FARINGITIS AKUT
Disusun Oleh:
Thomas Brilliant Deo Wahyu Jati
42190397
I. IDENTITAS
Nama : Sdr. W
Tanggal Lahir : 10-06-1997
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sleman
Pekerjaan : mahasiswa
No.RM : 00-12-xx-xx
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 16 September 2020.
A. Keluhan Utama
Nyeri Tenggorokan.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RS Harjolukito pada tanggal 16 September
2020 untuk periksa dengan keluhan nyeri tenggorokan. Nyeri tenggorokan dirasakan
sejak 2 hari SMRS, disertai nyeri saat menelan, tenggorokan terasa kering, perubahan
suara atau suara serak disangkal, batuk (-), pilek (-), demam (-). Pasien juga
mengeluhkan 1 minggu SMRS mengalami rasa nyeri perut bagian atas, nyeri seperti
terbakar ditenggorokan, mulut terasa asam, muntah (-), dan terdapat bau tidak enak
yang berasal dari mulut. Pasien sudah mengkonsumsi obat namun belum membaik.
STATUS GENERALIS
A. Kepala
Ukuran Kepala : Normochepali
Wajah : Kesan asimetris, tidak ada jejas, tidak ada deformitas
Mata : Ukuran simetris, pupil direct/indirect (+), konjungtiva
tidakhiperemis maupun ikterik
Hidung : (Sesuai status lokalis)
Mulut : (Sesuai status lokalis)
Telinga : (Sesuai status lokalis)
Leher : (-) jejas, (-) massa, (-) pembesaran limfonodi
B. Thorax
Inspeksi
Palpasi Tidak dilakukan
Perkusi
Auskultasi
C. Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Tidak dilakukan
Perkusi
Palpasi
D. Ekstremitas : Dari hasil inspeksi tampak ekstremitas atas dan bawah dalam
batas normal. CRT dalam batas normal kembali ≤ 2 detik, tidak ada edem.
STATUS LOKALIS
Pemeriksaan Telinga
Pemeriksaan Telinga
HIDUNG
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
Cavum nasi Discharge (-) Discharge (-)
Rhinoskopi anterior
Vestibulum nasi Discharge minimal, hiperemis (-), krusta (-)
Septum nasi Deviasi septum (-), perforasi (-)
Meatus nasi inferior Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),
discharge (-) discharge (-)
Konka Inferior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
Meatus nasi media Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),
discharge (-) discharge (-)
Konka media Tidak tampak pada Tidak tampak pada pemeriksaan
pemeriksaan
Rhinoskopi Posterior: Tidak dilakukan
Fossa Rossenmuller
Torus Tubarius
Muara Tuba
Eustachius
Adenoid
Konka Superior
Choana
SINUS PARANASAL
CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Bibir Kontusio (-), bibir kering (-)
Mukosa Oral Warna merah muda, stomatitis (-)
Gusi dan Gigi Karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)
Atap mulut Ulkus (-)
Dasar Mulut Ulkus (-)
Uvula Hiperemis (+), edema (-)
Tonsila Palatina T0 T0
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan
VI. DIAGNOSIS
Faringitis akut et causa GERD
VII. PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
- Simptomatik
o Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan
menelan: obat kumur yang mengandung antiseptik (diberikan 3 – 4
sehari).
o NSAID : Paracetamol tab 500 mg 3x1
o PPI : Omeprazol tab 20 mg 2x1 sebelum makan
b. Non Farmakologi
Kumur antiseptic
VIII. EDUKASI
Menjaga kebersihan gigi dan mulut dengan menggunakan obat kumur antiseptik 2 kali se
hari setelah makan dan sebelum tidur.
Makan teratur dan banyak minum air putih, bila masih sulit menelan makanan pasien dap
at mengonsumsi makanan yang halus dulu (cair lunak) misalnya bubur halus. Makan dala
m porsi sedikit namun sering.
berhenti merokok, minum kopi, dan makan makanan pedas sampai keluhan membaik
Konsumsi obat tepat aturan baik waktu dan dosis sesuai dengan anjuran dokter yang terte
ra diresep.
Kontrol tepat waktu.
IX. PLANNING
X. PROGNOSIS
TINJAUAN PUSTAKA
I. FARINGITIS
A. Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar
di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra.
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra
servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di
bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam
keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal
Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra
servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus
faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus
dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan
foramen laserum dan muara tuba Eustachius (Rusmarjono, 2007; Arjun S Joshi, 2011; Rospa
Hetharia, 2011).
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang
adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual dan foramen sekum (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007; Rospa Hetharia,
2011).
3. Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur
pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan
lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa
orang, kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat
epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih
melebar, meskipun kadang – kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai
dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya.
Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus (Rusmarjono
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai arti
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot – otot faring. Ruang ini berisi
jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar
tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid.
Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas
interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua
bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat
padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat
bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih
interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung
karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh
sesuatu lapisan fasia yang tipis (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
Gambar 2. Anatomi Faring Bagian Posterior Atlas of Human Anatomy 4TH
Edition
2. Faringitis Akut
2.1. Definisi
Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri, yang
ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran
kelenjar getah bening leher dan malaise (Miriam T. Vincent, 2004). Faringitis akut dan
tonsillitis akut sering ditemukan bersamasama dan dapat menyerang semua umur. Penyakit
ini ditular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah ( droplet infections) (Rusmarjono,
2001).
2.2. Etiologi
Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak mikroorganisme yang
dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-60%) dan bakteri (5-40%) yang paling
Kebanyakan faringitis akut disebabkan oleh agen virus. Virus yang menyebabkan
dan B, Cytomegalovirus, Adenovirus dan Epstein Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi
Human Immunodeficiency virus (HIV) juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis (John L.
Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A Beta Hemolytic
A Beta Hemolytic Streptococcus (GABHS) merupakan penyebab faringitis akut pada 5-15%
dewasa dan 20-30% pada anak-anak (5-15 tahun) (Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi,
2007). Neisseria gonorrhoeae sebagai penyebab faringitis bakterial gram negative ditemukan
pada pasien aktif secara seksual, terutama yang melakukan kontak orogenital.
Dalam sebuah penelitian pada orang dewasa yang terinfeksi gonorea, faringitis
gonokokal ditemukan 20% pada pria homoseksual, 10% pada wanita dan 3% pada pria
heteroseksual. Sekitar 50% individu yang terinfeksi adalah tanpa gejala, meskipun
odinofagia, demam ringan dan eritema dapat terjadi (John L. Boone, 2003). Selain itu,
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring dan menyumbang terjadinya
faringitis fungal. Faringitis gonorea hanya terdapat pada pasien yang menlakukan kontak
Faktor resiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya daya
tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi,
konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita
yang menderita sakit tenggorokan atau demam. Penyakit refluks gastroesofagus dapat
menyebabkan faringitis dimana gangguan sistem pencernaan yaitu asam lambung kembali
kedalam esophagus ditandai dengan nyeri pada ulu hati atau sensasi terbakar di dada.
Esofagus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan mulut dan lambung,
dimana saat terjadi GERD akan terasa tidak nyaman pada tenggorokan dan dapat
2.3. Epidemiologi
Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital Ambulatory Medical Care Survey
telah mendokumentasikan antara 6,2-9,7 juta kunjungan anak-anak dengan faringitis ke klinik
dan departemen gawat darurat setiap tahun, dan lebih dari 5 juta kunjungan orang dewasa per
Menurut National Ambulatory Medical Care Survey, infeksi saluran pernafasan atas,
termasuk faringitis akut, dijumpa 200 kunjungan ke dokter per 1000 penduduk per tahun di
Amerika Serikat (Alan L. Bisno, 2001). Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada
populasi anak-anak. Kira-kira 15-30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10%
kasus faringitis pada orang dewasa terjadi pada musim sejuk adalah akibat dari infeksi Group
A Streptococcus. Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari 3 tahun (John R
Acerra, 2013).
a. Faringitis viral
Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV),
Virus influenza, Coxsachievirus, Cytomegalovirus dan lain-lain. Gejala dan tanda biasanya
terdapat demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan
tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, Coxsachievirus dan Cytomegalovirus
dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Pada adenovirus juga menimbulkan gejala
konjungtivitis terutama pada anak. Epstein bar virus menyebabkan faringitis yang disertai
produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh
menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan
tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak
lemah.
b. Faringitis bakterial
akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Gejala dan tanda biasanya penderita
mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah, kadangkadang disertai demam dengan suhu
yang tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan
tonsil hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul
bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal
dan nyeri apabila ada penekanan. Faringitis akibat infeksi bakteri Streptococcus ß
- Demam
- Eksudat tonsil
mengalami faringitis akibat infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A, bila skor 1−3 maka
pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi Streptococcus ß hemolyticus group A dan bila
skor empat pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi Streptococcus ß hemolyticus group
c. Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Gejala dan tanda
biasanya terdapat keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak
putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan
d. Faringitis gonorea
faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular. Gejala dan tanda
biasanya pasien mengeluh 15 mula-mula tenggorok kering dan gatal dan akhirnya batuk yang
bereak.
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada
rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga
menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala dan tanda biasanya pasien
mengeluhkan tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak
mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
2.4.3 Faringitis Spesifik
a. Faringitis tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada infeksi kuman tahan
asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer. Cara infeksi eksogen yaitu
kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Cara
infeksi endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkulosis miliaris. Bila infeksi
timbul secara hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering ditemukan
pada dinding posterior faring, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole
dan 16 palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak, saat ini penyebaraan secara
limfogen. Gejala dan tanda biasanya pasien dalam keadaan umum yang buruk karena
anoreksi dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri yang hebat di tenggorok, nyeri di telinga
b. Faringitis luetika
seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik tergantung stadium penyakitnya.
Kelainan stadium primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding posterior
faring berbentuk bercak keputihan. Apabila infeksi terus berlangsung akan timbul ulkus pada
daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri dan didapatkan pula pembesaran
kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan. Kelainan stadium sekunder jarang ditemukan,
namun dapat terjadi eritema pada dinding faring yang menjalar ke arah laring. Kelainan
stadium tersier terdapat pada tonsil dan palatum, jarang ditemukan pada dinding posterior
faring. Pada stadium tersier biasanya terdapat guma, guma pada dinding posterior faring
dapat meluas ke vertebra servikal dan apabila pecah akan menyebabkan kematian. Guma
yang terdapat di palatum 17 mole, apabila sembuh akan membentuk jaringan parut yang
dapat menimbulkan gangguan fungsi palatum secara permanen. Diagnosis dilakukan dengan
pemeriksaan serologik, terapi penisilin dengan dosis tinggi merupakan pilihan utama untuk
2.5 Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara langsung
menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman akan
menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial
bereaksi dan akan terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Pada stadium awal terdapat hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada
awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi
kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah
dinding faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu
akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan
bercak-bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal (Bailey, 2006). Infeksi
streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan extracelullar
toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen
M protein dari Streptococcus ß hemolyticus group A memiliki struktur yang sama dengan
sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan demam reumatik dan kerusakan katub
jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus
Tanda dan gejala yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang
menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala umum
seperti lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.
a. Faringitis viral (umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis dan
beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan
mual.
b. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam dengan suhu
d. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk
yang berdahak.
e. Faringitis atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.
f. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan
g. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan
2014).
2.1.8.1 Anamnesis
besar pasien faringitis mengeluhkan lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan
sakit pada otot leher. Gejala khas berdasarkan jenis mikroorganisme, yaitu:
a. Faringitis viral, umumnya oleh Rhinovirus diawali dengan gejala rhinitis dan
beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan
mual.
kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai batuk.
d. Faringitis kronik hiperplastik, mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk
yang berdahak.
e. Faringitis kronik atrofi, umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.
f. Faringitis tuberkulosis, biasanya nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan
a. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus
coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash.
b. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher
c. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan pangkal
mukosa faring dan lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding
e. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir
Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring berbentuk bercak
keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus
mandibula.
Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema yang
untuk mendiagnosa faringitis karena infeksi GABHS. Tes ini akan menjadi
indikasi jika pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang dokter
memberikan terapi antibiotik dengan risiko tinggi untuk pasien. Jika hasil
diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar
2.1.9 Penatalaksanaan
penyebabnya.
yaitu:
1. Istirahat cukup
4. Pemberian farmakoterapi:
kali/hari.
b. Oral sistemik
mengiritasi tenggorok.
2.1.10 Komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Accerra, John R. 2013. Medsape Pharyngitis : Follow Up. Available from:
http://www.medicine.medscape.com/article/ 764304-followup#a2650. Buku Saku
Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Jakarta : EGC. p: 180 Rusmarjono,
Soepardi EA, 2007. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 6. Jakarta: FK UI;
2007. h.221-5.
2. Adams, G., 2012. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC. Edisi ke-6.
3. Alan L. Bisno, M.D., 2011. Acute Pharyngitis: Primary Care. In: The New England
Journal of Medicine. Available From: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJ
M20010183440308. p : 205-211
4. Arjun S Joshi, 2011. Pharynx Anatomy. Available From :
http://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview#showall [Accessed: 15
August 2020]
5. Departemen Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 5. Jakarta: Depkes RI
6. Gore J. 2013. Acute Pharyngitis. Journal of The American Academy of Physician
Assistans. P; 26: 57-8.
7. John L. Boone, MD., 2003. Etiology of Infectious Diseases of the Upper. Respiratory
Tract. In: Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck. Surgery. 16 th.
8. Mary T. Caserta and Anthony R. Flores, 2013. Pharyngitis .In : Mandell, Douglas,
and Bennett‟s Principles and Practice of Infectious Diseases, 7thed.Volume 1, Part II,
Section B, Chapter 54.
9. Rospa H, Sri M. 2011. Faring dan Tonsil Dalam Asuhan Keperawatan Gangguan
THT. Jakarta : TIM.
10. Vincent, M., 2004. Pharyngitis. American Family Physician, 1465-1467
11. Walsh WE, Kom RC.2006. Sinonasal anatomy, function, and evaluation. In:Bailey
BJ, Johnson JT, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fourth edition, Volume
one. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins.