Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

“KERATITIS”

DISUSUN OLEH:
Muhamad Ezar Beunghar (1102014161)

PEMBIMBING
dr.Surtiningsih, Sp.M

KEPANITERAAN DEPARTEMEN ILMU PANYAKIT MATA


RSUD ARJAWINANGUN, KABUPATEN CIREBON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 20 MARET – 29 APRIL 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Keratitis.”.
Penulisan dan penyusunan laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Penyakit Saraf RSUD Arjawinangun
Cirebon. Selain itu, bertujuan sebagai salah satu sumber pengetahuan bagi pembaca,
terutama pengetahuan ilmu penyakit mata.
Penulisan laporan ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak.
Maka dari itu, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesarbesarnya kepada:
1. dr. Surtiningsih Sp.M selaku pembimbing dalam Ilmu Penyakit Mata yang
telah memberikan bimbingan serta arahannya sehingga penyusunan laporan
kasust ini dapat terselesaikan.
2. Semua pihak terlibat dalam penulisan laporan kasus yang tidak bisa
disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan


laporan ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, baik sekarang maupun di hari yang akan datang. Aamiin.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.

Cirebon , 5 April 2023


BAB I

STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. K
Jenis Kelamin : Lak-laki
Umur : 49 tahun
Tempat, Tanggal Lahir : Cirebon, 13 Oktober 1973
Suku / Bangsa : Jawa
Pendidikan Terakhir : SMP
Alamat : Tenajar Kidul
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 3 April 2023

II. Anamnesis

Dilakukan secara Autoanamnesis di Poliklinik Mata RSUD Arjawinangun Kab.


Cirebon.

A. Keluhan

Utama : Mata kiri perih yang hilang timbul sejak 3 bulan SMRS
Tambahan : Perih disertai dengan rasa gatal, mata merah dan berair.

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang pasien laki-laki berusia 49 tahun beralamat di Tenajar Kidul datang


ke Polilinik Mata RSUD Arjawinangun pada tanggal 3 April 2023 dengan keluhan
utama mata kiri perih yang hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu.

Keluhan disertai dengan rasa gatal, berair dan merah pada mata kiri pasien.,
keluhan lain seperti demam disangkal. Sebelumnya pasien mengaku mata pasien
pernah terciprat tanah karena pekerjaan seorang pasien adalah petani. Riwayat operasi
dan penggunaan kacamata sebelumnya disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi : (-)
Diabetes Melitus : (-)
Riwayat Operasi : (-)
Riwayat Trauma :(+)

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi : (-)
Diabetes Melitus : (-)

III. STATUS GENERALIS

A. Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Tampak Sakit Ringan


Keasadaran : Composmentis
GCS : 15 (E4M6V5)
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
SpO2 : 100%
Suhu : 36,5O
B. Pemeriksaan fisik
KEPALA
Bentuk : Normocephal
Rambut : Warna hitam
Kulit kepala : Normal, massa (-)

KULIT
Warna sawo matang, petechiae (-)

MATA
Pemeriksaan OD OS

6/15
Visus 6/6

TIO Normal per palpasi Normal per palpasi


Edema (-) Edema (-)
Palpebra
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Konjungtiva Injeksi Konjungtiva (-)


Injeksi Konjungtiva (-)
Inkeksi Siliar (+)
Inkeksi Siliar (-)
Benda Asing (-)
Benda Asing (-)

Kornea
Jernih Keruh
Infiltrat (-) Infiltrat (+)

Bilik Mata Depan Hipopion (-) Hipopion (-)


Hivema (-) Hivema (-)
Iris Warna Coklat Warna Coklat
Sinekia (-) Sinekia (-)
Pupil Bulat, Diameter 3mm, Bulat, Diameter 3mm,
Refleks Cahaya (+) Refleks Cahaya (+)

Lensa Jernih Jernih


Vitreous Jernih Jernih
Fundus Fundus Refleks (+) Fundus Refleks (+)
Hirschberg Test Orthotropia Orthotropia
Gerakan bola mata Ke Segala Arah Ke Segala Arah

C. RESUME

Seorang pasien laki-laki berusia 49 tahun beralamat di Tenajar Kidul datang


ke Polilinik Mata RSUD Arjawinangun pada tanggal 3 April 2023 dengan keluhan
utama mata kiri perih yang hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu.
Keluhan disertai dengan rasa gatal (+) berair (+) dan merah (+) pada mata kiri
pasien. Sebelumnya pasien mengaku mata pasien pernah terciprat tanah karena
pekerjaan seorang pasien adalah petani.
Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan adanya Injeksi sillier (+) dan
infiltrate (+) pada mata kiri.

D. DIAGNOSIS KERJA
- Keratitis OS

E. DIAGNOSIS BANDING
- Keratokonjungtivitis OS
- Uveitis OS
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Fluoresence Test

G. PENATALAKSANAA

H. PROGNOSIS
- Quo ad Vitam : ad Bonam
- Quo ad Functionam : ad bonam
- Quo ad Sanactionam : Dubia ad Bonam
BAB II
TINJAUANPUSTAKA

I. ANATOMI DAN HISTOLOGI KORNEA


Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12
mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea
memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60
kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada
sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor
dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer
disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang
memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika
dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris
terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus
yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran
Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah
limbus.1,2
Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan selaput
bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel
kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata
merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat
mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin
maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden;
ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal
menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan
mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan.
Epitel memiliki daya regenerasi.1

1
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari epitel.
Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi.1
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan
tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar
1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea, pada
permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini
bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang
sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas
terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan
serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.1
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang
dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada
pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup dan
mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran Bowman. Juga
lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya dibandingkan dengan bagian-
bagian kornea yang lain.1
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal
antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari kornea
ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena
tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati
dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi
cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat
gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea)
dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari
kornea ditentukan oleh

2
epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini
maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea.1

Gambar 1. Anatomi dan histologi kornea

II. FISIOLOGI KORNEA


Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform,
avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi

3
relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan
oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih
penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh
lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan
edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya
menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel
telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan
hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor lain
dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan
keadaan dehidrasi.2
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya
agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah
sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali
kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi
oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.2
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan
seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di
permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera
mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan
sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama
bila letaknya di daerah pupil.2
III. KERATITIS
A. Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel
atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis
parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.3
B. Etiologi dan faktor pencetus
Penyebab keratitis bermacam-macam yaitu bakteri, virus dan jamur. Selain itu
penyebab lain yang merupakan faktor predisposes adalah kekeringan pada mata,

4
pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi
alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan
iritatif lain, trauma dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik .4
C. Tanda dan Gejala Umum
Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat
dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan keratitis.
Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut
(sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum
adalah1,4:
 Keluar air mata yang berlebihan
 Nyeri

 Penurunan tajam penglihatan


 Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
 Mata merah
 Sensitif terhadap cahaya
D. Klasifikasi
Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena :
yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan keratitis
profunda apabila mengenai lapisan stroma.
Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah1:
1. Keratitis punctata superfisialis
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh
sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus, keracunan obat topical, sinar
ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak.
2. Keratitis flikten
Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan
untuk menyerang kornea.
3. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimale
atau sel goblet yang berada di konjungtiva.
4. Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut juga
keratitis neuroparalitik.

5
5. Keratitis nummularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan
banyak didapatkan pada petani.
Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain adalah :
1. Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital
2. Keratitis sklerotikans.
E. Patofisiologi Gejala
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera
datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan
kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja
sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat
dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari
sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan
timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-
batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan
timbulah ulkus kornea.5
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea
baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior)
pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris,
yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada
ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya
dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal
pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda
diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea,

umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen.5

Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas
cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di
pusat.5
F. Diagnosa
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan
adanya riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang
umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat.

6
Keratitis akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh
sangat sakit dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari
gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena
mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit
bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi
imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit
ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus5,6.
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih
mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas lesi
epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian
biomikroskop (slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak
tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan
perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar yang
menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara ini.5
Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi
empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur.Hapusan dan kultur sering membantu
dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang terjadi di mata
dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak perlu
dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis. 6
Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu- satunya
cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat membantu sebagai
panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang tidak bagus dan untuk
mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang tidak perlu. Dalam
perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon klinisnya tidak bagus, kultur
dapat membantu meskipun keterlambatan dalam pemulihan patogen dapat terjadi.6
Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan
menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah
yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan
sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.6
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap
pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis

7
yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika
infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak terlibat.6
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit Lamp
atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk mengambil
sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan pembelahan
sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk histopatologi.
Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat waktu.6
IV. KERATITIS BAKTERIALIS
A. Definisi
Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Ciri-ciri khusus
keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal lengkap bisa terjadi
dalam 24 – 48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan
abses stroma, edema kornea dan inflamasi segmen anterior adalah karakteristik dari
penyakit ini.5
B.Etiologi
Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah
Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella, Enterobacter,
Serratia, and Proteus) dan golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis jamur
(terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi bakteri.4
Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi
dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri
oportunistik (mis., Streptococcus alfa-hemolyticus, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang
menimbulkan ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar perlahan dan
superficial.4,5
C. Patofisiologi
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak
dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi
proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba
atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi.

8
Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non
fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan
stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut
(terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma.6
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior,
menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hypopyon.
Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat
diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi
kornea.6
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinik dari keratitis bacterial yaitu4:
 Nyeri sedang - berat
 Fotofobia
 Blefarospasme
 Ulkus kornea , infiltrat
 Penglihatan terganggu
 Lakrimasi
 Sekret purulen

Gambar 2. Keratitis bacterial

9
1. Keratitis Pneumokokus
Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada
kornea yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus berbatas tegas
warna kelabu yang cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat infeksi ke
sentral kornea. Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi sementara
batas yang ditinggalkan mulai sembuh. (Efek merambat ini menimbulkan istilah "ulkus
serpiginosa akut".) Lapis superfisial kornea adalah yang pertama terlibat, kemudian
parenkim bagian dalam. Kornea sekitar ulkus sering bening. Biasanya ada hipopion.
Kerokan dari tepian depan ulkus kornea pneumokokus mengandung diplokokus
berbentuk-lancet gram-positif.5

2. Keratitis Pseudomonas
Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di tempat
epitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya. Lesi ini cenderung
cepat menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim protcolitik yang dihasilkan
organisme ini. Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh
kornea. Umumnya terdapat hipopion besar yang cenderung membesar dengan
berkembangnya ulkus. Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna hijau kebiruan. Ini akibat
pigmen yang dihasilkan organisme dan patognomonik untuk infeksi P aeruginosa.5
Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus kornea
Pseudomonas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan lensa kontak
lunak, terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang disebabkan organisme ini
bervariasi dari yang sangat jinak sampai yang menghancurkan. Organisme itu ditemukan
melekat pada permukaan lensa kontak lunak. Beberapa kasus dilaporkan setelah
penggunaan larutan florescein atau obat tetes mata yang terkontaminasi.5
3.Keratitis Streptokokus
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea (serpinginous).
Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang
menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena
eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia.

10
E. Terapi
Pengobatan antibiotik dapat diberikan pada keratitis bacterial dini. Biasanya
pengobatan dengan dasar berikut:
1. Untuk bakteri gram negatif: tobramisin, gentamicin dan polimiksin
2. Untuk bakteri gram positif : cefazoin, vancomycin dan basitrasin
3. Antibiotic spectrum luas seperti : ofloxacin, norfloxacin, dan pulymyxin4
F. Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan kornea,
dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan hilangnya
penglihatan.4,7
G. Prognosis
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah ini,
dan dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.
- Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis
- Luas dan lokasi ulkus kornea
- Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen7
V. KERATITIS VIRUS
1. Keratitis Herpes Simplek
A. Definisi
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling sering
ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan
adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada mata, virus
herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita keratitis herpes
simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga
hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.3
B. Manifestasi klinis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan ditandai
oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans,
bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat
unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-
pasien atopik. Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa

11
menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat dipakai
unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit kornea.
Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5
tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada
umur 40 tahun ke atas.4
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.
Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau
ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n.trigeminus, dan
ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir- akhir ini dibuktikan
bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks.
Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi
saluran nafas bagian atas, stres emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid,
renjatan anafilaksis, dan kondisi imunosupresi.5
Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun pertama,
dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan melaporkan angka
yang lebih besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh dalam kurun waktu 4
bulan setelah infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta mendapatkan angka kekambuhan
hanya 11,5% dalam kurun waktu 6 bulan pengamatan setelah penyembuhan. Perbedaan
angka-angka tersebut dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan.5
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa
kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua
jenis ini tidak dapat dibedakan.4
C. Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat
yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya
timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang
berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun
ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala infeksi herpes
rekurens.5

12
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,
berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai
terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster
oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak,
keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks
ringan adalah tidak adanya foto-fobia.3
D. Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial, profunda,
dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa
pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari
keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil
menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi
bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan
linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan
fluoresein memudahkan melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga
menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis
diferensial.5
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit
dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat
bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian
gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus.
Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik, menurun.
Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial ”blotchy”,
keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat
sementara dan sering menjadi dendritik khas dalam satu dua hari.5

13
Gambar 4. Lesi geografik
Gambar 3. Lesi dendritik

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes
zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang
dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.3
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi
HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan
umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk
lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah
lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan
uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis
disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai
bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan
vaskularisasi minimal.5
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering disertai
vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai
adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat
polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Penipisan dan
perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal.
Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi
bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar
adanya tanda – tanda khas herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan
dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan
adanya penyakit virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi
bakteri atau fungi sekunder.5

14
Gambar 5. Lesi dengan Wessely Gambar 6. Keratitis Diskiformis

E. Patogenesis
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel
epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang
menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk
merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting
diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya
sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya.
Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler,
sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV
pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara
imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak.5
F. Tatalaksana
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil efek
merusak akibat respon radang.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus
berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada
stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah
dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium
atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat
siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam

15
sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari
dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72 jam.
Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi
obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena
tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan
obat.4,6,7
2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif untuk
penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali menimbulkan
reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes mata
berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit
agresif (eczema herpeticum). Study multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk
pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang
dilaksanakan ( herpes eye disease study).4,6,7
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel
kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini
penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak.
Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan
risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid topikal karena
hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti virus secukupnya
untuk mengendalikan replikasi virus.4,7
3. Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan
setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul
karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah
penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari
penyakit stroma rekurens.4,7
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau
fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan

16
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft “petak”
lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan
dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan
transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk
pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simplek.4,7
4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga kasus
dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Setelah
denga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin
dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau
sinar UV dapat dihindari. Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat
dikurangi. Dan aspirin dapat diminum sebelum menstruasi.4,7
G. Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea.
Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala sisa.6
2. Keratitis Virus Varisela Zoster
Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan
rekuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering pada
zoster ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian kelopak.
Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan lebih jarang lagi
keratitis epithelial dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah dilaporkan keratitis
disciformis, dengan uveitis yang lamanya bervariasi.5
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic relatif
banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai dengan
status kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic dapat diperkirakan
timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi cabang-cabang Nervus
Nasosiliaris.5

17
Gambar 7. Keratitis Herpes Zoster pada cabang N Nasosiliaris

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel,
keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya
keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip
dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrate
sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit stroma dalam
dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-kadang timbul keratitis disciformis dan mirip
keratitis disciformis HSV. Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok
dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis
yang timbul cenderung menetap beberapa minggu sampai bulan, namun akhirnya
sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit VZV mata.5
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati
herpes zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis
oralnya adalah 800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya dimulai 72
jam setelah timbulnya kemerahan. Peranan antivirus topikal kurang meyakinkan.
Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengobati keratitis berat, uveitis, dan
glaukoma sekunder. Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini
mungkin diindikasikan untuk mengurangi insidensi dan hebatnya neuralgia paska herpes.
Namun demikian keadaan ini sembuh sendiri.5

18
VI. KERATITIS FUNGI
A. Etiologi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan
berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus
keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis
jamur. Beberapa spesies yang dapat menyebabkan keratitis jamur yaitu Aspergilus
fusarium, Cefalosporium, dan Candida albicans.4,7
B. Manifestasi Klinik
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur
dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-
agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut, respon
antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.4
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan
infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak
meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan
berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap
ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen
jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen
dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup
parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai dengan lesi berwarna putih kekuningan.6
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut4,7 :
1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2. Lesi satelit.
3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti
hifa di bawah endotel utuh.
4. Plak endotel.
5. Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
6. Formasi cincin sekeliling ulkus.
7. Lesi kornea yang indolen.

19
Gambar 8. Keratitis Aspergilus Gambar 9. Keratitis Candida

C. Diagnosa Laboratorik
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan
diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea
(sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop.
Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka
keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi
melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau
Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan
Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur
dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya
dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa.10
D. Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial
yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat, yang
utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi
bisa dibagi:
1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
2. Jamur berfilamen.
3. Ragi (yeast).
4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),
Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5%
(obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih).

20
Untuk golongan III : Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%,
Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 % .
Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.
Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan
juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis
anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan
antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler
pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral
dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri
atau virus. Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi
tidak berhasil, bahkan kadang- kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi
pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita
semua.6

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi
ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2010. h. 1-13
2. Paul dan John. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam Vaughhan dan Ashabury
Oftalmology Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC ; 2009. h. 1-27
3. Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. Dalam : Ilyas S. Ilmu
Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2010. H 147-78
4. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. 2nd
edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 115-60
5. Paul dan John. Kornea. Dalam Vaughhan dan Ashabury Oftalmology Umum.
Edisi 17. Jakarta : EGC ; 2009. h. 125-48
6. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D.
Manual of Ocular Diagnosis and Theraphy. 5 th edition. Philadelphia; Lippincott
Williams & Wilkins; 2002. p. 67-129
7. Schlote dkk. Pocket Atlas of Ophtalmology. Stuttgart ; thieme ; 2006. P. 96-101

22

Anda mungkin juga menyukai