan tinggal serumah
dengan istri dan seorang anak. Biaya pengobatan pasien menggunakan BPJS. Kesan
ekonomi kurang.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 24 Maret 2017 pukul 10.30 WIB di
bangsal amarylis RSUD Tugurejo .
1. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : tampak kesakitan
b. Kesadaran : compos mentis
2. Vital Sign
a. TD : 147/94 mmHg
b. Nadi : 80 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
c. RR : 18 kali/menit
d. Suhu : 37,8oC (axiller)
e. TB : 170 cm
f. BB : 81 kg
g. BMI : 27
h. Status gizi : Normal
3. Status Generalis
a. Kulit : Normal, sawo matang
b. Konjungtiva : Tidak anemis
c. Jantung : Dalam batas normal
d. Paru : Dalam batas normal
e. Hati : Dalam batas normal
f. Limpa : Dalam batas normal
g. Limfe : Tidak ada pembesaran limfe nodi
h. Ekstremitas : Dalam batas normal
4. Status Lokalis
a. Telinga
Telinga luar
Telinga AD AS
Preaurikula Fistula (-), hiperemis (-), Fistula (-), hiperemis (-),
massa (-) massa (-)
Retroaurikula Fistula (-), hiperemis (-), Fistula (-), hiperemis (-),
massa (-), massa (-),
Aurikula Bentuk (normal dan Bentuk (normal dan
simetris), nyeri tarik (-), simetris), nyeri tarik (-),
hiperemis (-), massa (-) hiperemis (-), massa (-)
Tragus pain Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Mastoid Nyeri ketok (-), Nyeri ketok (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)

Canalis Akustikus Eksterna

3
Canalis Acustikus AD AS
Eksternus
Mukosa Warna sama dengan Warna sama dengan
sekitar, dbn sekitar, dbn
Discharge (-) (-)
Serumen (-) (-)
Granulasi (-) (-)
Furunkel (-) (-)
Jamur (-) (-)
Corpus alienum (-) (-)
Kolesteatom (-) (-)

Membran Timpani
Membran Timpani AD AS
Intak (+) (+)
Warna Mengkilat seperti Mengkilat seperti
mutiara mutiara
Reflek cahaya (+) (+)
Perforasi (-) (-)
Bulging (-) (-)

b. Hidung dan Sinus Paranasal


Hidung Luar
Bentuk Tidak ada kelainan, dbn
Massa (-)
Deformitas (-)
Radang (-)

Sinus Paranasal
Pemeriksaan Sinus Etmoid Sinus Frontal Sinus Maxilla
Hiperemis (-) (-) (-)
Nyeri Tekan (-) (-) (-)
Nyeri Ketok (-) (-) (-)
Oedem (-) (-) (-)

Rinoskopi Anterior
Cavum Nasi Dextra Sinistra
Konka nasi inferior Hiperemis (-), Hiperemis (-)
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Septum Nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Secret (-) (-)

4
Massa (-) (-)

c. Gigi dan Mulut


Pemeriksaan Keterangan
Penampakan luar Trismus (-)
Mulut/bibir Jejas (-), massa (-), sianosis (-), simetris
Mukosa Warna sama dengan sekitar, lesi (-), darah
(-), hiperemis (-), massa (-), stomatitis (-)
Gigi geligi Caries (-), missing (-)
Lidah Simetris, papil atrofi (-), stomatitis (-)
kotor(+)
Palatum Hiperemis (+), jejas (-), massa (-),

d. Tenggorok
1) Tonsil
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T4 T3
Warna Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Permukaan Tidak rata Tidak rata
(bergranulasi) (bergranulasi)
Kripte (-) (-)
Detritus (-) (-)
Infiltrat (+) (-)

2) Uvula : Asimetris, hiperemis (+), Retraksi (+)


3) Arcus faring : Hiperemis (+), granulasi (-)
4)Nasofaring : Pemeriksaan Rinoskopi Posterior
tidak dilakukan.
5) Laringoskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan
e. Kepala dan leher
Pemeriksaan Keterangan
Kepala Bentuk mesosefal
Wajah Allergic shiner (-), allergic salute (-),
allergic crease (-)
Leher anterior Pembesaran limfa leher (-), benjolan (-)
Leher lateral Pembesaran limfa leher (-), benjolan (-)

5. Pemeriksaan Khusus
A. Tes Fungsi Pendengaran
1) Tes Bisik : Tidak dilakukan

5
2) Tes Garputala : Tidak dilakukan
B. Tes VFT (Nistagmus Test) : Tidak dilakukan
C. Tes Keseimbangan : Tidak dilakukan

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium darah rutin 24 maret 2017

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Leukosit 16.65 10^3/ul 5 21

Eritrosit 5.54 10^6/ul 4 - 6,8

Hb 13.60 g/dl 15,223,6

Hematokrit 43.50 % 44 72

MCV 78.50 Fl 98 122

MCH 24.50 Pg 33 41

MCHC 31.30 g/dl 31 35

Trombosit 251 10^3/ul 217-497

RDW 13.20 % 11.5-14.5

PLCR 37.0 %

Eosinofil 0.06 10^3/ul 24


0.06
Basofil 10^3/ul 01
12.96
Neutrofil 10^3/ul 50 -70
2.50
Limfosit 10^3/ul 20 - 70

Monosit 1.07 10^3/ul 1 11

E. RESUME
Pasien datang ke poli THT-KL RSUD Tugurejo dengan Odinofagia sejak 5
hari yang lalu, nyeri dirasakan terus menerus di seluruh tenggorokan terutama pada
bagian dinding atas mulut. Pasien mengatakan awal mula keluhan dirasakan setelah
pasien sering mengkonsumsi makanan pedas dan berlemak serta rutin minum kopi.
Dua hari sebelum ke poli THT-KL pasien merasa demam, batuk, dan sakit di
tenggorok semakin tambah berat sehingga menyebabkan pasien kesulitan saat makan,
mulut menjadi berbau dan suara menggumam. Pasien tidak mengeluh adanya nyeri

6
telinga, pusing, mimisan, batuk, pilek, cairan yang mengalir pada tenggorokan, mual
dan muntah.
Pada pemeriksaan fisik THT-KL ditemukan Lidah kotor (+), palatum mole
hiperemis (+), Tonsil T4-T3, Hiperemis (+), Permukaan tidak rata (+), Infiltrat (+),
Daerah peritonsil dextra tampak edema (+), Uvula asimetris (+), Uvula hiperemis (+),
arkus faring hiperemis (+).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah rutin didapatkan peningkatan
leukosit 16,65 10^3/ul.

F. DIAGNOSIS BANDING
1. Abses peritonsil (Quinsy).
2. Tonsilitis kronik.
3. Adenitis Servikal.
4. Abses Retrofaring.
5. Abses Parafaring

G. DIAGNOSIS KERJA
Abses Peritonsial (Quinsy)

H. PENATALAKSANAAN (INITIAL PLAN)


1. IpDx:
a. Aspirasi (gold standart) dengan jarum spuit pada daerah yang paling fluktuatif
atau curiga tempat abses untuk dilakukan kultur mikroorganisme dan insisi.
b. Pemeriksaan penunjang Intraoral ultrasonografi, dan tomografi komputer
2. IpTx:
a. Medikamentosa :
1) Cairan infus Ringer laktat 30 Tpm
2) Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penisilin,
klindamisin, atau cephalosporin.
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gram IV per 8 jam
- Inj. Ceftriaxon 1 x 1 gram / hari IV
3) Kortikosteroid
- Inj. Methylprednisolon 2 x 125 gram IV
4) Analgetik / Antipiretik
- Paracetamol 3 x 500 mg per oral
5) Antiseptik Kumur
- Minosep (chlorheksidin glukonat) 3 x 10 ml
b. Operatif
- Insisi dan drainase
-Tonsilektomi
3. IpMx:
a. Vital sign
b. Monitoring keluhan pasien.
c. Status THT-KL terutama daerah peritonsil

7
d. Monitoring kesembuhan untuk mencegah komplikasi
4. IpEdukasi :
a. Memberikan informasi kepada pasien tentang keadaan pasien dan
prognosanya.
b. Memberikan informasi kepada pasien tentang penyakit yang diderita pasien,
penyebabnya, faktor risiko dan komplikasi.
c. Menghindari faktor pencetus.
d. Istirahat yang cukup.

I. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Sanam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam

J. Follow Up

8
Hari/ tgl Tindakan dan perkembangan pasien

Jumat S : Tenggorok sakit untuk menelan, demam (+), batuk 3 hari,


Suara bergumam
24/03/2017
O : - Keadaan Umum : Pasien tampak kesakitan
- TD: 147/94 mmHg, HR : 80 x/menit, RR : 18 x/menit, T: 37,80C
- Telinga : Dalam batas normal
- Hidung : Dalam batas normal
Tonsil : T4-T3,
- Tenggorok : hiperemis (+),
fluktuatif (+),
T4
Pus(-)
Uvula :
Hiperemis (+),
asimetris (+)

A : Abses Peritonsil (stadium infiltrat)


P : - infus Ringer laktat 30 Tpm
- Inj. Ceftriaxon 1 x 1 gram / hari IV
- Inj. Methylprednisolon 2 x 125 gram IV
- Paracetamol 3 x 500 mg per oral
- Minosep (chlorheksidin glukonat) 3 x 10 ml
Sabtu S : Keluhan sakit pada tenggorok sudah berkurang, demam (-),
batuk (-), suara bergumam (+).
25/3/2017
O : - Keadaan Umum : Pasien tampak kesakitan
- TD: 120/90 mmHg, HR : 80 x/menit, RR : 20 x/menit, T: 36,80C
- Telinga : Dalam batas normal Tonsil : T3-T1,
- Hidung : Dalam batas normal hiperemis (-),
fluktuatif (-),
- Tenggorok :
T4 Pus(-) 9
Uvula :
Hiperemis (+),
asimetris (+)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa
tonsillaris pada dinding lateral orofaring. Tonsil palatina merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali digambarkan
anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang ahli anatomi Jerman. Jaringan limfoid
lainnya yaitu adenoid (tonsil pharingeal), tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-
kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding
faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlachs).10
Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring. Nasofaring
merupakan bagian dari faring yang terletak diatas pallatum molle, orofaring yaitu bagian
yang terletak diantara palatum molle dan tulang hyoid, sedangkan laringofaring bagian
dari faring yang meluas dari tulang hyoid sampai ke batas bawah kartilago krikoid.
Orofaring terbuka ke rongga mulut pada pilar anterior faring. Pallatum molle (vellum
palati) terdiri dari serat otot yang ditunjang oleh jaringan fibrosa yang dilapisi oleh
mukosa. Penonjolan di median membaginya menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut
yang terletak disentral disebut uvula.5

Gambar 1. Anatomi rongga mulut

Tonsil palatina terdiri dari9:

10
Korteks : Di dalam nya terdapat germinating folikel, tempat pembentukan
limfosit, plasma sel.
Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka penyokong
tonsil & berhubungan dengan kripta.
Batas-batas tonsil palatina9:
Lateral : Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia pharingo-
basilaris yang menutupi m. konstriktor pharing superior. Masuk ke dalam
parenkim tonsil akan membentuk septa dan membawa pembuluh darah
dan saraf.
Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis gepeng, kripta, dan
mikrokripta.
Posterior : Pilar posterior yang dibentuk oleh palatopharingeus yang
berjalan dari bagian bawah pharing menuju aponeurosis palatum molle.
Anterior : Pilar anterior yang dibentuk oleh palatoglossus yang berjalan
dari permukaan bawah lidah menuju aponeurosis palatum molle.
Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas di permukaan oral palatum mole
dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun
vertikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak.
Otot ini meluas kebawah sampai kedinding atas esofagus. Otot ini lebih penting
daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai
otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan paltum mole. Di inferior
akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan lateral dinding faring.

Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis, yang


menutupi pilar anterior dan sebagian permukaan anterior tonsil. Plika semilunaris
(supratonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang mempersatukan kedua
pilar. Fossa supratonsil merupakan celah yang ukurannya bervariasi yang terletak
diatas tonsil diantara pilar anterior dan posterior. Celah atau ruangan ini terjadi karena
tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan
jaringan limfoid lain, berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, Permukaan sebelah
dalam tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat.
Permukaan lateral-nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat
kripta. Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan masuk ke bagian dalam
jaringan tonsil yang mengandung jaringan limfoid dan disekelilingnya terdapat

11
jaringan ikat. Ditengah kripta terdapat muara kelenjar mukus. Permukaan kripta
ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Umumnya
berjumlah 8-20 buah untuk masing-masing tonsil, kebanyakan terjadi penyatuan
beberapa kripta. Saluran kripta ke arah luar biasanya bertambah luas. Secara klinik
kripta dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat terisi
sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman.10

Gambar 2. Anatomi Tonsil Palatina dan jaringan sekitarnya.

Bagian luar tonsil terikat pada m.konstriktor faringeus superior, sehingga


tertekan setiap kali menelan, m. palatoglusus dan m. palatofaring juga menekan
tonsil. Selama masa embrio, tonsil terbentuk dari kantong pharyngeal kedua sebegai
tunas dari sel endodermal. Singkatnya setelah lahir, tonsil tumbuh secara irregular dan
sampai mencapai ukuran dan bentuk, tergantung dari jumlah adanya jaringan
limphoid.5
Struktur di lateral terdapat kapsul yang dipisahkan dari m.konstriktor faring
superior oleh jaringan areolar longgar. V. palatina externa berjalan turun dari palatum
molle dalam jaringan ikat longgar ini, untuk bergabung dengan pleksus venosus
pharyngeus. Lateral terhadap m.konstriktor faring superior terdapat m. styloglossus
dan lengkung a.facialis. A. Carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan lateral
tonsilla.8
Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus tonsillaris yang
merupakan cabang dari arteri facialis, cabang cabang a. lingualis, a. palatina

12
ascendens a. pharyngea ascendens. Sedangkan inervasinya diperoleh dari n.
glossopharyngeus dan n. palatinus minor. Pembuluh limfe masuk dalam nl. cervicales
profundi. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus,
yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.10
Ruang Peritonsiler3,12
Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul tonsil
palatine, sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior, sebelah anterior
dengan pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar posterior.
Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil palatinus dan otot-otot
konstriktor pharynx. Pillar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus
piriformis (inferior) membentuk batas-batas potential peritonsillar space.

B. Fisiologi

1 Faring

Fungsi faring terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan


artikulasi. Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, gerakan makanan
dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring,
dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter.
Langkah yang sebenarnya adalah : pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga
tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot
suprahioid berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring dan dengan demikian
membuka hipofaring dan sinur piriformis. Secara bersamaan otot laringis intrinsik
berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang
kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan ke bawah melalui
orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior.
Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior
berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat,
menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.6

2 Laring6

13
Walaupun laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara, namun
ternyata mempunyai tiga fungsi utama, yaitu proteksi jalan napas, respirasi, dan
fonasi. Kenyataannya, secara filogenetik, laring mula-mula berkembang sebagai suatu
sfingter yang melindungi saluran pernapasan, sementara perkembangan suara
merupakan peristiwa yang terjadi belakangan.
Perlindungan jalan napas selama aksi menelan terjadi melalui berbagai
mekanisme berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja sfingter dari otot
tiroaritenoideus dalam plika ariepiglotika dan korda vokalis palsu, di samping aduksi
korda vokalis sejati dan aritenoid yang ditimbulkan oleh otot intrinsik laring lainnya.
Elevasi laring di bawah pangkal lidah melindungi laring lebih lanjut dengan
mendorong epiglotis dan plika ariepiglotika ke bawah menutup aditus. Struktur ini
mengalihkan makanan ke lateral, menjauhi aditus laringis dan masuk ke sinus
piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi. Relaksasi otot krikofaringeus yang terjadi
bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam esofagus sehingga tidak masuk ke
laring. Di samping itu, respirasi juga dihambat selama proses menelan melalui suatu
refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa daerah supraglotis. Hal ini mencegah
inhalasi makanan atau saliva.
Pada bayi posisi laring yang lebih tinggi memungkinkan kontak antara
epilglotis dengan permukaan posterior palatum mole. Maka bayi-bayi dapat bernapas
selama laktasi tanpa masuknya makanan ke jalan napas.
Selama respirasi, tekanan intratoraks dikendalikan oleh berbagai derajat
penutupan korda vokalis sejati. Perubahan tekanan ini membantu sistem jantung
seperti juga ia mempengaruhi pengisian dan pengosongan jantung dan paru. Selain
itu, bentuk korda vokalis palsu dan sejati memungkinkan laring berfungsi sebagai
katub tekanan bila menutup, memungkinkan peningkatan tekanan intratorakal yang
diperlukan untuk tindakan-tindakan mengejan, misalnya mengangkat berat atau
defekasi. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna
untuk mempertahankan ekspansi alveoli terminal dari paru dan membersihkan sekret
atau partikel makanan yang berakhir dalam aditus laringis, selain semua mekanisme
proteksi lain yang disebutkan di atas.
Namun, pembentukan suara agaknya merupakan fungsi laring yang paling
kompleks dan paling baik diteliti. Korda vokalis sejati yang terduksi, kini diduga
berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang bergetar akibat udara yang dipaksa
antara korda vokalis sebagai akibat kontraksi otot-otot ekspirasi. Nada dasar yang

14
dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring ( dan
krikotiroideus) berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah
bentuk dan massa ujung-ujung bebas korda vokalis sejati dan tegangan korda itu
sendiri. Otot ekstralaring juga dapat ikut berperan. Semuanya ini dipantau melalui
suatu mekanisme umpan balik yang terdiri dari telinga manusia dan suatu sistem
dalam laring sendiri yang kurang dimengerti. Sebaliknya, kekerasan suara pada
hakekata proporsional dengan tekanan aliran udara subglotis yang menimbulkan
gerakan korda vokalis sejati. Di lain pihak, berbisik diduga terjadi akibat lolosnya
udara melalui komisura posterior di antara aritenoid yang terabduksi tanpa getaran
korda vokalis sejati
3 Tonsil
Tonsil dan adenoid adalah jaringan limfoid pada faring posterior di area cincin
Waldeyer. Fungsinya adalah untuk melawan infeksi.15

C. Definisi
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian
kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar.
Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil
anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.15
Abses Peritonsil (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang
terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. 3
Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium
peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m. kontriktor superior,
biasanya unilateral dan didahului oleh infekrsi tonsilopharingitis akut 5-7 hari
sebelumnya.2

D. Epidemiologi
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka
yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas
yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-
laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan
multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada

15
orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-
kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir
45.000 kasus setiap tahun. 15

E. Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab
sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.14
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus
aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan
adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan
Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.4

F.
Patologi14
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling
banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama
menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya
(frank abscess formation).
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium
permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang
hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-
kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan
di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga
timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.

G.
Gejala klinis
Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah
dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum molle.

16
Terdapat riwayat faringitis akut, tonsillitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan
atau faring unilateral yang semakin memburuk. Keparahan dan progresivitasnya
ditunjukkan dari trismus. Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat.13
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan
odinofagia yang menyolok dan spontan, hot potato voice, mengunyah terasa sakit
karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral,
foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah yang
menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem dapat terjadi
karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem perifokalis), trismus
(terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut) yang bervariasi, tergantung
derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus menandakan adanya inflamasi
dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme
muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering
mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis).9,15

Gambar 3. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan).

17
Gambar 4. Abses peritonsiler
H. Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring
sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar
regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole,
eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Dan pada palpasi palatum molle
teraba fluktuasi..6 Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada
pasien yang mengalami kesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan
supraglotis.14,15
2.
Pemeriksaan penunjang

PTA biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang terkena,
di fossa supratonsillar. Mukosa di lipatan supratonsillar tampak pucat dan bahkan
seperti bintil bintil kecil.12

Palpasi daerah palatum mole terdapat fluktuasi. Nasofaringoskopi dan


laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang mengalami
gangguan pernafasan.13

Prosedur diagnosis yaitu dengan melakukan aspirasi jarum. Tempat yang akan
dilakukaan aspirasi dibius atau dianestesi menggunakan lidokain dan epinephrine
dengan menggunakan jarum besar (berukuran 1618) yang biasa menempel pada
syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas,

18
dan material dapat dikirim untuk dibiakkan untuk mengetahui organisme
penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika.11,14

Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan3:


1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures). Karena pasien
dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan menunjukkan tingkat
dehidrasi yang bervariasi akibat tidak tercukupinya asupan makanan.

2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan


tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita
memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu
dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.

3. Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik
yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.

4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views)
dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan
diagnosis abses retropharyngeal.

19
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan peripheral
rim enhancement. Gambaran lainnya termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan
fossa sekitarnya.

6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography merupakan teknik pencitraan


yang simpel dan non-invasif, dapat membedakan selulitis dan abses.

Gambar 5. Ultrasonografi dari abses peritonsil

I.
Komplikasi
Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring akibat tertutupnya
rima glotis atau edema glotis akibat proses perluasan radang ke bawah. Keadaan ini
membahayakan karena bisa menyebabkan obstruksi jalan napas. Abses yang pecah
secara spontan terutama waktu tidur dapat mengakibatkan aspirasi pneumonia dan
piemia. Abses yang ruptur spontan biasanya pecah dari pilar anterior. Penjalaran infeksi
dan abses ke daerah parafaring, sehingga dapat terjadi abses parafaring. Kemudian dapat
terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke
daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis, dan
abses otak. Sekuele poststreptokokus (glomerulonefritis, demam rhematik) apabila
bakteri penyebab infeksi adalah streptococcus Grup A. Kematian, walaupun jarang dapat
terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke selubung karotis atau carotid sheath.
Dapat juga terjadi peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.Komplikasi juga

20
terjadi akibat tindakan insisi pada abses akibat perdarahan yang terjadi pada arteri
supratonsilar.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA
diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari progresivitas penyakit. Untuk itulah
diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

J.
Penatalaksanaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada
daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di
daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan
drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya
diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan
perbaikan segera gejala-gejala pasien.Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi
nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum.Kemudian pasien dinjurkan
untuk operasi tonsilektomi a chaud.

Gambar 6. Tonsilektomi

Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi
a tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut
tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.14

21
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris
berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil
mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian
penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan
terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan
tonsilektomi segera.10
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang
dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous
dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan
mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan
(throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi
antibiotik parenteral.

K. Prognosis
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali
jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru.
Selain itu komplikasi ke intrakranial juga dapat membahayakan nyawa pasien.
Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat
operasi.

22
BAB IV
KESIMPULAN

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium
peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m. kontriktor superior,
biasanya unilateral dan didahului oleh infekrsi tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya.
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur
20-40 tahun. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp.
Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme
aerobik dan anaerobic.
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan odinofagia
yang menyolok dan spontan, hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m. masseter
menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, foetor ex orae, perubahan
suara karena hipersalivasi dan banyak ludah yang menumpuk di faring, rinolalia aperta
karena udem palatum molle (udem dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan
epiglotis = udem perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga
mulut) yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus
menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga
menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien
sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis). Pada pemeriksaan
fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis.
Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum
oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula
kontralateral. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol
3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses,
kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Anggraini, D., Sikumbang, T. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi Fungsional.


Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.

2. Wanri, A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan Tenggorok,


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.

3. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam


Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier Mosby
Inc.; 2005.

4. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.

5. Anonim. Host Defence Againts Pneumococcal Disease. Available at:


http://www.ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/haart/vk/nieminen/review.htm . Accessed
on September 23th, 2012.

6. Budapest Student. The Waldeyers Ring. Available at: http://www.tulip.ccny.cuny.edu .


Accessed on September 23th, 2012.

7. Staff. Palatine Tonsil. Available at: http://www.webmd.com . Accessed on September


23th, 2012.

8. Staff. Atlas of Human Anatomy. Available at: http://www.anatomyatlases.org .


Accessed on September 23th, 2012.

9. Eibling, D.E. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus dalam Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. New York: McGraw Hill Medical
Publishing Division; 2003.

10. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N.
Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology Assessment (HTA)
Indonesia; 2004.

24
11. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan. Edisi III Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1998.

12. Adam. Peritonsillar Abcess. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov . Accessed on


September 23th, 2012.

13. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi IV. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994.

14. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

15. Henry. Peritonsillar Abcess. Available at: http://www.revolutionultrasound.com .


Accessed on September 23th, 2012.

16. Kaneshiro, Neil. Tonsillitis. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov . Accessed on


September 23th, 2012.

25

Anda mungkin juga menyukai