Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

ABSES PERITONSILER

DISUSUN OLEH:

NIKO SATRIO NUGROHO (42170114)

STEVEN ARIEF WIBOWO (42170116)

KEZIA DEWI SANTOSO (42170118)

PEMBIMBING:

dr. R. Gatot Titus Wratsongko, M. Kes., Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Selain abses peritonsil,
abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici (Ludwig’s angina), atau abses
submandibula juga termasuk abses leher bagian dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara
fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,
tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh
perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan akan mengakibatkan
terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri
dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi. (1)

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher. Gabungan dari bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsilar. Tempat yang biasa
terjadi abses adalah di bagian pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan
palatum superior.(2)

Abses peritonsil terbentuk karena penyebaran organisme bakteri yang menginfeksi


tenggorokan pada satu ruangan areolar yang longgar disekitar faring yang biasa
menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus bagian kapsul tonsil,
tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.(3)

Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation)


pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang
terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.

2
BAB II

ANATOMI

BAB III

FISIOLOGI

Terdapat dua sistem yang berperan dalam patofisiologi Meniere disease yaitu sistem
pendengaran dan keseimbangan.

3.1 Mekanisme pendengaran

Pendengaran adalah persepsi energi suara oleh saraf. Energi suara tersebut berasal
dari gelombang suara yang merupakan perambatan getaran suara. Suara yang didengar
selalu bervariasi karena suara ditandai oleh nada, intensitas, dan timbre. Agar suara dapat
dimengerti maka energi suara dari luar harus dihantarkan ke dalam telinga melalui tiga
bagian yaitu telinga luar, tengah dan dalam. Telinga bagian luar bertugas untuk
menangkap, mengumpulkan dan menyalurkan gelombang suara dari sumber suara
ketelinga bagian tengah. Telinga bagian tengah bertugas untuk memindahkan gerakan
getaran membran timpani kecairan telinga bagian dalam. Pemindahan ini dipermudah
oleh adanya rantai tiga tulang kecil (osikulus) yaitu maleus, inkus, stapes, yang juga
berada di telinga tengah. Pada ujung os. Stapes terdapat foramen ovale suatu jendela yang
menghubungkan telinga tengah dengan telinga bagian dalam yang berisi cairan. Sewaktu
membran timpani bergetar sebagai respon terhadap gelombang suara, osikulus juga ikut
bergerak dengan frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi dari membran timpani ke
koklea melalui foramen ovale. Gerakan osikulus pada foramen ovale akan menciptakan
tekanan pada koklea sehingga timbul gerakan pada cairan perilimfe di skala vestibuli
dengan frekuensi yang sama seperti gelombang suara asal. Telinga dalam bertugas untuk
mengubah gaya mekanis suara (getaran cairan) menjadi impuls listrik, sehingga dapat
diterima oleh saraf. Proses yang terjadi ada 2 yaitu, pertama gerakan cairan perilimfe
diskala vestibuli akan menggerakan cairan endolimfe di duktus kokhlearis melalui
membran vestibularis yang tipis. Gerakan endolimfe akan menyebabkan transmisi
gelombang tekanan melalui membran vestibularis sehingga membran tektorium bergerak
3
naik-turun atau bergetar, dan sel-sel rambut (stereosillia) yang berada dibawahnya ikut
naik-turun dan bergetar. Gerakan stereosilia secara mekanis akan menghasilkan impuls
listrik dengan hiperpolarisasi dan depolarisasi pada komponen ion yang berada di
endolimfe. Kedua, cairan perilimfe di skala vestibuli selanjutnya mengelilingi
helikotrema dan melewati skala timpani. Tekanan cairan perilimfe di skala timpani akan
menyebabkan transmisi gelombang tekanan melalui membran basilaris ke stereosilia

melalui pergeseran organo corti terhadap membran tektorium yang berada diatasnya,
sehingga stereosilia bergerak maju-mundur dan terjadilah hiperpolarisasi-depolarisasi ion
sebagai impuls suara. Selanjutnya impuls dikirim dalam stereosilia yang berhubungan
melalui suatu sinaps kimiawi dengan ujung sera-serat saraf aferen yang membentuk
nervus auditorius.

3.2 Mekanisme keseimbangan

Dalam struktur telinga dalam terdapat sistem keseimbangan tubuh. Sistem ini
dipenggang oleh aparatus vestibularis. Aparatus vestibularis memberi informasi esensial
bagi sensasi keseimbangan dan untuk koordinasi gerakan kepala dengan gerakan mata
dan postur. Aparatus vestibularis terdiri dari dua set struktur di dalam bagian terowongan
tulang temporal dekat koklea-kanalis semisirkularis dan organ otolit yaitu urtikulus dan
sakulus. Seperti di koklea, semua komponen aparatus vestibularis mengandung endolimfe
dan dikelilingi oleh perilimfe. Komponen vestibularis juga mengandung stereosilia yang

4
berespon terhadap deformasi mekanis yang dipicu oleh gerakan spesifik endolimfe.
Stereosilia yang berada di aparatus vestibularis juga mengalami hiperpolarisasi dan
depolarisasi sebagai usaha untuk mengubah gerakan mekanis menjadi impuls saraf.

Sinyal-sinyal yang berasal dari berbagai komponen aparatus vestibularis dibawa


melalui nervus vestibulokoklearis ke nukleus vestibularis, suatu kelompok badan sel saraf
di batang otak dan ke serebelum. Di sini informasi vestibular diintegrasikan dengan
masukan dari permukaan kulit, mata, sendi, dan otot untuk (1) mempertahankan
keseimbangan dan postur yang diinginkan ; (2) mengontrol otot mata eksternal sehingga
mata terfiksasi ke satu titik, meskipun kepala bergerak; dan (3) mempersepsikan gerakan
dan orientasi.

1. Peran kanalis semisirkularis

Kanalis semisirkularis mendeteksi akselerasi atau deselerasi kepala rotasional


atau angular, misalnya ketika kita mulai atau berhenti berputar, jungkir balik, atau
mengengok. Masing-masing kanalis memiliki stereosilia yang berada di ampula yang
terbenam didalam lapisan gelatinosa yaitu kupula yang menonjol kearah endolimfe.
Kupula akan bergoyang kearah gerakan cairan seperti rumput laut yang mengikuti

5
arah gelombang air. Pada dasarnya cairan endolimfe disini tidak bergerak searah
dengan gerakan kepala karena organ ini tidak melekat pada tengkorak sehingga
gerakan endolimfe tertinggal dibelakang sewaktu menggerakan kepala. Gerakan
cairan ini menyebabkan kupula miring dalam arah berlawanan dengan gerakan kepal,
namun jika gerakan kepala berlanjut dengan kecepatan dan arah yang sama maka
endolimfe akan menyusul dan bergerak bersama dengan kepala sehingga rambut-
rambut tersebut kembali ke posisinya yang tidak melengkung. Ketika stereosilia
terdefleksi oleh gerakan endolimfe maka stereosilia akan mengalami hiperpolarisasi
atau depolarisasi. Pembentukan impuls akan dikirim melalui ujung terminal neuron
aferen yang aksonnya menyatu dengan akson struktur vestibularis lain membentuk
nervus vestibularis. Saraf ini menyatu dengan nervus auditorius dari koklea untuk
membentuk nervus vestibulokokhlearis.

2. Peran organ otolit

Organ otolit memberi informasi tentang posisi kepala relatif terhadap gravitasi
(yaitu, kepala miring statik) dan juga mendeteksi perubahan kecepatan gerakan lurus
(bergerak dalam garis lurus ke manapun arahnya). Organ otolit, urtikulus dan sakulus
adlaah struktur berbentuk kantung yang berada di dalam ruangan bertulang di antara
kanalis semisirkularis dan koklea. Rambut (kinosilium dan stereosilia) juga menonjol
kedalam lembaran gelatinosa yang gerakkannya menggeser rambut dan menyebabkan
perubahan potensial sel rambut. Di dalam lapisan gelatinosa terbenam banyak kristal
kecil kalsium karbonat (otolit) yang menyebabkan lapisan ini lebih berat dan
inersianya lebih besar dibandingkan cairan sekitar. Ketika seseorang berada dalam
posisi tegak, rambut-rambut didalam urtikulus berorientasi vertikal dan rambut
sakulus berjajar horizontal. Urtikulus memiliki dua fungsi, pertama pada perubahan
gerakan linier horizontal misalnya bergerak lurus kedepan, belakang, samping. Kedua
pada posisi selain vertikal yaitu selain naik turun. Sakulus berfungsi serupa dengan
urtikulus, kecuali bahwa bagian ini berespon secara selektif terhadap gerakan miring
kepala menjauhi posisi horizontal (misalnya bangun dari tempat tidur) dan terhadap
akselerasi dan deselerasi linier vertikal (misalnya meloncat naik-turun atau naik
tangga berjalan).

6
BAB IV

MENIERE DISEASE

4.1 Definisi

Meniere disease merupakan gangguan telinga bagian dalam yang dapat memicu
vertigo dan penurunan pendengaran. Gangguan ini juga disebut sebagai idiopathic
endolymphatic hydrops. (Tabet & Saliba, 2017).

4.2 Etiologi

7
Penyebab pasti Meniere disease belum diketahui. Penambahan volume endolimfa
diperkirakan karena adanya gangguan biokimia cairan endolimfa dan gangguan klinik pada
membran labirin. Beberapa faktor yang berkontribusi yaitu, drainase cairan yang kurang
karena adanya sumbatan atau bentuk anatomi yang abnormal, autoimmune, infeksi virus, dan
presdisposisi genetik. (Hadjar & Bashiruddin, 2012).

4.3 Patofisilogi

Gejala klinis Meniere disease disebabkan oleh adanya hidrop endolimfa pada koklea
dan vestibulum. Hidrop yang terjadi mendadak dan hilang timbul diduga disebabkan oleh : 1)
meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri, 2) berkurangnya tekanan osmotik di
dalam kapiler, 3) meningkatnya tekanan osmotik ruang ekstrakapiler, 4) jalan keluar sakus
endolimfatikus tersumbat, sehingga terjadi penimbunan cairan endolimfa.

Pada pemeriksaan histopatologi tulang temporal, ditemukan pelebaran dan perubahan


morfologi pada membran Reissner. Terdapat penonjolan ke dalam skala vestibuli, terutama di
daerah apeks koklea Helikotrema. Sakulus juga mengalami pelebaran yang dapat menekan
urtikulus. Pada awalnya pelebaran skala media dimulai dari daerah apeks koklea, kemudian
dapat meluas mengenai bagian tengah dan basal koklea. Hal ini yang dapat menjelaskan
terjadinya tuli saraf nada rendah pada Meniere disease. (Hadjar & Bashiruddin, 2012).

8
4.4 Gejala Klinik

Terdapat trias atau sindrom Meniere yaitu vertigo, tinitus, dan tuli sensorineural
terutama nada rendah. Serangan pertama akan terasa sangat berat, seperti vertigo yang
disertai muntah. Setiap kali berusaha untuk berdiri akan terasa berputar, mual dan muntah.
Kondisi ini akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, meskipun akan
berangsur baik. Penyakit ini bisa sembuh tanpa obat dan gejala bisa hilang sama sekali
karena pada serangan kedua dan selanjutnya akan dirasakan lebih ringan, tidak seperti
serangan pertama. Meniere disease memiliki sifat vertigo yang periodik, dimana makin
mereda pada serangan-serangan berikutnya.

Pada setiap serangan biasanya akan disertai gangguan pendengaran, namun bila tidak
sedang serangan, pendengaran akan kembali membaik. Gejala lain yang menyertai serangan
adalah tinitus, yang kadang-kadang menetap, meskipun di luar serangan. Gejala yang lain
menjadi tanda khusus adalah perasaan penuh di dalam telinga. (Hadjar & Bashiruddin, 2012).

4.5 Diagnosis

Kriteria diagnosis Meniere disease yaitu, 1) vertigo hilang timbul, 2) fluktuasi


gangguan pendengaran berupa tuli saraf, 3) menyingkirkan kemungkinan penyebab sentral
9
seperti tumor N. VIII. Bila gejala-gejala khas Meniere disease pada anamnesis ditemukan,
maka diagnosis dapat ditegakkan. (Hadjar & Bashiruddin, 2012)

Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah : 1) episode vertigo >1 dan setiap
episode berlangsung selama 20 menit atau lebih namun tidak lebih dari 12 jam. 2) adanya
penurunan pendengaran. 3) telinga terasa berdenging dan penuh.

Pada pemeriksaan fisik diperlukan hanya untuk menguatkan diagonsis penyakit ini.
Bila dalam anamnesis terdapat riwayat fluktuasi pendengaran, sedangkan pada pemeriksaan
ternyata terdapat tuli sensorineural, maka kita sudah dapat mendiagnosis Meniere disease,
sebab tidak ada penyakit lain yang bisa menyebabkan adanya perbaikan dalam tuli
sensorineural kecuali Meniere disease.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan tes gliserin untuk membuktikan


adanya hidrops. Selain itu tes gliserin ini berguna untuk menentukan prognosis tindakan
operatif pada pembuatan “shunt” (untuk menurunkan tekanan akibat akumulasi cairan). Bila
terdapat hidrops, maka operasi diperkirakan akan berhasil dengan baik. Selain itu dapat
dilakukan juga penilaian keseimbangan seperti rotary-chair testing untuk menilai fungsi
telinga dalam berdasarkan gerakan bola mata. Pemeriksaan darah dan MRI dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis bading seperti tumor atau multple sclerosis. (Tabet & Saliba, 2017)

4.6 Diagnosis Banding

1. Tumor N. VIII

Tumor pada saraf kranialis nervus vestibulochoclearis yang menyebabkan gangguan


pada keseimbangan dan pendengaran. Pada tumor N.VIII serangan vertigo periodik, mula-
mula lemah dan makin lama makin kuat. (Sanders & Gillig, 2010).

2. Multiple Sclerosis

Multiple sclerosis adalah penyakit kronis yang disebabkan autoimun sehingga terjadi
inflamasi pada sistem saraf pusat, dimana manifestasinya berupa defisit neuron. Pada
sklerosis multiple, vertigo yang dirasakan bersifat periodik tetapi intensitas serangan sama
pada tiap serangan. (Goldenberg, 2012).

10
3. Neuritis vestibuler

Neuritis vestibuler suatu kondisi dimana hilangnya fungsi vestibuler secara akut pada
salah satu bagian telinga akibat reaktivasi dari virus herpes simplek di ganglia vestibuler yang
menyebabkan vertigo spontan. Pada neuritis vestibuler serangan vertigo tidak periodik dan
makin lama makin menghilang. (Jeong, HJ, & JS, 2013).

4. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).

BPPV merupakan penyakit yang muncul akibat pergerakan krista kalsium karobat
(otoconia) yang salah dalam cairan di kanalis semisirkularis pada telinga bagian dalam.
BPPV memiliki serangan yang datang secara tiba-tiba terutama pada perubahan posisi kepala.
Keluhan vertigo terasa sangat berat dan kadang disertai rasa mual hingga muntah yang
berlangsung tidak lama. (Hadjar & Bashiruddin, 2012).

4.7 Terapi

Pengobatan Meniere disease yaitu terapi simptomatik seperti sedatif dan bila
diperlukan dapat diberikan anti emetik. Pada Meniere disease diberikan obat-obatan
vasodilator perifer untuk mengurangi tekanan hidrops endolimfa. Dapat pula tekanan
endolimfa disalurkan ke tempat lain dengan jalan operasi, yaitu membuat “shunt”. Obat-
obatan neurotonik dapat diberikan untuk menguatkan saraf. Selain medikamentosa,
rehabilitasi juga penting bagi penderita vertigo pada Meniere disease sebab dengan melatih
sistem vestibuler gejala vertigo akan lebih ringan dan tidak mengganggu pekerjaan sehari-
hari. (Hadjar & Bashiruddin, 2012).

4.9 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah episode vertigo yang tiba-tiba dan tuli
permanen. Selain itu kondisi ini juga dapat menyebabkan pusing, stress, kehilangan
keseimbangan sehingga menyebabkan risiko jatuh dan kecelakaan yang tinggi. (Tabet &
Saliba, 2017).

4.10 Prognosis

11
Meniere disease bukan penyakit yang mematikan, namun penyakit ini dapat
mengganggu kegiatan sehari-hari penderita. Operasi hanya dilakukan pada penderita yang
gagal dalam pengobatannya dan penderita yang mengalami penurunan pendengaran yang
drastis. (Tabet & Saliba, 2017)

BAB V

PENUTUP

5.1 Resume

Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian
kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsiler.
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber
dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.

12
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus sp. Penelitian yang dilakukan
merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama. Semua specimen harus diperiksa
untuk kultur sensitifitas terhadap antibiotik. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika
dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres
dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera diantaranya
adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian
dalam, riwayat abses peritonsil sebelumnya, riwayat faringitis eksudatif yang berulang.

Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar


antara 0% sampai 22%. Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler
untuk mencegah kekambuhan. Pada individu dengan abses peritonsiler ulangan atau riwayat
faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka enam minggu kemudian
dilakukan tonsilektomi.

5.2 Saran

Diagnosis dini sangat penting mengingat dapat terjadi beberapa komplikasi yang
mengancam jiwa. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi penyakit. Untuk
itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anggraini, D., Sikumbang, T. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi Fungsional.


Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.
2. Wanri, A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan Tenggorok,
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.
3. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam
Cummings Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier Mosby
Inc.; 2005.

13
4. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
5. Anonim. Host Defence Againts Pneumococcal Disease. Available at:
http://www.ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/haart/vk/nieminen/review.htm . Accessed
on September 23th, 2012.
6. Budapest Student. The Waldeyer’s Ring. Available at: http://www.tulip.ccny.cuny.edu
. Accessed on September 23th, 2012.
7. Staff. Palatine Tonsil. Available at: http://www.webmd.com . Accessed on September
23th, 2012.
8. Staff. Atlas of Human Anatomy. Available at: http://www.anatomyatlases.org .
Accessed on September 23th, 2012.
9. Eibling, D.E. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus dalam Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. New York: McGraw Hill Medical
Publishing Division; 2003.
10. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N.
Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology Assessment (HTA)
Indonesia; 2004.
11. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan. Edisi III Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1998.
12. Adam. Peritonsillar Abcess. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov . Accessed on
September 23th, 2012.
13. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi IV. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994.
14. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
15. Henry. Peritonsillar Abcess. Available at: http://www.revolutionultrasound.com .
Accessed on September 23th, 2012.
16. Kaneshiro, Neil. Tonsillitis. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov . Accessed on
September 23th, 2012.

14

Anda mungkin juga menyukai