Anda di halaman 1dari 26

MINI CEX

FARINGITIS AKUT

Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan


Pada Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun Oleh:
Thomas Brilliant Deo Wahyu Jati
42190397

Dosen Pembimbing Klinik:


dr. Arin Dwi Iswarini, Sp.THT-KL., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2020
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Sdr. W
Tanggal Lahir : 10-06-1997
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sleman
Pekerjaan : mahasiswa
No.RM : 00-12-xx-xx

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 16 September 2020.
A. Keluhan Utama
Nyeri Tenggorokan.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RS Harjolukito pada tanggal 16 September
2020 untuk periksa dengan keluhan nyeri tenggorokan. Nyeri tenggorokan dirasakan
sejak 2 hari SMRS, disertai nyeri saat menelan, tenggorokan terasa kering, perubahan
suara atau suara serak disangkal, batuk (-), pilek (-), demam (-). Pasien juga
mengeluhkan 1 minggu SMRS mengalami rasa nyeri perut bagian atas, nyeri seperti
terbakar ditenggorokan, mulut terasa asam, muntah (-), dan terdapat bau tidak enak
yang berasal dari mulut. Pasien sudah mengkonsumsi obat namun belum membaik.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


 Gejala Serupa : (+) nyeri tenggorokan
 Jantung : (-)
 Hipertensi : (-)
 Diabetes Melitus : (-)
 Asam Urat : (-)
 Sinusitis : (-)
 Alergi obat/makanan : (-)
 Tonsilitis : (-)
 Maag : (+)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Jantung : (-)
 DM : (-)
 Hipertensi : (+) Ayah
 Gejala serupa : (-)
 Alergi : (-)
 Tumor : (-)
 Kanker : (-)
E. Riwayat Pengobatan
 Riwayat Periksa : Poliklinik Spesialis THT 2012
 Riwayat Operasi :-
 Riwayat Rawat Inap :-
F. Lifestyle
 Smoking : (+), 1 hari setengah bungkus
 Aktivitas : Pasien merupakan seorang mahasiswa, karena pandemi
kegiatan hanya dirumah saja, tidak pernah olah raga
 Diet : Makan 2 kali sehari tidak teratur, sering makan dengan porsi
besar, pasien mengaku suka makan makanan pedas, dan sering mengonsumsi
kopi. Pemasukan air mineral perhari minimal 1 liter.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80mmHg
Nadi : 88x/menit
Respirasi : 22x/menit
Suhu : 36oc

STATUS GENERALIS
A. Kepala
 Ukuran Kepala : Normochepali
 Wajah : Kesan asimetris, tidak ada jejas, tidak ada deformitas
 Mata : Ukuran simetris, pupil direct/indirect (+), konjungtiva
tidakhiperemis maupun ikterik
 Hidung : (Sesuai status lokalis)
 Mulut : (Sesuai status lokalis)
 Telinga : (Sesuai status lokalis)
 Leher : (-) jejas, (-) massa, (-) pembesaran limfonodi

B. Thorax
 Inspeksi
 Palpasi Tidak dilakukan
 Perkusi
 Auskultasi
C. Abdomen
 Inspeksi
 Auskultasi
Tidak dilakukan
 Perkusi
 Palpasi

D. Ekstremitas : Dari hasil inspeksi tampak ekstremitas atas dan bawah dalam
batas normal. CRT dalam batas normal kembali ≤ 2 detik, tidak ada edem.
STATUS LOKALIS

 Pemeriksaan Telinga
Pemeriksaan Telinga

Pemeriksaan Telinga Kanan Telinga Kiri


Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)
Kelianan Kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada

Nyeri Tekan Tragus - -


Planum Mastoidium Tidak nyeri Tidak nyeri
Glandula Limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Can. Aud. Externa Serumen (-), edem (-), Serumen (-), edem (-), hiperemis
hiperemis (-) (-),
Membrana Timpani Intak, Perforasi (-), Intak, Perforasi (-), Hiperemis (-),
Hiperemis (-), cone of light cone of light jelas (arah jam 7) ,
jelas (arah jam 5), Retraksi Retraksi (-)
(-)

Tes Penala Telinga Kanan Telinga Kiri


Rinne + +
Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Scwabach Normal (tidak memanjang Normal ( tidak memanjang atau
atau memendek) sama dengan memendek) sama dengan
pemeriksa pemeriksa

 Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal

HIDUNG
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
Cavum nasi Discharge (-) Discharge (-)
Rhinoskopi anterior
Vestibulum nasi Discharge minimal, hiperemis (-), krusta (-)
Septum nasi Deviasi septum (-), perforasi (-)
Meatus nasi inferior Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),
discharge (-) discharge (-)
Konka Inferior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
Meatus nasi media Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),
discharge (-) discharge (-)
Konka media Tidak tampak pada Tidak tampak pada pemeriksaan
pemeriksaan
Rhinoskopi Posterior: Tidak dilakukan
Fossa Rossenmuller
Torus Tubarius
Muara Tuba
Eustachius
Adenoid
Konka Superior
Choana

SINUS PARANASAL

Pemeriksaan Dekstra Sinistra


Inspeksi Eritem (-), edema (-), Eritem (-), edema (-)
Perkusi Nyeri (-) Nyeri (-)
Transluminasi Tidak dilakukan

CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Bibir Kontusio (-), bibir kering (-)
Mukosa Oral Warna merah muda, stomatitis (-)
Gusi dan Gigi Karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)
Atap mulut Ulkus (-)
Dasar Mulut Ulkus (-)
Uvula Hiperemis (+), edema (-)
Tonsila Palatina T0 T0

Peritonsil Abses (-), edema (-) Abses (-), edema (-)


Faring Hiperemis (+), discharge (-), granulae (-)
IV. DIAGNOSIS BANDING
 Faringitis akut
 Laringitis akut
 Gastroessophageal reflux disease

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan

VI. DIAGNOSIS
 Faringitis akut et causa GERD

VII. PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
- Simptomatik
o Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan
menelan: obat kumur yang mengandung antiseptik (diberikan 3 – 4
sehari).
o NSAID : Paracetamol tab 500 mg 3x1
o PPI : Omeprazol tab 20 mg 2x1 sebelum makan

b. Non Farmakologi
 Kumur antiseptic

VIII. EDUKASI
 Menjaga kebersihan gigi dan mulut dengan menggunakan obat kumur antiseptik 2 kali se
hari setelah makan dan sebelum tidur.
 Makan teratur dan banyak minum air putih, bila masih sulit menelan makanan pasien dap
at mengonsumsi makanan yang halus dulu (cair lunak) misalnya bubur halus. Makan dala
m porsi sedikit namun sering.
 berhenti merokok, minum kopi, dan makan makanan pedas sampai keluhan membaik
 Konsumsi obat tepat aturan baik waktu dan dosis sesuai dengan anjuran dokter yang terte
ra diresep.
 Kontrol tepat waktu.
IX. PLANNING

 Kontrol kembali setelah 1 minggu

X. PROGNOSIS

Ad Vitam :ad bonam


Ad Fungsionam :ad bonam
Ad Sanationam :ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

I. FARINGITIS

A. Anatomi Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar

di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra.

Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra

servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan

berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di

bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini

merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam

keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal

(Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).

Gambar 1. Anatomi Faring Atlas of Human Anatomy 4th Edition

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring) (Arjun S

Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot

(Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).

1. Nasofaring

Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah

palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra

servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa

struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus

faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur

embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan

kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus
dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan

foramen laserum dan muara tuba Eustachius (Rusmarjono, 2007; Arjun S Joshi, 2011; Rospa

Hetharia, 2011).

2. Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas

bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang

adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior

faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil

lingual dan foramen sekum (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007; Rospa Hetharia,

2011).

3. Laringofaring (Hipofaring)

Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah

laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur

pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan

yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika

lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa

orang, kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat

epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih

melebar, meskipun kadang – kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai

dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya.

Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus

makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus (Rusmarjono

dan Bambang Hermani, 2007).

Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai arti

penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.


 Ruang retrofaring( Retropharyngeal space)

Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari

mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot – otot faring. Ruang ini berisi

jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar

tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat

– serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.Di sebelah

lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila (Rusmarjono dan

Bambang Hermani, 2007).

 Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa)

Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar

tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid.

Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas

luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid

interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua

bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat

padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat

mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa

bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih

sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis

interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung

karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh

sesuatu lapisan fasia yang tipis (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
Gambar 2. Anatomi Faring Bagian Posterior Atlas of Human Anatomy 4TH

Edition

2. Faringitis Akut

2.1. Definisi

Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri, yang

ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran

kelenjar getah bening leher dan malaise (Miriam T. Vincent, 2004). Faringitis akut dan

tonsillitis akut sering ditemukan bersamasama dan dapat menyerang semua umur. Penyakit

ini ditular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah ( droplet infections) (Rusmarjono,

2001).
2.2. Etiologi

Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak mikroorganisme yang

dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-60%) dan bakteri (5-40%) yang paling

sering ( Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi, 2007).

Kebanyakan faringitis akut disebabkan oleh agen virus. Virus yang menyebabkan

faringitis termasuk Influenza virus, Parainfluenza virus, Coronavirus, Coxsackie viruses A

dan B, Cytomegalovirus, Adenovirus dan Epstein Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi

Human Immunodeficiency virus (HIV) juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis (John L.

Boone, 2003; Anthony W Chow, 2013).

Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A Beta Hemolytic

Streptococcus (GABHS), Group C Beta Hemolytic Streptococcus, Neisseria gonorrhoeae,

Corynebacterium diphtheria, Arcanobacterium haemolyticum dan sebagainya. Infeksi Group

A Beta Hemolytic Streptococcus (GABHS) merupakan penyebab faringitis akut pada 5-15%

dewasa dan 20-30% pada anak-anak (5-15 tahun) (Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi,

2007). Neisseria gonorrhoeae sebagai penyebab faringitis bakterial gram negative ditemukan

pada pasien aktif secara seksual, terutama yang melakukan kontak orogenital.

Dalam sebuah penelitian pada orang dewasa yang terinfeksi gonorea, faringitis

gonokokal ditemukan 20% pada pria homoseksual, 10% pada wanita dan 3% pada pria

heteroseksual. Sekitar 50% individu yang terinfeksi adalah tanpa gejala, meskipun

odinofagia, demam ringan dan eritema dapat terjadi (John L. Boone, 2003). Selain itu,

Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring dan menyumbang terjadinya

faringitis fungal. Faringitis gonorea hanya terdapat pada pasien yang menlakukan kontak

orogenital (Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi, 2007).

Faktor resiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya daya

tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi,
konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita

yang menderita sakit tenggorokan atau demam. Penyakit refluks gastroesofagus dapat

menyebabkan faringitis dimana gangguan sistem pencernaan yaitu asam lambung kembali

kedalam esophagus ditandai dengan nyeri pada ulu hati atau sensasi terbakar di dada.

Esofagus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan mulut dan lambung,

dimana saat terjadi GERD akan terasa tidak nyaman pada tenggorokan dan dapat

menimbulkan bau mulut yang khas (Jill Gore, 2013).

2.3. Epidemiologi

Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak. National

Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital Ambulatory Medical Care Survey

telah mendokumentasikan antara 6,2-9,7 juta kunjungan anak-anak dengan faringitis ke klinik

dan departemen gawat darurat setiap tahun, dan lebih dari 5 juta kunjungan orang dewasa per

tahun (Mary T. Caserta, 2009).

Menurut National Ambulatory Medical Care Survey, infeksi saluran pernafasan atas,

termasuk faringitis akut, dijumpa 200 kunjungan ke dokter per 1000 penduduk per tahun di

Amerika Serikat (Alan L. Bisno, 2001). Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada

populasi anak-anak. Kira-kira 15-30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10%

kasus faringitis pada orang dewasa terjadi pada musim sejuk adalah akibat dari infeksi Group

A Streptococcus. Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari 3 tahun (John R

Acerra, 2013).

2.4 Klasifikasi Faringitis

2.4.1 Faringitis Akut

a. Faringitis viral
Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV),

Virus influenza, Coxsachievirus, Cytomegalovirus dan lain-lain. Gejala dan tanda biasanya

terdapat demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan

tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, Coxsachievirus dan Cytomegalovirus

tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring

dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Pada adenovirus juga menimbulkan gejala

konjungtivitis terutama pada anak. Epstein bar virus menyebabkan faringitis yang disertai

produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh

tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan HIV-1

menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan

tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak

lemah.

b. Faringitis bakterial

Infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A merupakan penyebab faringitis

akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Gejala dan tanda biasanya penderita

mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah, kadangkadang disertai demam dengan suhu

yang tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan

tonsil hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul

bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal

dan nyeri apabila ada penekanan. Faringitis akibat infeksi bakteri Streptococcus ß

hemolyticus group A dapat diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :

- Demam

- Anterior Cervical lymphadenopathy

- Eksudat tonsil

- Tidak adanya batuk


Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor 0−1 maka pasien tidak

mengalami faringitis akibat infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A, bila skor 1−3 maka

pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi Streptococcus ß hemolyticus group A dan bila

skor empat pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi Streptococcus ß hemolyticus group

A (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

c. Faringitis fungal

Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Gejala dan tanda

biasanya terdapat keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak

putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan

dalam agar sabouroud dextrosa.

d. Faringitis gonorea

Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.

2.4.2 Faringitis Kronik

a. Faringitis kronik hiperplastik

Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior

faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi. Pada

pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular. Gejala dan tanda

biasanya pasien mengeluh 15 mula-mula tenggorok kering dan gatal dan akhirnya batuk yang

bereak.

b. Faringitis kronik atrofi

Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada

rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga

menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala dan tanda biasanya pasien

mengeluhkan tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak

mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
2.4.3 Faringitis Spesifik

a. Faringitis tuberkulosis

Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada infeksi kuman tahan

asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer. Cara infeksi eksogen yaitu

kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Cara

infeksi endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkulosis miliaris. Bila infeksi

timbul secara hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering ditemukan

pada dinding posterior faring, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole

dan 16 palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak, saat ini penyebaraan secara

limfogen. Gejala dan tanda biasanya pasien dalam keadaan umum yang buruk karena

anoreksi dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri yang hebat di tenggorok, nyeri di telinga

atau otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal.

b. Faringitis luetika

Treponema pallidum (Syphilis) dapat menimbulkan infeksi di daerah faring,

seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik tergantung stadium penyakitnya.

Kelainan stadium primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding posterior

faring berbentuk bercak keputihan. Apabila infeksi terus berlangsung akan timbul ulkus pada

daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri dan didapatkan pula pembesaran

kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan. Kelainan stadium sekunder jarang ditemukan,

namun dapat terjadi eritema pada dinding faring yang menjalar ke arah laring. Kelainan

stadium tersier terdapat pada tonsil dan palatum, jarang ditemukan pada dinding posterior

faring. Pada stadium tersier biasanya terdapat guma, guma pada dinding posterior faring

dapat meluas ke vertebra servikal dan apabila pecah akan menyebabkan kematian. Guma

yang terdapat di palatum 17 mole, apabila sembuh akan membentuk jaringan parut yang

dapat menimbulkan gangguan fungsi palatum secara permanen. Diagnosis dilakukan dengan
pemeriksaan serologik, terapi penisilin dengan dosis tinggi merupakan pilihan utama untuk

menyembuhkan nya (Rusmarjonno dan hermani, 2007).

2.5 Patofisiologi

Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara langsung

menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman akan

menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial

bereaksi dan akan terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.

Pada stadium awal terdapat hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada

awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi

kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah

dinding faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu

akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan

bercak-bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi

meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan 18 Coronavirus dapat

menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal (Bailey, 2006). Infeksi

streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan extracelullar

toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen

M protein dari Streptococcus ß hemolyticus group A memiliki struktur yang sama dengan

sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan demam reumatik dan kerusakan katub

jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus

terganggu akibat terbentuknya kompleks antigenantibodi (Bailey, 2006)


Gambar 3. Patofisiologi Faringitis Akut Sumber: (Bailey, 2006).

2.1.7 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang

menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala umum

seperti lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.

Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:

a. Faringitis viral (umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis dan

beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan

mual.

b. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam dengan suhu

yang tinggi, jarang disertai batuk.

c. Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.

d. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk

yang berdahak.

e. Faringitis atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.
f. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan

pengobatan bakterial non spesifik.

g. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan

seksual (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

2.1.8 Penegakan Diagnosis

Diagnosis Klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang bila diperlukan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,

2014).

2.1.8.1 Anamnesis

Anamnesis harus sesuai dengan mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis

besar pasien faringitis mengeluhkan lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan

sakit pada otot leher. Gejala khas berdasarkan jenis mikroorganisme, yaitu:

a. Faringitis viral, umumnya oleh Rhinovirus diawali dengan gejala rhinitis dan

beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan

mual.

b. Faringitis bakterial, biasanya pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat, muntah,

kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai batuk.

c. Faringitis fungal, terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.

d. Faringitis kronik hiperplastik, mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk

yang berdahak.

e. Faringitis kronik atrofi, umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.

f. Faringitis tuberkulosis, biasanya nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan

pengobatan bakterial non spesifik.

g. Apabila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat

hubungan seksual pasien.


2.1.8.2 Pemeriksaan Fisik

a. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus

influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat). Pada

coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa

maculopapular rash.

b. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil

hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul

bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher

anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.

c. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan pangkal

lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.

d. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah

mukosa faring dan lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding

posterior tidak rata dan bergranular (cobble stone).

e. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir

yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.

f. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkijuan pada mukosa

faring dan laring.

g. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:

 Stadium primer

Pada lidah palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring berbentuk bercak

keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus

pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar

mandibula.

 Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema yang

menjalar ke arah laring.

 Stadium tersier Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

2.1.8.3 Pemeriksaan Penunjang

Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan (kultur

apus tenggorokan). Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90−95% dari

diagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis yang

diandalkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005).

Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk

menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri

Group A Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS). Group A Beta-Hemolytic

Streptococcus (GABHS) rapid antigen detection test merupakan suatu metode

untuk mendiagnosa faringitis karena infeksi GABHS. Tes ini akan menjadi

indikasi jika pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang dokter

memberikan terapi antibiotik dengan risiko tinggi untuk pasien. Jika hasil

yang diperoleh positif maka pengobatan diberikan antibiotik dengan tepat

namun apabila hasilnya negatif maka pengobatan antibiotik dihentikan

kemudian dilakukan follow-up. Rapid antigen detection test tidak sensitif

terhadap Streptococcus Group C dan G atau jenis bakteri patogen lainnya.

Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus tenggorok

dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen

diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar

untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas


mencapai 90−99%. Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih

dari sepuluh hari (Vincent, 2004).

Selain itu pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan dan pemeriksaan

mikroskopik dengan pewarnaan gram.

2.1.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari penyakit faringitis harus sesuai dengan

penyebabnya.

Terapi Pokok Penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut,

yaitu:

1. Istirahat cukup

2. Minum air putih yang cukup

3. Berkumur dengan air yang hangat

4. Pemberian farmakoterapi:

a. Topikal Obat kumur antiseptik

- Menjaga kebersihan mulut

- Pada faringitis fungal diberikan nystatin 100.000−400.000 2

kali/hari.

- Faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik

faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argentin 25%.

b. Oral sistemik

- Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi virus

dengan dosis 60−100 mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali pemberian/hari


pada orang dewasa dan pada anak kurang dari lima tahun diberikan 50

mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali pemberian/hari.

- Faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya

Streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu penicillin G benzatin

50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis

dibagi 3 kali/hari selama sepuluh hari dan pada dewasa 3x500 mg

selama 6−10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari.

Selain antibiotik juga dapat diberikan kortikosteroid karena steroid

telah menunjukkan perbaikan klinis karena dapat menekan reaksi

inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason 3x0,5

mg pada dewasa selama tiga hari dan pada anak-anak 0,01

mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama tiga hari.

- Faringitis gonorea, sefalosporin generasi ke-tiga, Ceftriakson 2 gr

IV/IM single dose.

- Faringitis kronik hiperplastik, jika diperlukan dapat diberikan

obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit hidung dan sinus

paranasal harus diobati.

- Faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.

- Untuk kasus faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik sekali

sehari selama 3−5 hari.

Konseling dan Edukasi :

1. Memberitahu keluarga untuk menjaga daya tahan tubuh dengan

mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.


2. Memberitahu keluarga untuk berhenti merokok.

3. Memberitahu keluarga untuk menghindari makan-makanan yang dapat

mengiritasi tenggorok.

4. Memberitahu keluarga dan pasien untuk selalu menjaga kebersihan mulut.

5. Memberitahu keluarga untuk mencuci tangan secara teratur ( Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

2.1.10 Komplikasi

Komplikasi umum pada faringitis adalah sinusitis, otitis media,

epiglottitis, mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan oleh

infeksi Streptococcus jika tidak segera diobati dapat menyebabkan

peritonsillar abses, demam reumatik akut, toxic shock syndrome, peritonsillar

sellulitis, abses retrofaringeal dan obstruksi saluran pernasafan akibat dari

pembengkakan laring (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

DAFTAR PUSTAKA
1. Accerra, John R. 2013. Medsape Pharyngitis : Follow Up. Available from:
http://www.medicine.medscape.com/article/ 764304-followup#a2650. Buku Saku
Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Jakarta : EGC. p: 180 Rusmarjono,
Soepardi EA, 2007. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 6. Jakarta: FK UI;
2007. h.221-5.
2. Adams, G., 2012. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC. Edisi ke-6.
3. Alan L. Bisno, M.D., 2011. Acute Pharyngitis: Primary Care. In: The New England
Journal of Medicine. Available From: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJ
M20010183440308. p : 205-211
4. Arjun S Joshi, 2011. Pharynx Anatomy. Available From :
http://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview#showall [Accessed: 15
August 2020]
5. Departemen Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 5. Jakarta: Depkes RI
6. Gore J. 2013. Acute Pharyngitis. Journal of The American Academy of Physician
Assistans. P; 26: 57-8.
7. John L. Boone, MD., 2003. Etiology of Infectious Diseases of the Upper. Respiratory
Tract. In: Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck. Surgery. 16 th.
8. Mary T. Caserta and Anthony R. Flores, 2013. Pharyngitis .In : Mandell, Douglas,
and Bennett‟s Principles and Practice of Infectious Diseases, 7thed.Volume 1, Part II,
Section B, Chapter 54.
9. Rospa H, Sri M. 2011. Faring dan Tonsil Dalam Asuhan Keperawatan Gangguan
THT. Jakarta : TIM.
10. Vincent, M., 2004. Pharyngitis. American Family Physician, 1465-1467
11. Walsh WE, Kom RC.2006. Sinonasal anatomy, function, and evaluation. In:Bailey
BJ, Johnson JT, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fourth edition, Volume
one. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai