Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

“SKLERITIS”

DISUSUN OLEH:
Karina Utari (1102014140)

PEMBIMBING
dr.Surtiningsih, Sp.M

KEPANITERAAN DEPARTEMEN ILMU PANYAKIT MATA


RSUD ARJAWINANGUN, KABUPATEN CIREBON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 20 MARET – 29 APRIL 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Alhamdulillahirabbil'alamin, puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Skleritis”.
Penulisan dan penyusunan laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Penyakit Saraf RSUD Arjawinangun. Selain itu, bertujuan
sebagai salah satu sumber pengetahuan bagi pembaca,
terutama pengetahuan ilmu penyakit mata.
Penulisan laporan ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak.
Maka dari itu, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Surtiningsih Sp.M selaku pembimbing dalam Ilmu Penyakit Mata yang telah
memberikan bimbingan serta arahannya sehingga penyusunan laporan kasust
ini dapat terselesaikan.
2. Semua pihak terlibat dalam penulisan laporan kasus yang tidak bisa disebutkan
satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan


laporan ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk
perbaikan di masa mendatang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
baik sekarang maupun di hari yang akan datang. Aamiin.

Wassalamu'alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.

Cirebon , 7 April 2023


BAB I

STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Lak-laki
Umur : 42 tahun
Tempat, Tanggal Lahir : Cirebon, 10 May 1981
Suku / Bangsa : Sunda
Pendidikan Terakhir : SMA
Alamat : Cibitung, bekasi
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 5 April 2023

II. Anamnesis

Dilakukan secara Autoanamnesis di Poliklinik Mata RSUD Arjawinangun Kab.


Cirebon.

D. Keluhan

Utama : Mata kanan nyeri sejak 4 hari SMRS


Tambahan : Kemerahan pada mata kanan.

E. Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang pasien laki-laki berusia 42 tahun datang ke Polilinik Mata RSUD


Arjawinangun pada tanggal 5 April 2023 dengan keluhan utama mata kanan nyeri sejak
4 hari yang lalu. Nyeri dirasakan mengganggu karena muncul tiba-tiba terutama saat pasien
menggerakkan matanya. Keluhan lain terdapat kemerahan pada mata kanan pasien dan
berair. Tidak ada keluhan gatal, serta tidak terdapat kotoran mata. Keluhan seperti
pusing, demam, mual, muntahdisangkal.
Keluhan mata merah pernah dialami pasien sebelumnya dan sudah diobati.
Pasien saat ini tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Riwayat operasi dan
penggunaan kacamata sebelumnya disangkal.
F. Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi : (-)
Diabetes Melitus : (-)
Riwayat Nyeri Sendi : (+)
Riwayat Mata Merah : (+)
Riwayat Operasi : (-)
Riwayat Trauma : (-)

G. Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi : (-)
Diabetes Melitus : (-)

III. STATUS GENERALIS

A. Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Tampak Sakit Ringan


Keasadaran : Composmentis
GCS : 15 (E4M6V5)
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
SpO2 : 100%
Suhu : 36,5O
B. Pemeriksaan fisik
KEPALA
Bentuk : Normocephal
Rambut : Warna hitam
Kulit kepala : Normal, massa (-)

MATA
Pemeriksaan OD OS

6/6
Visus 6/75

TIO Normal per palpasi Normal per palpasi


Edema (-) Edema (-)
Palpebra Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Konjungtiva Injeksi Konjungtiva (-) Dalam batas normal


Injeksi Siliar (+)
Benda Asing (-)
Kornea Dalam batas normal Dalam batas normal

Sklera Injeksi sklera (+), Nodul (-) Dalam batas normal

Bilik Mata Depan Hipopion (-), hifema (-), flare Hipopion (-), hifema (-), flare (-),
+1 Dalam batas normal
Iris Warna Coklat Warna Coklat
Sinekia (-) Sinekia (-)
Pupil Bulat, Diameter 3mm, Bulat, Diameter 3mm,
Refleks Cahaya (+) Refleks Cahaya (+)
Lensa Jernih Jernih
Vitreous Jernih Jernih
Fundus Fundus Refleks (+) Fundus Refleks (+)
Hirschberg Test Orthotropia
Gerakan bola Baik ke Segala Arah Baik ke Segala Arah
mata
C. RESUME

Seorang pasien laki-laki berusia 42 tahun datang ke Polilinik Mata RSUD


Arjawinangun pada tanggal 5 April 2023 dengan keluhan utama mata kanan nyeri disertai
kemerahan, berair (+) sejak 4 hari yang lalu. Nyeri dirasakan tiba-tiba terutama saat pasien
menggerakkan matanya. Pasien memiliki riwayat nyeri sendi. Pada pemeriksaan oftalmologi
didapatkan adanya penurunan visus 6/75, Injeksi sillier (+) OD, injeksi sklera (+) OD, Bilik
mata depan (flare +1)

D. DIAGNOSIS KERJA
- Skleritis OD

E. DIAGNOSIS BANDING
- Episkleritis OD
- Conjungtivitis OD

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Slit Lamp
 Pemeriksaan Lab
 B-Scan Ultrasonography

G. PENATALAKSANAAN

- NSAID (Neuralgin) 2x PO

- Metilprednisolon 2x PO

- Methotrexate 2.5 mg setiap 12 jam

- Cendo lyters 6x1

H. PROGNOSIS
- Quo ad Vitam : ad Bonam
- Quo ad Functionam :Dubia ad bonam
- Quo ad Sanactionam : Dubia ad Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI SKLERA

Sklera adalah lapisan luar yang keras dari bola mata yang ditutupi oleh lapisan
jaringan ikat longgar episklera. Sklera berkembang dari kondensasi jaringan mesenkim
yang terletak ditepi anterior cup otik. Ini terbentuk pertama kali di limbus sekitar
minggu ke-7 dan berlanjut ke posterior mengelilingi saraf optic dan membentuk lamina
cribrosa yang belum sempurna pada minggu ke-12. Sklera hampir bulat dengan
diameter 22mm. Di anterior, berlanjut dengan kornea dan di posterior dengan nervus
optikus. Ini paling tebal di sekitar saraf optic (1,0 mm) dan paling tipis tepat di belakang
insersi recti (0,3 mm).3

Gambar 1. Anatomi Sklera

1
Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada garis
ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 – 0.5 mm dan pada bagian posterior mencapai 1
mm. Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang rentan tersobek
karena trauma. Trauma tumpul cenderung merobek mata pada bagian tertipisnya, yaitu
di belakang insersio otot rektus. Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang
mata. Sklera membentuk lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang
disebut sebagai lamina kribosa. Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang disebut
sebagai emissaria. Pada sekitar saraf optik terdapat jalur yang dilewati oleh arteri dan
saraf siliar posterior. Sekitar 4 mm posterior dari ekuator terdapat jalan untuk vena
vorteks. Pada bagian anterior terdapat jalan untuk pembuluh darah siliaris anterior yang
memperdarahi otot rektus.

Sklera menyelimuti kurang lebih empat per lima bagian permukaan posterior bola
mata. Kapsul tenon menyelubungi permukaan sklera dan otot-otot rektus. Kapsul tenon
diselubungi oleh konjungtiva bulbi. Kapsul tenon dan konjungtiva bulbi menyatu di

2
daerah limbus. Selubung kapsul tenon dan konjungtiva bulbi melindungi sklera dari
paparan langsung dengan lingkungan luar. Sklera adalah struktur yang avaskular
kecuali pembuluh darah superfisial pada episklera dan pleksus vaskular intraskleral
yang terletak posterior dari limbus.

Sebagian besar penyusun sklera adalah kolagen tipe I dan proteoglikan. Komponen
penyusun lainnya mencakup elastin dan fibronectin. Pada kondisi normal, sklera adalah
jaringan putih yang padat. Sklera menjadi lebih translusen jika terjadi penipisan atau
perubahan kandungan air pada sklera yaitu di bawah 40% atau di atas 80%. Sklera
anterior dipersarafi oleh serabut saraf siliaris posterior longus.5,6

Disisi anterior dari episkleritis terdapat jaringan vascular yang terletak antara
kapsula tenon dan stroma. Tiga lapisan vascular yang melapisi sklera anterior adalah :
1. Pembuluh darah konjungtiva : paling superfisial, arteri berkelok-kelok
sedangkan vena lurus
2. Pembuluh darah didalam kapsul tenon : lurus dengan konfigurasi radial. Pada
episkleritis maka pembuluh darah ini akan mengalami kongesti yang mana
dapat bergerak bebas dari sklera
3. Deep vascular plexus : terletak superfisial. Pembuluh darah ini akan mengalami
kongesti pada skleritis. Vasokontriktor topical tidak dapat memberikan efek
pada kongesti vascular pada lapisan ini.

II. SKLERITIS
A. Definisi
Skleritis adalah suatu peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya
infiltrasi seluler, kerusakan kolagen dan perubahan vaskuler. Proses peradangan ini
terjadi karena adanya abnormalitas dari proses imunologis atau karena adanya suatu
infeksi. Penyakit skleritis ini disebabkan oleh vasculitis yang terjadi dari akivasi proses
imunologis yang dapat menyebabkan kerusakan ada sklera.3
B. Etiologi
Skleritis dapat idiopatik atau disebabkan oleh kondisi menular atau tidak menular.
Selain itu, hubungan dengan keganasan, penyakit autoimun, dan efek sampingakibat
pembedahan atau pengobatan merupakan faktor penyebab. Virus, bakteri, jamur, dan
parasit dapat menyebabkan skleritis menular dan dilaporkan terjadi pada 4% sampai10%
dari semua kasus. Melanoma koroid dan tumor konjungtiva dapat menyebabkan
peradangan mata yang dapat meniru tanda dan gejala skleritis. 50% pasien dengan

3
skleritis akan memiliki kondisi autoimun, terkadang tidak terdiagnosis pada saat
presentasi. Artritis reumatoid dan kondisi vaskulitis sistemik paling sering dikaitkan
dengan skleritis. Skleritis yang diinduksi secara bedah telah dikaitkan dengan
pengangkatan pterygium dan prosedur scleral buckle. Obat yang digunakan untuk
mengobati osteoporosis seperti bifosfonat diketahui menyebabkan skleritis; namun,
laporan tentang kejadian ini jarang terjadi.2

Skleritis dapat merupakan insiden tersendiri (43%) atau berkaitan dengan penyakit
sistemik lainnya (57%). Adapun beberapa etiologi dari skleritis ialah :

a) Autoimun (48%)

1. Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain :

- Rheumatoid arthritis
- Systemic lupus erythematosus
- Ankylosing spondylitis
- Reactive arthritis
- Psoriatic arthritis
- Gouty arthritis
- Inflammatory bowel diseases
- Relapsing polychondritis
- Polymyositis
- Sjögren syndrome
- Mixed connective tissue disease
- Progressive systemic sclerosis

2. Penyakit vaskulitik, antara lain :


- Polyarteritis nodosa
- Allergic angiitis of Churg-Strauss syndrome
- Wegener's granulomatosis
- Behçet disease
- Giant cell arteritis
- Cogan syndrome

b) Infeksi dan Granulomatosa (7%)


- Tuberkulosis
4
- Sifilis
- Sarkoidosis
- Toksoplasmosis
- Herpes simpleks
- Herpes zoster
- Infeksi Pseudomonas
- Infeksi Streptokokus
- Infeksi Stafilokokus
- Aspergilosis

- Leprosi

c) Lain-lain (2%)
- Atopi
- Sekunder dikarenakan benda asing, trauma kimia, atau obat - obatan
(pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid, ibandronate).

d) Idiopatik

C. Epidemiologi

Data epidemiologi skleritis di Indonesia masih sangat kurang. Skleritis lebih


sering terjadi pada wanita dengan predileksi usia 40-60 tahun. Skleritis lebih banyak
terjadi pada mereka dengan penyakit autoimun sistemik, hal ini yang menjadikan
skleritis lebih sering terjadi pada wanita. 8,12

Hampir 50% pasien dengan skleritis memiliki penyakit autoimun sistemik yang
mendasari, dan yang terbanyak adalah rheumatoid arthritis (RA) dan Wegener's
granulomatosis. Skleritis dapat menjadi manifestasi klinis yang pertama kali muncul
pada penyakit tersebut. Skleritis yang memiliki etiologi infeksi hanya terjadi pada 5-
10% kasus, namun luarannya lebih buruk daripada skleritis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun.

Selain pada orang dewasa dengan penyakit penyerta, skleritis juga dapat terjadi
pada anak-anak dengan insidensi 1,2% dari seluruh kasus skleritis. Berdasarkan studi

5
yang dilakukan oleh Majumder et al., skleritis posterior merupakan tipe yang paling
sering ditemukan pada anak (41,7%).17

D. Tanda dan Gejala Umum

Pasien dengan skleritis infeksius umumnya datang dengan keluhan mata merah,
nyeri, dan epifora seperti pada skleritis non infeksius. Nyeri pada pasien dengan
skleritis infeksius pasca operasi retina cenderung terjadi lebih cepat dan parah daripada
operasi segmen anterior. Studi menyebutkan tanda klinis yang paling sering terjadi
adalah injeksi konjungtiva (98%) dan nekrosis sklera (93%). Tanda klinis lainnya
antara lain keterlibatan struktur lain seperti kornea dan otot ekstraokular, reaksi radang
pada kamera okuli anterior dan endoftalmitits,6,7:

Berbagai gejala skleritis meliputi:

 Mata terasa nyeri.


 Pandangan menjadi kabur.
 Keluarnya air mata tanpa diketahui sebabnya.
 Mata menjadi sensitif terhadap cahaya.
 Mata berwarna kemerahan.
 Ada tonjolan kecil pada bagian putih dari bola mata.
 Pandangan kabur
 Rasa nyeri pada rahang dan wajah.
 Sakit kepala sebelah pada bagian mata yang bermasalah

E. Klasifikasi

Skleritis diklasifikasikan menjadi skleritis anterior dan posterior berdasarkan


lokasi anatominya. Skleritis anterior merupakan skleritis yang terjadi pada bagian
depan ora serrata, sedangkan skleritis posterior melibatkan bagian belakang ora serrata.
Pada saat resolusi, sklera akan memberikan warna kebiruan karena adanya
“penyusunan kembali” benang-benang kolagen 8,11,14

6
Skleritis Anterior

Skleritis anterior kemudian dibagi menjadi non-necrotizing dan necrotizing. Skleritis


non-necrotizing dibagi kembali menjadi nodular dan difus. Skleritis non- necrotizing
merupakan tipe yang kurang destruktif daripada tipe necrotizing serta memiliki risiko
kehilangan penglihatan yang lebih rendah. Namun, 20% kasus dapat berkembang
menjadi necrotizing scleritis, sehingga perlu dilakukan monitoring denganhati-hati.8

Tabel 1. Perbedaan Skleritis Nodular dan Difus

No. Skleritis Nodular Skleritis Difus

1. Inflamasi bersifat lokal Inflamasi terjadi pada seluruh


bagian depan sklera

3. Membentuk nodul immobile yang Membentuk warna kemerahan


keras dan nyeri tekan, berwarna yang difus pada seluruh bagian
keunguan dengan adanya kongesti depan sklera
pembuluh darah

3. Area predominan : dekat limbus Tidak ada area predominan


karena sifatnya menyeluruh,
namun bentuk ini adalah bentuk
yang paling ringan

7
Skleritis necrotizing adalah bentuk yang paling berat, karena dapat merusak
jaringan, dan pada kasus tertentu dapat menyebabkan kehilangan penglihatan. Pada
beberapa pasien, onset ditemukannya skleritis tipe necrotizing dapat menjadi onset
terjadinya vaskulitis sistemik yang mematikan. Skleritis necrotizing dibagi menjadi
dengan dan tanpa inflamasi (scleromalacia perforans). Skleritis necrotizing dapat
menyebabkan nyeri yang luar biasa, namun pada bentuk yang tanpa inflamasi, nyeri
8,12
tidak dirasakan.
Skleritis necrotizing ditandai dengan perubahan warna sklera dari putih menjadi
kekuningan, kemudian menjadi biru-keabuan karena adanya absorbsi serta disintegrasi
jaringan sklera, sehingga jaringan koroid di bawahnya terekspos. Skleritis necrotizing
yang tidak diobati akan menyebar ke posterior dan seluruh bagiananterior orbita
(panskleritis), sehingga berakhir pada kehilangan jaringan yang berat. 10

Tabel 2. Skleritis Necrotizing Dengan dan Tanpa Inflamasi

No. Skleritis Necrotizing dengan Skleritis Necrotizing tanpa


Inflamasi Inflamasi (Scleromalacia
Perforans)
I. Ditandai dengan lesi berwarna Ditandai dengan destruksi jaringan
biru-abu yang sangat nyeri sklera dengan tanda inflamasi
minimal/tidak ada, tidak nyeri, dan
disertai dengan hilangnya jaringan
episklera di atasnya

II. Biasanya terlokalisir dengan tepi Tipe yang paling destruktif, karena
yang lebih aktif dapat menyebabkan perforasi bola
mata tanpa menimbulkan keluhan
nyeri

3. Dapat membentuk bercak edema


yang avaskular

8
Skleritis Posterior

Skleritis posterior adalah inflamasi sklera di bagian posterior insersi otot ora
serrata. Skleritis posterior ditandai dengan flattening dan penebalan bagian posterior
orbita karena adanya edema retrobulbar. Skleritis posterior merupakan tipe yang paling
sulit didiagnosis karena dapat tumpang tindih dengan kelainan bola mata posterior
lainnya, pemeriksaan dengan b-scan ultrasonographydapat membantu dalam
menentukan diagnosis. Apabila tidak ditangani dengan baik, akan berlanjut menjadi
ablasio retina, glaukoma sudut tertutup, dan kebutaan. 9,10

F. Patofisiologi Gejala

Skleritis melibatkan proses inflamasi yang kompleks dan multifaktorial. Dasar


patofisiologi skleritis adalah reaksi hipersensitivitas tipe III dan reaksi granulomatosa
(hipersensitivitas tipe IV) yang menyebabkan terjadinya mikroangiopati serta
kerusakan sel pada jaringan dan pembuluh darah sklera.5
Reaksi hipersensitivitas tipe III merupakan reaksi yang dimediasi oleh kompleks
antigen-antibodi yang mengendap dan menyebabkan kerusakan jaringan. Dugaan peran
reaksi hipersensitivitas tipe III pada patofisiologi skleritis disebabkan karena
ditemukannya pengendapan kompleks imun dan infiltrasi neutrofil pada dinding
pembuluh darah pasien yang mengalami skleritis. Reaksi hipersensitivitas tipe IV juga
diduga berperan dalam patofisiologi skleritis. Hal ini karena ditemukan sel T dan
makrofag pada spesimen biopsi.8
Reaksi inflamasi mengaktivasi mekanisme lokal yang menyebabkan terjadinya
degradasi proteoglikan dan kolagen yang kemudian menyebabkan penipisan dan
hilangnya jaringan sklera. Selain itu, oklusi pembuluh darah dan iskemia menyebabkan
terjadinya kerusakan jaringan dan nekrosis.7

G. Diagnosis
Dalam mendiagnosis skleritis, perlu digali mengenai etiologi infeksi dan
noninfeksi, serta riwayat trauma atau operasi.
Anamnesis

9
Anamnesis yang khas pada skleritis adalah keluhan berupa nyeri mata seperti
ditusuk- tusuk atau terbakar. Pasien juga dapat mengeluhkan fotofobia, lakrimasi, dan
penurunanvisus. Skleritis perlu dibedakan dengan episkleritis. Episkleritis biasanya
tidak nyeri atau dapat mengalami nyeri ringan tanpa disertai dengan penurunan tajam
penglihatan. Nyeri pada skleritis disebabkan karena edema pada sklera, edema akan
menginduksi peregangan mekanik pada bola mata, sehingga menimbulkan nyeri.
Nyeri yang dirasakan ini biasanya memburuk saat malam hari karena adanya
9,11
perubahan posisi. Nyeri pada skleritis biasanya merupakan nyeri yang dalam dan
dapat menjalar ke dahi atau dagu, serta dapat menyebabkan pasien terbangun dari tidur.
Walaupun begitu, tidaksemua pasien dengan skleritis datang dengan nyeri pada mata,
12,
terutama pada mereka yang sudah mengkonsumsi OAINS.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada skleritis meliputi pemeriksaan fisik mata dan
pemeriksaan fisik umum untuk melihat adanya kemungkinan etiologi sistemik yang
mendasari. Pemeriksaan fisik mata dilakukan dengan inspeksi pada cahaya natural,
kemudian dilanjutkan dengan slit lamp atau lup untuk menilai kedalaman inflamasi
serta komplikasi lain, seperti adanya keterlibatan kornea dan uveitis. 13
Inspeksi pada skleritis perlu dilakukan pertama kali pada pencahayaan yang
natural, karena dapat membantu untuk membedakannya dengan episkleritis. Skleritis
akan terlihat lebih gelap keunguan, sedangkan episkleritis akan memberikanwarna
salmon-pink. Skleritis pada pasien dengan penyakit kolagen vaskular sepertirheumatoid
arthritis (RA) atau vaskulitis biasanya memiliki gambaran yang bilateral dan difus.
Sedangkan pada skleritis infeksius, biasanya gejala bersifat unilateral. Skleritis nodular
12,13
yang unilateral merupakan tanda yang sering ditemukan pada infeksi herpes.
Pemeriksaan Oftalmologi
a.Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan
tajam penglihatan.
 Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.
 Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.
b.Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat dilakukan
apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.

10
c.Pemeriksaan Sklera
 Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa
peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan
uvea gelap.
 Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh
peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut,
maka area tersebut akan menjadi avaskular dan menghasilkan
sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi oleh lingkaran
berwarna hitam atau coklat gelap.
d.Pemeriksaan slit – lamp
 Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau
segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior
scleritis.
 Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan episkleral
bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral superfisial. Sudut
posterior dan anterior dari sinar slit lamp terdorong maju karena adanya
edema pada sklera dan episklera.
 Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai
jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan
episklera.
 Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area
avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.
 Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau
konjungtivitis juga dapat dilakukan.

Skleritis ditandai dengan edema dan infiltrasi sel-sel proinflamasi pada jaringan
sklera dan episklera, sehingga pada pemeriksaan dengan slit lamp, akan terlihat adanya
edema pada jaringan sklera dan episklera, serta kongesti pada pleksus episklera
profunda. Edema dan kongesti pada skleritis tidak membaik dengan pemberian
vasokonstriktor topikal.7
Selain itu, perlu dilihat adanya jaringan sklera yang menipis atau mengalami
impending perforasi. karena hal ini dapat mempengaruhi terapi.

11
Pemeriksaan funduskopi juga perlu dilakukan dengan dilatasi pupil untuk melihat
adanya retinal vasculitis, atau komplikasi yang mengenai retina, seperti ablatio retina.12

Skleritis Anterior

Skleritis anterior memiliki manifestasi klinis berupa nyeri mata yang bertambah
pada penekanan dan kemerahan pada mata baik difus maupun lokal. Skleritis anterior
dibagi menjadi skleritis non-necrotizing dan necrotizing.
Skleritis non-necrotizing dibagi menjadi nodular dan difus, keduanya memiliki
manifestasi klinis yang berbeda. Pada skleritis anterior dapat ditemukan adanya
kongesti vaskular dan edema, yang setelah menghilang akan menjadi berwarna
keunguan. 12
Inspeksi pada skleritis lebih baik dilakukan pada cahaya natural, karena pada
pencahayaan tersebut, warna khas keunguan serta pola pembuluh darah yang
bersilangan terlihat lebih jelas. Pada pencahayaan ini pula, skleritis dapat dibedakan
dari episkleritis yang berwarna salmon-pink dengan pola pembuluh darah yang radier.12

Skleritis Nodular:

Inspeksi pada skleritis nodular akan memperlihatkan adanya nodul yang keras
dan nyeri pada penekanan. Nodul ini seringkali ditemukan pada area limbus dan tidak
dapat digerakkan (immobile) dengan menggunakan cotton bud. 8,9,12

Gambar 2. Skleritis Nodular Anterior

Pada saat involusi, bagian yang bernodul ini akan mengalami penipisan, sehingga sklera
akan lebih translusen. Hal ini menyebabkan, pada beberapa kasus yang jarang, koroid
dapat terlihat. 8,12

12
Skleritis Difusa:

Inspeksi pada skleritis difusa akan memperlihatkan adanya kemerahan yang


difus (menyeluruh) pada bagian anterior ora serrata. Arah pembuluh darah yang radial
pada episklera akan menghilang dan berganti menjadi saling bersilangan dan berkelok-
kelok. Pembuluh darah yang terlihat tidak dapat digerakkan dengan menggunakan
cotton bud. 8,9

Gambar 3. Skleritis Difusa Anterior

Setelah resolusi, bagian yang mengalami inflamasi akan meninggalkan warna


biru-keabuan karena adanya penyusunan ulang serat-serat kolagen pada sklera. Hal ini
yang dikenal dengan sequelae pada skleritis anterior difusa. 9

Skleritis Necrotizing:

Inspeksi pada skleritis necrotizing tanpa inflamasi (scleromalacia perforans)


akan terlihat adanya lesi berwarna kekuningan atau keabuan yang perlahan akan
menjadi nekrosis. Setelah nekrosis, jaringan sklera yang mengalami “lesi” akan
menghilang dan lapisan koroid di bawahnya akan terlihat secara langsung atau
8,
diselimuti konjungtiva.

Gambar 4. Skleritis Nekrosis Tanpa Inflamasi

13
Pada skleritis necrotizing yang disertai dengan inflamasi, sklera berwarna
putih dan avaskular dikelilingi dengan edema dan kemerahan karena reaksi inflamasi
yang aktif pada jaringan di sekitarnya. Inflamasi ini dapat menyebar secara
sirkumferensial dan melibatkan seluruh segmen anterior dan posterior (panskleritis)
apabila tidak mendapatkan terapi yang optimal. 8
Gambar 5. Skleritis Nekrosis Dengan Inflamasi

Skleritis Posterior

Pada skleritis posterior, nyeri biasanya tidak berkaitan dengan keparahan


inflamasi dan pemeriksaan bagian anterior mata dapat normal. Pemeriksaan skleritis
posterior biasanya dibantu dengan B-scan ultrasonography, yang akan dibahas pada
bagian pemeriksaan penunjang. 12
Skleritis posterior biasanya ditandai dengan nyeri orbita, proptosis karena
adanya edema pada bagian posterior bola mata, gerakan otot-otot ekstraokular yang
terbatas karena nyeri saat menggerakkan bola mata, dan dapat disertai dengan uveitis.
Penurunan ketajaman visual biasanya terjadi karena adanya keterlibatan koroid dan
retina, atau adanya perubahan indeks bias. Bila tidak ditangani dengan baik, maka
pasien akan mengalami buta permanen. 8,18

Adanya penurunan visus menyebabkan skleritis posterior seringkali sulit


dibedakan dengan inflamasi intraokular lain ataupun tumor orbita. Pasien yang berusia
50 tahun ke atas yang lebih berisiko mengalami gangguan visus. Pasien juga dapat
mengeluhkan mengenai gangguan lapang pandang, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan lapang pandang.Pada anak, skleritis posterior memilikimanifestasi klinis
yang mirip dengan orang dewasa, namun disertai dengan lid sign (edema kelopak mata),
dan keterbatasan pergerakan otot-otot ekstraokular.17

14
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada skleritis dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis serta membantu menentukan etiologi yang mendasari. Pemeriksaan
penunjang pada skleritis meliputi pemeriksaan laboratorium, pencitraan, serta
pemeriksaan histopatologi. 8

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada skleritis dilakukan untuk melihat adanya penyakit


sistemik yang mendasari. Pemeriksaan ini meliputi:

 Pemeriksaan darah lengkap: dilakukan untuk membedakan skleritis yang


disebabkan karena proses inflamasi atau infeksi. Pada mereka dengan penyakit
kronis atau dengan penyakit autoimun, seperti SLE dan RA, kadar hemoglobin,
leukosit, dan trombosit dapat mengalami penurunan. Pada keadaan infeksi, jumlah
leukosit sering kali akan meningkat. Pada pasien skleritis yang menjalankan terapi
imunosupresi jangka panjang pemeriksaan ini juga perlu dilakukan untuk melihat
adanya efek samping supresi sumsum tulang

 C-reactive protein (CRP): merupakan pemeriksaan yang dapat membantu


melihat adanya kondisi inflamasi. CRP akan meningkat bila terjadi inflamasi
 Urinalisis mikroskopik: adalah pemeriksaan sedimen urine yang meliputi sel-
sel, silinder, kristal, dan komponen lain seperti bakteri dan mukus yang berada di
urine. Tujuan pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan darah lengkap, yaitu untuk
membantu menentukan etiologi yang mendasari skleritis.

 Antibodi antinuklear (ANA): dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit


autoimun yang mendasari, seperti lupus eritematosus sistemik

 Antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCAs): merupakan pemeriksaan yang


spesifik untuk Wegener granulomatosis
 Rheumatoid factor (RF) dan Antibodies to cyclic citrullinated peptides (anti-
CCP antibodies): membantu mendeteksi adanya rheumatoid arthritis sebagai
8,13
penyebab dasar skleritis.
Pada pasien skleritis dengan kecurigaan etiologis yang mengarah pada penyakit

15
infeksius, dapat dilakukan uji tuberkulin dan/atau interferon gamma release assay
(IGRA) untuk membantu mendeteksi adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Selain itu, bisa juga dilakukan tes serologi sifilis dan uji antibodi herpes sesuai
indikasi. 8,13

Pencitraan

Pencitraan dengan menggunakan MRI atau B-scan ultrasonography digunakan untuk


membantu mendiagnosis skleritis posterior dengan melihat ketebalan dan nodul pada
sklera posterior.

Pemeriksaan OCT juga diperlukan untuk membantu melihat adanya edema


diskus, choroidal folds, dan retinal detachment yang sering terjadi pada skleritis
posterior atau memeriksa bagian anterior sklera pada skleritis anterior. Pada B- scan
ultrasonography, skleritis posterior akan menunjukkan gambaran penebalan sklera (>2
mm) karena adanya edema pada sklera bagian posterior, dan tanda klasik T sign. 8
T sign muncul karena adanya edema sklera yang menyebabkan akumulasi cairan
subtenon di retrobulbar, sehingga menyebabkan terbentuknya garis lusen pada area
subtenon dengan adanya bayangan saraf optikus yang hampir tegak lurus dengan garis
lusen tersebut sehingga membentuk bayangan seperti huruf T. MRI orbita diperlukan
pada keadaan dimana B-scan ultrasonography kurang dapat mengidentifikasi skleritis
posterior, sehingga MRI dilakukan untuk mengklarifikasi diagnosis. MRI orbita
membantu mendiagnosis dengan cara melihat dan menilai ketebalan sklera dan adanya
proptosis. MRI orbita membantu membedakan skleritis posterior dan penyakit orbita
lain seperti infeksi, tumor, atau thyroid-related orbital myositis. 14,18
Optical coherence tomography (OCT) dilakukan untuk melihat perubahan
morfologi retina dan koroid, serta melihat adanya edema sklera. Pada skleritis dengan
etiologi infeksi, pemeriksaan OCT dapat menunjukkan adanya opasitas kecil pada
vitreus dan deposit abnormal subretina (lipofuscin-laden macrophages). 7,16
OCT dapat membantu untuk memvisualisasi segmen anterior mata yang
meliputi sklera dan limbus, serta kornea, iris, badan siliar, sulkus siliaris, dan lensa.
Sklera pada mata yang mengalami skleritis akan mengalami penebalan, karena adanya
edema. Selain itu, pada skleritis necrotizing, OCT membantu melihat adanya prolaps
uvea dan penipisan sklera. 16

16
Pemeriksaan Lain

Pemeriksaan histopatologi dengan melakukan biopsi sklera dilakukan ketika dicurigai


adanya etiologi infeksi. Skleritis biasanya ditandai dengan kondisi inflamasi yang berat
dengan karakteristik edema sklera dan infiltrasi sel-sel inflamatori pada sklera. Secara
histologis, skleritis dibagi menjadi 3 kelompok:

 Skleritis autoimun: ditandai dengan nekrosis, yang mana kolagen yang rusak dikelilingi
neutrofil dan barisan sel-sel histiosit

 Skleritis infeksius: yang ditandai dengan inflamasi akut dan nekrosis, dengan disertai
kultur yang positif. Skleritis dengan etiologi autoimun dan infeksi sama-sama memiliki
gambaran nekrosis, namun pada skleritis infeksius, kultur menunjukkan adanya
mikroorganisme yang menjadi etiologi skleritis

 Skleritis idiopatik, yang ditandai dengan inflamasi kronis non spesifik yang
mengandung limfosit, sel-sel plasma, dan histiosit tanpa adanya nekrosis. Pada
beberapa kasus dapat terlihat adanya jaringan granulasi dengan folikel limfoid disertai
8,16
fibrosis.

Pengambilan sampel untuk biopsi sklera pada area yang sedang mengalami inflamasi
aktif berisiko menyebabkan perforasi bola mata ataupun menginduksi terjadinya
nekrosis sklera. Selain itu, prosedur ini juga dapat menyebabkan sklera menjadi lebih
lemah secara struktural. Biopsi hanya dianjurkan pada skleritis yang dicurigai karena
infeksi atau keganasan.19

H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada skleritis meliputi penyakit yang menyebabkan terjadinya
kemerahan pada mata baik unilateral maupun bilateral.

Episkleritis

Episkleritis adalah inflamasi pada jaringan episklera (antara sklera dan konjungtiva).
Skleritis anterior dan episkleritis berhubungan dengan penyakit autoimun atau infeksi
dimana keduanya memiliki manifestasi berupa kongesti pembuluh darah. Namun,
inflamasi yang terjadi pada episkleritis lebih ringan dan tidak mengancam penglihatan.
Episkleritis dan skleritis perlu dibedakan dengan baik, karena penatalaksanaan dan
prognosis keduanya sangat berbeda. 12,14
17
Durasi episkleritis kurang-lebih 1-2 minggu dan biasanya self-limited, namun
dapat berulang dalam 1-3 bulan. Karena sifatnya yang self-limited, maka terkadang
tidak diperlukan terapi pada episkleritis, namun apabila pasien mengeluh rasa tidak
nyaman, dapat diberikan lubrikan dan agen steroid topikal.

Tabel 4. Perbedaan Skleritis dan Episkleritis

No. Skleritis Episkleritis

1. Nyeri yang dirasakan cukup berat dan Tidak nyeri atau dapat nyeri
hanya dapat terkontrol dengan minimal, , tanpa disertai
menggunakan obat pereda nyeri, bisa dengan penurunan tajam
disertai penurunan visus penglihatan
2 Pembuluh darah atau nodul yang ada Pembuluh darah atau nodul
tidak dapat digerakkan dengan cotton yang ada dapat digerakkan
bud (immobile) dengan cotton bud(mobile)

3. Warna lesi: biru-keunguan/ merah Warna lesi: salmon-pink


gelap

4. Dengan tetes mata fenilefrin 2,5 % Dengan tetes mata fenilefrin


merah tidak berkurang 2,5 % merah berkurang

Konjungtivitis

Konjungtivitis adalah inflamasi pada konjungtiva. Pada konjungtivitis, pasien


datang dengan kemerahan pada mata yang dimulai dari area fornix ke arah limbus. Pada
skleritis, kemerahan dapat bersifat difus ataupun nodular, tergantung dari jenisnya.
Selain itu, pada skleritis biasanya tidak disertai dengan sekret yang berlebih seperti pada
konjungtivitis. Pasien dengan konjungtivitis biasanya datang dengan rasa gatal dan
seperti terbakar pada mata, namun pada skleritis, keluhan yang khas adalah nyeri yang
13
berat dan bertambah parah apabila ditekan.

I. Penatalaksanaan

Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien


18
yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan

yang spesifik juga. Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada


skleritis yang tidak
infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada
bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang menyertai

 Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius.


NSAIDs, kortikosteroid, atau obat imunomodulator dapat digunakan.
Pengobatan secara topikal saja tidak mencukupi. Pengobatan tergantung pada
keparahan skleritis, respon pengobatan, efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.
 Diffuse scleritis atau nodular scleritis
Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat menggunakan 2 jenis
NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga misoprostol atau
omeprazole untuk perlindungan gastrointestinal.
- Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi,
dipertahankan menggunakan NSAIDs.
- Jika oral kortikosteroid gagal, obat – obatan imunosupresif dapat digunakan.
Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga digunakan
azathioprine, mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide, atau cyclosporine.
Untuk pasien dengan Wegener's granulomatosis atau polyarteritis nodosa,
cyclophosphamide adalah pilihan utama.
- Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan imunomodulator seperti
infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.
 Necrotizing scleritis
- Obat – obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada bulan
pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan – lahan.
- Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.
- Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat memperparah
proses nekrosis yang terjadi.
 Pengobatan untuk skleritis yang infeksius.
Pengobatan sistemik dengan atau tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan.
Sementara kortikosteroid dan imunosupresif tidak boleh digunakan.

Adapun jenis obat-obatan yang dapat dipakai sebagai medikamentosa dalam penyakit
skleritis ialah :
19
A. NSAIDs (Non-steroid Anti Inflammatory Drugs)

Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan. NSAIDs bekerja
dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, menghalangi perjalanan dari lekosit,
dan menghambat fosfodiesterase.

Pemberian : Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air
untuk menghindari gangguan pada saluran pencernaan.
1. Indometasin (Indocin)
Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat dengan cepat
diserap. Metabolisme terjadi di hati dengan demetilasi, deasetilasi, dan
konjugasi glukuronid
Dosis : 75-150 mg PO/hari or dibagi 2 kali sehari, tidak melampaui 150 mg/hari
Pemberian pada lansia harus diawasi fungsi ginjal, Penurunan fungsi ginjal lebih
mungkin terjadi usia lanjut. Dosis/frekuensi terendah disarankan.
2. Diflunisal (Dolobid)
Turunan asam salisilat nonsteroid yang bekerja secara perifer sebagai analgesik.
Memiliki efek antipiretik dan anti – radang, tetapi berbeda secara kimia dengan
aspirin dan tidak dimetabolisme menjadi asam salisilat. Obat ini adalah sebuah
penghambat prostaglandin – sintase.
Dosis : 250-1000 mg PO setiap hari dibagi setiap 12 jam.
Dosis maksimum : 1500 mg/hari.
3. Naproxen (Naprelan, Anaprox, Aleve, Naprosyn)
Digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi
peradangan dan nyeri dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase,
menghasilkan penurunan dari sintesis prostaglandin. Naproxen diserap dengan
cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 – 15 jam.
Dosis : 250-500 mg PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500 mg/hari.
4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)
Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang,
jika tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi peradangan dan nyeri,
kemungkinan dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, yang
menghasilkan sintesis prostaglandin.
Obat yang berikatan kuat dengan protein dan siap diserap secara oral. Memiliki

20
paruh waktu yang singkat (1.8-2.6 jam).
Dosis : 300-800 mg PO 4 kali sehari 400-800 mg IV selama 30 menit setiap 6

jam kalau diperlukan. Tidak melebihi 3200 mg/hari.


5. Sulindac (Clinoril)
Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu, menghambat sintesis

prostaglandin. Menghasilkan penurunan pembentukan mediator peradangan.


Dosis : 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400 mg/hari.
Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu terpendek.
6. Piroxicam (Feldene)
Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan protein
plasma. Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan dengan begitu, menghambat
sintesis prostaglandin. Efek ini menurunkan pembentukan mediator radang.
Dosis : 20 mg PO setiap harinya atau dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 30-40
mg/hari.

B. Agen Imunosupresan
Digunakan untuk skleritis berat (Necrotizing scleritis) dan yang resisten
terhadap NSAIDs.
1. Methotrexate (Folex, Rheumatex)
Mekanisme kerjanya dalam pengobatan reaksi peradangan kurang diketahui.
Dapat mempengaruhi fungsi imun dan biasanya menghilangkan gejala
peradangan (nyeri, bengkak, kaku).
Dosis tunggal PO sebanyak 7.5 mg setiap minggu. Dosis dibagi PO sebanyak
2.5 mg setiap 12 jam untuk 3 dosis, sebagai pengganti sekali seminggu.
Peningkatan sampai respon optimum, tidak melebihi dosis tunggal dari 20 mg
(meningkatkan resiko supresi sum –sum tulang). Kurangi sampai serendah
mungkin. Kurangi sampai dosis efektif terendah dengan waktu istirahat
terpanjang.

2. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)


Secara struktur kimia berhubungan dengan mustards nitrogen. Sebagai
alkylating agent, mekanisme kerjanya sebagai metabolit aktif mungkin
melibatkan penyambungan silang DNA, yang dapat mengganggu pertumbuhan
sel normal dan neoplastik.

21
Pemberian IV :
Dosis tunggal : 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari, dapat diulangi dalam

interval 2-4 minggu


Dosis setiap hari : 1-2.5 mg/kg/hari

Pemberian oral :
Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi intermiten
Terapi berulang : 50-100 mg/sq.meter/hari

Pemberian :
- Berikan dosis pertama sepagi mungkin
- Minum banyak cairan bersamaan dengan dosis per oral
- Pasien harus buang air untuk mencegah sistitis hemoragik.

3. Azathioprine (Imuran)
Menghambat mitosis dan metabolisme seluler dengan mengganggu
metabolisme purin dan sintesis DNA, RNA, dan protein.
Dosis awal : 1 mg/kg IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari, dapat
ditingkatkan seperti berikut: Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu,
kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari setiap 4 minggu, tidak melebihi 2.5
mg/kg/hari. Pengawasan : Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu
sampai dosis efektif terendah tercapai.

4. Cyclosporine (Neoral)
Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan reaksi imun yang
dilakukan sel, seperti hipersensitifitas tipe lambat dan penolakan cangkok.
Dosis : 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8 minggu, Dapat
ditambah menjadi tidak lebih dari 4 mg/kg/hari
Awasi : fungsi ginjal

C. Glukokortikoid
Memiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek metabolik.
Kortikosteroid mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna dalam
pengobatan skleritis yang berulang.
22
1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)
Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen
imunosupresif lainnya.

Dosis : 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali sehari PO. Metilprednisolon
asetat : 10-80 mg IM setiap 1-2 minggu.

Jika diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral, berikan dosis
IM setiap harinya sama dengan dosis oral. Untuk efek jangka panjang, berikan
dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap minggu. Hanya metilprednisolon
sodium sukinat dapat diberikan secara IV.
Dosis : 1 g IV selama 1 jam selama 3 hari
2. Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred)
Digunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja dengan cara
meningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan kerja PMN, serta dapat
menurunkan peradangan. Dosis : 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2 kali
sehari sampai 4 kali sehari.

Skleritis merupakan penyakit yang biasanya tidak berdiri sendiri, sehingga


penatalaksanaan skleritis perlu dibarengi dengan penatalaksanaan penyakit yang
menyertainya.

J. Komplikasi
Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Makular edema
dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior sampai koroid,
retina, dan saraf optik. Makular edema dapat mengakibatkan penurunan penglihatan.
Komplikasi lainnya yaitu perforasi dari sklera yang mengakibatkan hilangnya
kemampuan mata untuk melihat. Skleromalasia juga dapat terjadi, terutama pada
skleritis dengan rheumatoid arthritis. Obat kortikosteroid juga dapat memicu
terjadinya perforasi serta meningkatkan tekanan intraocular sehingga beresiko
merusak saraf optik akibat glaukoma.
Tanpa pengobatan segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio retina,
keratitis, uveitis, atau atrofi optik. Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30% kasus
skleritis. Sedangkan uveitis posterior terjadi pada hampir seluruh kasus skleritis
posterior, namun tak jarang juga dijumpai pada kasus skleritis anterior. Skleritis dapat
23
berulang dan berpindah ke posisi sklera yang berbeda.

K. Prognosis
Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami kerusakan
penglihatanyang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada penyakit penyerta
yang mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis umumnya mengakibatkan hilangnya
penglihatan dan memiliki 21% kemungkinan meninggal dalam 8 tahun.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Artifoni M, Rothschild PR, Brézin A, Guillevin L, Puéchal X. Penyakit radang mata


terkait dengan rheumatoid arthritis. Nat Rev Rheumatol. Februari 2014; 10 (2):108-
16
2. Daniel Diaz J, Sobol EK, Gritz DC. Perawatan dan pengelolaan gangguan sklera. Surv
Ophthalmol. Nov-Des 2016; 61 (6):702-717.
3. Dennoston, A.K., & Philip, M.I.2014. Oxford American Handbook of Ophtalmology.3
th. London: Oxford University Press.
4. Jabs DA, Mudun A, Dunn JP, Marsh MJ. 2000. Episcleritis and scleritis:clinical
features and treatment results. Am j Ophthalmol; 130 (4). p. 469-476
5. Levine LM, Brar VS, Goldstein MH, Kahana A, Katowitz WR, Law SK, dkk. Section
2 : Fundamentals and principles of ophtalmology. Dalam: Basic and Clinical Science
Course. USA: American Academy of Ophtalmology; 2016. hal. 48–9.
6. Mannis MJ, Holland EJ. Cornea Fundamental, Diagnosis, and Management. Keempat.
Elsevier; 2017. 2854-2862 hal.
7. Ramenaden ER, Raiji VR. Clinical characteristics and visual outcomes in infectious
scleritis: a review. Clin Ophthalmol Auckl NZ. 2013;7:2113–22.
8. Valenzuela FA, Perez VL. Scleritis—Infectious Versus Inflammatory. US Ophthalmic
Rev. 2016;09(02):92.
9. Galor A, Thorne JE. Scleritis and Peripheral Ulcerative Keratitis. Rheum Dis Clin
North Am. 2007 Nov;33(4):835–54.
10. Yelumalai M, Tharmathurai S. Tubercular Scleritis: A Case report. Int J Sci Res Publ
IJSRP. 2019 Mar 6;9(3):p8744.
11. Yoshida A, Watanabe M, Okubo A, et al. Clinical characteristics of scleritis patients
with emphasized comparison of associated systemic diseases (anti-neutrophil
cytoplasmic antibody-associated vasculitis and rheumatoid arthritis). Jpn J
Ophthalmol. 2019 Sep;63(5):417–24.

25
12. Nevares A, Raut R, Libman B, et al. Noninfectious Autoimmune Scleritis:
Recognition, Systemic Associations, and Therapy. Curr Rheumatol Rep. 2020
Apr;22(4):11.
13. Stem MS, Todorich B, Faia LJ. Ocular Pharmacology for Scleritis: Review of
Treatment and a Practical Perspective. J Ocul Pharmacol Ther. 2017 Mar
29;33(4):240–6.
14. Hau SC, Devarajan K, Ang M. Anterior Segment Optical Coherence Tomography
Angiography and Optical Coherence Tomography in the Evaluation of Episcleritis and
Scleritis. Ocul Immunol Inflamm. 2019 Nov 12;1–8.
15. Wakefield D, Di Girolamo N, Thurau S. Anatomy and Pathogenesis of Scleritis. In:
Pavesio C, editor. Scleritis. Cham: Springer International Publishing; 2017. p. 1–17.
16. Shoughy SS, Jaroudi MO, Kozak I, et al. Optical Coherence Tomography in the
Diagnosis of Scleritis and Episcleritis. Am J Ophthalmol. 2015 Jun;159(6):1045-
1049.e1.
17. Majumder PD, Ali S, George A, et al. Clinical Profile of Scleritis in Children. Ocul
Immunol Inflamm. 2019 May 19;27(4):535–9
18. Oray M, Meese H, Foster CS. Diagnosis and management of non-infectious immune-
mediated scleritis: current status and future prospects. Expert Rev Clin Immunol. 2016
Aug 2;12(8):827–37.
19. Wakefield D, Di Girolamo N, Thurau S. Anatomy and Pathogenesis of Scleritis. In:
Pavesio C, editor. Scleritis. Cham: Springer International Publishing; 2017. p. 1–17.
(Essentials in Ophthalmology). http://link.springer.com/10.1007/978-3-319-49915-
4_1

26

Anda mungkin juga menyukai