Anda di halaman 1dari 25

Corneal cross-linking (CXL) adalah sebuah prosedur pada mata yang

berfungsi untuk memperkuat kornea yang melemah disebabkan oleh keratoconus,


penyakit kornea lain, atau (jarang) komplikasi operasi LASIK. Prosedur ini bisa
juga disebut dengan istilah Corneal Cross-Linking, Corneal Collagen Cross-
Linking, C3- R, CCL dan KXL. Prosedur CXL merupakan prosedur dengan
tindakan invasive yang minimal yang melibatkan penerapan riboflavin cair (vitamin
B2) ke permukaan mata, diikuti oleh pengobatan dengan aplikasi sinar ultraviolet
yang terkontrol, untuk menghilangkan ektasia kornea. Corneal cross-linking
menggambarkan prinsip fisiologis dari perubahan biomekanis jaringan yang dapat
berdampak terhadap tiap aspek penyakit kornea, dari ektasia kornea dan prosedur
bedah refraktif berbasis kornea hingga transplantasi kornea, tata laksana keratitis
infektif, edema kornea, resistensi terhadap aktivitas kolagenase, dan lainnya.
Sejumlah besar komplikasi potensial terkait cross-linking berasal dari debridement
epitel, termasuk infeksi, infiltrat steril, re-epitelisasi terlambat, edema kornea
transien, dan pengaburan atau scar kornea. 1,2,6,7
Sejak ditemukannya pada akhir tahun 1990-an, corneal cross-linking telah
berkembang dari sebuah konsep yang menarik menjadi suatu terapi utama untuk
penyakit ektasia kornea di seluruh dunia. Meskipun telah digunakan untuk klinis
selama beberapa tahun, beberapa proses yang mendasari seperti peran oksigen dan
waktu yang optimal untuk terapi masih diteliti. Lebih dari suatu teknik terapi,
corneal cross-links menggambarkan prinsip fisiologis dari jaringan ikat, yang
mungkin dapat menjelaskan kegunaan yang sangat besar dari metode ini. Kami
menyoroti tentang sejarah corneal cross-linking, dasar ilmiah dari teknik yang
digunakan saat ini, parameter terapi klinis yang berkembang, dan penggunaan
cross-linking dalam kombinasi dengan pembedahan refraktif dan untuk terapi
keratitis infektif. 1,11

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Corneal Cross-Linking


Teori mengenai cross linking pada jaringan kornea yang dapat
menegangkan dan menguatkan jaringan ektasia kornea di cetuskan dalam
pengembangan cornea cross-linking pada akhir 1990-an. Penelitian observasional
yang menunjukkan penurunan angka keratokonus pada pasien dengan diabetes
mengungkapkan bahwa cross-linking alami terjadi pada pasien-pasien ini dari
glikosilasi nonenzimatik protein, yang menghasilkan pembentukan produk akhir
glikosilasi tingkat lanjut. Temuan ini, dikombinasikan dengan inspirasi Theo Seiler
untuk menggunakan sinar ultraviolet untuk menstimulasi cross-linking pada
kornea, hampir sama dengan tindakan yang dilakukan dokter gigi untuk
menguatkan gusi (Theo Seiler, komunikasi personal), yang kemudian
menyebabkan munculnya terapi revolusioner ini.1,2
Terapi pertama pada mata babi menunjukkan peningkatan hingga 70% pada
rigiditas kornea dibandingkan kontrol yang diulang pada penelitian lain yang
menggunakan babi, kelinci, dan kadaver manusia. Dalam bentuk ini keamanan
dari cross-linking berkaitan dengan ketebalan kornea untuk mencegah kerusakan
endotel kornea dan struktur bola mata lainnya.1,2
Wollensak, Spoerl, dan Seiler memberikan terapi pada 23 mata dengan
keratokonus progresif, menyebabkan penghentian progresi pada semua mata dan
penipisan kornea hingga 70%. Penelitian klinis lebih lanjut menunjukkan hasil
menjanjikan yang sama pada pasien dengan ektasia kornea setelah pembedahan
refraktif.1,2

Corneal Cross-Linking
Corneal cross-linking (CXL) adalah sebuah prosedur pada mata yang
berfungsi untuk memperkuat kornea yang melemah disebabkan oleh keratoconus,
penyakit kornea lain, atau (jarang) komplikasi operasi LASIK. Prosedur ini bisa
juga disebut dengan istilah Corneal Cross-Linking, Corneal Collagen Cross-
Linking, C3- R, CCL dan KXL.7,17,18
Prosedur CXL merupakan prosedur dengan tindakan invasive yang
minimal yang melibatkan penerapan riboflavin cair (vitamin B2) ke permukaan
mata, diikuti oleh pengobatan dengan aplikasi sinar ultraviolet yang terkontrol,
untuk menghilangkan ektasia kornea.6,17,

Riboflavin
Riboflavin (vitamin B2) merupakan photoinducer standar dalam cross-
linking, karena struktur alkylisoalloxazine membantu penyerapan dari berbagai
rentang spektrum cahaya yang luas, termasuk puncak absorpsi pada rentang
ultraviolet-A. semua flavin bersifat tahan panas, juga fotosensitif, yang membantu
perubahan molekular dalam jumlah waktu yang sedikit. Riboflavin aman untuk
absorpsi sistemik, tersedia langsung dalam makanan fortifikasi dan pewarna
makanan, namun bersifat tidak larut air; sehingga riboflavin-5 fosfat yang lebih
larut air lebih sering digunakan pada protokol cross-linking.1,4,10
Penyerapan riboflavin yang adekuat diperlukan untuk cross-linking yang
efektif; namun, sambungan yang ketat pada epitel kornea membatasi penetrasi dari
molekul-molekulnya yang besar (berat molekul 376 g/mol). Untuk mendukung
konsentrasi riboflavin yang cukup pada stroma kornea, debridemen epitel
dibutuhkan
dalam protokol standar. Variasi pada waktu penyerapan riboflavin dan peran
riboflavin pada lapisan air mata memiliki tujuan untuk mendukung penetrasi yang
adekuat untuk membantu terapi cross-linking stroma yang efektif.1,3,8,10

Gambar1. Pemberian Riboflavin pada cornea cross linking

Sinar Ultraviolet
Sinar Ultraviolet (UV) merupakan komponen kedua yang dibutuhkan
untuk cross-linking, dengan parameter keamanan yang penting berdasarkan panjang
gelombang, radiasi, dan lamanya radiasi. Puncak absorpsi riboflavin berada pada
370nm (E. Spoerl, komunikasi personal) ideal untuk kefektifan cross-linking dan
proteksi terhadap struktur bola mata lainnya. Karena ketersediaan LEDs yang
terbatas pada panjang gelombang yang spesifik tersebut, alat pertama menggunakan
panjang gelombang 365 nm. Variasi intensitas dan durasi paparan UV pada
penelitian pre-klinik mencetuskan pengembangan protokol Dresden standar orisinil,
yang ditemukan untuk mendukung efikasi maksimum dari ketegangan jaringan
menggunakan energi 3W/cm2 selama 30 menit, yang sesuai dengan dosis energi
total (fluence) 5.4J/cm2.1,2,8
Dalam upaya mempercepat terapi, variasi pada parameter ini
mengembangkan penggunaan lama terapi yang lebih singkat pada intensitas yang
lebih tinggi. Hukum Bunsen-Roscoe mengenai keadaan timbal balik bahwa efek
fotokimiawi seharusnya hampir sama selama total energi fluence tetap konstan.
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa hukum Bunsen-Roscoe dapat berlaku
dalam rentang terbatas pada kornea. Pada intensitas lebih dari 45 mW/cm2,
peningkatan penegangan biomekanik dapat turun secara signifikan.1,9
Gambar 2. First UV device for CXL

2.2 Cross-Linking Lasik (CXL)

Konsep Dasar Corneal Cross-Linking

Tiga kebutuhan dasar untuk corneal cross-linking meliputi photoinducer,


sumber cahaya dengan intensitas adekuat namun parameter aman, dan reaksi
fotokimiawi yang menginduksi radikal bebas 7erato membentuk ikatan kimiawi
antara fibril kolagen.9,13
Parameter Keamanan Cross-Linking
Parameter keamanan untuk cross-linking berfokus pada proteksi sel punca
limbus, endotel kornea, lensa, dan retina. Protokol keamanan membutuhkan
ketebalan kornea sekurang-kurangnya 400 mikron sebelum aplikasi riboflavin dan
juga sebelum paparan sinar UV-A. Modifikasi terhadap protokol meliputi
penggunaan larutan riboflavin hiposmolar untuk menggembungkan kornea setelah
debridemen epitel, dengan perhatian terhadap penurunan jumlah sel endotel pada
kornea yang dikembungkan secara kimiawi. Untuk pasien yang mulai dengan
ketebalan kornea yang adekuat, dehidrasi dapat menyebabkan penipisan selama
prosedur, sehingga dibutuhkan pemantauan yang baik. Kornea yang dihidrasi
secara iatrogenik mungkin juga tidak merespon terhadap cross-linking. Satu teori
bahwa peningkatan jarak molekul intra kolagen membatasi keberhasilan cross-

linking.1,2,4,5,7

Tujuan Cross-Linking
Tujuan dari CXL adalah untuk memperlambat atau menahan
perkembangan keratoconus, atau setidaknya menunda keharusan keratoplasty.
Dasar pemikiran dari prosedur ini didukung oleh fakta bahwa sangat sedikit
pasien muda dengan diabetes yang terpengaruh oleh keratoconus. Dalam
kejadiaan yang paling langka, pengembangan keratoconus yang sudah ada
sebelum onset diabetes tidak menunjukkan perkembangan apapun karena ikatan
silang alami efek glukosa (kimia silang).2,4,13

Reaksi Fotokimiawi Cross-Linking


Riboflavin yang fotosensitif menyerap UV-A dan mengeksitasi menjadi
kondisi triplet yang dapat mengalami dua tipe reaksi: aerobic tipe 2 dan, anaerobic
tipe 1 yang terbatas. Keduanya membentuk spesies oksigen reaktif yang
menginduksi ikatan kovalen antara molekul kolagen dan juga antara proteoglikan
dan kolagen. Secara klinis, perluasan efek ini dapat dilihat sebagai garis batas,
yang secara khusus diperhatikan pada slit lamp dan kemudian dikonfimasi dengan
mikroskop konfokal dan OCT segmen anterior. Garis ini biasanya muncul pada
kedalaman 300-350 mikron setelah cross-linking dengan protocol standard dan
mungkin dihasilkan lewat perubahan refleksitivitas dari bagian stroma kornea
yang dilakukan cross-link. Meskipun belum ditemukan seara pasti, banyak klinisi
yang mempercayai bahwa garis batas mengindikasikan kedalaman atau luas dari
terapi cross-linking.1,2,4,12,14,18

Peran Oksigen dalam Cross-Linking


Oksigen memainkan peran yang penting dalam reaksi cross-linking yang
membutuhkan pemahaman lebih lanjut sebelum merekomendasikan perubahan
mayor pada protocol terapi. Hammer dkk melakukan cross-linking pada kornea
babi secara ex vivo pada lingkungan rendah oksigen. Spesimen yang diperlakukan
di bawah kondisi ini gagal memperlihatkan peningkatan dalam stabilitas
biomekanik, mengindikasikan bahwa oksigen merupakan komponen penting
untuk bagian biomekanik dari proses cross-linking. Hal ini menjelaskan mengapa
intensitas tinggi dan/atau epitelium pada terapi keratoconus gagal untuk
meningkatkan ketegangan biomekanik hingga level yang menghentikan progresi
keratoconus. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai peran oksigen selama
cross-linking.1,6,13

Mekanisme Cross-Lingking
CXL adalah suatu proses yang dimediasi oleh foto oksidasi antara sinar
UVA (365-370 nm) dan riboflavin (vitamin B2). Sinar UVA mengaktifkan
riboflavin menjadi triplet, yang pada gilirannya menghasilkan spesies oksigen
reaktif (ROS) termasuk oksigen tunggal. ROS bereaksi dengan molekul fibril
kolagen di stroma kornea dan meningkatkan kekuatan mekanik kornea dengan
membentuk ikatan kimia baru antara asam amino dan kelompok molekul fibril
kolagen . Riboflavin juga berperan sebagai filter untuk mengurangi UVA
menembus kornea.2,11,13
Prinsip Cross-Lingking
Photopolymerization menggunakan sinar UV ditemukan menjadi teknik
yang paling menjanjikan untuk mencapai cross-link dalam jaringan ikat
Photopolymerization diaktifkan dengan cara yang tidak beracun dan larut
photomediator dan wavelenght yang cukup kuat diserap melindungi lapisan mata
yang lebih dalam (riboflavin).2,4,10

Perubahan Biokimia pada Kornea pasca CXL


Dasar peningkatan kekuatan biomekanik pada kornea setelah dilakukan
CXL diwakili oleh pembentukan crosslink kovalen setelah aksi riboflavin pada
permukaan epitel kornea dengan paparan sinar UVA. Hasil dari proses Cross-
linking, radikal bebas berinteraksi dengan asam amino di sekitar molekul kolagen
menghasilkan pembentukan ikatan kimia yang kuat.2,10,13

Teknik-Teknik CXL
Ada beberapa teknik CXL : Epi-Off Cross-linking (CXL) technique
(Standard procedure), CXL with hypo-osmolar Riboflavin solution, Epi-On CXL
technique, Accelerated CXL, Iontophoresis CXL, Contact Lens-Assisted Cross-
Linking, LASIK-Xtra, Topographyguided PRK and CXL, Intrastromal Corneal
Ring Segments and CXL, Epithelial Island Cross-Linking, Orthokeratology and

CXL.1,2,15

Kombinasi Cross-linking kornea dengan Prosedur Pembedahan Refraktif:


CXL Plus.
Walaupun cross-linking dapat dimanfaatkan untuk mencegah progresi
ektasia kornea dan secara parsial mengubah kecuraman maksimal, efek khas pada
fungsi visual masih terbatas. Terapi tambahan bersama-sama dengan cross-linking
telah diperkenalkan untuk memperbaiki fungsi visual sambil mempertahankan
manfaat biomekanik dari cross-linking. Istilah “CXL Plus” meliputi semua terapi
refraktif ini.1,2,4

Kombinasi Cross-linking dengan Segmen Cincin Kornea Intrastroma


Segmen cincin kornea intrastroma (ICRS) dapat memperbaiki luaran visual
dan topografi pada pasien dengan keratokonus dan ektasia setelah LASIK. Cincin
ini tampaknya tidak mencegah perkembangan penyakit, sehingga terapi kombinasi
dengan cross-linking dapat lebih bermanfaat dibandingkan dengan terapi tunggal.
Intacs (Addition Technology, Des Plaines, Illinois) dengan cross-linking dapat
menurunkan parameter keratometri dan topografi dibandingkan dengan Intacs
saja, walaupun beberapa penelitian menemukan tidak ada perbedaan antara
kelompok atau bahwa Intacs saja dapat memberikan hasil refraktif yang lebih
baik. The KeraRing (Mediphacos, Belo Horizonte, Brasil), dan cincin Ferrara
(Ferrara Ring; AJL, Boecillo, Spanyol), juga memberikan hasil yang
menguntungkan dengan cross-linking. Pembuatan saluran segmen cincin dapat
dilakukan dengan
pengaturan laser femtosecond yang dimodifikasi, dengan riboflavin dimasukkan
ke dalam saluran, meskipun efek jangka panjang dari kombinasi ini belum pernah
diteliti. 1,2,4,12
Pilihan waktu pembedahan yaitu cross-linking yang dilakukan bersamaan
pada hari yang sama dengan segmen cincin atau pembedahan berturut-turut dalam
beberapa hari terpisah hingga beberapa bulan terpisah. Kedua teknik telah
menunjukkan perbaikan pada ketajaman visual dan topografi pada keratokonus
dan ektasia. Segmen cincin tunggal dan berpasangan bersama-sama dapat
bermanfaat dalam perbaikan ketajaman visual jika dikombinasikan dengan CXL.
2,4,12

Keratektomi Fotorefraktif yang dipandu Topografi dan Cross-linking


Terapi rekfraktif secara khusus yang pertama untuk dikombinasikan dengan
cross-linking yaitu keratektomi fotorefraktif (PRK). PRK yang dipandu topografi
memungkinkan remodelling dari bentuk kornea dan secara khusus mengatasi
fungsi visual yang dipengaruhi oleh astigmat ireguler, tetapi tidak menghentikan
keratokonus progresif. Cross-linking dikombinasi dengan PRK yang dipandu
topografi, bagaimanapun, dapat menghentikan perkembangan dan menurunkan
astigmat ireguler. Keamanan dan keberhasilan jangka panjang masih belum
diketahui. 2,10,13
Waktu dan urutan dari PRK dengan cross-linking harus memaksimalkan
dampak biomekanik dan perubahan positif pada kurvatura kornea, sambil
meminimalisasi risiko komplikasi, terutama kekaburan pada kornea. Baik terapi
bersama-sama dan berurutan telah diteliti. Kanellopoulos dkk melaporkan seorang
pasien dengan keratokonus progresif bilateral yang menjalani cross-linking
standar, dipantau satu tahun kemudian dengan PRK yang dipandu topografi, yang
mencapai 20/20 ketajaman yang tidak dikoreksi 18 bulan setelah PRK. Kymionis
dkk menunjukkan hasil serupa pada sekumpulan pasien yang menjalani PRK
dipandu topografi dan cross-linking pada hari yang sama untuk keratokonus atau
degenerasi marginal pelusida. 10,13
Penelitian retrospektif yang membandingkan PRK dengan cross-linking
secara bersama-sama dibandingkan berurutan menunjukkan bahwa terapi
bersama- sama (pada hari yang sama) lebih unggul dibandingkan terapi berurutan
dalam hal
ketajaman visual, refraksi ekuivalen sferikal, dan perubahan pada keratometri.
Terapi bersama-sama menimbulkan suatu kekaburan stroma linear posterior yang
khas yang membaik, tetapi tidak meghilang, dalam satu tahun. Kekaburan kornea
lebih kurang pada terapi bersama-sama PRK dan cross-linking jika dibandingkan
dengan PRK dan cross-linking yang dilakukan berurutan. 6,10,13
Protokol telah memasukkan rekomendasi variabel mengenai kedalaman
ablasi maksimal dan penggunaan mitomycin C pada kelompok risiko tinggi ini
dengan kornea yang lebih tipis dan kecenderungan yang lebih besar untuk
jaringan parut kornea. Kymionis dkk merekomendasikan kedalaman ablas
maksimal yaitu
50 mikron dan tidak menggunakan antimetabolit, dengan mempertimbangkan
bahwa depopulasi dari keratosit selama cross-linking dapat menurunkan
kekaburan. Kanellopoulos dkk merekomendasikan untuk mempertahankan
ketebalan kornea residual sebesar 35o mikron dan menggunakan mitomycin C.
Stojanovic dkk menyarankan pendekatan yang lebih konservatif yaitu kedalaman
ablasi maksimal
60 mikron dan ketebalan akhir kornea minimal 400 mikron. Lin dkk
merekomendasikan ketebalan ablasi stroma maksimal 80 mikron dan kedalaman
stroma residual minimal 300 mikron pada suatu populasi penelitian yang terdiri
dari keratokonus dan ektasia setelah LASIK. Meskipun keluaran jangka panjang
perlu dinilai, PRK yang dipandu topografi bersama-sama dengan cross-linking
tidak hanya memperbaiki ketajaman visual, tetapi juga fungsi visual dan indeks
kualitas hidup. Dalam keadaan tertentu, terapi berurutan merupakan satu-satunya
pendekatan yang mungkin, misalnya pada pasien yang telah menjalani cross-
linking sebelumnya dan kini ingin menjalani PRK dipandu topografi. Cross-
linking tampaknya mempengaruhi angka ablasi dari pulsasi laser excimer. Chen
dkk dan Richoz dkk menyelidiki hal ini secara ex vivo pada kornea babi
menggunakan sistem laser excimer berbeda yang tersedia secara komersial. Kedua
kelompok memiliki penurunan serupa angka ablasi tiap pulsasi 9% dan 12%,
untuk 200 μm pertama jaringan stroma. Hasil ini memungkinkan penyesuaian
normogram untuk kornea cross-linked. 1,7,10,13,16
Keratektomi Fototerapeutik dan Cross-linking
Pilihan untuk debridement epitelium untuk cross-linking yaitu debridement
mekanikal atau keratektomi fototerapeutik laser excimer (PTK). Suatu penelitian
komparatif prospektif menggunakan PTK transepitelial (disebut Protokol Cretan)
menghasilkan luaran visual dan refraktif yang lebih baik dibandingkan
debridement mekanikal dengan sikat rotasi. Hasil ini dikuatkan oleh penelitian
komparatif lainnya. Peneliti menghipotesiskan bahwa PTK menurunkan
ketidakteraturan kornea, tetapi memperingatkan bahwa PTK di atas konus karena
hal ini dapat menimbulkan kerusakan kornea yang lebih dalam. 4,10,13
Penggunaan PTK untuk mengangkat epitelium bersama-sama dengan PRK
yang dipandu topografi dan cross-linking mungkin juga efektif. Protokol Athens
menggunakan PTK untuk mengangkat epitelium, diikuti dengan PRK dipandu
topografi parsial dengan mitomycin C, dilanjutkan dengan prosedur cross-linking.
2,4,12,

Ketebalan epitel regional sangat bervariasi pada kornea yang ektasis, dan
epitelium menjalani remodelling setelah cross-linking. Temuan anatomis ini dapat
menjelaskan manfaat PTK untuk cross-linking, dan pengukuran epitel langsung
mungkin akhirnya terbukti berguna untuk merencanakan terapi kombinasi. 2,4,12

Lensa Intraokuler Phakia dan Cross-linking


Lensa intraokuler phakia (PIOL) yang digunakan untuk mengoreksi
kelainan refraktif tanpa kehilangan jaringan kornea telah tersedia dalam berbagai
desain yaitu iris-fixated (fiksasi pada iris), angle-supported (menyokong sudut),
dan lensa ruang posterior. PIOL digunakan pada keratokonus dan ektasia setelah
LASIK tanpa cross-linking umumnya tidak direkomendasikan karena astigmat
progresif pada mata. PIOL ruang posterior torik, bersama-sama dengan cross-
linking, berhasil digunakan pada tahun 2011 pada mata miop tinggi dengan
keratokonus progresif. Rangkaian kasus lebih lanjut dengan cross-linking dan
PIOL ruang posterior torik menunjukkan luaran yang sangat baik pada 6 bulan.
Hasil serupa juga telah ditunjukkan dengan PIOL yang dipasang pada iris
dikombinasikan dengan cross-linking. Konseling yang tepat diperlukan pada
pasien-pasien ini mengenai kemungkinan perubahan refraktif lanjutan setelah
cross-linking. 2,7,10
Kombinasi Terapi Refraktif Multipel dengan Cross-Linking
Terapi yang mengkombinasikan cross-linking dengan segmen cincin kornea
dan PRK memberikan hasil positif dalam berbagai protokol. Rangkaian kasus lain
yang menggambarkan implantasi segmen cincin diikuti dengan cross-linking,
diikuti dengan implantasi PIOL torik pada pasien dengan kelainan refraktif tinggi
tidak sesuai untuk PRK. Pemantauan jangka panjang penting pada pasien ini
untuk menentukan stabilitas luaran visual. 2,7,11,13

Cross-Linking untuk Keratitis Infeksius: PACK-CXL

Di samping itu hasil penelitian dari david et al bahwa metode CXL tidak
hanya menurnkan angka kejadiaan keratoconus namun juga dapat di jadikan
sebagai terapi keratitis dan infeksi kerusakan kornea lainnya. Metode PACK- CXL
yang menggunakan ultraviolet Light dan Riboflavin memberikan hasil yang baik,
yaitu memperkuat biomekanik kornea, menghancurkan sel hidup dan organisme
seperti keratosit dan patogen. Terapi ini juga dijadikan sebagai lini pertama pada
tatalaksana keratitis tanpa menggunakan terapi antibiotik. Riboflavin drops bekerja
sebagai kromofor dan pelepas radikal bebas, dan membuat ikatan baru antara
jaringan kolagen dan proteoglycan, sedangkan ultraviolet-A light merusak DNA
dan RNA patogen dari bakteri maupun virus sehingga menjadi tidak aktif.1,2,4,10
Kombinasi riboflavin dan cahaya UV telah digunakan sebagai disinfektan
untuk beberapa waktu. Riboflavin yang terkena cahaya UV pada tahun 1960-an
menginaktivasi RNA virus mosaik tembakau dan menginaktivasi patogen pada
darah dan plasma. Selain menghancurkan secara langsung mikroba, mekanisme
aksi terdiri dari peningkatan resistensi kornea terhadap degradasi enzimatik,
pencegahan replikasi mikroba lewat interkalasi riboflavin dengan DNA patogen,
pembentukan spesies oksigen reaktif dengan efek sitotoksik langsung, dan
perubahan permukaan okuler untuk menjadi lingkungan yang lebih tidak
menguntungkan bagi mikroba. Penelitian in vitro dan pada hewan menunjukkan
kemanjuran cross-linking sebagai terapi tambahan bagi patogen keratitis yang
sulit seperti Staphylococcus aureus
resisten meticilin, Candida albicans, Aspergilus fumigatus, Fusarium solani, dan
Acanthamoeba. 1,4,10
Keratitis mikroba merupakan penyebab utama kebutaan secara global. Pada
negara-negara berkembang, keratitis mikroba sering dikaitkan dengan penggunaan
lensa kontak, dimana trauma kornea minor bersama-sama dengan akses terbatas
ke perawatan kesehatan merupakan etiologi yang paling sering di negara-negara
berkembang. Di India, diperkirakan lebih dari 2 juta kasus baru ulkus kornea tiap
tahunnya, yang mengarah ke istilah “silent epidemic”. Cross-linking telah
digunakan pada kasus-kasus keratitis mikroba baik yang menetap maupun primer
dengan keberhasilan yang bervariasi tergantung pada organisme penyebab dan
kedalaman ulkus.1,2,4
Pada Kongres Cross-Linking Internasional Tahunan ke-9 yang diadakan di
Dublin, Irlandia, pada Desember, 2013, frasa “Kromofora yang diaktifkan
cahaya” berkembang, dan istilah “PACK-CXL” diadopsi untuk cross-linking
untuk keratitis infeksius, untuk menfasilitasi komunikasi di masa selanjutnya pada
topik ini. 1,2,4
Prosedur Cross-Linking
Epi-Off Cross-linking (CXL) technique (Standard procedure)
• The standard protocol consists in:2
a. Sterile opening, in the surgery room, of the ophthalmic solution of riboflavin 0,1%
- dextran 20%
b. Verification of the power of the illuminator UVA array in asolid state CBMX
linker with a UVA power meter
c. Topical anesthesia – 3-4 drops, 15-20 minutes before CXL
d. Removal of the corneal epithelium on a 9mm diameter
e. Instillation of a drop of alcaine
f. Instillation of riboflavin 0,1% every 3 min for 30 minutes before the irradiation
g. Corneal irradiation of central 9mm through the CMBX linker plus instillation of
riboflavin 0,1% every 3 minutes for 30 minutes;
h. Instillation of antibiotics and steroids;
i. Therapeutic contact lens for 3-4 days
• Postoperative management:
a. A therapeutic contact lens is applied for 4-5 days
b. Use of antibiotics plus steroids and lubricants for 4 to 6 weeks
c. Postoperative check-up at 28, 48 hours and at day 4 - 5 to remove the contact lens
d. The follow up is at 6 weeks and 3, 6, 9, 12 months after CXL
• Complications may appear, such as:
Ocular pain, haze, aseptic corneal infiltrates, delayed corneal healing
• The role of Riboflavin is:
1. absorption and concentration of the UV radiation
2. is a photosensibilizing agent for the production of a kind
of reactive oxygen (singlet oxygen
3. for endothelial protection
• The role of Dextran T 500 is:
Riboflavin 0,1% solution contains Dextran T 500 20%
1. Maintains the osmolarity
- Corneal stroma osmolarity is 380-420 mosmol/l
- Riboflavin 0,1% - Dextran 20% osmolarity is 400 mosmol/l
2. Avoids corneal soaking and swelling during the treatment

Indikasi klinik Cross-Linking


Indikasi klinis primer untuk cross-linking kornea meliputi keratokonus
progresif pada orang dewasa dan ektasia kornea setelah LASIK. Indikasi yang
terbaru telah meluas menjadi keratokonus pediatrik, sebagai terapi yang
ditawarkan waktu terdiagnosis.1,2,4,7

Aplikasi klinis dari cross-linking adalah:


a. Ectasia kornea - keratoconus ; tahapan yang berbeda
- degenerasi marjinal pellucid
- iatrogenik: setelah LASIK
b. Infeksi kornea
c. Chemical burns
d. Bullous keratopathy and other causes of corneal edema
e. LASIK and CXL
f. PRK and CXL
g. Intra-corneal stromal rings and CXL
g. Scleral CXL (experimental study)

Prosedur LASIK
LASIK adalah singkatan dari “Laser Assisted In situ Keratomileusis”. Teknik
LASIK pertama kali dilakukan oleh ahli mata Jose Barraquer, sekitar 1950 di klinik di
Bogota, Kolombia. Pengembangan pertama yaitu microkeratome, digunakan untuk
memotong tipis flap di kornea dan mengubah bentuk-nya, yang disebut
keratomileusis.Pada umumnya ada dua langkah dasar dalam melakukan prosedur LASIK.
2,7,10,13

Langkah pertama dari operasi LASIK adalah membuat ‘kelopak penutup‘ LASIK
(flap). Flap ini adalah irisan tipis dari kornea, yang dipotong dan dapat dibuka seperti
sampul buku. Flap diperoleh dari alat mikrokeratom, yang memiliki mata pisau. Akhir –
akhir ini dunia kedokteran telah mengembangkan Laser Femtosecond agar mampu
menghasilkan flap LASIK. Kegunaan sinar laser ini, dalam beberapa hal lebih aman
dibandingkan mikrokeratom.2,5,15

Langkah kedua ini kita sebut dengan ‘zap‘. Ketika flap sudah dibuat dan terbuka,
Laser Excimer memindahkan jaringan dari pusat kornea untuk membentuknya kembali,
sehingga mengoreksi refraksi penglihatan pasien. Begitu kornea telah dikoreksi, flap
kornea kemudian diganti, mirip cover buku yang ditutup. Flap kornea kemudian ditutup
kembali ke posisi semula. 2,5,15

Gambar 2. Tahapan LASIK

Lasik bilateral konvensional dilakukan menggunakan Wavelight FS200 untuk


pembuatan flap dengan ketebalan 90 μm atau 110 μm dan laser excimer
Wavelight EX500 untuk koreksi bias. Semua parameter laser dan nomogram laser
2,5,15
untuk lasik diterapkan sesuai dengan clinic’s typical lasik protocol.

TEKNIK PEMBUATAN FLAP

Suction-ring dipusatkan diatas pupil dan suction di pasang ketika pusat cincin
sudah dipastikan dan diverifikasi. Prosedur docking kemudian dimulai sembari
menjaga
agar suction-ring tetap sejajar dengan mata. Aplikator kaca lensa kontak
digunakan untuk menstabilkan bola mata dan untuk meratakan kornea. Sangat
penting dalam pemasangan hal tersebut untuk dipasangkan secara sempurna pada
kornea untuk menghindari tidak sempurnanya pembuatan flap, dan komplikasi
pemuatan flap lainnya. Ketika komputer laser sudah mengkonfirmasi, dokter
memulai tindakan femtolaser. Setiap gelombang laser menghasilkan elektron
bebas dan molekul terionisasi yang membentuk gelembung gas mikroskopik yang
menyebar ke jaringan sekitarnya. Beberapa gelombang diterapkan satu sama lain
untuk membuat bidang pembelahan dan flap. Suction kemudian dilepaskan.
Spatula dengan hati- hati di sapukan untuk mengangkat flap untuk laser
excimer.2,5,14,15,

KETEBALAN FLAP

Laser femtosecond dirancang untuk membuat flap LASIK yang lebih tipis, dengan
rentang ketebalan yang lebih pasti di sekitar rata-rata. Femtosecond flap juga
cenderung memiliki ketebalan dari pusat ke pinggiran yang lebih seragam
dibandingkan flap mikrokeratom. Flap yang dibuat dengan laser femtosecond,
menghasilkan flap berbentuk planar. Semakin planar bentuk dari flap, semakin
meningkatkan keamanannya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa laser
femtosecond menghasilkan flaps dengan variabilitas ketebalan flap yang lebih
sedikit. Sebagian besar penelitian sebelumnya menemukan bahwa sebagian besar
mata memiliki ketebalan flap dalam ±20 μm dari hasil yang diinginkan. Stahl, dkk
menggunakan anterion segment optical coherence tomography untuk
mengevaluasi flap yang dihasilkan oleh femtosecond, dan menemukan fakta
bahwa hasilnya lebih mudah terprediksi dan dapat dibuat kembali dengan ukuran
yang sama.2,5,15

Pada penelitian terbaru, Marcella dkk menemukan standar deviasi flap pada
femtosecond adalah ±14,5 μm. 5,15

Prosedur LASIK umumnya membutuhkan waktu 10 menit. Pasien akan


tetap tesadar selama prosedur berlangsung.
1. Mata ditetesi dengan obat bius mata yang akan memastikan pasien
tidak merasakan sakit selama operasi
2. Pasien ditempatkan di bawah mesin laser dan kepala berada tepat
di bawah Laser Excimer
3. Seluruh wajah ditutup dengan duk steril, dan terbuka hanya pada
bagian mata saja yang dibiarkan
4. Untuk menahan bulu mata, akan ditempatkan sehelai plastic jernih
di atasnya. Dokter akan menempatkan alat ‘spekulum’ di antara
kelopak mata, sebagai penahan agar mata terus terbuka dan
memastikan agar mata tidak berkedip.
5. Kornea mata akan dilingkari pelekap yang melingkarinya sebagai
penahan.
6. Anda akan diminta untuk tetap fokus pada lampu berkedip di atas
kepala. Lampu ini disebut sebagai lampu fiksasi.
7. Ketika dokter sudah memastikan fiksasi, maka flap LASIK akan
segera dibuat
8. Setelah flap terbentuk, dokter akan mengangkatnya untuk
menyiapkan pembentukan kornea dengan Laser Excimer. Pasien
harus fokus pada pusat fiksasi cahaya untuk memastikan
pemusatan laser yang baik.
9. Saat laser mengarah pada mata, pasien akan melihat cahaya
kebiruan saat kornea mata dibentuk kembali. Meskipun
kemungkinan pasien tidak melihat cahaya fiksasi selama operasi
berlangsung, tetapkanlah fokus pasien pada posisi semula
10. Ketika pembentukan semula kornea selesai, dokter akan
membasahi mata pasien, mengembalikan flap pada posisinya dan
dengan lembut menekan ujung kelopak dengan spons kecil. Selama
proses berlangsung, pasien harus fokus pada fiksasi cahaya.
11. Setelah semua alat – alat operasi diangkat dari mata pasien, dokter
akan menempelkan pelindung plastic di atasnya.
12. Setelah itu, pasien akan dibawa ke ruang tunggu istirahat. Tutuplah
mata terus mata pasien untuk mempercepat proses penyembuhan.
Setelah 1 jam mata pasien akan diperiksa, untuk memastiakn
kelopak telah direposisi dengan tepat.
Prosedur kombinasi lasik dengan CXL
Pasien dipersiapkan menggunakan proses pembuatan flap yang sama
seperti untuk kelompok lasik saja. Setelah ablasi kornea stroma, penggunaan
riboflavin VibeX Xtra tunggal tetes (0,25% riboflavin) ditanamkan ke stroma
yang terbuka selama 90 detik. Kemudian larutan garam seimbang digunakan
untuk menyiram sisa riboflavin dari stromal, flap kemudian diposisikan ulang, dan
sistem KXL digunakan untuk menerapkan 90 detik penerangan cahaya terus
menerus pada 30 mW / cm (dosis paparan total 2,7 J / cm) di atas flap yang
tertutup.2,9,10,13,14,15

Protocol pasca operasi

Tindak lanjut pasca operasi adalah pada 1 hari dan 1 minggu setelah operasi.
Evaluasi oftalmik lengkap dilakukan pada 1, 3, dan 6 bulan pasca operasi. Regimen
pascabedah diresepkan untuk kedua mata sebagai berikut: 0,1% mata
fluorometholone drop, empat kali per hari, dan tetes mata sodium hyaluronate,
empat kali per hari.9,13,14

Komplikasi Cross-Linking
Dengan mengikuti batasan keamanan yang telah dijelaskan di atas untuk
mencegah toksisitas UV terhaap endotel kornea, sejumlah besar komplikasi
potensial terkait cross-linking berasal dari debridement epitel, termasuk infeksi,
infiltrat steril, re-epitelisasi terlambat, edema kornea transien, dan pengaburan atau
scar kornea. Tabel 1 menjabarkan komplikasi tersering terkait cross-linking. 1,2,13,16
Kerusakan keratosit menjadi perhatian alam hal pembentukan jaringan parut;
namun, repopulasi terjadi beberapa minggu setelah prosedur. Penyembuhan kornea
lebih lambat setelah cross-linking, dan kerusakan saraf kornea, meskipun
reversibel,
dapat terjadi.2,17,18
DAFTAR PUSTAKA

1. J.Bradley Randleman , MD, Sumitra S, MD, Farhad Hafezi, MD,PhD.


2015 .Corneal Cross-Linking, Survey Of Opthalmology. University Of
Southern California. ResearchGate.
2. Christina N, et al.2016. Corneal Collagen Cross-Lingking Procedures.
New Frontiers in Opthalmology, Volume 2(6), 205-211.
3. Sidarta Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Uiversitas Indonesia. 2005
4. David T, Cosimo M, Farhad H. 2016. PACK-CXL: Corneal cross-linking
in infectious keratitis.Eye and Vision, Vol 3(11), 1-5.
5. Reinstein DZ, Archer TJ, Gobbe M. The history of LASIK. Journal of
Refractive Surgery. 2012; 28(4): 291-98
6. Qi Wan, et al. 2016. A review and meta-analysis of corneal cross-linking
for post-laser vision correction ectasia. Journal of Current
Ophthalmology, Vol 29 (2017) 145-153.
7. Li Lim, Elizabeth W. 2018. A Review of Corneal Collagen Cross-linking –
Current Trends in Practice Applications. The Open Ophthalmology
Journal, Vol 12, 181-213.
8. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4087180/
9. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5027044/#!po=51.9608
10. Pron G, Ieraci I, Kaulback K, Medical Advisory Secretariat, Health
Quality Ontario. Collagen crosslinking using riboflavin and ultraviolet-A
for corneal thinning disorders: an evidence-based analysis. Toronto ON.
Medical Advisory Secretariat. Ont Health Technol Assess Ser [Internet].
2011 November;11(5):1-89. Available from:
www.hqontario.ca/en/mas/tech/pdfs/2011/rev_CXL_November.pdf
11. Jin Rong, et al. 2018. Simultaneous Accelerated Corneal Crosslinking and
Laser In situ Keratomileusis for the Treatment of High Myopia in Asian
Eyes. The Open Ophthalmology Journal, Vol 12, 143-153.
12. Tamayo, Gustavo E et al. 2018. “High-Resolution Wavefront-Guided
Surface Ablation with Corneal Cross-Linking in Ectatic Corneas: A Pilot
Study.” Clinical Ophthalmology (Auckland, N.Z.) 11 (2017): 1777–1783.
13. Xu, Weiwei et al. 2018. “Evaluation of Biomechanical Changes in
Myopia Patients with Unsatisfactory Corneas After Femto Second-
Laser In Situ Keratomileusis (FS-LASIK) Concurrent with Accelerated
Corneal Collagen Cross-Linking Using Corvis-ST: Two-Year Follow-
Up Results.” Medical Science Monitor : International Medical Journal of
Experimental and Clinical Research 23 (2017): 3649–3656.
14. Artini, Widya et al. 2018. “Predictive Factors for Successful High Myopia
Treatment Using High-Frequency Laser-In-Situ Keratomileusis.” The
Open Ophthalmology Journal 12 (2018): 214–225.
15. Wallerstein, Avi et al. 2018. “Under-Flap Stromal Bed CXL for Early
Post- LASIK Ectasia: A Novel Treatment Technique.” Clinical
Ophthalmology (Auckland, N.Z.) 11 (2017): 1–8.
16. Kim, Tae Gi et al. 2018. “The Long-Term Clinical Outcome after Corneal
Collagen Cross-Linking in Korean Patients with Progressive
Keratoconus.” Korean Journal of Ophthalmology : KJO 30.5 (2016): 326–
334.
17. Badawi, Amani E. 2018. “Corneal Endothelial Changes after Accelerated
Corneal Collagen Cross-Linking in Keratoconus and postLASIK
Ectasia.” Clinical Ophthalmology (Auckland, N.Z.) 10 (2016): 1891–1898.
18. Mazzotta, Cosimo et al. 2018. “In Vivo Confocal Microscopy Report after
Lasik with Sequential Accelerated Corneal Collagen Cross-Linking
Treatment.” Case Reports in Ophthalmology 5.1 (2014): 125–131.

Anda mungkin juga menyukai