Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

“Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut”

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
THT-KL

Diajukan kepada:
Pembimbing Klinik : dr. Yunarti, Sp.THT-KL, MSi.Med

Disusun oleh :
Amanatun Avidah (H3A019065)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT-KL


RSUD TUGUREJO SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2021

1
BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.K
Usia : 34 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Wonosari 4/VII Ngaliyan, Semarang
Agama : Islam
Tanggal periksa : 26 Agustus 2021
No RM : 087XXX
Tempat Pemeriksaan :Poli THT RS Tugurejo Semarang

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di Poli THT RSUD TUGUREJO Semarang pada hari
Kamis, 26 Agustus 2021, jam 10.15 WIB secara autoanamnesis dengan
pasien.
1. Keluhan utama
Nyeri tenggorokan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
±6 hari SMRS pasien mengeluh demam. Demam mendadak tinggi
dan terus menerus. Keluhan disertai sakit kepala. Pasien juga mengeluh
mual, nyeri tenggorokan dan nyeri telan namun tidak mengalami
kesulitan saat menelan. Nafsu makan berkurang, tidak mengalami
penurunan berat badan.
Pasien sering mengalami demam disertai batuk pilek dan nyeri
telan, keluhan kambuh-kambuhan. Keluhan timbul ketika pasien banyak
mengkonsumsi es dan makanan yang mengiritasi tenggorok, serta saat
kelelahan. Dalam satu bulan ini keluhan timbul kurang lebih 2 kali.

2
Keluhan berkurang jika minum obat, menghindari makanan dan
minuman yang mengiritasi tenggorok.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat sakit serupa : diakui, sering mengalami
keluhan yang sama sejak 1 tahun yang lalu
 Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
 Riwayat asma/sesak : disangkal
 Riwayat rawat inap di rumah sakit : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat sakit yang sama : disangkal
 Riwayat alergi obat / makanan : disangkal

5. Riwayat kebiasaan
 Konsumsi makanan dan minuman yang bersifat mengiritasi tenggorok
: diakui

6. Riwayat Sosial Ekonomi


 Pasien merupakan seorang pelajar kelas I Sekolah Dasar. Tinggal
bersama ayah dan ibunya. Pembiayaan dengan menggunakan BPJS
 Kesan ekonomi : Cukup

3
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalisata
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Aktivitas : Aktif
 Kooperativitas : Kooperatif
 Status Gizi :
o BB : 30 kg
o PB : Tidak dilakukam
o IMT : kesan normoweight
 Vital Sign
o TD : tidak dilakukan
o Nadi : 80 x/menit
o RR : 27 x/menit
o Suhu : 37 0C
 Kepala dan Leher
o Kepala : Mesosefal
o Wajah : Simetris, deformitas (-)
o Leher : Pembesaran Kelenjar submandibula (+/+)
 Mata
o Conjungtiva Anemis (-/-)
o Sclera Ikterik (-/-)
o Secret (-/-)
 Pemeriksaan jantung, paru, dan abdomen tidak dilakukan.

4
2. Status Lokalisata
A. Telinga
Telinga Luar

Telinga AD AS
Preaurikula Fistel (-) Fistel (-)
Retroaurikula Dbn dbn
Aurikula Nyeri Tarik (-), Nyeri Tarik (-),
Kelainan Kongenital Kelainan Kongenital
(-) (-)
Tragus pain Nyeri Tekan (-) Nyeri Tekan (-)
Mastoid Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)

Canalis Akustikus Eksternus

Canalis Acustikus AD AS
Eksternus
Mukosa Dbn dbn
Discharge (-) (-)
Serumen (-) (-)
Granulasi (-) (-)
Furunkel (-) (-)
Jamur (-) (-)
Corpus alienum (-) (-)

Membran Timpani

Membran AD AS
Timpani
Warna Mengkilat seperti Mengkilat seperti
mutiara mutiara
Reflek cahaya (+) (+)
Perforasi (-) (-)
Bulging (-) (-)
Retraksi (-) (-)

5
B. Hidung dan Sinus Paranasal
Hidung Luar

Bentuk Dbn
Massa (-)
Deformitas (-)
Radang (-)
Kelainan kongenital (-)
Nyeri tekan (-)

Sinus Paranasal

Ket Area Sinus Area Sinus Frontal Area Sinus maxilla


Etmoid Dextra Sinistra Dextra Sinsistra

Hiperemis (-) (-) (-) (-) (-)

Nyeri Tekan (-) (-) (-) (-) (-)

Nyeri Ketuk (-) (-) (-) (-) (-)

Rinoskopi Anterior

Cavum Nasi Dextra Sinistra


Konka nasi inferior Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Oedem (-) Oedem (-)
Mukosa hiperemis(-) Mukosa hiperemis (-)
Septum Nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Secret (-) (-)
Discarhge (-) (-)
Massa (-) (-)
Krusta (-) (-)

6
C. Tenggorok
 Faring
 Orofaring
 Palatum : Simetris
 Arcus faring : Simetris
 Uvula : Di tengah
 Mukosa dinding faring: Granulasi (+), Hiperemis (+)
 Post nasal drip : (-)
 Tonsil
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T3 T3
Warna Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Kripte melebar (+) (+)
Permukaan Tidak rata Tidak rata
Detritus (+) (+)
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Massa (-) (-)
Tonsil dekstra = T3, hiperemis (+),
permukaan tidak rata, kripte melebar (+),
detritus (+)

Tonsil sinistra = T3, hiperemis (+),


permukaan tidak rata, kripte melebar (+),
detritus (+)
Dinding Faring = Granulasi (+),
Hiperemis (+)

 Nasofaring (Rinoskopi Posterior) : Tidak dilakukan.


 Laringofaring : Tidak dilakukan.
 Laring (Laringoskopi Indirek) : Tidak dilakukan.
 Gigi dan mulut
- Caries gigi : (-)

7
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin pada tanggal 4 Agustus 2016

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Lekosit 6,09 4,5-13,5

Eritrosit 4,56 3,8-5,3

Hemoglobin 12,20 11,8-15

Hematokrit 37,60 35-47

MCV 82,50 80 – 100

MCH 26,80 26 – 34

MCHC 32,40 32 – 36

Trombosit 118 154-442

RDW 13,90 11.5 – 14.5

Eosinofil absolute 0,04 0.045 – 0.44

Basofil absolute 0,03 0 – 0.2

Neutrofil absolute 1,3 1.8 – 8

Limfosit absolute 3,84 0.9 – 5.2

Monosit absolute 0,81 0.16 – 1

Eosinofil L 1,60 2–4

Basofil 0,40 0–1

Neutrofil L 21,30 50 – 70

Limfosit H 63,10 25 – 50

Monosit H 13,3 1-6

8
E. RESUME
±6 hari SMRS pasien mengeluh demam. Demam mendadak tinggi dan
terus menerus. Keluhan disertai sakit kepala. Pasien juga mengeluh mual,
nyeri tenggorokan. Pasien sering mengalami demam disertai batuk pilek dan
nyeri telan, keluhan kambuh-kambuhan. Dalam satu bulan ini keluhan timbul
kurang lebih 2 kali. Keluhan dirasakan sejak 1 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan kesadaran composmentis, pasien
kooperatif, ststus gizi dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalisata,
hidung dan telinga dalam batas normal. Pada pemeriksaan tenggorok
didapatkan tonsil ukuran T3-T3, hiperemis (+), kripte melebar (+),detritus
(+). Dinding faring granulasi (+), hiperemis (+). Pembesaran kelenjar limfe
submandibula (+/+). Pada pemeriksaan laboratorium penurunan neutrofil dan
eosinofil, serta peningkatan monosit dan limfosit, lain – lain dalam batas
normal.

F. DAFTAR MASALAH

Anamnesis Pemeriksaan
1. Demam mendadak tinggi Pemeriksaan Fisik
2. Nyeri telan 6. Tonsil T3-T3, kripte melebar,
3. Sering demam disertai batuk detritus (+), hiperemis (+)
pilek dan nyeri telan 7. Dinding faring granulasi,
4. Dalam satu bulan ini keluhan hiperemis
timbul kurang lebih 2 kali. 8. Pembesaran KGB submandibula
5. Sering konsumsi es, coklat, Pemeriksaan Penunjang
permen, dan makanan ringan 9. Eosinofil 1,60 (L)
10. Neutrofil 21,30 (L)
11. Monosit 13,30 (H)
12. Limfosit 63,10 (H)

9
G. ASSESMENT
Diagnosis Banding
 Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut
 Tonsilofaringitis akut
 Tonsilofaringitis kronis

Diagnosis Kerja :
 Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut

H. INITIAL PLAN
- Ip Dx:
o Pemeriksaan penunjang :
 Pemeriksaan darah rutin

- Ip Tx :
o Medikamentosa :
Cefadroxil syrup 2 x cth 3
Paracetamol syrup 3 x cth 2
Betadine gargle 2 kali kumur
o Operatif : Pro tonsilektomi (setelah infeksi akut reda)

- Ip Ex :
o Menjelaskan kepada orang tua tentang penyakit pasien
o Menganjurkan untuk menjaga kebersihan mulut.
o Menganjurkan pasien untuk menghindari makanan atau minuman
yang mengiritasi. Misalnya minum es, makan permen, coklat, dan
makanan ringan

10
I. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Sanam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI
a. FARING
Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu
nasofaring, orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan
sepertiga bagian atas faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di
bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian tengah faring, dari batas bawah
palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila
palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada dasar lidah. Hipofaring
merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran napas atas
yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas(4).
Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan
lateral. Di sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus
basilar os. Oksipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah
posterior oleh vertebra servikalis, dan di sebelah inferior nasofaring berlanjut
menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak pada dinding lateral
nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas belakang
orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago
Eustachius(5). Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ
penting:

12
 Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah
kubah.
 Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid
yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
 Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian
kartilagi tuba eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan
ibu jari ke dinding lateral nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
 Koana posterior rongga hidung.
 Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat
perluasan penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui
nervus glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan foramen
hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
 Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah
sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal
dari oksipital dan arteri faringeal asenden.
 Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya
dekat dengan bagian lateral atap nasofaring.
 Ostium dari sinus-sinus sfenoid(4).
Batas-batas nasofaring:
 Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
 Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke
posterior, batas ini bersifat subyektif karena tergantung dari
palatum durum.
 Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra
oleh os vomer
 Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan
dari mukosa bagian atas
 Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan
posterior, muara tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller(4).

13
Orofaring
Merupakan ruang antara palatum molle dan radiks lingua yang memanjang
ke bawah sepanjang hyoid bone. Terdapat tosila palatina dan tosila lingua pada
bagian faring ini(6).

Laringofaring
Daerah ini dimulai dari perpaduan dari nasofaring dan orofaring pada
daerah setinggi hyoid bone. Daerah laringofaring menurun ke bagian inferior dan
dorsal dari laring dan berakhir pada cricoid cartilage pada akhir bagian inferior
dari laring(6).

Gambar 1. Faring

14
2. TONSIL

Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla


tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan
saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer.
Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan
makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis
pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5
tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. Tonsil palatina dan
adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin
waldeyer(4).

Gambar 2. Cincin Waldeyer


Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler,

15
dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba
eustachius (tonsil Gerlach’s) (4).

Tonsila Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid
yang terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap
tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas
menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil
yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta.
Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil
dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang
disebut Capsula tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla
lingualis(4).

Gambar 3. Tonsil Palatina


Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :

1.      Anterior : arcus palatoglossus


2.      Posterior : arcus palatopharyngeus
3.      Superior : palatum mole
4.      Inferior : 1/3 posterior lidah
5.      Medial : ruang orofaring
6.      Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior(4).

16
Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina

Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran


getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian
getah bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran
getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke
duktus torasikus(4).

3. TONSILITIS KRONIS
a. Definisi
Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau
inflamasi pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan
oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan
yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk
sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-
gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami
penurunan(3).
b. Etiologi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari
tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau

17
kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Pada pendería
tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah Streptokokus beta
hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes,
Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes.
Penelitian Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008
mendapatkan kuman patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus
aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela(3,4).
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis
kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Stafilokokus aureus,
Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus epidermidis dan kuman
gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan
E. coli (3).

c. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu
rangsangan kronis (rokok, makanan), higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah), alergi (iritasi kronis
dari allergen), keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik), pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat(1).

d. Patogenesis
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil
tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah
menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh
menurun(3).
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga

18
kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses
berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula. Tonsilitis Kronis
terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi
Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi
antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang
rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yang
tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil(1,3).

e. Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan
tonsilitis akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-
menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu
yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan
berbau(1).

f. Pemeriksaan Fisik
1. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil,
2. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau
material menyerupai keju,
3. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa
faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada
tonsil,

19
Gambar 5. Tonsilitis

Tanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah kripta yang
melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami
perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang
melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibula. Disebutkan dalam
penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di tenggorokan,
kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi mungkin dapat
muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika
anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar
limfe jugulodigastrik maka diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan(3).

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur


jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial
kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

T0  : Tonsil masuk di dalam fossa


T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4  : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring(3).

20
g. Pemeriksaan penunjang
- Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi
kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian
antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat. Gold standard
pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian
Kurien di India terhadap 40 penderita tonsilitis kronis yang dilakukan
tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan
swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap
flora bakteri tonsilitis kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman
terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti
Staflokokus aureus (3).

h. Penatalaksanaan

1. Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang


bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah
metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis atau
abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan
mononukleosis).
2. Terapi dengan tonsilektomi terjadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma(3).

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,


gejala sumbatan, serta kecenderungan neoplasma. The American Academy of
Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium
tahun 1995 menetapkan indikasi tonsilektomi adalah sebagai berikut :

1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah


mendapatkan terapi yang adekuat,
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial,

21
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor
pulmonale,
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan,
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan,
6. Tonsiliitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococus β
hemolitikus,
7. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan,
8. Otitis media efusi / otitis media supuratif (1).

3. Faringitis kronik
a. Etiologi
Adanya paparan dari zat-zat tertentu seperti nikotin, alkohol, gas iritan dan
lainnya. Selain itu, bisa juga terjadi akibat seringya bernafas melalui mulut
pada keadaan terjadinya obstruksi jalan nafas (contohnya pada deviasi septum)
atau pada keadaan yang bersamaan dengan sinusitis kronik(7).
b. Gejala
Gejala utama adalah adanya sensasi tenggorokan yang kering dan adanya
viscous mucus.
Beberapa pasien juga mengeluhkan batuk kering dan sensasi adanya benda
asing di faring(7).

Gambar 5. Faringitis Kronik

22
c. Diagnosis
Pada pemeriksaan tampak mukosa faring merah dan tidak rata akibat
adanya hiperplasia dari jaringan limfatik pada dinding posterior faring
(hipertrofi). Mukosa faring juga bisa tampak halus, dan mengkilat pada
beberapa kasus (atrofi).
Melalui pemeriksaan hidung harus dipastikan tidak adanya obstruksi jalan
nafas di hidung yang dapat menjadi penyebab faringitis kronis, ataupun
adanya kelainan-kelainan lain seperti deviasi septum atau hiperplasi konka(7).

d. Penatalaksanaan
Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi local dengan
melakukan kaustik faring dengan zat kimia larutan nitrat argenti atau dengan
listrik (electro cauter). Pengobatan simtomatis diberikan obat kumur atau
tablet hisap. Jika di perlikan dapat diberikan obat batuk antitusif atau
ekspetoran,s edangkan pada faringitis atrofi pengobatan ditujukan pada
rhinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofinya dengan obat kumur dan
menjaga kebersihan mulut (1).

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.


Dalam Soepardi, Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-225

2. Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis


Kronik di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/
RSUP H. Adam Malik Medan. Medan. USU Digital Library, 2009. Available
at : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640 (Accessed : March
27th 2012).

3. Adams, GL. . Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,


Esofagus, dan Leher. Dalam Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Buku
Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Ed 6. Jakarta. EGC, 1997: p. 263-271

4. Ballenger, JJ. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring. Dalam
Ballenger : Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher. Jilid 1. Jakarta.
Bina Rupa Aksara, 1997: p. 1020-1039

5. Seeley, Stephen, Tate. Respiratory System. Anatomy and Physiology.Chapter


23.The McGraw-Hill Companies, 2004: p. 816

6. Probst, R, Grever, G, Iro, H. Diseases of the Nasopharynx. Basic


Otorhinolaryngology. New York. Thieme, 2006: p. 119

24

Anda mungkin juga menyukai