Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG LAKI-LAKI 33 TAHUN DENGAN MATA KANAN


PTERIGIUM GRADE III DAN MATA KIRI PTERIGIUM GRADE I

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Senior


Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji kasus : Dr. dr. Fifin L. Rahmi MS, Sp.M(K)


Pembimbing : dr. Ratih Kusuma Astuti
Dibacakan oleh : Anggita Chandra O. 22010117220128
Dibacakan tanggal : 23 April 2019

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus Seorang Laki-Laki 33 Tahun dengan Mata Kanan Pterigium


Grade III dan Mata Kiri Pterigium Grade I

Penguji kasus : Dr. dr. Fifin L. Rahmi MS, Sp.M(K)


Pembimbing : dr. Ratih Kusuma Astuti
Dibacakan oleh : Anggita Chandra Oktaviani 22010117220128
Dibacakan tanggal : 23 April 2019
Diajukan guna memenuhi tugas kepaniteraan senior di bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Semarang, 23 April 2019

Penguji Kasus, Pembimbing,

Dr. dr. Fifin L. Rahmi MS, Sp.M(K) dr. Ratih Kusuma Astuti
LAPORAN KASUS BESAR
SEORANG LAKI-LAKI 33 TAHUN DENGAN MATA KANAN
PTERIGIUM GRADE III DAN MATA KIRI PTERIGIUM GRADE I

LAPORAN KASUS
Penguji kasus : Dr. dr. Fifin L. Rahmi MS, Sp.M(K)
Pembimbing : dr. Ratih Kusuma Astuti
Dibacakan oleh : Anggita Chandra Oktaviani 22010117220128
Dibacakan tanggal : 23 April 2019

I. PENDAHULUAN
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
interpalpebra bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke korena
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau didaerah kornea. Pterigium
mudah meradang dan bila terjadi iritasi, akan berwarna merah. Pterigium dapat
mengenai kedua mata.1
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan
diduga merupakan suatu neoplasma,radang, dan degenerasi.
Prevalensi pterigium penduduk semua umur menurut provinsi, menurut
RISKESDAS 2013 yaitu tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku
(18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai
prevalensi pterigium terendah, yaitu 3,7 %.2
Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan
mata iritatif, merah dan mungkin menimbulkan astigmat yang akan memberikan
keluhan gangguan penglihatan.
Pada laporan kasus ini akan dilaporkan seorang laki-laki 71 tahun dengan
mata kanan dan kiri pterigium grade 4 dengan katarak senilis imatur.

1
II. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. IAG
Umur : 33 tahun
Agama : Islam
Alamat : Gunung Raya No. 30 RT 001/RW 006 Pekanbaru
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan : Diploma
No.CM : C749995
III. ANAMNESIS

Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 16 April 2019 pukul 11.00 WIB
di RSUP Dr. Kariadi

Keluhan utama : daging tumbuh pada mata kanan dan kiri


Riwayat penyakit sekarang :
± 7 tahun yang lalu (2017), pasien merasa mata kanan mengganjal
seperti berpasir. Pasien melihat adanya daging tumbuh pada bagian putih
mata kanan sisi dekat hidung pasien saat bercermin. Mata kanan merah (-),
gatal (-), nrocos (-). Pasien belum pernah memeriksakan diri ke dokter,
karena menganggap akan sembuh sendiri.
+ 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan mata
kanan terasa mengganjal dan daging tumbuh pada mata kanannya semakin
melebar dan menutupi bagian hitam matanya. Pasien juga mengeluhkan
mata kanan mudah merah (-), gatal (-), nrocos (-), sekret (-).
Pasien bekerja sebagai pegawai swasta selama kurang lebih 7 tahun.
Sehari-hari pasien pergi ke tempat bekerja menggunakan sepeda motor,
sehingga sering terpapar angin dan sinar matahari. Karena pasien merasa
penyakitnya mulai mengganggu, pasien memeriksakan diri ke Poli mata RS
William Booth. Di sana pasien dikatakan ada daging yang tumbuh di mata
kanan dan kirinya. Mata kanan dan kiri merah (-), gatal (-), nrocos (-).

2
Pasien disarankan untuk menjalankan program operasi dan dirujuk ke
RSDK.
Riwayat penyakit dahulu :
 Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya
 Riwayat operasi mata sebelumnya disangkal
 Riwayat trauma pada mata sebelumnya disangkal
 Riwayat menggunakan kacamata disangkal
 Riwayat darah tinggi disangkal
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat merokok disangkal

Riwayat penyakit keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini
Riwayat sosial ekonomi :
Biaya pengobatan menggunakan BPJS

1. PEMERIKSAAN

PEMERIKSAAN FISIK
(tanggal 16 April 2019 pukul 11.00 WIB di RSUP Dr. Kariadi)
Status Pasien
Keadaan umum : baik
Kesadaran : composmentis
Tanda vital : TD : 110/80 mmHg Suhu : 36,7 oC
Nadi : 88 x/menit RR : 20x/menit
Pemeriksaan fisik : Kepala : mesosefal
Thoraks : Cor : tidak ada kelainan
Paru : tidak ada kelainan
Abdomen : tidak ada kelainan
Ekstremitas : tidak ada kelainan

3
Status Ophthalmologi
Mata Kanan Mata Kiri

Jaringan fibrovaskuler berbentuk Jaringan fibrovaskuler berbentuk

segitiga pada sisi nasal meluas segitiga pada sisi nasal meluas terbatas

melebihi limbus kornea mata kanan pada limbus kornea mata kiri

Mata Kanan Pemeriksaan Mata Kiri


6/6 VISUS 6/6
Tidak dilakukan pemeriksaan KOREKSI Tidak dilakukan pemeriksaan
Gerak bola mata bebas ke segala PARASE/PARALYSE Gerak bola mata bebas ke segala
arah arah
Trichiasis (-), Dischiasis (-) SUPERCILIA Trichiasis (-), Dischiasis (-)

4
Edema (-), Spasme (-), Eritema PALPEBRA SUPERIOR Edema (-), Spasme (-), Eritema (-),
(-), Entropion (-), Ektropion (-), Entropion (-), Ektropion (-),
Ptosis (-), Lagoftalmus (-) Ptosis (-), Lagoftalmus (-)
Edema (-), Eritema (-), Entropion PALPEBRA INFERIOR Edema (-), Eritema (-), Entropion
(-), Ektropion (-) (-), Ektropion (-)
Hiperemis (-), Sekret (-), CONJUNGTIVA BULBI Hiperemis (-) minimal, Sekret (-),
Jaringan fibrovaskuler berbentuk Jaringan fibrovaskuler berbentuk
segitiga pada sisi nasal meluas segitiga pada sisi nasal meluas
dengan puncak melebihi limbus dengan puncak terbatas pada
kornea. limbus kornea.
Tidak ada kelainan SCLERA Tidak ada kelainan
Jernih, Jaringan fibrovaskuler dari CORNEA Jernih, Jaringan fibrovaskuler dari
sisi nasal meluas melebihi limbus sisi nasal meluas kearah limbus
kornea kornea
Kedalaman cukup, CAMERA OCULI Kedalaman cukup,
Tyndall Effect (-) ANTERIOR Tyndall Effect (-)
Kripte (+), sinekia anterior (-), IRIS Kripte (+), sinekia anterior (-),
sinekia posterior (-), atrofi iris (-) sinekia posterior (-), atrofi iris (-)
Bulat, sentral regular, PUPIL Bulat, sentral regular,
d= 3mm, reflek pupil (+) normal d= 3mm, reflek pupil (+) normal
Jernih LENSA Jernih
Jernih CORPUS VITREUM Jernih
(+) cemerlang Fundus reflex (+) cemerlang
T (digital) normal TIO T (digital) normal

I. RESUME
Seorang laki-laki usia 33 tahun, dating ke poli RSUP Dr. Kariadi dengan
keluhan pada mata kanan dan kiri terasa mengganjal terdapat dan terdapat
jaringan fibrovaskuler (+) pada sisi nasal meluas ke arah kornea, mata hiperemis
(-), gatal (-), lakrimasi (-).Pasien bekerja sebagai pegawai swasta selama kurang
lebih 7 tahun. Sehari-hari pasien pergi ke tempat bekerja menggunakan sepeda

5
motor, sehingga sering terpapar sinar UV, angin dan debu. Pasien tidak pernah
sakit seperti ini dan tidak ada riwayat operasi pada mata kanan dan kiri.
Pemeriksaan Fisik : Status praesens dalam batas normal
Status Oftalmologi
Mata Kanan Pemeriksaan Mata Kiri
6/6 VISUS 6/6
Injeksi (-), Sekret (-), CONJUNGTIVA Injeksi (-), Sekret (-), Jaringan
Jaringan fibrovaskuler berbentuk BULBI fibrovaskuler berbentuk segitiga
segitiga pada sisi nasal meluas pada sisi nasal meluas dengan
dengan puncak ke arah kornea puncak ke arah kornea melewati
melewati margo pupil. margo pupil.
Jernih, Jaringan fibrovaskuler dari CORNEA Jernih, Jaringan fibrovaskuler dari
sisi nasal meluas melebihi limbus sisi nasal meluas kearah limbus
kornea kornea
Lensa jernih LENSA Lensa jernih

II. DIAGNOSIS BANDING


Mata kanan pterigium grade 3 dan mata kiri pterigium grade 1
Mata kanan kiri pseudopterigium
Mata kanan kiri pingekuela
III. DIAGNOSIS KERJA
Mata kanan pterigium grade 3 dan mata kiri pterigium grade 1
IV. TERAPI
- Cendo lyters 6x1 gtt mata kanan kiri
- Pro : Eksisi pterigium dalam lokal anastesi

V. EDUKASI
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa pada mata kanan dan
kiri terdapat daging tumbuh yang disebut pterigium dengan faktor risiko
paparan debu, asap, angin, ataupun sinar matahari jangka lama.

6
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga, bahwa akan diberikan terapi
simtomatik yaitu air mata buatan berupa obat tetes mata untuk
mengurangi kemerahan dan rasa tidak nyaman pada mata
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga, sebaiknya menghindari /
mengurangi paparan debu, asap, angin, dan sinar matahari serta
memakai kaca mata untuk mencegah kekambuhan dari penyakitnya
tersebut.
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga, mengenai derajat
pertumbuhan daging dan sebaiknya dilakukan operasi eksisi pterigium
dengan pertimbangan keluhan sudah dirasakan mengganggu aktivitas
sehari - hari pasien.
- Menjelaskan kepada pasien untuk kontrol kembali untuk memeriksakan
keluhan pasien.

VI. SARAN
- Pemantauan dan evaluasi perkembangan penyakit serta kemungkinan
komplikasi
- Mengusulkan rencana tindakan operasi eksisi pterigium sebagai terapi
definitif pterigium sesuai indikasi.

VII. PROGNOSIS
OD OS
Quo ad visam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
Quo ad sanam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
Quo ad vitam ad bonam
Quo ad cosmeticam ad bonam

7
VIII. DISKUSI

IX.1 ANATOMI KONJUNGTIVA DAN KORNEA

a. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).3,6
Konjungtiva menghubungkan bola mata dan kelopak mata. Dari
kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik di bagian
atas maupun bawah. Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi
kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.3,6
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian yaitu:
1) Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata, yaitu daerah dimana epidermis
bertransformasi menjadi konjungtiva. Secara fungsional, konjungtiva
palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui. 3,6
2) Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya. Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan
bersifat sangat translusen sehingga sklera di bawahnya dapat
divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera
melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke
segala arah. Pterygium terjadi pada konjungtiva bulbi yang mengalami
penumbuhan fibrovaskuler. 3,6,7
3) Konjungtiva Forniks
Konjungtiva forniks merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva forniks dapat bergerak
bebas bersama bola mata karena pelekatannya bersifat longgar.
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan

8
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya
membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh
limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profunda dan
bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus
limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
pertama (oftalmik) nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat
nyeri.7,8

Gambar 1: Anatomi Mata


b. Kornea
Kornea adalah salah satu media refrakta yang terdiri dari 5 lapisan,
yaitu:3
1) Epitel
 Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih.
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong
ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depnanya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barier.

9
2) Membran Bowman
 Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma
 Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3) Stroma
Terdiri atas lamela yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang
sampai 15 bulan.
4) Membran descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya,
bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40 µm.
5) Endotelium
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-
40 µm. Endotel melekat pada membran descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus dan saraf nasosiliar. Saraf ke V, saraf siliar longus berjalan
suprakoroid masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman
melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi
dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong
di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang
merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu
sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak
mempunyai daya regenerasi.3

10
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya. Pembiasan sinar
terkuat dilakukan oleh kornea, yaitu 40 dioptri dari 50 dioptri.3

Gambar 2 : Lapisan Kornea

IX.2 PTERIGIUM
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva

yang bersifat degenerative dan invasive. Pertumbuhan ini biasanya terletak

pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas

ke korena berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau didaerah

kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, akan berwarna

merah dapat mengenai kedua mata. 1

Epidemiologi
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian
dunia. Angka prevalensi pterygium lebih tinggi di daerah tropis dibanding
daerah lainnya. Peta distribusi pterygium dari Cameron secara geografis
memperlihatkan angka kejadian meningkat bila mendekati garis
khatulistiwa10. Hasil survei morbiditas oleh Departemen Kesehatan Republik

11
Indonesia pada tahun 1993–1996, melaporkan angka kejadian pterigium
sebesar 13,9% dan menempati urutan kedua penyakit mata di Indonesia4.
Di Indonesia dengan paparan sinar matahari risiko terjadi pterygium
meningkat 44x dibanding daerah non tropis. Prevalensi pretygium pada kedua
mata ditemui 3,2% dan salah satu mata 1,9%. Prevalensi terjadi nya sering
pada dewasa > 40 tahun sebesar 16,8% dengan laki laki 16,1% dan wanita
17,6%.4 Tingkat rekurensi pasca eksisi di Indonesia berkisar 35 % - 52 %,
terutama pada pasien berusia muda.5 Prevalensi pterigium penduduk semua
umur menurut provinsi, menurut RISKESDAS 2013 yaitu tertinggi
ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat
(17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium terendah,
yaitu 3,7 %.2

Etiologi dan Faktor Risiko 8


Etiologi nya tidak diketahui dengan jelas dan diduga suatu neoplasma
radang atau degenerasi. Diduga disebabkan iritasi yang terus menerus dari
angina, sinar matahari, udara yang panas dan debu.
Faktor risiko yang mempengaruhi pterigium antara lain faktor
lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan
tertentu di udara dan faktor herediter. Suatu penelitian epidemiologi di
Adelaide (Australia) menemukan faktor risiko terjadinya pterigium
berhubungan dengan umur, jenis kelamin (laki-laki), daerah tinggal (desa)
dan paparan sinar matahari. 4
1. Radiasi ultraviolet
Faktor risiko lingkungan merupakan faktor penting dalam timbulnya
pterigium, terutama paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet
menyebabkan perubahan histologi epitel, jaringan konjungtiva sub
mukosa dan destruksi sel stem akibatnya fungsi barrier limbus tidak ada
sehingga konjungtiva yang mengalami degenerasi dan inflamasi dapat
dengan mudah melewati korena dan membentuk jaringan pterygium di
daerah intrapalperbra bagian nasal.12

12
2. Iritasi oleh karena debu, trauma, asap, atau mata kering.
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau
perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru
patogenesis dari pterigium. Wong juga menunjukkan adanya pterigium
angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis
sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari
bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga dapat menjadi
penyebab dari pterigium.3
3. Faktor Genetik
Beberapa laporan kasus menyatakan bahwa sekelompok anggota
keluarga menderita pterigium dan berdasarkan penelitian case control
menunjukkan adanya riwayat keluarga dengan pterigium. Kejadian ini
kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.3
Klasifikasi Pterigium
Pterygium dibagi kedalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
derajat, progresifitas dan terlihat nya pembuluh darah pada sklera.
1.1.1 Berdasar tipe (penyebaran kearah kornea dan pelibatan visus)14
 Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau
deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala
pterigium. Lesi sering asimptomatis meskipun sering mengalami
inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat
mengalami keluhan lebih cepat.
 Tipe II : menutupi kornea sampai 4 mm, bisa primer atau rekuren
setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmatisma.
 Tipe III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis
visual. Lesi yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan
dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan
biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.
1.1.2 Berdasar derajat pertumbuhan pterygium menurut Youngson 15

13
1. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea.
3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam
keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4 : pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan

Gambar 3. Derajat Pterigium


A. Pterigium derajat 1, B. Pterigium derajat 2, C. pterigium derajat 3,
D. pterigium derajat 4
1.1.3 Berdasar progresifitas perjalanan penyakit
 Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat
di depan kepala pterygium (cap pterygium)
 Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya
menjadi membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
1.1.4 Berdasar terlihatnya pembuluh darah
 T1 (Atrofi) : pembuluh darah episklera jelas terlihat
 T2 (Intermediet) : pembuluh darah epsklera sebagian terlihat
 T3 (Fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas

1.2 Gambaran Klinis4, 8, 10


Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan
cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah

14
kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apeks dan ke
belakang disebut cap13. Subepitel cap atau halo timbul pada tengah apex dan
membentuk batas pinggir pterigium.

Gambar 4 : Bagian Pterigium


Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga
pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra.
Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala
pterigium (stoker's line).13 Pterygium lebih sering timbul dibagian nasal
daripada temporal. Apabila terjadi di sisi nasal dan temporal pada satu mata
disebut double pterygium. Bila terjadi pada kedua mata dapat terjadi
berbagai kombinasi namun lebih sering nasal-nasal daripada temporal-
temporal.

Gambar 5 : Pterigium
Pada tahap awal sering asimptomatik, biasanya hanya keluhan
kosmetik. Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus
sehingga menutupi sumbu penglihatan yang dapat menyebabkan
penglihatan kabur.
Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain :

15
- Mata terasa kering dan seperti berpasir
- Mata sering berair, tampak merah, seperti rasa terbakar, dan gatal
- Mengganggu penglihatan
 Pada pterigium yang lanjut, dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga visus juga menurun
 Timbul astigmatisma akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan
pterigium tersebut, biasanya astigmatisma “with the rule” ataupun
astigmatisma irregular.

1.3 Diagnosis Banding


1.6.1 Pinguekula
Pinguekula merupakan degenerasi hialin dari jaringan submukosa
konjungtiva. Bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan berbatasan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-
kadang mengalami inflamasi. Pembuluh darah tidak masuk ke pinguekula,
tetapi bila terjadi peradangan atau iritasi maka sekitar bercak degenerasi
akan terlihat pembuluh darah yang melebar.
Terapi tidak perlu dilakukan hanya jika inflamasi diberikan anti
radang. Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden
meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering terjadi pada
iklim sedang dan iklim tropis dengan angka kejadian sama pada laki-laki
dan wanita. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab
pinguekula.7,13

Gambar 6 : Pinguekula

16
1.6.2 Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan adanya jaringan parut fibrovaskular
yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Terjadi akibat inflamasi
permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis
sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Pseudopterygium
menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Untuk mengidentifikasi
pseudopterigium, cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan
muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium
pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterigium. Pada
pseudopterigium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body serta pada
pseudopterigium cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang
berbeda dengan true pterigium. Penanganan pseudopterygium adalah
dengan melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan
menutupi defek sklera dengan graft konjungtiva yang berasal dari aspek
temporal 7,13

Gambar 7 : Pseudopterigium

Tabel 1. Diagnosis Banding Pterigium


Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskuler konjungtiva konjungtiva bulbi
konjungtiva bulbi bulbi dengan kornea
berbentuk segitiga yang cacat
Warna Putih kekuningan Putih-kuning Putih kekuningan
keabu-abuan

17
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah
bagian nasal atau mata terutama konjungtiva yang
temporal yang bagian nasal terdekat dengan
meluas ke arah proses kornea
kornea sebelumnya
♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresifitas Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Ada
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
Diselipkan Diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau - pulau Tidak ada Tidak ada (tidak
Funchs (bercak ada head, cap, body)
kelabu)
Histopatologi Epitel ireguler dan Degenerasi Perlengketan
degenerasi hialin hialin jaringan
dalam stromanya submukosa
konjungtiva

1.4 Penatalaksanaan
 Konservatif
Pada pterygium ringan atau tanpa keluhan tatalaksananya terapi
konservatif dengan menghindari paparan UV, asap, debu dan terapi
simtomatis berupa obat tetes mata seperti lubrikasi, vasokonstriksi,
kortikosteroid untuk menghilangkan gejala terutaama pada derajat 1 dan 2.
Untuk mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan
kacamata pelindung ultraviolet. 1,13,16
 Definitif
Pterigium yang ukurannya lebih besar dari 3 mm dapat
menyebabkan astigmatisma, dan diperlukan intervensi untuk memperbaiki
visus. Pengobatan definitif pada pasien dengan pterigium grade IV adalah

18
dengan melakukan tindakan operasi eksisi. Menurut Bradly, indikasi
tindakan eksisi pada pterygium yaitu 1,13,16:
1. Penurunan visus akibat pterigium menutupi aksis visual atau akibat
pterigium menginduksi astigmat ireguler kornea
2. Deformitas bermakna secara kosmetik
3. Rasa tidak nyaman dan iritasi yang tidak membaik dengan terapi
konservatif
4. Gerak bola mata terbatas akibat restriksi
5. Terjadi pertumbuhan pterigium secara progresif ke arah aksis visual
yang memungkinkan terjadinya penurunan visus
Beberapa teknik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu 1,13,16 :
1. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan benang absorbable
digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi
tendon rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.
2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif
hanya jika defek konjungtiva sangat kecil).
3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap
konjungtiva digeser untuk menutupi defek.
4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk
lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva
superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian
dipindahkan dan dijahit.
6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren
pterigium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata
dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β pada
konjungtiva dan fibroblast pterigium. Pemberian mytomicin C dan
beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi
jarang digunakan.

1.8 Komplikasi

19
Komplikasi pterigium diantaranya distorsi dan penglihatan sentral
berkurang, merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva dan kornea dan skar
pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia. 17
Komplikasi post operasi meliputi infeksi, reaksi material jahitan,
diplopia, skar kornea dan graft konjungtiva. Komplikasi terbanyak adalah
rekurren pterigium post operasi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat
rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan
pertama setelah operasi akibat terjadinya reaktivasi proses inflamasi pada
area operasi. Jika setelah operasi limbus stem cell dan jaringan fibroblastik
tetap aktif, maka hal ini dapat meningkatkan proliferative cytokines and
growth factors (VEGF) yang menginduksi proliferasi fibrovaskuler.
Kenaikan síntesis metalloproteinase yang menghancurkan membran
Bowman dan kolagen stroma juga meningkatkan progress pterigium.17
Faktor predisposisi terjadinya rekurensi setelah operasi biasanya
diakibatkan oleh :17,18
1) Tidak semua tenon yang terkena dibersihkan
2) Terdapat sisa debris jaringan fibrotic di kornea dan limbus
3) Permukaan sklero-kornea kasar, dengan irregularitas
4) Tepi jahitan konjungtiva tegang
5) Limbus sklero-kornea terpapar, tidak tertutup oleh konjungtiva atau
membrane amnion
6) Terbukanya tepi konjungtiva bekas operasi
7) Reaksi inflamasi tidak terkontrol
8) Faktor individu dan lingkungan :
 Laki-laki usia dibawah 40 tahun
 Pasien Asia, Afrika Amerika dan Hispanic
 Adanya gen VEGF-460 (terkait dengan proliferasi vascular dan
pterigium)
 Paparan debu dan angina
 Sindroma mata kering

20
IX.3 KATARAK
ANATOMI LENSA
Lensa adalah salah satu media refrakta yang berstruktur bikonveks,
avaskular, tak berwarna, dan hampir transaparan sempurna. Lensa
menggantung pada zonula zinnii di belakang iris, yang menghubungkan
lensa dengan corpus ciliare. Di sebelah anterior lensa terdapat humor
aqueous, sedangkan di sebelah posterior terdapat vitreus.22
Lensa terdiri dari kapsul lensa anterior dan posterior, epitel
subkapsularis, korteks, dan nukleus. Kapsul lensa adalah suatu membran
semipermiabel yang dapat dilalui air dan elektrolit. Bagian depan lensa
terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada
korteksnya. Seiring dengan pertambahan usia, serat-serat lamelar subepitel
terus diproduksi sehingga lensa perlahan-lahan menjadi lebih besar dan
kurang elastis. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamellae konsentris yang
panjang. Garis-garis persambungan yang terbentuk dari penyambungan
tepi-tepi serat lamelar tampak seperti huruf Y dengan slitlamp. Huruf Y ini
tampak tegak di anterior dan terbalik di posterior. Masing-masing serat
lamelar mengandung sebuah inti gepeng yang apabila dilihat dengan
mikroskop inti tersebut tampak jelas terletak di perifer lensa dekat ekuator
dan berbatasan dengan lapisan epitel subkapsular.24

21
Gambar 1. Anatomi mata

Gambar 2. Lensa Mata

Fungsi utama lensa adalah memfokuskan sinar pada lensa.


Kerjasama fisiologis antara corpus ciliare, zonula zinnii, dan lensa
menyebabkan terfokusnya sinar yang dari obyek dekat pada retina yang
disebut akomodasi. Kemampuan akomodasi pada anak – anak sangat kuat
(pada bayi 14 Dioptri) dan berkurang seiiring dengan pertambahan usia
(pada usia lebih dari 60 tahun hampir tidak ada ).21

2.1 Katarak
Katarak atau kekeruhan lensa merupakan salah satu gangguan pada
lensa. Katarak berasal dari bahasa Yunani katarrahakies, Inggris cataract dan
Latin cataracta yang berarti air terjun. Jadi katarak dimaksudkan sebagai
penglihatan yang seperti tertutup air terjun.4Katarak paling banyak disebabkan
oleh penuaan, beberapa faktor lain dapat terlibat, termasuk trauma, toksin,
penyakit sistemik (diabetes mellitus), merokok, dan keturunan. Katarak dapat
terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau
terjadi akibat kedua-duanya. Sebagian besar kasus bersifat bilateral, walaupun
kecepatan perkembangan masing-masing jarang sama. Kekeruhan lensa
tersebut dapat menyebabkan lensa menjadi tidak transparan sehingga lensa

22
akan berwarna putih atau abu-abu. Kekeruhan ini dapat ditemukan pada
berbagai lokalisasi di lensa seperti pada korteks, nucleus, subkapsular.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien katarak meliputi pemeriksaan tajam
pengelihatan, slit lamp, funduskopi, serta tonometry bila memungkinkan.
Berdasarkan usia katarak dapat diklasifikasikan dalam: 21,22
1. Katarak kongenital (usia <1 tahun)
2. Katarak juvenile (usia >1 tahun)
3. Katarak senilis (usia >50 tahun)

Katarak Senilis
Katarak Senil dibagi menjadi empat stadium yaitu:22
 Insipien
 Imatur
 Matur
 Hipermatur.

Tabel 2. Perbedaan stadium katarak senilis 22


Gejala Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan lensa Ringan Sebagian Seluruh Massif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
(air masuk) (air+massa lensa keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Iris shadow Negative Positif Negatif Pseudopositif
COA Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut bilik mata Normal Sempit Normal Terbuka

Perubahan lensa yang terjadi pada usia lanjut :22


1. Kapsul lensa

23
 Menebal dan mengalami sklerosis sehinggakapsul lensa menjadi
kurang elastis dan daya akomodasi berkurang (presbiopia)
 Lamela kapsul berkurang atau kabur
 Terlihat bahan granular
2. Epitel lensa
 Makin tipis
 Sel epitel (germinatif) pada ekuator bertambah besar dan berat
 Bengkak dan vakuolisasi mitokondria yang nyata
3. Serat lensa
 Rusak dan menjadi lebih ireguler, terutama pada korteks
 Sinar UV semakin lama akan merusak protein nukleus (histidin,
triptofan, metionin, sistein dan tirosin) membentuk brown
sclerotic nucleus.
Penatalaksanaan Katarak
Terapi utama katarak adalah pembedahan yakni dengan Ekstraksi Katarak
Intra Kapsuler, fakoemulsifikasi ataupun Ekstraksi Katarak Ektra Kapsuler dengan
pemasangan IOL
Indikasi pembedahan pada katarak senilis : 22,24,25,26
1. Indikasi Optik
Merupakan indikasi terbanyak dari pembedahan katarak. Jika
penurunan dari tajam penglihatan pasien telah menurun hingga
mengganggu kegiatan sehari-hari, maka operasi katarak bisa dilakukan.
2. Indikasi Medis
Pada beberapa keadaan di bawah ini, katarak perlu dioperasi segera,
bahkan jika prognosis kembalinya penglihatan kurang baik :
- Katarak hipermatur
- Glaukoma sekunder
- Uveitis sekunder
- Dislokasi/Subluksasio lensa
- Benda asing intra-lentikuler
- Retinopati diabetika

24
- Ablasio retina
3. Indikasi Kosmetik
Jika penglihatan hilang sama sekali akibat kelainan retina atau nervus
optikus, namun kekeruhan katarak secara kosmetik tidak dapat diterima,
misalnya pada pasien muda, maka operasi katarak dapat dilakukan hanya
untuk membuat pupil tampak hitam meskipun pengelihatan tidak akan
kembali.

a. Terapi Pembedahan23,24:
1. Ekstraksi katarak ekstra kapsular (EKEK)
Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan dengan
merobek kapsul anterior, mengeluarkan nukleusdan korteks. Sebagian
kapsul anterior dan seluruh kapsul posterior ditinggal. Cara ini
umumnya dilakukan pada katarak dengan lensa mata yang sangat keruh
sehingga sulit dihancurkan dengan teknik fakoemulsifikasi. Dilakukan
pada tempat-tempat dimana teknologi fakoemulsifikasi tidak tersedia.
Teknik ini membutuhkan sayatan yang lebar, karena lensa harus
dikeluarkan dalam keadaan utuh. Lensa dikeluarkan, lensa buatan /
intraocular lens (IOL) dipasang untuk menggantikan lensa asli, tepat di
posisi semula. Lalu dilakukan penjahitan untuk menutup luka. Teknik
ini dihindari pada penderita dengan zonulla zinii yang rapuh. 21,22
 Keuntungan :
 Luka insisi lebih kecil (8-12 mm) dibanding EKIK sehingga
proses penyembuhan dapat berlangsung lebih cepat.
 Oleh karena kapsul posterior utuh maka :
o Mengurangi resiko hilangnya vitreus intra operasi
o Posisi anatomis yang lebih baik untuk pemasangan IOL
karena kapsul posterior ditinggal
o Mengurangi risiko glaukoma, ablasio retina, edema kornea,
perlengketan vitreus dengan iris dan kornea

25
o Menyediakan barier yang menahan pertukaran beberapa
molekul antara aqueous dan vitreus
o Menurunkan akses bakteri ke kavitas vitreus yang dapat
menyebabkan endofthalmitis.
 Kerugian :
Jika proses aspirasi tidak bersih dan proses absorpsi tidak sempurna,
maka sisa lensa yang tertinggal akan berproliferasi sehingga dapat
timbul katarak sekunder
2. Ekstraksi Katarak Intra Kapsuler (EKIK)
Teknik ini sudah jarang digunakan setelah adanya teknik EKEK.
Pada EKIK dilakukan pengangkatan seluruh lensa, termasuk kapsul
lensa. Pada teknik ini dilakukan sayatan 12-14 mm, lebih besar
dibandingkan dengan teknik EKEK. Dapat dilakukan pada zonula zinii
yang telah rapuh/ berdegenerasi (pada lensa yang luksasi).22
 Keuntungan :
 Tidak timbul katarak sekunder
 Diperlukan instrumen yang tidak terlalu canggih (lup operasi,
cryoprobe, forsep kapsul)
 Kerugian :
 Insisi yang lebih besar dapat mengakibatkan :
o Penyembuhan dan rehabilitasi visual tertunda
o Timbulnya astigmatisma yang signifikan
o Inkarserasi iris dan vitreus
 Lebih sering menimbulkan penyulit sepertiglaukoma, uveitis,
endolftalmitis.
3. Fakoemulsifikasi
Operasi fakoemulsifikasi, dengan menggunakan mikroskop
operasi, dilakukan sayatan yang sangat kecil (3 mm/ 2,75 mm) pada
kornea. Kemudian, melalui sayatan tersebut dimasukkan sebuah pipa
melewati COA-pupil-kapsul lensa. pipa tersebut akan bergetar dan
mengeluarkan gelombang ultrasonik yang akan menghancurkan lensa

26
mata. Saat yang sama, melalui pipa ini dialirkan cairan garam fisiologis
atau cairan lain sebagai irigasi untuk membersihkan kepingan lensa.
Melalui pipa tersebut cairan diaspirasi bersama sisa-sisa lensa.23
Teknik ini menghasilkan insidensi komplikasi luka yang lebih
rendah, proses penyembuhan dan rehabilitasi visual lebih cepat. Teknik
ini membuat sistem yang relatif tertutup sepanjang fakoemulsifikasi dan
aspirasi, oleh karenanya mengontrol kedalaman COA sehingga
meminimalkan risiko prolaps vitreus.23
4. SICS (Small Incision Cataract Surgery)
Oerasi katarak dengan sayatan kecil sehingga waktu pemulihannya
lebih cepat dibandingkan EKIK dan EKEK
b. Persiapan operasi :
1. Status oftalmologik
 Tidak dijumpai tanda-tanda infeksi (cek sekret mata dengan
pengecatan Gram)
 Tekanan intraokuler normal (cek dengan tonometer Schiotz)
 Saluran air mata lancar
2. Keadaan umum/sistemik
 Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin, waktu pembekuan,
waktu perdarahan, kadar gula darah dalam batas normal
 Tanda vital dalam batas normal
 Pada penderita DM atau hipertensi, keadaan penyakit tersebut
harus terkontrol.
c. Perawatan pasca operasi :
1. Mata dibebat
2. Diberikan tetes antibiotika dengan kombinasi antiinflamasi
3. Tidak boleh mengangkat benda berat ±6 bulan
4. Kontrol teratur untuk evaluasi luka operasi
5. Bila tanpa pemasangan IOL, maka mata yang tidak mempunyai
lensa lagi (afakia) visusnya 1/60, sehingga perlu dikoreksi dengan
lensa S +10D untuk melihat jauh. Koreksi ini diberikan 3 bulan

27
pasca operasi. Sedangkan untuk melihat dekat perlu diberikan
kacamata S +3D.
d. Komplikasi operasi :
 Durante operasi :
Ruptur kapsula posterior, subchoroidal bleeding, prolaps corpus
vitreum, prolaps iris
 Post operasi :
Astigmatisma, ablatio retina, katarak sekunder, endoftalmitis

2. ANALISIS KASUS

Pada laporan ini, pasien didiagnosis sebagai mata kanan pterigium grade 3
dan mata kiri pterigium grade 1 didapatkan sebagai berikut :
Anamnesis
Seorang laki-laki usia 33 tahun, dating ke poli RSUP Dr. Kariadi dengan
keluhan pada mata kanan dan kiri terasa mengganjal terdapat dan terdapat
jaringan fibrovaskuler (+) pada sisi nasal meluas ke arah kornea, mata
hiperemis (-), gatal (-), lakrimasi (-).Pasien bekerja sebagai pegawai swasta
selama kurang lebih 7 tahun. Sehari-hari pasien pergi ke tempat bekerja
menggunakan sepeda motor, sehingga sering terpapar sinar UV, angin dan
debu. Pasien tidak pernah sakit seperti ini dan tidak ada riwayat operasi pada
mata kanan dan kiri.
Pemeriksaan status oftalmologis
Pemeriksaan mata kanan didapatkan visus dasar 6/6 dan mata kiri
didapatkan visus dasar 6/6. Pada pemeriksaaan konjungtiva bulbi dextra
didapatkan jaringan fibrovaskuler bentuk segitiga pada nasal meluas dengan
puncak melebihi limbus kornea, pada konjungtiva bulbi sinistra didapatkan
jaringan fibrovaskuler pada nasal meluas dengan puncak terbatas pada limbus
kornea.
Dalam kasus ini, pterigium yang dialami oleh penderita adalah
pterigium derajat 3 pada mata kanan dan pterygium serajat 1 pada mata kiri.

28
Pasien diberikan terapi simtomatis berupa Cendo Lyters Eye Drops
sebagai artificial tears 6x1 tetes sehari ODS untuk mengurangi rasa tidak
nyaman. Penderita pada kasus ini akan dilakukan operasi eksisi pterigium.
Pasien diberikan edukasi untuk sebisa mungkin menghindari paparan
debu, angin, sinar matahari dengan memakai kaca mata saat keluar rumah,
memakai tetes air mata buatan untuk mengurangi keluhan. Diberikan edukasi
mengenai penyakit dan indikasi tindakan operasi dilakukan sebagai terapi
definitif pterygium. Untuk tatalaksana katarak senilis imatur pada pasien ini
dapat dilakukan ekstraksi katarak setelah proses penyembuhan eksisi
pterigium selesai.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Liyas Sidsrta, Sri Wahyu Yulianti. Ilmu Penyakit Mata Ed.4. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2013
2. Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar.2013
3. Gazzard G, Saw S, Farook M, et al. Pterygium in Indonesia: Prevalence,
Severity and Risk Factors. London: Br J Ophthalmol; 2002.
4. PERDAMI. Panduan Manajemen Klinis. Jakarta: PP PERDAMI; 2006.
5. Vaughan DG, Taylor A, Paul R. Oftamologi Umum Ed.14. Jakarta: Widya
Medika; 2000.
6. Erry, Mulyani UA, Susilowati D. Distribusi dan karakteristik Pterigium di
Indonesia. 2011. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 1 Januari
2011: 84–8917
7. Hartono. Buku Saku Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. Yogyakarta: FK
UGM; 2007.
8. Chui JJY, Coroneo MT. Pterygium: Techniques and Technologies for Surgical
Success. JA H, editor. Thorofare, NJ: Slack Incorporated; 2012
9. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008.
10. Van Setten G, Aspiotis M, Blalock TD, Grotendorst G, Schultz G. Connective
tissue growth factor in pterygium: simultaneous presence with vascular
endothelial growth factor-possible contributing factor to conjunctival scarring.
Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol. 2003;241(2):135-9
11. Mary P. Coday, MD. Pterygium. Massachusetts Eye and Ear Infirmary, Harvard
Medical School: 2011. Available from: http:// www.djo.harvard.edu
12. Djajakusli S, Rukiah J, Jubaedi S, Noor S. the profile of tear mucin ayer and
impression cytology in pterigium patients. department of ophtalmology
hasanudin university. 2010.
13. Swastika AM, Inakawati S. Perbedaan Kekambuhan Paska Ekstirpasi Pterigium
Metode Bare Sclera Dengan Transpalantasi Limbal Stem Sel. Medical Faculty
of Diponegoro University. 2008; 1-18.
14. Evi emilia. pterigium. medical faculty of lampung university. 2014.

30
15. Stephen GW. Pterygium in Duane’s Clinical Ophthalmology. Vol 6.
Philadelphia: Lippincot William & Wilkin;2006
16. Kanskii JJ. Pterygium in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach.
Edisi ke-6. Edinburgh: Elsevier Butterworth-Heinemann; 2007.
17. Youngson RM. Recurrence of pterygium after excision. Brit J Ophthal. 1972;
56:120-5.
18. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. American Academy
of Ophthalmology:2010.
19. Jerome F, Roy Hampton. Pterygium: 2017. Available in:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
20. Anandam V. Management of Pterygium. AECS Illumination. 2015;15(1):1-11
21. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke empat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2011.
Halaman 74-80
22. Yorston D. Monitoring Cataract Surgical Outcomes: Computerised Systems.
Journal of Community Eye Health. 2002; 15:56-57
23. Vaughan DG, Taylor A, Paul R. Oftalmologi umum edisi 17. Jakarta; Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2008. Hal 116-128
24. Soekardi I., Hutahuruk, dan Johan A., Transisi Menuju Facoemulsifikasi Edisi
1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2004. Hal 46-50
25. James B, Chew C, Bron A. Lensa dan Katarak. Lectures Notes Oftalmologi
edisi ke-9. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2006. Hal. 76-84
26. Jakobiec FA, Principles and practice ofophthalmology Edisi 3. Philadelphia:
W.B. Saunders. 1994. Hal 561-682
27. Pollreisz A dan Schimidt-Erfuhth U. Diabetic Catarct – Pathogenesis,
Epidemiology, and Treatment. Hindawi Opthalmology Journal. 2010
April;66(4)256-57

31

Anda mungkin juga menyukai