Anda di halaman 1dari 33

TUTORIAL KLINIK

Disusun Oleh:

Erawan Prasetyo 42190396


Thomas Brilliant Deo 42190397

Dosen Pembimbing Klinik :

Kolonel Kes dr. Swarsono R., Sp.THT-KL, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

RUMAH SAKIT PUSAT TNI ANGKATAN UDARA


Dr. S HARDJOLUKITO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA


WACANA YOGYAKARTA

2020

1
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

Nama : Ny Y
Tanggal Lahir : 02 Juli 1970
Usia : 50 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Karanglo , Sleman , Yogyakarta
Pekerjaan : Pegawai Negri Sipil
No.RM : 0225XXX

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Kedua telinga terasa tegang

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang berdua dengan suami untuk memeriksakan telinga
yang sudah dirasakan sejak tadi pagi Pukul 05.00 ke RSPAU
dr.Hardjolukito Yogyakarta pada tanggal 14/09/2020 pukul 10.30
WIB. Pasien mengeluhkan telinga kanan dan kiri terasa tegang
terutama saat pagi dan malam hari,selain itu pasien juga mengeluhkan
rasa pusing dan cemas serta susah tidur selama 6 hari disertai hidung
mampet.
2 minggu yang lalu pada hari selasa tanggal 01/08/2020 Pasien
mengalami pusing kepala sudah periksa ke Panti Rini dan disarankan
untuk periksa ke spesialis THT.Pada hari rabu tanggal 09/08/2020
pasien datang ke RS Bethesda untuk melakukan pemeriksaan THT.
Pasien minum obat-obatan yang sudah diberikan berupa
dekongestan seperti Phenylpropanolamine HCL, anti inflamasi

2
Methylprednisolone, vitamin B12 Mecobalamine selama 2 hari namun
kondisinya belum membaik, Timbul rasa mual dan cemas.
Pada hari jumat tanggal 11/09/2020 Pasien datang ke dokter
keluarga karena merasakan mual setelah minum obat Sulcrafat
membaik.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
- Hipertensi : (-)
- Diabetes : (-)
- Alergi : (+)
- Gastritis : (+)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
- Alergi : (-)
- Asma : (-)
- DM : (-)
- Hipertensi : (-)

E. Riwayat Pengobatan
- Riwayat Mondok : (-)

F. Lifestyle

- Merokok : (-)
- Konsumsi Alkohol : (-)
- Pola makan : (+) Tidak teratur

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E6 V6 M6
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 124x/menit
Respirasi : 18x/menit

3
Suhu : 36,3 C

STATUS GENERALIS (14/09/2020)


A. Kepala
 Ukuran Kepala : Normochepali
 Wajah : Kesan simetris,
 Mata : Perdarahan konjungtiva (-/-), Hiperlakrimasi (-/-)
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, reflek
cahaya (+/+)
 Hidung : Deformitas (-) rhinorhea (+), epitaksis (-), nyeri
tekan (-)
 Mulut : Kontusio bibir (-), Mukosa bibir kering (-),
Sianosis(-), sekret (-)
 Dagu : Nyeri tekan (-), Deformitas (-)
 Telinga : Discharge (-), Deformitas (-), nyeri ketuk mastoid
(-), Nyeri tekan auricular (-)
 Leher : Limfonodi tidak teraba, nyeri tekan (-), massa (-),
auskultasi: stridor inspirasi (-), bruit (-), wheezing (-)

B. Thorax
 Inspeksi : simetris, tidak terdapat kelainan bentuk dada, tidak
ada ketertinggalan gerak
 Palpasi : fremitus meningkat -/-
 Perkusi : redup -/-
 Auskultasi : : stridor ekspirasi (-) | inspirasi (-), suara paru
vesikuler (+/+), ronki basah (-/-), wheezing (-/-), Suara jantung S1
dan S2 reguler

C. Abdomen:
 Inspeksi : Distensi (-), Jejas (-), benjolan/massa (-)
 Auskultasi : bising usus (-)

4
 Perkusi : timpani
 Palpasi : nyeri tekan (-)

D. Ekstremitas
a. Atas : Akral teraba hangat, edema (-), CRT < 2detik
b. Bawah : Akral teraba hangat, edema (-), CRT < 2 detik

STATUS LOKALIS

 Pemeriksaan Telinga

Pemeriksaan Telinga Kanan Telinga Kiri


Auricula Normal, deformitas (-) Normal, deformitas (-)
Kelianan Kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Planum Mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Glandula Limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Can. Aud. Externa Serumen (-), Edema (-), Serumen (-), Edema (-),
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Membrana Timpani Intak, Keruh(+) Intak, Oklusi
(+)Keruh(+)

Kesan: AD dan AS dalam batas normal

5
Tes Penala Telinga Kanan Telinga Kiri
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Scwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal

Pemeriksaan Dextra Sinistra


HIDUNG
Dorsum Nasi Deformitas (-), Krepitasi (-), Nyeri tekan (-)
Discharge (+) Discharge (+)
Cavum Nasi
Bening,encer Bening,encer
Rhinoskopi Anterior
Vestibulum Nasi Darah (-) Darah (-)
Septum Nasi Deviasi septum (-) Deviasi septum (-)
Meatus Nasi Inferior Edema (+), hiperemis (+) Edema (+), hiperemis (+)
Konka Inferior Laserasi (-), hiperemis (+) Laserasi (-), hiperemis (+) ,
, Hipertrofi (+) Hipertrofi (+)
Meatus Nasi Media Edema (+), hiperemis (+) Edema (+), hiperemis (+)
Konka Media Laserasi (-), hiperemis (+) Laserasi (-), hiperemis (+)
Rhinoskopi Posterior
Fossa Rossenmuller Darah (-) , Hiperemis (+) Darah (-) , Hiperemis (+)
Torus Tubarius Darah (-) , Hiperemis (+) Darah (-) , Hiperemis (+)
Muara Tuba Eustachius Darah (-) , Sekret (-) Darah (-) , Sekret (-)
Adenoid Hipertrofi (+) Hipertrofi (+)
Darah (-) , Sekret (-) , Darah (-) , Sekret (-) ,
Konka Superior Hiperemis (+) , Hiperemis (+) , Hipertrofi
Hipertrofi (+) (+)
Choana

6
SINUS PARANASAL
Inspeksi Eritem (+), edema (-) Eritem (+), edema (-)
Perkusi Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)
Transluminasi - -

 Pemeriksaan Oropharynx

CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Bibir Kontusio (-), Bibir kering (-)
Mukosa Oral Warna merah muda, stomatitis (-),
Gusi dan Gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Warna merah muda, tidak ada atrofi papil lidah
Atap mulut Tidak ada deformitas
Dasar Mulut Tidak ada deformitas
Uvula Tidak ada deformitas
Tonsila Hipertrofi(-) , Hiperemis (+) , Abses (-)
Palatina
Peritonsil Hipertrofi (-),hiperemis(-) abses (-)

Faring Hipertrofi (-),hiperemis(-) abses (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- SARS-CoV IgG/IgM (24/08/20)

7
Pemeriksaan Hasil
SARS-CoV IgG Non Reaktif
SARS-CoV IgM Non Reaktif

V. DIAGNOSIS
Utama : Otitis Media Akut
Tambahan : Rhinitis Alergi

VI. DIAGNOSIS BANDING


Otitis Media Akut
Otitis Media Persisten
Otitis Media Rekuren

VII. PENATALAKSANAAN
Farmakologi
R/ Cetirizine Tab. 10 mg No. XV
s.p.r.n 2 d.d p.c
R/ Amoxicilin Tab 500 mg No. XXI
S.O 8 H pc

R/ HCL Efedrin 1% Flash No I


S 2 d.d gtt 2 m et v

VIII. EDUKASI
 Hindari Alergen .
 Tidak Membersihkan telinga terlalu sering
 Telinga jangan sampai kemasukan air
 Jangan mengatupkan gigi terlalu kencang
 Banyak minum air putih.
 Minum obat hanya jika terpapar alergen dan muncul gejala alergi.

8
 Pakai masker jika bepergian\beraktivitas di luar rumah.

IX. PLANNING
 Kultur sputum atau sekret.
 Kontrol rutin pada spesialis THT jika keluhan sangat mengganggu
aktivitas.

IX. PROGNOSIS

Ad Vitam : Bonam
Ad Fungsionam : Bonam
Ad Sanationam : Bonam

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

1. Hidung

Hidung merupakan alat pernapasan yang terletak di bagian luar tubuh dan
tersusun atas tulang rawan. Selain itu, hidung juga tempat udara masuk dan
juga organ untuk penciuman. Dikelilingi M.depressor nassi dan juga terdapat
Os nasal. Pada lubang hidung terdapat cillia yang berguna sebagai filter

9
Cavum Nasalis (Rongga hidung), merupakan saluran kedua dari saluran
respirasi. Pada rongga hidung terdapat concha yang berguna sebagai filtrasi
untuk udara. Lapisan mukosa pada rongga ini juga berfungsi sebagai filter,
pengatur suhu, dan kelembaban udara, Di dalam rongga hidung oksigen akan
menyesuaikan temperature dan kelembaban tubuh, ketika oksigen terlalu
dingin atau panas saat melewati dinding rongga dan concha ( sekat rongga
hidung) akan di aturdengan suhu tubuh karena bagi sebagian orang yang alergi
akan menyebabkan produksi selaput lendir yang berlebih ( rhinitis allergic ).

 Fungsi Hidung :
1) Bekerja sebagai saluran udara pernafasan.
2) Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu
hidung.
3) Dapat menghangatkan udara pernapasan oleh mukosa. Membunuh
kuman yang masuk,bersama udara pernapasan oleh leukosit yang
terdapat dalam selaput lendir(mukosa)atau hidung. (Syaifuddin, 2011).

 Bagian-bagian Hidung.

10
1. Bagian dinding luar terdiri dari kulit
2. Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan
3. Lapisan dalam terdiri dari lapisan selaput lendir yang berlipat-lipat
yang dinamakan karang hidung ( konka nasalis ) yang berjumlah tiga
buah :
a. Konka nasalis inferior ( karang hidung bagian bawah )
b. Konka nasil media ( karang hidung bagian tengah )
c. Konka nasil superior ( karang hidung bagian atas )
Di antara konka terdapat 3 buah lekukan meatus yaitu meatsu superior
( lekukan bagian atas ), meatus medialis ( lekukan bagian tengah ) dan
meatus inferior ( lekukan bagian bawah ). Dasar dari rongga hidung di
bentuk oleh tulang rahang atas dan berhubungan dengan beberapa rongga
yang di sebut dengan rongga paranasalis, yaitu sinus maksilaris pada
rongga rahan atas, sinus frontalis pada rongga tulang dahi, sinus
sfenoidalis pada rongga tulang baji dan sinus etmoidalis pada rongga
tulang tapis.

11
RHINITIS ALERGI
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa hidung
yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya mediator-mediator
kimia pada saat terpapar kembali dengan alergen tersebut (Rafi dkk, 2015).
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E
(Irawati et al., 2007).
Tahapan inflamasi pada rhinitis alergi adalah tahap sensitivitas yang
diikuti dengan tahap provokasi pada alergi. Reaksi alergi adalah reaksi dari
system kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami
cedera/luka (Hikmah dan Dewanti, 2010).
Pasien rhinitis alergi akan bersin, rhinorhea anterior,dan yang sangat
sering adalah sumbatan hidung. Ini menjadi gejala yang sangat mengganggu pada
pasien rhinitis alergi (Bousquet, 2011). Gejala lain adalah allergic shiners yaitu
terdapat bayangan gelap di daerah kelopak mata bagian bawah (Roesmono, 2003).
Rhinitis alergi akan menjadi penyakit yang membahayakan bila tidak ditangani
dengan baik. Pada penelitian Hauswald et al. (2014), prevalensi rhinitis alergi di
dunia adalah 20-30%, di Eropa 22,7% dan di Jerman 20,6% dan cenderung
meningkat.
Rhinitis alergi menurut ilmu Traditional Chinese Medicine memiliki
kategori Bi Yuan (hidung pilek) danBi Zhi (hidung buntu). Penyebab rhinitis
alergi dapat dikarenakan serangan patogen angin, dingin, panas dan lembab atau
akumulasi dahak, sehingga terdapat gangguan pada fungsi hidung (Yin dan Liu,
2000).
Patogenesis rhinitis alergi dalam ilmu Traditional Chinese Medicine
berhubungan dengan organ paru. Fungsi utama organ paru menurut TCM adalah
melakukan respirasi, berperan penting dalam fungsi dispersi dan pembersihan. Qi
dari paru mengontrol Qi daya tahan tubuh yang didistribusikan ke permukaan

12
tubuh untuk melindungi paru dari serangan faktor eksternal. Paru memiliki
hubungan yang erat dengan hidung. Jika Qi dari paru tidak harmonis hidung akan
mengalami sumbatan, respirasi akan terganggu (Maciocia, 2005). Untuk
mengurangi gejala bersin dan rinore pada rhinitis alergi dapat menghidari faktor
pencetus alergi seperti debu dan angin, memakai masker dan menjaga kebersihan
lingkungan, menerapkan pola makan teratur dan sehat, istirahat cukup dan
berolahraga.

13
OTITIS MEDIA AKUT

A. Definisi
Otitis media akut (OMA) adalah infeksi akut telinga tengah
dalam waktu yang singkat yang berlangsung selama 3 minggu atau
kurang karena infeksi bakteri piogenik dan mengeluarkan nanah.
Bakteri piogenik sebagai penyebabnya yang tersering yaitu
Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, dan Pneumokokus.
Kadang-kadang bakteri penyebabnya yaitu Hemofilus influenza,
Escheria colli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris,
Pseudomonas aerugenosa. Hemofilus influenza merupakan bakteri
yang paling sering kita temukan pada pasien anak berumur di bawah
5 tahun.

B. Anatomi Telinga
Gambar 2.1 Anatomi Telinga

Telinga terdiri dari bagian luar, tengah dan dalam. Telinga

14
bagian luar terdiri dari aurikula, meatus acusticus externus dan dan
membran timpani bagian luar. Telinga tengah terdiri dari membran
timpani bagian dalam, cavitas timpani yang berisi ossicula auditiva,
muskulus, cellulae mastoid; aditus ad antrum dan tuba auditiva.
Telinga dalam terdiri dari labirintus osseus dan labirintus
membranaceus. Labirintus osseus yaitu koklea dan labirintus
membranacea terbagi menjadi labirintus vestibularis (sakulus,
utrikilus, canalis semisirkularis), duktus koklearis (skala vestibule,
skala media, skala timpani), sakus duktus endolimpatikus.
1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga
sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari daun telinga
dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri
dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk
huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari
tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 ± 3 cm.
Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak
kelenjar serumen dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada
seluruh liang telinga.Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit
dijumpai kelenjar serumen.
2. Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri dari membrane timpani bagian dalam,
cavitas timpani yang berisi ossikula auditiva, muskulus, celulae
mastoid; aditus ad antrum dan tuba auditiva, telinga tengah
berbentuk kubus, dengan:
- Batas luar : membran timpani.
- Batas depan : tuba eustachius
- Batas bawah : vena jugularis
- Batas belakang : aditus ad antrum
- Batas atas : tegmen tympani (meningen/otak).

15
- Batas dalam : berturut-turut dari atas kebawah
(kanalis
semisirkularis horizontal, kanalis
fasialis, oval window dan antrum
promontorium.
Cavitas tympani berisi osikula auditiva, muskulus, celulae
mastoid; aditus ad antrum dan tuba auditiva.
• Osikula auditiva
• Berfungsi untuk menghantarkan suara dari udara
ke koklea Terdiri dari maleus, incus dan stapes
• Muskulus
Terdiri dari m. tensor tympani dan m. stapedius, diinervasi
oleh N. facialis dan N. trigeminus dimana berfungsi untuk
membatasi gerak dari tulang auditiva.
Perlekatan dari m. tensor tympani dan pars ossea tuba
auditiva menuju kolum mallei, berfungsi untuk mengatur
keseimbangan tekanan udara antara cavum tympani dengan
dunia luar.
• Perlekatan dari m.stapedius dari piramida menuju ke collom
stapedius, berfungsi untuk meredam suara yang keras,
frekwensi rendah dan amplitude yang tinggi.
• Celulae mastoid.
• Aditus ad antrum.
Merupakan muara atau lubang yang menghubungkan
cavum tympani dengan antrum mastoid.
• Tuba auditiva
Tuba auditiva adalah saluran yang menghubungkan
rongga telinga tengah dengan nasofaring.
Tuba auditiva memiliki arti klinis karena nasofaring
memiliki banyak flora normal, sehingga jika tekanan cavum
tympani lebih rendah maka udara akan masuk dari

16
nasofaring ke cavum tympani sehingga flora normal akan
ikut masuk, hail ini dapat memicu infeksi diauris media.
Tuba auditiva dibagi menjadi 2 bagian:
- 1/3 bagian superior, tersusun oleh tulang.
- 2/3 bagian inferior, tersusun oleh kartilago yang
berbentuk huruf U.
Fungsi dari Tuba auditiva.
- Drainase, berdasarkan gerakan membuka tuba dan
gerakan silia di mukosa tuba dimana gerakan silia
seperti lecutan cambuk yang bergerak dari arah cavum
tympani ke nasofaring sehingga menghambat
pergerakan kuman yang akan masuk ke auris media.
Juga untuk mengeluarkan produk atau kotoran dari
auris media.
- Proteksi, dilakukan oleh jaringan limpoid dan sel
goblet dari mukosa tuba, sel goblet menghasilkan
lisosom yang bersifat bakterisid.
- Aerasi, yaitu menjaga keseimbangan tekanan udara
dalam telinga terhadap dunia luar melalui proses
membuka-menutup tuba, sebagai contoh saat menelan
tuba akan membuka.
3. Telinga dalam terdiri dari:
a) Labirin osseus: koklea atau rumah siput, yang berupa
setengah lingkaran.
b) Labirin membranaseus, terdiri dari:
1. Labirin Vestibuler, yang terdiri dari saculus, utrikulus
dan 3 buah kanalis semisirkularis.
2. Duktus koklearis, yang terdiri dari skala vestibule
(berisi perilimfe), skala media (berisi endolimpe dan
terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membrane tektoria, dan pada membrane basal melekat

17
sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel
rambut luar dan kanalis korti, yang membentuk organ
korti)dan sekala tympani (berisi perilimfe)
3. Saccus dan ductus endolimfaticus

C. Etiologi dan faktor risiko


Kuman penyebab utama pada OMA adalah bakteri pyogenik,
seperti Streptokokus haemolitikus, stafilakokus aureus,
Pneumokokus. Selain itu juga kadang-kadang ditemukan juga
Haemopilus influenza, Esherichia colli, streptokokus anhemolitikus,
proteus vulgaris dan pseudomonas auregenosa. Hemofilus influenza
sering ditemukan pada anak yang berusia 5 tahun. Infeksi virus
pathogenik seperti respiratory syncytial virus, influenza virus,
parainfluenza virus, rhinovirus, and adenovirus
Faktor risiko dari OMA antara lain :
 Immuno defisiensies
 Genetik predisposision
 Mucins dengan abnormalitas dari ekspresi gen, terutama
regulasion dari gen MUC5B
 Abnormalities anatomi dari palatum dan tensor veli palatini
 Disfungsion silier
 Cochlear implants
 Deficiency vitamin A
 Alergi
 Kurangnya asupan ASI (pada bayi)
 Perokok pasif
 Status sosioekonomi yang rendah
 Riwayat keluarga dengan OMA rekuren

D. Patofisiologi

18
Telinga tengah biasanya steril, suatu hal yang mengagumkan
menimbang banyaknya flora organisme yang terdapat di dalam
nasopharing dan faring. Gabungan aksi fisiologis silia, enzim
penghasil mucus (misalnya muramidase) dan antibodi berfungsi
sebagai mekanisme petahanan bila telinga terpapar dengan mikroba
kontaminan ini saat menelan. Otitis media akut terjadi bila
mekanisme fisiologis ini terganggu. Sebagai mekanisme pelengkap
pertahanan di permukaan, suatu anyaman kapiler sub epitel yang
penting menyediakan pula faktor–faktor humoral, leukosit
polimorfonuklear dan sel fagosit lainnya. Obstruksi tuba eustachius
merupakan suatu faktor penyebab dasar pada otitis media akut.
Penyakit ini mudah terjadi pada bayi karena tuba
eustachiusnya pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.
Normalnya lapisan mukosa pada telinga tengah menyerap udara
pada telinga tengah, namun jika udara tidak dapat dialirkan karena
adanya obstruksi relatif tuba eusthachius maka akan terjadi tekana
negative dan menimbulkan effuse serosa. Efusi ini pada telinga
tengah merupakan media yang fertile untuk perkembangbiakan
mikroorganisme dan dengan adanya infeksi saluran napas atas dapat
terjadi invasi virus dan bakteri ke telinga tengah, berkolonisasi dan
menyerang jaringan dan menimbulkan infeksi. Meskipun infeksi
saluran napas terutama disebabkan oleh virus namun sebagian besar
infeksi otitis media akut disebabkan oleh bakteri piogenik. Bakteri
yang sering ditemukan antara lain Streptococcus pneumoniae,
Haemophillius influenza dan Sterptococcus beta hemolitikus. Sejauh
ini Streptococcus pneumoniae merupakan organisme penyebab
tersering pada semua kelompok umur . Hemophilus influenza adalah
patogen yang sering ditemukan pada anak di bawah usia lima tahun,
meskipun juga merupakan patogen pada orang dewasa. Gejala klasik
otitis media akut antara lain berupa nyeri, demam, malaise dan
kadang – kadang nyeri kepala di samping nyeri telinga; khusus pada

19
anak – anak dapat terjadi anoreksia, mual dan muntah. Demam dapat
tinggi pada anak kecil namun dapat pula tidak ditemukan pada 30%
kasus. Seluruh atau sebagian membrane timpani secara khas menjadi
merah dan menonjol dan pembuluh
– pembuluh darah di atas membrane timpani dan tangkai maleus
berdilatasi dan menjadi menonjol. Secara singkatnya dapat dikatakan
terdapat abses telinga tengah.
Genetik, infeksi, imunologi dan lingkungan merupakan factor
presdiposisi pada anak-anak untuk terkena infeksi telinga. Pada
banyak kasus pencetus OMA disebabkan oleh infeksi saluran nafas
atas yang mengakibatkan kongesti, bengkak dari mukosa nasalis,
nasopharynx dan tuba eustachius. Sumbatan dari isthmus tuba
auditiva akibat dari penimbunan secret dari telinga tengah: hasil
perlawanan tubuh terhadap bakteri atau virus yang berupa nanah
sebagai penyebab utama OMA. Perluasan radang atau infeksi dari
hidung atau nasopharinx kedalam cavum tympani dimungkinkan
akibat ada hubungan langsung hidung dan cavum tympani melalui
tuba eustachius serta persamaan jenis mukosa antara kedua tempat
tersebut.
Lokasi primer patologi otitis media berada pada tuba
Eustachius yang mengalami disfungsi tuba. Penyebaran infeksi
biasanya berasal dari nasofaring ke telinga tengah yang mengalami
tahapan oklusi tuba menjadi pre-supurasi lalu menjadi supurasi dan
kemudian mengalami resolusi atau komplikasi. Beberapa penelitian
melaporkan mekanisme gangguan fungsi tuba Eustachius
rinosinusitis akut didasari oleh kesamaan antara mukosa rongga
hidung, nasofaring, tuba Eustachius, dan telinga tengah, sehingga
proses inflamasi alergi di mukosa hidung dapat berlanjut ke mukosa
nasofaring dan tuba Eustachius. Gangguan fungsi tuba merupakan
salah satu faktor penyebab otitis media yang memiliki peranan
penting dalam patogenesis terjadinya otitis media efusi.

20
Pembengkakan pada jaringan sekitar saluran tuba eustachius dapat
menyebabkan lender yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
berkumpul di belakang gendang telinga. Jika lender dan nanah
bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang
telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan
organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas.
Kehilangan pendengaran yang dialami sekitar 24 db (bisikan halus).
Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan
pendengaran hingaa 45 db (kisaran pembicaraan normal). Selain itu
telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang
banyak tersebut dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.
Pada anak lebih mudah terserang OMA disbanding orang
dewasa karena beberapa hal :
 System kekebalan tubuh anak masih dalam perkembangan.
Saluran Eustachius pada anak masih lebih lurus secara
horizontal dan lebih pendek bila dibandingkan dengan orang
dewasa sehingga ISPA lebih mudah menyebar ke telinga tengah.
 Adenoid (adenoid: salah satu organ di tenggorokan bagian atas
berperan dalam kekebalan tubuh) pada anak relative lebih besar
disbanding orang dewasa. Posisi adenoid berdekatan dengan
muara eustachius sehingga adenoid yang besar mengganggu
terbukanya saluran eustachius. Selain itu saluran eustachius
sendiri dapat terinfeksi dimana infeksi tersebut kemudian
menyebar ketelinga tengah lewat saluran eustachius.

E. Manifestasi Klinis
Perubahan mukosa tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi
menjadi 5 stadium:
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius.
Tanda adanya oklusi tuba eustachius ialah gambaran retraksi
membrane tympani akibat terjadinya tekanan negative dalam

21
telinga tengah, akibat absorbsi udara, hal ini diakibatkan oleh
adanya radang di mukosa hidung dan nasofaring karena infeksi
saluran nafas atas berlanjut ke mukosa tuba eustachius. Keadaan
ini mengakibatkan fungsi tuba eustachius dan mukosa cavum
tympani. Akibatnya mukosa tuba eustachius mengalami edema
yang akan menyempitkan lumen tuba eustachius. Keadaan ini
mengakibatkan fungsi tuba eustachius terganggu (fungsi ventilasi
dan drainase). Gangguan fungsi ini antara lain menyebabkan
berkurangnya pemberian oksigen kedalam cavum tympani
berkurang (hipotensi), menjadi kurang dari 1 atm dan disebut
vacum. Kondisi vakum selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
perubahan pada mukosa tympani, berupa:
 Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan limfe.
 Peningkatan permeabilitas dinding sel.
 Terjadinya proliferasi sel kelenjar mukosa.
Perubahan yang terjadi pada mukosa cavum tympani
tersebut, mengakibatkan terjadinya perembesan cairan kedalam
cavum tympani (transudasi). Keadaan ini disebut sebagai Hidrops
ex vacuo. Kadang- kadang membrane tympani tampak normal
(tidak ada kelainan) atau berwarna keruh pucat. Dimana gangguan
telinga yang dirasakan akibatnya vacuum hydrops ex vacuo.
Keluhan yang dirasakan: telinga terasa penuh (seperti kemasukan
air), pendengaran terganggu, nyeri pada telinga (otalgia), tinnitus.
Pada pemeriksaan otoskopi didapat gambaran membrane
tympani berubah menjadi retraksi/tertarik ke medial (dengan
tanda-tanda) lebih cekung, brevis lebih menonjol, manubrium
mallei lebih horizontal dan lebih pendek, plika anterior tidak
tampak lagi dan refleks cahaya hilang atau berubah
2. Stadium Hiperemis.
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang
melebar di membrane tympani atau seluruh membrane tympani

22
tampak hiperemis serta edema secret yang telah terbentuk
mungkin masih bersifat eksudat yang serousa sehingga masih
sukar terlihat. Stadium hiperemis nyeri telinga makin intens,
demam, rewel dan gelisah (pada bayi / anak), muntah, nafsu
makan hilang, anak biasanya sering memegang telinga yang
nyeri.

Gambar Membran timpani pada stadium hiperemis.

3. Stadium Supurasi (Bombans).


Edeme yang hebat pada mukosa telinga tengah dan
hancurnya sel epitel superficial, serta terbentuknya eksudat yang
purulen di cavum tympani, menyebabkan membrane tympani
menonjol (bulging) kearah liang telinga luar. Pada keadaan ini
pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, seerta rasa
nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan nanah di
cavum tympani tidak berkurang, maka terjadi iskemia, akibat
tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada
vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan sub mukosa. Nekrosisi
ini pada membrane tympani terlihat sebagai daerah yang lebih
lembek dan kekuningan. Ditempat ini akan terjadi rupture. Pada
stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah yang
berada di dalam kavum timpani mengalir ke liang telinga luar.
Pasien tampak lebih tenang dari sebelumnya dan terjadi

23
penurunan suhu
Pada orang dewasa biasanya datang dengan keluhan otalgia
hebat, pada penderita bayi dan anak rewel dan gelisah, demam
tinggi dan ISPA yang disertai biasanya masih ada. Pada
pemeriksaan otoskopi: pada meatus akustikus externus tidak
didapatkan secret, membrane timpani tampak hiperemi, cembung
kearah lateral (bombans), Terkadang tampak adanya pulsasi
(keluar nanah dari lubang perforasi sesuai dengan denyutan nadi.

Gambar.. Membran timpani pada stadium supuratif

4. Stadium Perforasi.
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian
antibiotik atau virulensi kuman yang tinggi, maka terjadi rupture
membrane tympani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah
ke liang telinga luar, akibatnya nyeri yang dirasakan penderita
berkurang. Selain itu disebabkan oleh tekanan yang tinggi pada
cavum tympani akibat kumpulan mucous, ahkirnya menimbulkan
perforasi pada membrane tympani.
Keluhan yang di rasakan sudah banyak berkurang, karena
tekanan di cavum tympani sudah banyak berkurang, selain itu
keluar cairan dari telinga, penurunan pendengaran dan keluhan
infeksi saluran nafas atas masih di rasakan, pada pemeriksaan
otoskopi meatus externus masih didapati banyak mukopus dan
setelah dibersihkan akan tampak membrane tympani yang

24
hiperemis dan perforasi paling sering terletak di sentral.

Gambar Membran timpani pada stadium perforasi

5. Stadium Resolusi
Bila membrane tympani tetap utuh, maka keadaan membrane
tympani berlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi
perforasi, maka secret akan berkuran dan mongering. Bila daya
tahan tubuh baik dan virulensi kuman rendah maka resolusi dapat
terjadi walaupun tanpa pengobatan. Pada stadium ini kebanyakan
yang masih dirasakan adanya gangguan pendengaran, keluhan
sebelumnya sudah tidak dirasakan lagi. Pada pemeriksaan
otoskopi meatus akustikus externus bersih dari secret, membrane
tympani tidak tampak lagi, warnanya sudah kembali lagi seperti
mutiara, yang masih tampak adalah perforasi pars tensa.

Gambar Membran timpani pada stadium resolusi

25
F. Gejala Klinis
Gejala klinik otitis media akut (OMA) tergantung dari stadium
penyakit dan umur penderita. Gejala stadium supurasi berupa demam
tinggi dan suhu tubuh menurun pada stadium perforasi. Gejala
klinik otitis media akut (OMA) berdasarkan umur penderita, yaitu :
 Bayi dan anak kecil.
Gejalanya : demam tinggi bisa sampai 390C (khas), sulit tidur,
tiba-tiba menjerit saat tidur, mencret, kejang-kejang, dan
kadang-kadang memegang telinga yang sakit. Anak yang sudah
bisa bicara. Gejalanya : biasanya rasa nyeri dalam telinga, suhu
tubuh tinggi, dan riwayat batuk pilek.
 Anak lebih besar dan orang dewasa.
Gejalanya : rasa nyeri dan gangguan pendengaran (rasa penuh
dan pendengaran berkurang).
G. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik generalis sesuai dengan gejala otitis media.
Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan membran timpani dengan
menggunakan otoskop untuk melihat hal-hal berikut:
 Kontur: normal/retraksi/menonjol. Pada otitis media efusi
membran timpani retraksi. Pada otitis media oklusi tuba,
membran timpani akan terlihat retraksi. Pada otitis media akut
fase supurasi membran timpani akan menonjol.
 Warna: abu-abu/kuning/merah/merahmuda/biru. Pada otitis
media efusi membran timpani berwarna kuning atau biru. Pada
otitis media akut hiperemis membran timpani tampak
inflamasi (merah/merah muda).
 Kejernihan/translusen: translusen/semi berawan/berawan.
Membran timpani normalnya adalah translusen dan
memantulkan cahaya (refleks cahaya positif). Pada otitis
media kejernihan membran timpani berawan dan refleks

26
cahaya biasanya negatif.
Perforasi: pada otitis media perforasi, membran timpani tidak intak
(perforasi) dan sekret positif. Pada otitis media resolusi, membran
timpani tidak intak dan sekret negatif. Perforasi otitis media biasanya
terjadi pada kuadran posterior atau inferior membran timpani)
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak rutin dilakukan pada otitis
media. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada otitis
media adalah pemeriksaan timpanometri, timpanosintesis, dan
pencitraan.
1. Timpanometri
Timpanometri bermanfaat untuk menyediakan data
kuantitatif mengenai fungsi struktural dan mendeteksi
adanya efusi pada telinga tengah.
2. Reflektometri akustik
Berguna untuk mengukur seberapa banyak suara yang
dipantulkan kembali oleh gendang telinga.
3. Timpanosentesis
Timpanosentesis merupakan prosedur bedah minor untuk
drainase cairan dari telinga tengah.Cairan ini kemudian
akan dilakukan kultur dan uji sensitivitas antibiotic.
4. Pencitraan
Foto Schuller dan CT scan bermanfaat untuk menilai ada
tidaknya komplikasi otitis media. MRI juga dapat
digunakan jika terdapat kecurigaan komplikasi ke
intrakranial.

I. Diagnosis
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut
1. Penyakitnya timbul mendadak (akut)
2. Ditemukanya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan disuatu

27
rongga tubuh) di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya
salah satu di antara tanda berikut:
a. Menggembungnya gendang telinga.
b. Terbatas/tidak gerakan gendang telinga.
c. Adanya bayangan cairan dibelakang gendang telinga.
d. Cairan yang keluar dari telinga.

3. Adanya tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang


dibuktikan adanya salah satu tanda berikut:
a. Kemerahan pada gendang telinga
b. Nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan


pemeriksaan fisik yang cermat. Gejala yang timbul dapat bervariasi
tergantung pada stadium dan usia pasien. Biasanya terdapat riwayat
infeksi saluran napas atas sebelumnya. Keluhan yang dirasakan oleh
orang dewasa dapat berupa nyeri telinga, gangguan pendengaran dan
terasa penuh pada telinga. Gejala sulit tidur, diare, demam tinggi,
gelisah, dan sering memegang telinga adalah gejala khas yang dapat
ditemukan pada bayi dengan OMA
Pada umunya anak-anak dengan OMA mengeluhkan rasa nyeri
pada telinga dan disertai adanya demam. Anak dengan OMA dapat
mengalami nyeri telinga atau riwayat menarik-narik daun telinga pada
bayi, keluarnya cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran,
demam, sulit makan, mual dan muntah, serta rewel. Namun gejala-
gejala ini ( kecuali keluarnya cairan dari telinga) tidak sepesifik untuk
OMA tidak dapat didasarkan pada riwayat semata.
Otitis media akut dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik.
Beberapa teknik pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan
menggunakan otoskop, otoskop pneumatik, timpanometri, dan
timpanosintesis. Dengan menggunakan otoskop dapat dilihat adanya

28
perubahan warna pada membran timpani, penonjolan (bulging)
membran timpani dan sekret yang berada di liang telinga. Apabila
diperlukan konfirmasi dari hasil pemeriksaan otoskop, maka
dilakukan pemeriksaan dengan otoskop pneumatik. Otoskop
pneumatik dapat digunakan untuk menilai gerakan membran timpani.
Selain dengan menggunakan otoskop pneumatik, timpanometri juga
dapat digunakan untuk menilai secara objektif pergerakan membran
timpani.
Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop, dengan otoskop
dapat dilihat gendang telinga yang menggembung, perubahan warna
gendang telinga menjadi kemerahan atau agak kuning atau suram,
serta cairan di liang telinga. Efusi telinga tengah juga dapat dibuktikan
dengan tympanosentesis (penusukan terhadap gendang telinga).
Namun tympanosintesis tidak dilakukan pada sembarAng anak.
Indikasi dilakukannya tympanosentesis antara lain adalah OMA pada
bayi di bawah usia 6 minggu dengan riwayat perawatan intensif di
rumah sakit anak dengan gangguan kekebalan tubuh, anak yang tidak
memberikan respon pada pemberian antibiotic atau dengan gejala
yang sangat berat dan komplikasi.

I. Penatalaksanaan
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.
1. Pada stadium oklusi tujuannya adalah mengembalikan fungsi tuba
eustachius secepatnya. Untuk itu digunakan tetes hidung yang
berfungsi sebagai vasokonstriktor untuk mengatasi penyempitan
tuba akibat edema. Obat yang dapat digunakan adalah solution
efedrin 1% untuk orang dewasa dan 0.25-0.5% untuk bayi danak-
anak. Obat lain untuk mengatasi ISPA misalnya golongan aspirin.
2. Pada stadium hiperemis, terapi yang di \berikan adalah antibiotic,
obat tetes hidung dan analgetik. Antibiotic yang dianjurkan adalah
golongan ampicillin dan penisilin. Terapi awal diberikan penisilin

29
intramuscular agar didapatkan kosentrasi yang lebih adekuat di
dalam darah, pemberian dianjurkan selama 7 hari. Pada anak
ampisilin diberikan dengan dosis 50- 100 mg/kgBB/hari, dibagi
dalam 4 dosis.
3. Pada stadium supurasi, selain antibiotic, idealnya harus dilakukan
miringotomi, bila membrane masih utuh, sehingga rupture
membrane tympani dapat dihindari.
4. Pada stadium perforasi sering terlihat secret banyak keluar,
pengobatan yang dilakukan adalah obat cuci telinga H2O2 3%
selama 3-5 hari serta antibiotic yang adekuat.
5. Pada stadium resolusi ini penderita sudah tidak memerlukan obat-
obatan lagi, karena ISPA juga sudah sembuh. Penderita disarankan
untuk menjaga kebersihan telinga, tidak boleh kemasukan air atau
dikorek-korek.
Penalaran lebih jauh tentang antibiotik pada otitis media jika
diputuskan perlunya pemberian antibiotik antara lain :
1. lini pertama adalah amoksisilin dengan dosis 80-90 mg/kg/hari.
2. Pada pasien dengan penyakit berat dan bila mendapat infeksi β-
laktamase positif Haemophilus influenzae dan Moraxella
catarrhalis terapi dimulai dengan amoksisilin-klavulanat dosis
tinggi (90 mg/kg/hari untuk amoksisilin, 6,4 mg/kg/hari klavulanat
dibagi 2 dosis).
3. Jika pasien alergi amoksisilin dan reaksi alergi bukan reaksi
hipersensitifitas (urtikaria atau anafilaksis), dapat diberi cefdinir
(14 mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis), cefpodoksim(10 mg/kg/hari
1 kali/hari) atau cefuroksim(20 mg/kg/hari dibagi 2 dosis).
4. Pada kasus reaksi tipe I(hipersensitifitas), azitromisin (10
mg/kg/hari pada hari1 diikuti 5 mg/kg/hari untuk 4 hari sebagai
dosis tunggal harian) atau klaritromisin (15 mg/kg/hari dalam 2
dosis terbagi). Obat lain yang bisa digunakan eritromisin-
sulfisoksazol(50 mg/kg/hari eritromisin) atau sulfametoksazol-

30
trimetoprim (6-10 mg/kg/hari).
Pembersihan sisa cairan pada OMA dapat dilakukan dengan
pemberian larutan Hidrogen peroksida (H2O2 3%) atau yang disebut
juga cairan perhidrol, merupakan cairan hidrogen peroksida 3% yang
dapat digunakan untuk melembutkan atau membantu mengeluarkan
serumen telinga. Penggunaan larutan ini secara berlebihan dapat
menimbulkan infeksi di telinga, karena kemungkinan ada cairan yang
tertinggal di dalam saluran telinga yang dapat menjadi media
pertumbuhan bakteri. Cara penggunaan cairan perhidrol adalah
dengan mencampur larutan air hangat dan hidrogen peroksida 3%
dengan perbandingan 1:1. Setelah itu, masukkan cotton bud ke dalam
campuran larutan tersebut kemudian gunakan untuk membersihkan
serumen. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara meneteskan
terlebih dahulu campuran larutan air hangat dan cairan perhidrol ke
dalam lubang telinga, tunggu beberapa saat, kemudian bersihkan
dengan alat pembersih telinga yang ujungnya tidak tajam, seperti
cotton bud. Cairan perhidrol disimpan dalam wadah tertutup rapat, di
tempat kering, terlindung cahaya dan suhu tidak lebih dari 150C.

J. Komplikasi
Otitis media kronik ditandai dengan riwayat keluarnya cairan
secara kronik dari satu atau dua telinganya. Jika gendang telinga
telah pecah lebih dari 2 minggu, resiko infeksi menjadi sangat
umum. Umumnya penanganan yang dilakukan adalah mencuci
telinga dan mengeringkannya selama beberapa minggu hingga cairan
tidak lagi keluar.
Otitis media yang tidak diobati dapat mnyebar ke jaringan
sekitar telinga tengah, termasuk otak. Namun umumnya komplikasi
ini jarang terjadi, salah satunya adalah mastoiditis pada 1 dari 1000
anak dengan OMA yang tidak diobati.
Otitis media yang tidak diatasi juga dapat menyebabkan

31
hilangnya pendengaran permanent, cairan di telinga tengah dan otitis
media kronik dapat mngurangi pendengaran anak serta dapat
menyebabkan masalah dalam kemampuan bicara dan bahasa.

K. Prognosis
Prognosis pada OMA baik bila diberikan terapi yang adekuat
(antibiotic yang tepat dan dosis cukup).

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton & Hall. 2016. Buku Ajar Fisiologis Kedokteran Ed.13. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran.

2. Snell, Richard S. 2016. Anatomi Klinik Ed.9. Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran.

3. Evelyn.2012. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta.:


Gramedia.

4. Syaifuddin. 2011. Anatomi dan Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan


Edisi 4 . Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran

5. Irianto, kus : 2015. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis.
Bandung : CV.

6. Irawati N, Kasakeyan, E., Rusmono, N. 2007. Rinitis Alergi. Dalam


Yahya Kholid. 2013. Prevalensi Dan Faktor Risiko Kejadian Rinitis Alergi Pada
Usia 13-14 Tahun Di Ciputat Timur Dengan Menggunakan Kuesioner
International Study Of Asthma And Allergy In Childhood (Isaac) Tahun
2013.Skripsi. Program Studi Pendidikan Dokter. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta. Pp. 12-13.

33

Anda mungkin juga menyukai