Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG WANITA 60 TAHUN DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE II


(7 TAHUN) DENGAN KAKI DIABETIK WAGNER II, AZOTEMIA,
HIPERGLIKEMIA, BRONKOPNEUMONIA DAN ANEMIA SEDANG
NORMOSITIK NORMOKROMIK

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Senior Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:
Melinda Fiska
22010118220180

Dosen Pembimbing:
dr. Tania Tedjo Minuljo, Sp. PD, K-EMD

Residen Pembimbing:
dr. Adhytia

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Melinda Fiska


NIM : 2201018220180
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang
Judul Kasus : Seorang Wanita 60 Tahun Dengan Diabetes Mellitus
Tipe II (5 Tahun) Dengan Kaki Diabetik Wagner II,
Pembimbing : dr. Tania Tedjo Minuljo, Sp. PD, K-EMD
Residen pembimbing : dr. Adithya

Semarang, 06 Januari 2020


Residen Pembimbing, Pembimbing,

dr. Adithya dr. Tania Tedjo Minuljo,


Sp. PD, K-EMD
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telahmemberikan karunia-Nya, sehingga Laporan Kasus Besar dengan judul
“Seorang Wanita 60 Tahun Dengan Diabetes Mellitus Tipe II (7 Tahun) Dengan Kaki
Diabetik Wagner II, Azotemia, Hiperglikemia, Bronkopneumonia Dan Anemia
Sedang Normositik Normokromik” ini dapat penulis selesaikan.
Laporan kasus besar ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam
menempuh kepaniteraan senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Tania Tedjo Minuljo, Sp. PD, K-EMD, selaku dosen pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan yang berharga
2. dr. Adhytia selaku residen pembimbing dan residen Ilmu Penyakit Dalam
lainnya yang telah memberikan masukan-masukan, petunjuk, serta bantuan
dalam penyusunan tugas ini
3. Ny. SK beserta keluarga, atas keramahan dan keterbukaannya dalam kegiatan
penyusunan laporan
4. Keluarga dan Teman-teman Co-Ass dan semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan laporan kasus ini.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi yang
membutuhkan.

Semarang, 06 Januari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iv

BAB I LAPORAN KASUS ............................................................................. 1

1.1 IDENTITAS PENDERITA .........................................................................1

1.2 DATA SUBJEKTIF .................................................................................. 1

1.3 DATA OBJEKTIF .................................................................................... 4

1.4 DAFTAR ABNORMALITAS .................................................................. 14

1.5 ANALISIS SINTESIS .............................................................................. 15

1.6 RENCANA PEMECAHAN MASALAH ......................................................16

1.7 CATATAN PERKEMBANGAN ............................................................... 19

BAB II ALUR PIKIR .....................................................................................27

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................55


BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Ny. SK
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 60 tahun
Alamat : Peleburan, RT 04 RW 02, Kodia, Semarang Selatan,
Jawa Tengah
Pendidikan : Tamat SMTP
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Pernikahan : Janda
Bangsal : Rajawali 3A, RSUP dr. Kariadi
Masuk RS : 21 Januari 2020
No. CM : C800068
Debitur : JKN PBI

1.2 DATA SUBJEKTIF


Autoanamnesis dengan pasien dilakukan di Bangsal rajawali pada 23 Januari
2020 pukul 16.00
Keluhan Utama: Nyeri di kaki kiri
Riwayat Penyakit Sekarang:
Sejak ± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri di
kaki kiri. Nyeri diawali dengan bengkak, berwarna kemerahan, terasa panas dan
terdapat luka. Awalnya panjang luka hanya berukuran ± 2 cm akibat gesekan
kaki pasien dari gigitan serangga. Semakin lama luka semakin besar disertai
keluarnya cairan. Keluhan tersebut membuat pasien kesulitan berjalan.
Kemudian pasien memeriksakan diri ke Puskesmas dan dilakukan pemeriksaan
gula darah dan didapatkan hasil 360 mg/dL. Lalu pasien diberi obat metformin
500mg 2x1, glimepiride 4mg 1x1, chlorphenamine maleate 4mg 2x1, salep
bufacetine chloramphenicol dan luka dibersihkan dengan betadin dan diperban.
Setelah ± 1 minggu kemudian pasien mengeluhkan luka tidak kunjung
sembuh, makin melebar dan bernanah, nyeri (+) terus menerus, semakin sakit
saat digunakan berjalan, bengkak pada bagian luka, nyeri jika ditekan, demam
(+) nglemeng, suhu tidak diukur. Kemudian pasien datang sendiri ke UGD
RSUP Dr. Kariadi dan dilakukan pemeriksaan penunjang dan tatalaksana lebih
lanjut. Keluhan demam (+), batuk (-), mual (+), muntah (+), nyeri sendi (-),
nyeri saat berjalan (+), rasa kebas dan kesemutan (-), bengkak (+). Pasien juga
mengeluhkan kaki terasa lebih lemas daripada biasanya, sesak nafas (-), nyeri
dada (-), berdebar debar (-), nyeri perut (-), keringat dingin (-), pandangan mata
kabur (-/-), gatal-gatal di badan (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Pasien didiagnosis penyakit gula darah tinggi sejak 7 tahun yang lalu oleh
dokter puskesmas karena pasien merasa lemas, penurunan nafsu makan,
sering kencing, sering minum, dan mudah lelah. Pasien di cek gula darah,
namun pasien lupa hasil pemeriksaannya. Pasien mengonsumsi obat
glimepiride 4mg 1x1 dan Metformin 500mg 3x1. Pasien rutin meminum
obat
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat sakit ginjal (-)
 Riwayat sakit liver (-)
 Riwayat kolesterol tinggi (-)
 Riwayat penyakit asam urat (-)
 Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Riwayat keluarga dengan Kencing Manis (+) pada Ibu Kandung dan Kakak
Kandung
 Riwayat keluarga dengan Hipertensi (-)
 Riwayat keluarga dengan sakit jantung (-)
 Riwayat keluarga dengan penyakit stroke (-)
Riwayat Sosial Ekonomi:
Pasien adalah seorang wiraswasta namun sudah tidak aktif bekerja lagi
sejak sakit tahun 2018, suami pasien sudah meninggal, pasien memiliki 3 anak
yang sudah mandiri, biaya sehari hari ditanggung oleh adik kandung.
Pembiayaan pengobatan dengan JKN PBI. Kesan sosial ekonomi cukup.

1.3 DATA OBJEKTIF

PEMERIKSAAN FISIK PASIEN SAAT DI BANGSAL

Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 23 Januari 2020 di bangsal Rajawali 3A


pukul 16.00 WIB

 Keadaan Umum : Tampak lemas


 Kesadaran : Composmentis
 Tanda vital
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR : 22x/menit, regular
Suhu : 37,5oC (aksiler)
SpO2 : 99%
 Status Gizi
Berat badan : 54 kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT : 22,47 kg/m2
Kesan : Normal (Kriteria Asia – Pasifik)
 Kepala : Mesosefal, turgor dahi cukup.
 Kulit : Pucat (-), turgor kulit cukup, ikterik (-)
 Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
mata cowong (-/-) pupil isokor 3mm / 3mm
 Telinga : Discharge (-/-), bengkak (-), fistula (-), nyeri tekan
tragus (-/-)
 Hidung : Epistaksis (-), discharge (-/-), nafas cuping hidung (-/)
 Mulut : Stomatitis (-), sianosis (-), bibir kering (-), pucat (-),
atrofi papil lidah (-) hipertrofi ginggiva (-), faring
hiperemis (-)
 Leher : JVP R+2 cm, trakea di tengah, pembesaran kelenjar
getah bening leher (-/-), pembesaran tiroid (-)
 Thoraks : Bentuk normal, retraksi dinding dada (-), sela iga
melebar (-)
Paru :
Depan
I : Simetris saat statis dan dinamis
Pa : Stem fremitus kanan= kiri
Pe : Sonor pada seluruh lapangan paru
Au : SD Vesikuler (+/+), ST (-/-)

Belakang
I : Simetris saat statis dan dinamis
Pa : Stem fremitus kanan = kiri
Pe : Sonor di kedua lapangan paru
Au : SD Vesikuler (+/+), ST (-/-)

Jantung :
I : Ictus cordis tak tampak
Pa : Ictus cordis teraba di 2 cm lateral dari SIC VI linea midclavicularis
sinistra, pulsasi epigastrial (-), pulsasi parasternal (-), thrill (-),
sternal lift (-)
Pe : batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
batas kanan : SIC V linea parasternal dekstra
batas kiri : SIC VI 2 cm lateral linea midclavicula sinistra
pinggang jantung : datar
Au : Bunyi Jantung I-II murni, bising (-) gallop (-)
Abdomen :
I : cembung, skar (-), venektasi (-)
Au : bising usus (+) normal
Pe : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), Area Traube timpani
Pa : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas :

Ekstremitas : Superior Inferior


Oedem -/- -/+
Petekiae -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Ikterik -/- -/-
Nyeri sendi -/- -/-
Cappilary refill time <2 dtk /<2 dtk <2 dtk/>2 dtk
Status lokalis
Regio pedis sinistra
Inspeksi : bengkak (+), tampak hiperemis (+), pus (+)
Palsasi : teraba hangat (+), nyeri tekan (+), ROM sulit dinilai

Kriteris Pedis

Kriteria Hasil
Gangguan Perfusi Arteri dorsalis pedis tak teraba
Arteri tibialis posterior teraba
Ukuran (Extend) dalam Panjang ±100mm, lebar ±50 mm, dalam ± 10mm
mm dan dalamnya (Depth)
Infeksi Terdapat leukositosis dan azotemia
Hilang sensasi Sensibilitas (+)
Pemeriksaan Ankle-Brachial Index (ABI-test)
Tekanan darah lengan kanan : 120/70
Tekanan darah lengan kiri : 110/80
Tekanan darah tungkai kanan : 130/70 (tibialis posterior), 120/70 (dorsalis pedis)
Tekanan darah tungkai kiri : 80/40 (tibialis posterior), sulit dinilai (dorsalis pedis)
ABI kaki kanan: 𝑡𝑒𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑠𝑡𝑜𝑙𝑖𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑘𝑎𝑘𝑖 𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 (𝑡𝑖𝑏𝑖𝑎𝑙𝑖𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑑𝑜𝑟𝑠𝑎𝑙𝑖𝑠 𝑝𝑒𝑑𝑖𝑠)
𝑡𝑒𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑠𝑡𝑜𝑙𝑖𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑘𝑖𝑟𝑖)

ABI kaki kiri : 𝑡𝑒𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑠𝑡𝑜𝑙𝑖𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑘𝑎𝑘𝑖 𝑘iri (𝑡𝑖𝑏𝑖𝑎𝑙𝑖𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑑𝑜𝑟𝑠𝑎𝑙𝑖𝑠 𝑝𝑒𝑑𝑖𝑠)
𝑡𝑒𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑠𝑡𝑜𝑙𝑖𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑘𝑖𝑟𝑖)

ABI kanan : 1,08 (normal)


ABI kiri : 0,67 (abnormal-peripheral arterial disease)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN LABORATORIUM di RSDK (21 Januari 2020)

Nama Hasil Nilai Rujukan Satuan Keterangan


Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hematologi Paket
Hemoglobin 12.9 11.7-15.5 gr/dl
Hematokrit 38.9 32-62 %
Eritrosit 4.57 4.4-5.9 10^6/Ul
MCH 28.2 27-32 Pg
MCV 85.1 76-96 fL
MCHC 33.2 29-36 g/dl
Leukosit 17.9 3.6-11 10^3/Ul H
Trombosit 344 150-400 10^3/Ul
RDW 12.5 11.6-14.8 %
MPV 10.4 4.00-11.00 fL
KIMIA KLINIK
Glukosa 310 80-160 mg/dl H
Sewaktu
HbA1c 12.1 6.0-8.0 % H
SGOT 23 15-34 U/L
SGPT 23 15-60 U/L
Albumin 4.1 3.4-5.0 g/dl
Ureum 28 15-39 mg/dl
Kreatinin 1.0 0,6-1,3 mg/dl
Elektrolit
Natrium 133 136-145 mmol/L L
Kalium 4.1 3.5-5.0 mmol/L
Chlorida 101 95-105 mmol/L
PEMERIKSAAN LABORATORIUM (23 Januari 2020)

Nama Hasil Nilai Rujukan Satuan Keterangan


Pemeriksaan
KIMIA KLINIK
Glukosa Puasa 72 80-109 : Baik; mg/dl L
110-125 :
Sedang;
>=126 : Buruk;
GDP terganggu
bila
110<=GDP<126
dan GTT 2 jam
< 140
Glukosa PP 2 159 80-140 : Baik mg/dl H
jam 145-179 :
Sedang
>=180 : Buruk
HbA1c 11.5 6.0-8.0 % H
Cholesterol 183 <200 mg/dl
Total
Trigliserid 226 <150 mg/dl H
HDL 10 40-60 mg/dl L
Cholesterol
LDL Direk 99 0-100 mg/dl
Asam Urat 3.5 2.6-6.0 mg/dl

?
Bakteri 12.9 0-100 /uL BAKTERI
POSITIF
Sperma 0.0 0.00-3.00 /uL
Kepekatan 22.7 3-27 Ms/cm
PEMERIKSAAN EKG (21 Januari 2020)

PEMERIKSAAN HASIL

Irama Sinus

Frekuensi 78 x/menit

Axis Normoaxis

Gelombang P 0,08 detik P Pulmonal (-) P mitral (-)

PR interval 0,16 detik

QRS complex 0,08 detik

Q patologis -

Segmen ST ST depresi (-)

Gelombang T T Inverted (+) di lead III, V1, V2, Tall peak t (-)

R/S di V1 <1, S di V1/V2 + R di V5/V6 < 35

Kesan Sinus rhythm, non specific ST-T changes


PEMERIKSAAN X-FOTO THORAX AP SEMIERECT (22 Januari 2020)

COR : Bentuk dan letak jantung normal


Retrocardiac dan retrosternal space tak menyempit
Pulmo : Corakan vascular tampak meningkat
Tampak bercak pada lapangan tengah bawah paru kanan
Tampak penebalan hilus kanan, cenderung vascular
Hemidiafragma kanan setinggi costa 9 posterior
Sinus costofrenikus kanan kiri lancip
KESAN :
Cor tak membesar
Gambaran bronkopneumonia

X FOTO PEDIS KIRI AP – OBLIQUE DI RSDK (22 Januari 2020)

- Struktur tulang tampak baik


- Tampak lesi litik pada aspek anteromedial os talus kiri dan lesi litik
anteroinferior os calcaneus kiri
- Tak tampak diskontinuitas pada ossa pedis dan distal os tibia dan os fibula kiri
- Tak tampak dislokasi pada proksimal dan distal interphalang joint,
metatarsophalangeal joint, tarsometatarsal joint, tarsalia joint, maupun ankle
joint kiri
- Tampak sof tissue swelling pada regio ankle kiri
- Tak tampak lusensi soft tissue
KESAN :
Lesi litik pada aspek anteromedial os talus kiri dan lesi litik anteroinferior os calcaneus
kiri, curiga osteomyelitis
Soft tissue swelling pada regio ankle kiri

X FOTO ANKLE JOINT KIRI AP – LATERAL DI RSDK (22 Januari 2020)

- Struktur tulang tampak baik


- Tak tampak diskontinuitas pada distal os tibia, os fibula, dan ossa pedis yang
tervisualisasi
- Tampak lesi litik anteroinferior os calcaneus kiri dan aspek medial os talus kiri
- Tampak osteofit pada aspek posterosuperior dan posteroinferior os calcaneus
kiri
- Tak tampak dislokasi maupun subluksasi pada ankle joint kiri
- Tampak soft tissue swelling region ankle kiri
- Tak tampak lusensi soft tissue
KESAN :
Lesi litik anteroinferior os calcaneus kiri dan aspek medial os talus kiri, curiga
osteomtelitis
Soft tissue swelling pada region ankle kiri
Spur pada aspek posterosuperior dan posteroinferior os calcaneus kiri

1.4 DAFTAR ABNORMALITAS


1. Nyeri kaki kiri
2. Luka di kaki kiri
3. Bengkak
4. Tampak hiperemis (+)
5. Pus (+)
6. Teraba hangat (+)
7. Nyeri tekan (+)
8. Demam (+)
9. Mual (+)
10. Muntah (+)
11. Riwayat Diabetes Mellitus sejak tahun 2013
12. Riwayat Diabetes Mellitus pada keluarga (+)
13. Conjungtiva Palpepra Pucat (+/+)
14. Glukosa Darah Sewaktu IGD : 349
15. Glukosa Darah Sewaktu di Ruangan : 310
16. Leukositosis : 17.900
17. Natrium : 8.4
18. HbA1c : 11.5
19. Trigliserid : 226
20. HDL Cholesterol : 10
21. Bakteri positif
22. X Foto Thorax : gambaran bronkopneumonia
23. X Foto Pedis Sinista : osteomyelitis
24. X Foto Ankle Joint Sinistra : osteomyelitis
1.5 ANALISIS SINTESIS

No Abnormalitas Masalah Aktif

1 6,8, 9,10 DM tipe 2, 7 th, hiperglikemia

1, 2, 3, 4,5, 7, 14 Diabetic foot pedis sinistra wagner


2
II

3 Dislipidemia

4 Hiponatremi

5 Bronkopneumonia

6 Osteomyelitis

1.6 RENCANA PEMECAHAN MASALAH


Problem 1. DM tipe II dengan hiperglikemi
 Assessment :
- Status glikemik
- Komplikasi = Mikroangiopati : Nefropati DM, Retinopati DM,
Neuropati DM
Makroangiopati : Cardiovascular Disease
Coronary Arterie Disease
Peripheral Artery Disease
- Faktor PJI lain = Dislipdemia, Hiperurisemia
 Ip Dx : Urin rutin, USG abdomen, funduskopi, profil lipid,
asam urat, ABI test, Monofilament test
 Ip Rx : SP insulin sesuai GDS/4 jam
GDS Insulin Infus D5 %
< 100 - Infus D5%
101-150 0.5 Infus NaCl 0,9% 20 tpm
151-200 1
201-250 2
251-300 3
301-350 4
>350 5
 Ip Mx : GDS/4 jam , urin output/24jam
 Ip Ex :
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga akan dilakukan pengecekan
gula berkala tiap 4 jam
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit diabetes
mellitus dan pentingnya mengkonsumsi obat diabetes untuk menjaga
kadar gula darah

Problem 2. Diabetic Foot Wagner Grade V


 Assessment : Etiologi kuman
Keadaan vaskular
 Ip Dx : Kultur dasar luka, arteriogram
 Ip Rx : Infus NaCl 0,9% 20 tpm
Inj ampicillin sulbactam 1,5 gr/8 jam
Clindamycin 300 mg / 8 jam PO
Inj ketorolac 30 mg / 8 jam
Rawat luka setiap hari (ganti perban)
Konsul TS Bedah
 Ip Mx : Penilaian ulkus dan tanda kerusakan vaskular
 Ip Ex :
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga akan dilakukan pemeriksaan
kultur dasar luka untuk mengetahui kuman penyebab penyakit
- Menjelaskan kepada pasien bahwa untuk terapi luka akan
dikonsultasikan dengan dokter bedah dan akan dilakukan perawatan
luka setiap hari

Problem 3. Dislipidemia

Problem 4. Bronkopneumonia
 Assessment : Infeksi banal
Infeksi spesific
 Ip Dx : Kultur sputum
 Ip Rx : Inj ampicillin sulbactam 1,5 gr/8 jam
 Ip Mx : KU, TTV dan keluhan batuk dan sesak
 Ip Ex : Menjelaskan kepada pasien bahkan akan dilakukan
pemeriksaan sputum untuk mengetahui kuman
penyebab penyakit pasien
CATATAN KEMAJUAN
Tanggal 24/9/2019 (pukul 16.00)

Problem 1. DM Tipe 2 dengan Hiperglikemia

Subjektif : Nyeri pada luka


Objektif : Kesadaran : composmentis
Tanda vital
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 37.0oC
VAS :3
SpO2 : 98%

Hasil
Parameter Nilai Normal
24/09/19 25/09/19
GDS jam 392 549 80 – 109 mg/dl (baik)
07.00 110 – 125 mg/dl (sedang)
≥ 126 (buruk)
GDS jam High 308 80 – 109 mg/dl (baik)
12.00 110 – 125 mg/dl (sedang)
≥ 126 (buruk)
GDS jam 549 541 80 – 109 mg/dl (baik)
17.00 110 – 125 mg/dl (sedang)
≥ 126 (buruk)
GDS jam High High 80 – 109 mg/dl (baik)
22.00 110 – 125 mg/dl (sedang)
≥ 126 (buruk)
Evaluasi : Krisis Hiperglikemia : KAS, HHS
Plan :
Dx : Urin rutin, BGA
Rx : SP insulin sesuai GDS/4 jam
GDS Insulin Infus D5 %
< 100 - Infus D5%
101-150 0.5 Infus NaCl 0,9% 20 tpm
151-200 1
201-250 2
251-300 3
301-350 4
>350 5
Mx : KU, TTV, GDS/4 jam , urin output/24jam
Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa akan
dilakukan pengecekan gula darah setiap 4 jam untuk
memantau kadar gula darah pasien

Tanggal 25/9/ 2019 (pukul 14.00)


Problem 1. DM Tipe 2
Subjektif : Nyeri pada luka
Objektif : Kesadaran : composmentis
Tanda vital
TD : 135/80 mmHg
Nadi : 92 x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 37.0oC
VAS :3
SpO2 : 99%

Hasil
Parameter Nilai Normal
24/09/19 25/09/19
GDS jam 07.00 392 549 80 – 109 mg/dl (baik)
110 – 125 mg/dl (sedang)
≥ 126 (buruk)
GDS jam 12.00 High 308 80 – 109 mg/dl (baik)
110 – 125 mg/dl (sedang)
≥ 126 (buruk)
GDS jam 17.00 549 541 80 – 109 mg/dl (baik)
110 – 125 mg/dl (sedang)
≥ 126 (buruk)
GDS jam 22.00 High High 80 – 109 mg/dl (baik)
110 – 125 mg/dl (sedang)
≥ 126 (buruk)

Assesment :
Krisis Hiperglikemia : KAS, HHS
Plan :
Dx : Urin rutin, BGA
Rx : SP insulin sesuai GDS/4 jam
GDS Insulin Infus D5 %

< 100 - Infus D5%

101-150 0.5 Infus NaCl 0,9% 20 tpm

151-200 1
201-250 2
251-300 3
301-350 4
>350 5
Mx : KU, TTV, GDS/4 jam , urin output/24jam
Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa akan
dilakukan pengecekan Gula darah setiap 4 jam untuk
memantau kadar gula darah pasien
Problem 4.Hiperkalemia
Subjektif : Nyeri pada luka
Objektif : Kesadaran : composmentis
Tanda vital
TD : 135/80 mmHg
Nadi : 92 x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 37.0oC
VAS :3
SpO2 : 99%

Laboratorium (25/9/19)
Nama Hasil Nilai Satuan Keterangan
Pemeriksaan Rujukan
ELEKTROLIT
Natrium 128 136-145 mmol/L L
Kalium 5.8 3.5-5.1 mmol/L H
Chlorida 98 98-107 mmol/L

Assesment : Hiperkalemia perbaikan


Plan :
 Dx : Elektrolit Urine
 Rx : Kalitake I sachet/8 jam/PO
 Mx : Cek elektrolit post koreksi, monitoring EKG
 Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga akan
dilakukan pemeriksaan ulang elektrolit darah
Problem 5. Anemia Normositik Normokromik
Subjektif : Nyeri pada luka
Objektif : Kesadaran : composmentis
Tanda vital
TD : 135/80 mmHg
Nadi : 92 x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 37.0oC
VAS :3
SpO2 : 99%

Laboratorium (25/9/19)
Nama Hasil Nilai Satuan Keterangan
Pemeriksaan Rujukan
HEMATOLOGI
Hematologi Paket
Hemoglobin 8.8 12.00-15.00 gr/dl L
Hematokrit 28.3 35-47 % L
Eritrosit 3.39 4.4-5.9 10^6/Ul L
MCH 26 27.00-32.00 Pg L
MCV 83.5 76-96 fL
MCHC 31.1 29.00-36.00 g/dl
Leukosit 21.9 3.6-11 10^3/Ul H
Trombosit 615 150-400 10^3/Ul H
RDW 17.7 11.60-14.80 % H
MPV 9.8 4.00-11.00 fL

Assessment : Anemia penyakit kronik (sekunder problem 2)


Anemia perdarahan
(Perbaikan Hb)
Dx : Retikulosit
Rx : Transfusi PRC 2 kolf masuk 1 kolf/12 jam, premed inj
diphenhidramin 1 amp iv
Mx : Cek DR post transfusi, reaksi transfusi
Ex : Menjelaskan kepada pasien mengalami anemia mungkin
diakibatkan penyakit yang diderita
Tanggal 26/9/2019 (pukul 14.00)

Subjektif : Nyeri pada luka


Objektif : Kesadaran : composmentis
Tanda vital
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 37.4oC
VAS :3
SpO2 : 99%

Pemeriksaan Laboratorium 26/9/2019

KIMIA KLINIK
Ureum 177 15-39 mg/dl H
Kreatinin 4.9 0,6-1,3 mg/dl H

Assesment : Diabetes Melitus tipe 2


Krisis Hiperglikemia
CKD stage V+syndrome uremia
Hiperkalemia perbaikan
Anemia Sedang Normositik Normokromik
Bronkopneumonia
Pasien pulang atas permintaan sendiri

Rawat Bersama Bagian Bedah


Problem 2. Diabetic Foot Wagner V
Subjektif : Nyeri pada luka
Objektif : Kesadaran : composmentis
Tanda vital
TD : 135/80 mmHg
Nadi : 92 x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 37.0oC
VAS :3
SpO2 : 99%

Assesment : Diabetic Foot Wagner V


Plan :
Dx : Kultur dasar luka, arteriogram
Rx : Rawat luka lembab dan kering
Rencana debridement k/p amputasi Pasien menolak
Mx : KU, TTV, keluhan nyeri
Ex : Mengedukasikan kepada pasien dan keluarga bahwa akan
dilakukan tindakan operasi untuk mengangkat jaringan yang
mati

BAB II
ALUR PIKIR
Alur Keterkaitan Masalah

Seorang perempuan 48 tahun datang dengan keluhan nyeri di kaki kiri. Nyeri
diawali dengan bengkak, berwarna kemerahan, terasa panas dan terdapat luka. Tidak
ada hal yang memperingan dan memperberat nyeri. Karena sakit pasien hanya
berbaring di tempat tidur dan tidak melakukan aktivitas. Pasien memiliki riwayat
penyakit DM sejak tahun 2014 dan mengkonsumsi obat Metformin dan Acarbosa.
Pasien tidak rutin meminum obat. Pasien memiliki riwayat amputasi jari tengah kaki
kanan pada tahun 2014 dan amputasi jempol kaki kiri pada September 2019.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan IMT pasien 26,7 kg/m2, konjungtiva palpebra
pucat (+/+). Batas kiri jantung berada pada SIC VI 2 cm lateral linea midclavicula
sinistra dan pinggang jantung datar. Pemeriksaan ekstremitas di Regio pedis sinistra
ditemukan kaki bengkak (+), tampak menghitam (+), pus (+),tampak deformitas (+),
amputasi digiti I (+), teraba hangat (+), nyeri tekan (+), ROM sulit dinilai

HbA1c: Hb 8,1 Ur : Leukositosis:


8,6% 133 Kalium : 30.600 X foto pedis
8,3 :Osteomyelitis
Cr : 7.3 X fotothorax :
MCV:
GDS : high infiltrate paru
27.6
Azotemia
MCH:
Bronkopneumonia
80.4
Anemia Hiperkalemia Diabetic Foot
Normositik Wagner V
Normokromik
DM Tipe 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

2.1 Diabetes Mellitus


Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya.1 Pada kondisi fisiologis, konsentrasi glukosa
plasma dipertahankan dalam rentang yang sempit melalui interaksi yang dinamis
antara sensitivitas jaringan terhadap insulin (di otot perifer dan hepar) sehingga
meskipun terjadi fluktuasi ketersediaan dan kebutuhan glukosa yang hebat, kadar
glukosa dalam darah tetap dalam batas normal. Pada diabetes tipe 2 mekanisme
ini rusak, dengan dua defek patologis utama pada diabetes tipe 2 adalah gangguan
sekresi insulin melalui disfungsi sel β pankreas dan gangguan kerja insulin
melalui resistensi insulin.2
Homeostasis glukosa darah bermula dari pankreas. Pankreas merupakan
organ eksokrin (mensekresi enzim) dan endokrin (mensekresi hormon). Hormon-
hormon yang disekresi pankreas antara lain: glukagon oleh sel α, insulin oleh sel
β, polipeptida (PP) oleh sel γ, somatostatin oleh sel δ dan ghrelin oleh sel ε.
Glukagon meningkatkan kadar glukosa darah, sedangkan insulin menurunkan
kadar glukosa darah. Somatostatin menghambat baik glukagon maupun insulin,
sedangkan PP mengatur aktivitas sekresi eksokrin dan endokrin pankreas. Melalui
berbagai hormon, terutama glukagon dan insulin, pankreas mempertahankan
kadar glukosa darah dalam kisaran yang sangat sempit, yakni 4-6 mM. Keadaan
ini dicapai oleh kerja glukagon dan insulin yang berlawanan dan seimbang, yang
disebut sebagai homeostasis glukosa. Selama tidur atau di antara waktu makan,
ketika kadar glukosa darah rendah, glukagon dilepaskan dari sel-sel α untuk
memicu glikogenolisis hati. Selain itu, glukagon mendorong glukoneogenesis hati
dan ginjal untuk meningkatkan kadar glukosa darah endogen selama puasa
berkepanjangan. Sebaliknya, sekresi insulin dari sel-sel β dirangsang oleh
peningkatan kadar glukosa eksogen, seperti yang terjadi setelah makan. Setelah
menempel ke reseptor pada otot dan jaringan adiposa, insulin memungkinkan
uptake glukosa ke dalam jaringan ini dan karenanya menurunkan kadar glukosa
darah dengan mengeluarkan glukosa eksogen dari aliran darah. Selain itu, insulin
juga merangsang terjadinya glikogenesis, lipogenesis dan penggabungan asam
amino menjadi protein; dengan demikian, insulin adalah hormon anabolik,
berbeda dengan aktivitas katabolik glukagon.3
Patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2 diawali dengan resistensi
insulin pada otot dan liver, serta kegagalan sel beta pankreas. Selain otot, hepar,
dan sel beta pankreas, organ lain seperti jaringan lemak, gastrointestinal, sel alpha
pankreas, ginjal, dan otak juga ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2. Menurut PERKENI 2015, terdapat
delapan organ (ominous octet) penting yang berperan dalam pathogenesis DM,
yaitu:

Tabel 1. Patogenesis Diabetes Mellitus1

No. Organ Patogenesis Obat yang bekerja

1. Sel beta Kegagalan sel beta pankreas menyebabkan fungsi Sulfonilurea


pankreas sekresi insulin yang menurun.
Meglitinid

GLP-1 agonis

DPP-4 inhibitor

2. Liver Resistensi insulin memicu glukoneogenesis oleh Metformin


liver sehingga produksi glukosa pada keadaan (menekan proses
basal oleh liver (HGP/Hepatic Glucose
Production) meningkat. glukoneogenesis)

3. Otot Terjadi gangguan kinerja insulin yang multiple Metformin


pada intramioseluler akibat gangguan fosforilasi
Tiazolidindion
tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.

4. Sel lemak Resistensi sel lemak terhadap efek antilipolisis Tiazolidindion


insulin menyebabkan peningkatan proses lipolisis
dan kadar asam lemak bebas (FFA/Free Fatty
Acid) dalam plasma. Hal ini memicu proses
glukoneogenesis dan mencetuskan resistensi
insulin di liver & otot, serta mengganggu sekresi
insulin. Gangguan ini disebut lipotoxicity.

5. Usus  Glukosa yang ditelan memicu respon insulin  DPP-4


lebih besar dari glukosa intravena. Efek ini inhibitor
disebut efek inkretin dan diperankan oleh
hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide 1)
& GIP (glucose-dependent insulino-trophic
polypeptide/gastric inhibitory polypeptide).
Pada pasien DM tipe 2 terjadi defisiensi GLP
& resistensi terhadap GIP. Selain itu inkretin
segera dipecah oleh enzim DPP-4 sehingga
hanya bekerja selama beberapa menit.
 Enzim alfa-glukokinase memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap usus dan meningkatkan
glukosa darah setelah makan.

 Akarbosa
(menghambat
alfa-
glukokinase)
6. Sel alfa Sintesis glukagon oleh sel alfa pankreas GLP-1 agonis
meningkat, sehingga HGP (Hepatic Glucose
pankreas Production) dalam keadaan basal meningkat. DPP-4 inhibitor

Amylin

7. Ginjal Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa per SGLT-2 inhibitor
hari, di mana 90% glukosa terfiltrasi diserap (contoh:
kembali oleh SGLT-2 (Sodium Glucose co- dapaglifozin)
transporter) pada tubulus proksimal, dan 10%
sisanya diabsorbsi oleh SGLT-1 pada tubulus
asenden & desenden sehingga normalnya tidak
ada glukosa di urin. Pada pasien DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2.

8. Otak Insulin merupakan penekan nafsu makan yang GLP-1 agonis


kuat. Pada individu obes (DM maupun non-DM),
Amylin
terjadi resistensi insulin di otak sehingga asupan
makanan akan meningkat. Bromokriptin

Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2
Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 2016,
yaitu sebagai berikut:

Tabel 2. Klasifikasi Diabetes Mellitus1,4

Tipe I Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin


absolut:

1) Autoimun.

2) Idiopatik.

Tipe II Bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai


defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin

Tipe lain 1) Defek genetik fungsi sel beta

2) Defek genetik kerja insulin

3) Penyakit eksokrin pankreas

4) Endokrinopati

5) Karena obat/zat kimia

6) Infeksi: rubella kongenital, sitomegalovirus

7) Sebab imunologi yang jarang: antibodi insulin

8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM: Sindrom Down,


sindrom Klinefelter, sindrom Turner dan lain-lain

Gestasional

Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah


dengan pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.1
Menurut ADA 2014, diagnosis DM dapat dilakukan dengan kriteria glukosa
plasma, baik gula darah puasa (GDP), tes toleransi glukosa oral (TTGO), atau
kriteria HbA1C.4
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM seperti berikut:1
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Menurut PERKENI 2015, diagnosis DM dapat ditegakkan melalui empat
cara:
1. Keluhan klasik & pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa didefinisikan
sebagai tidak adanya pemasukan kalori selama paling sedikit 8 jam.
3. Pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
dengan 75 gram glukosa anhydrous dilarutkan dengan air.
4. HbA1C ≥ 6,5% dengan menggunakan metode High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).4
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, dapat
digolongkan ke dalam kelompok pre-diabetes yaitu TGT dan GDPT.
 TGT (toleransi glukosa terganggu): bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa <100 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam antara
140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
 GDPT (gula darah puasa terganggu): bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
 Bersama-sama didapatkan adanya GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes juga dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c (5,7-6,4%).
Tabel 3. Kadar Glukosa Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes4
HbA1c (%) Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam setelah
(mg/dL) TTGO (mg/dL)

Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200

Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199

Normal <5,7 <100 <140

Gambar 2. Langkah Diagnosis DM dan Gangguan Toleransi Glukosa

Pasien ini sudah dapat didiagnosis DM tipe 2 karena telah memiliki


riwayat menderita DM sejak 5 tahun lalu, tidak rutin kontrol dan tidak rutin
minum obat. Hiperglikemia terjadi karena peningkatan gluconeogenesis,
glikogenolisis, dan hambatan glucose uptake pada jaringan perifer. Pasien juga
telah dilakukan pemeriksaan penunjang saat pertama masuk IGD pada tanggal
22 September 2019, didapatkan kadar HbA1c 8,6 % dan glukosa sewaktu yaitu
315 mg/dl sehingga telah memenuhi kriteria diagnosis diabetes mellitus

Etiologi dan Faktor Risiko Diabetes Mellitus


Etiologi dari diabetes melitus merupakan hasil dari interaksi kompleks
antara faktor genetik dan lingkungan, dimana diabetes melitus akan muncul
ketika gaya hidup diabetogenik (seperti asupan kalori berlebih, penggunaan
kalori yang inadekuat, obesitas) dilakukan oleh seseorang dengan genotip yang
rentan terhadap diabetes mellitus.5
Faktor risiko diabetes melitus meliputi:
a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi:
1) Riwayat keluarga DM
Jika kedua orang tua DM maka risiko DM seseorang mencapai 40%.5
2) Ras/Etnik
Orang Asia memiliki risiko diabetes lebih tinggi pada tingkat kelebihan berat
badan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan orang Eropa.6
3) Usia > 45 tahun
4) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir > 4000 g atau riwayat pernah
menderita DM gestasional.5
b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi:
1) IMT ≥ 25 kg/m2
Berat badan berlebihan terutama obesitas sentral menjadi salah satu risiko
diabetes melitus. Faktor ini dapat dinilai salah satunya dengan BMI (Body
Mass Index)/IMT (Indeks massa tubuh) yaitu BMI lebih dari 25 menunjukkan
obesitas.
2) Kurangnya aktivitas fisik
Menurut ADA 2016, aktivitas fisik sedang seperti jalan sehat dapat
meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan lemak abdominal pada
anak-anak dan dewasa muda.
3) Hipertensi (>140/90 mmHg)
4) Dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan/atau trigliserida >250 mg/dl)
5) Diet tak sehat
Diet yang tidak seimbang, terutama berlebihnya asupan kalori dan
asupan lemak jenuh yang lebih tinggi daripada lemak tidak jenuh. Menurut
ADA 2016, tidak hanya konsumsi kolesterol dan lemak total saja yang
berpengaruh, tetapi juga jenis lemak yang dikonsumsi.4
Komplikasi Diabetes Mellitus
Komplikasi Akut
1. Hiperglikemia
Salah satu gangguan dari metabolisme glukosa adalah
hiperglikemia, yang didefinisikan sebagai gula darah >180 mg/dL yang
terjadi lebih dari 2 jam. Tidak seperti hipoglikemia, hiperglikemia akut
dapat terjadi tanpa tanda atau gejala klinis, meskipun begitu diabetic
ketoasidosis (DKA) atau hyperosmolar hyperglycemic state (HHS)
adalah hiperglikemi emergensi.1
a. Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton
(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan
terjadi peningkatan anion gap.1
Defisiensi insulin akan menyebabkan lipolisis sehingga kadar
asam lemak dalam darah meningkat, asam lemak bebas kemudian
diambil oleh hati yang selanjutnya dioksidasi menjadi badan-badan
keton (aseto asetat dan asam hidroksibutirat). Penimbunan badan
keton atau hiperketonemia akan menyebabkan asidosis metabolik.
b. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas
plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-),
anion gap normal atau sedikit meningkat.1
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah
<70 mg/dL. Penurunan kesadaran pada pasien diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia
paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin.
Tanda dan gejala hipoglikemia pada orang dewasa adalah sebagai
berikut.1

Tabel 4. Tanda dan gejala hipoglikemia pada orang dewasa1


Tanda Gejala

Autonomik Rasa lapar, berkeringat, gelisah, Pucat, takikardia, widened


paresthesia, palpitasi, tremulousness pulse-pressure

Neurogliko- Lemah, lesu, dizziness, pusing, confusion, Cortical-blindness,


penik perubahan sikap, gangguan kognitif, hipotermia, kejang, koma
pandangan kabur, diplopia

Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di
seluruh bagian tubuh (angiopati diabetik). Angiopati diabetik untuk memudahkan
dibagi menjadi dua yaitu makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati
(mikrovaskuler), yang tidak berarti bahwa satu sama lain saling terpisah dan tidak
terjadi sekaligus bersamaan. Komplikasi kronik DM yang sering terjadi adalah
sebagai berikut.1
1. Makroangiopati
 Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner.
 Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang
diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal nyeri saat aktivitas dan
berkurang saat istirahat (claudicatio intermitent), meskipun sering tanpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama
muncul.
 Pembuluh darah otak: Stroke iskemik atau stroke hemoragik
2. Mikroangiopati:
 Retinopati diabetik: Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan
mengurangi risiko dan memperlambat retinopati. Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati.

 Neuropati
- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,
berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus
kaki dan amputasi.
- Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri,
dan lebih terasa sakit di malam hari.
 Nefropati diabetik: Diabetes melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal
dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup
semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes melitus. Kendali glukosa dan
tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko atau memperlambat
progresivitas nefropati.12

Stadium Nefropati Diabetikum


Stadium 1 ( Perubahan Fungsional Dini )
 Hipertrofi ginjal
 Peningkatan daerah permukaan kapiler glomerular
 Peningkatan GFR

Stadium 2 ( Perubahan Struktur Dini )


 Penebalan membran basalis kapiler glomerulus
 GFR normal atau sedikit meningkat

Stadium 3 ( Nefropati Insipien)


 Mikroalbuminuria ( 30 – 300 mg /24 jam)
 Tekanan darah meningkat

Stadium 4 ( Nefropati Klinis atau Menetap)


 Proteinuria( >300 mg/24 jam)
 GFR menurun

Stadium 5 ( insufisiensi atau Gagal Ginjal Progresif)


 GFR menurun dengan cepat (-1 ml/ bulan)
 Ginjal kehilangan fungsinya setiap bulan hingga 3%

Pasien dengan diabetes mellitus seringkali terjadi gangguan elektrolit.


Gangguan ini banyak terjadi pada diabetes terdekompensasi seperti KAD dan HHS. DM
yang tidak terkontrol dapat menyebabkan hypovolemik dan hyponatremi yang
disebabkan oleh mekanisme osmotik diuresis. Keton menyebabkan kehilangan elektrolit
urin dan memperburuk pembuangan natrium ginjal.2
Tatalaksana Diabetes Mellitus
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.
1. Edukasi
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi
tingkat lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Primer yang meliputi:
 Materi tentang perjalanan penyakit DM.
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
 Penyulit DM dan risikonya.
 Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
 Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
 Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah
atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri
tidak tersedia).
 Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
 Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
 Pentingnya perawatan kaki.
 Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi:
 Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
 Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
 Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
 Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
 Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari sakit).
 Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM.
 Pemeliharaan/perawatan kaki.
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang
menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu
sendiri.
3. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2
apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan
latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu
selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar
latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa
darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu
dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan
sehari-hari atau aktivitas seharihari bukan termasuk dalam latihan jasmani
meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik dengan intensitas sedang (50- 70% denyut jantung maksimal) seperti:
jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung
maksimal dihitung dengan cara mengurangi angka 220 dengan usia pasien.
Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi yang
tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance
training (latihan beban) 2-3 kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter.
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan.
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi
golongan berikut:
Tabel 4. Profil Obat Anti Hiperglikemia Oral

b. Obat Antihiperglikemia Suntik


Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
o Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
o Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
o Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
o Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
o Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
o Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan
menengah (Premixed insulin)
c. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini.
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons
kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara
terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat
diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai,
terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral. Kombinasi obat
antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan pemberian insulin basal
(insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah harus
diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat
diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin
yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit.
Kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit)
apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah
mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan
prandial, sedangkan pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan
hati-hati.

Gambar 3. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 21


Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia
pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan. Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah
mengendalikan glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai
dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai
sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang) Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan HbA1c
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial
(mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah
prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) yang disuntikan 5-10 menit
sebelum makan atau insulin kerja pendek (short acting) yang disuntikkan 30 menit
sebelum makan.
Pasien ini sebelumnya mendapatkan kombinasi terapi Metformin dan
Acarbose. Metformin mempunyai efek mengurangi produksi glukosa
(gluconeogenesis) di hati dan memperbaiki ambilan glukosa di perifer. Sedangkan
Acarbose mempunyai efek menghambat alfa glukosidase sehingga memperlambat
absorbsi glukosa dalam usus. Namun saat ini pasien sudah tidak dapat diberikan
terapi tersebut karena mengalami krisis hiperglikemia (GDS: 315 mg/dL), GRF
<30 ml/menit/1,73 cm2 dan tidak mencapai target HbA1c yang ditargetkan
(HbA1c>7.0) sehingga saat ini pasien mendapatkan terapi insulin.
1.2 Kaki Diabetes
Kaki diabetik adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam
yang berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada tungkai
bawah, selain itu ada juga yang mendefinisikan sebagai kelainan tungkai kaki
bawah akibat diabetes melitus yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan
oleh gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan dan infeksi.1
Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetik yaitu klasifikasi oleh
Edmonds dari King’s College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi
Wagner, dan klasifikasi Texas. Yang umum digunakan adalah klasifikasi Wagner.
Gambar 3. Klasifikasi Wagner untuk kaki diabetic

Tabel 6. Infectious Diseases Society of America and International Working Group on


the Diabetic Foot Classifications of Diabetic Foot Infection
Kaki diabetik terjadi diawali dengan adanya hiperglikemia yang
menyebabkan gangguan saraf dan gangguan aliran darah.4
1. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah gangguan metabolisme syaraf sebagai akibat
dari hiperglikemia kronis. Tipe neuropati terbagi atas 3 (tiga) yaitu
a. Neuropati sensorik
Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan saraf
sensoris pertama kali mengenai serabut akson yang paling panjang, yang
menyebabkan distribusi stocking dan gloves. Kerusakan pada serabut saraf
tipe A akan menyebabkan kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan,
tekanan, vibrasi dan persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul
gejala seperti kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C berperan
dalam analisis sensasi nyeri dan suhu. Kerusakan pada saraf ini akan
menyebabkan kehilangan sensasi protektif. Ambang nyeri akan meningkat
dan menyebabkan trauma berulang pada kaki. Neuropati perifer dapat
dideteksi dengan hilangnya sensasi terhadap 10 g nylon monofilament pada
2-3 tempat pada kaki. Selain dengan 10 g nylon monofilament, dapat juga
menggunakan biothesiometer dan Tunning Fork untuk mengukur getaran.
b. Neuropati motorik
Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan
kerusakan motor end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang paling
sering terkena dan menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi
dari otot intraosseus menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-
phalangeal joint kehilangan stabilitas saat melangkah. Hal ini menyebabkan
gangguan distribusi tekanan kaki saat melangkah dan dapat menyebabkan
kallus pada bagian-bagian kaki dengan tekanan terbesar. Jaringan di bawah
kalus akan mengalami iskemia dan nekrosis yang selanjutnya akan
menyebabkan ulkus. Neuropati motorik menyebabkan kelainan anatomi kaki
berupa claw toe, hammer toe, dan lesi pada nervus peroneus lateral yang
menyebabkan foot drop. Neuropati motorik ini dapat diukur dengan
menggunakan pressure mat atau platform untuk mengukur tekanan pada
plantar kaki.
c. Neuropati otonom
Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang sehingga kaki
menjadi kering. Kaki yang kering sangat berisiko untuk pecah dan terbentuk
fisura pada kalus. Neuropati otonom juga menyebabkan gangguan pada saraf-
saraf yang mengontrol distribusi arteri-vena sehingga menimbulkan
arteriolar-venular shunting. Hal ini menyebabkan distribusi darah ke kaki
menurun sehingga terjadi iskemi pada kaki, keadaan ini mudah dikenali
dengan terlihatnya distensi vena-vena pada kaki.
2. Kelainan Vaskuler
Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi
makrovaskular dari diabetes melitus. Penyakit arteri perifer ini disebabkan
karena dinding arteri banyak menumpuk plaque yang terdiri dari deposit
platelet, sel-sel otot polos, lemak, kolesterol dan kalsium. PAP pada penderita
diabetes berbeda dari yang bukan diabetes melitus. PAP pada pasien diabetes
melitus terjadi lebih dini dan cepat mengalami perburukan. Pembuluh darah
yang sering terkena adalah arteri tibialis dan arteri peroneus serta
percabangannya. Risiko untuk terjadinya kelainan vaskuler pada penderita
diabetes adalah usia, lama menderita diabetes, genetik, merokok, hipertensi,
dislipidemia, hiperglikemia, obesitas.
3. Infeksi
Infeksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu superfisial dan lokal, selulitis dan
osteomyelitis. Infeksi akut pada penderita yang belum mendapatkan antibiotik
biasanya monomikrobial sedangkan pasien dengan ulkus kronis, gangrene
dan osteomyelitis bersifat polimikrobial. Kuman yang paling sering dijumpai
pada infeksi ringan adalah Staphylococcus Aereus dan streptococcal serta
isolation of Methycillin-resstant Staphyalococcus aereus (MRSA). Jika
penderita sudah mendapat antibiotik sebelumnya atau pada ulkus kronis,
biasanya dijumpai juga bakteri batang gram negatif (Enterobactericeae,
enterococcus, dan pseudomonas aeruginosa).
Gambar 4. Mekanisme Terjadinya Kaki Diabetik
Diagnosa kaki diabetes melitus dapat ditegakkan melalui beberapa tahap
pemeriksaan sebagai berikut:1,4,5
a. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga, meliputi :
1) Lama diabetes
2) Managemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet
3) Olahraga dan obat-obatan
4) Evaluasi dari jantung, ginjal dan mata
5) Alergi
6) Pola hidup
7) Medikasi terakhir
8) Kebiasaan merokok
9) Kebiasaan minum alcohol
Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki, pernah
terekspos dengan zat kimia, adanya kalus dan deformitas, gejala neuropati dan
gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian pernah adanya luka dan ulkus
meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan kedalaman, penampakan ulkus, temperatur
dan bau.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot yaitu status kulit seperti warna, turgor kulit,
pecah-pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; adanya kalus atau
bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti
sikap dan postur dari tungkai kaki; deformitas pada kaki membentuk claw
toe atau charcot joint; keterbatasan gerak sendi; tendon; cara berjalan; dan
kekuatan kaki.
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen ditambah
dengan tunning fork 128-Hz, pinprick sensation, reflek kaki untuk
mengukur getaran, tekanan dan sensasi.
3) Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi pada
arteri kaki, capillary refiling time, perubahan warna, atropi kulit dan kuku
dan pengukuran ankle brachial index.
4) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan nyaman,
tipe sepatu dan ukurannya.
c. Pemeriksaan laboratorium, yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah
puasa atau sewaktu, glycohemoglobin (HbA1c), Complete Blood Count (CBC),
urinalisis, dan lain- lain.
d. Pemeriksaan penunjang: X-ray, EMG (Electromyographi) dan pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui apakah kaki diabetik menjadi infeksi dan
menentukan kuman penyebabnya.
e. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk deteksi kaki diabetik adalah
dengan menilai Ankle Brachial Index (ABI) yaitu pemeriksaan sistolik brachial
tangan kiri dan kanan kemudian nilai sistolik yang paling tinggi dibandingkan
dengan nilai sistolik yang paling tinggi di tungkai. Nilai normalnya adalah O,9-
1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan bawah pasien penderita diabetes melitus
memiliki penyakit kaki diabetik dengan melihat gangguan aliran darah pada kaki.
Alat pemeriksaan yang digunakan ultrasonic doppler. Doppler dapat
dikombinasikan dengan manset pneumatic standar untuk mengukur tekanan darah
ekstremitas bawah. Pada pasien ini didapatkan skor ABI 1,03 (masih dalam batas
normal).
Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan sesegera mungkin.
Komponen penting dalam manajemen kaki diabetik dengan ulkus adalah:4,5
- Kendali metabolik : pengendalian keadaaan metabolik sebaik mungkin seperti
pengendalian glukosa darah, lipid, albumin, hemoglobin, dan sebagainya
- Kendali vascular : Perbaikan asupan vaskular ( dengan operasi atau angioplasty ),
biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.
- Kendali infeksi : Jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi harus diberikan pengobatan
infeksi secara agresif ( adanya kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil usap
namun tidak terdapat tanda klinis, bukan merupakan infeksi )
- Kendali luka : pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur.
Perawatan lokal pada luka, termasuk kontrol infeksi dengan konsep TIME
o Tissue debridement ( membersihkan luka dari jaringan mati )
o Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)
o Moisture balance ( Menjaga keseimbangan kelembaban )
o Epithelial edge advancement ( mendekatkan tepi epitel )
- Kendali tekanan ( pressure control ) : mengurangi tekanan pada kaki, karena
tekanan yang berulang dapat menyebabkan ulkus, sehingga harus dihindari.
- Penyuluhan mengenai perawatan kaki secara mandiri
Tabel 7. Edukasi Perawatan Kaki pada Pasien DM.
Tabel 8. Regimen pengobatan antibiotik empiris berdasarkan
Clinical severity diabetic infection12
Pada pasien ini didapatkan luka di regio pedis sinistra. Pasien baru saja menjalani
operasi amputasi os phalang proksimal – distal digiti 1 di Rumah Sakit Umum Demak kurang
lebih 2 bulan yang lalu.
Pemeriksaan fisik di regio pedis sinistra, didapatkan luka yang bengkak, tampak
menghitam , terdapat pus , tampak deformitas, dan amputasi digiti I, dasar luka otot, berbau,
terdapat pus dan perdarahan, ketika dipalpasi terdapat nyeri tekan di sekitar luka , CRT kurang
dari 2 detik, pulsasi a. dorsalis pedis.
Kaki diabetik pada kaki kiri pasien ini menunjukkan adanya komplikasi DM berupa
mikroangiopati sehingga memengaruhi proses penyembuhan luka. Kaki Diabetik pada pasien ini
dapat diklasifikasikan dengan Wagner V karena sudah terdapat ganggren pada seluruh
komponen jaringan disekitar os phalank 1 sinistra. Berdasarkan IDSA guideline pada severe
infection untuk pemilihan antibiotik empiris dapat diberikan ceftriaxone, ciprofloxacin dengan
clindamycin, ampicillin sulbactam, moxifloxacin, cefoxitin, ertapenem, dan tigecyclin. Pada
pasien diberikan terapi ampicillin sulbactam 1,5 gr/8 jam IV, clindamycin 300 mg / 8 jam PO
dan infus NaCl 0,9% 20 tpm.

1.3 Anemia
Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai baik di klinik
maupun di lapangan. Definisi dari anemia adalah keadaan di mana massa eritrosit dan/atau massa
hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan tubuh. Secara laboratorik, anemia dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar
hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit.
Diagnosis anemia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis, dapat ditemukan adanya sindrom anemia yaitu kumpulan gejala
yang mengenai berbagai sistem, yang muncul pada penurunan hemoglobin sampai kadar
tertentu. Nilai rujukan kadar hemoglobin untuk mendiagnosis anemia pada orang dewasa
menurut WHO dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Anemia
Populasi Non Anemia
Mild Moderate Severe
Bayi usia 6-59
≥ 11.0 10.0-10.9 7.0-9.9 < 7.0
bulan
Anak usia 5 –
≥ 11.5 11.0-11.4 8.0-10.9 < 8.0
11 tahun
Anak usia 12 –
≥ 12.0 11.0-11.9 8.0-10.9 < 8.0
14 tahun
Wanita tidak
hamil (usia di ≥ 12.0 11.0-11.9 8.0-10.9 < 8.0
atas 15 tahun)
Wanita hamil ≥ 11.0 10.0-10.9 7.0-9.9 < 7.0
Pria (usia di
≥ 13.0 11.0-12.9 8.0-10.9 < 8.0
atas 15 tahun)

Untuk mengidentifikasi penyebab anemia, perlu dilakukan evaluasi dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium darah. Tidak ada klasifikasi sederhana dari
anemia, namun pendekatan diagnosis dapat merujuk dari algoritma Wintrobe.

Gambar 13. Algoritma pendekatan diagnosis pada anemia14

Pada pasien ini, tidak terdapat adanya abnormalitas hematologi selain anemia sehingga
dilakukan pemeriksaan jumlah retikulosit. Tidak dilakukan pemeriksaan bone marrow puncture
(BMP) untuk mengevaluasi adanya penyebab anemia yang mengarah ke keganasan hematologi
atau gangguan sumsum tulang karena tidak ditemukan adanya abnormalitas hematologi lain.
Klasifikasi anemia berdasarkan gambaran morfologis dengan melihat indeks eritrosit atau
hapusan darah tepi dibagi menjadi tiga golongan yaitu14

Tabel 10. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi

Anemia Mikrositik Anemia Normositik Anemia Makrositik


MCV < 80 fl MCV 80 – 100 fl MCV > 100 fl
1. Anemia defisiensi 1. Anemia pasca 1. Anemia megaloblastik
besi perdarahan - Anemia defisiensi asam
2. Thalasemia major 2. Anemia aplastik – folat
3. Anemia akibat hipoplastik - Anemia defisiensi B12
penyakit kronik 3. Anemia hemolitik 2. Anemia non
4. Anemia sideroblastik 4. Anemia akibat penyakit megaloblastik
kronik - Anemia pada penyakit
5. Anemia mieloptisik kronik hepar
6. Anemia pada sindrom - Anemia pada sindroma
mielodisplastik mielodisplastik
7. Anemia pada leukemia
akut

Oleh karena itu, klasifikasi dari anemia pada pasien ini adalah anemia sedang dengan
hemoglobin 8,1 gr/dL serta berdasarkan gambaran morfologi dengan melihat indeks eritrosit
yaitu MCH 27.6 pg dan MCV 80,4 fL sehingga dapat diklasifikasikan menjadi anemia sedang
normositik normokromik.
1.4 Azotemia
Azotemia adalah peningkatan nitrogen urea darah (BUN) (referensi kisaran, 8-20 mg /
dL) dan serum kreatinin (nilai normal 0,7-1,4 mg / dL) tingkatan.
1. Prerenal azotemia
Azotemia prerenal mengacu pada elevasi di BUN dan kadar kreatinin karena masalah
dalam sirkulasi sistemik yang menurunkan aliran ke ginjal. Dalam azotemia prerenal, penurunan
aliran ginjal merangsang retensi garam dan air untuk mengembalikan volume dan tekanan.
Ketika volume atau tekanan menurun, refleks baroreceptor yang terletak di lengkungan aorta dan
sinus karotid diaktifkan. Hal ini menyebabkan aktivasi saraf simpatik, menghasilkan
vasokonstriksi arteriol aferen ginjal dan sekresi renin melalui b 1-reseptor. Melalui mekanisme
yang tidak diketahui, aktivasi sistem saraf simpatis menyebabkan peningkatan reabsorpsi tubular
proksimal garam dan air, serta asam urat BUN, kreatinin, kalsium,dan bikarbonat.
2. Intarenal Azotemia
Azotemia intrarenal, juga dikenal sebagai gagal ginjal akut (ARF), azotemia ginjal-ginjal,
dan cedera ginjal akut (AKI), mengacu pada elevasi di BUN dan kadar kreatinin karena masalah
di ginjal itu sendiri.
3. Postrenal azotemia
Azotemia postrenal mengacu pada elevasi di BUN dan kadar kreatinin karena hambatan
dalam sistem pengumpulan. Obstruksi mengalir mengarah pada pembalikan Starling pasukan
yang bertanggung jawab untuk penyaringan glomerular. obstruksi bilateral Progresif
menyebabkan hidronefrosis dengan peningkatan tekanan hidrostatik kapsul Bowman dan
penyumbatan tubular mengakibatkan penurunan progresif dan penghentian paling dalam filtrasi
glomerular, azotemia, asidosis, overload cairan, dan hiperkalemia.
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan penurunan progresif fungsi ginjal yang bersifat
ireversibel. Menurut National Kidney Foundation’s National Kidney Foundation (NKF KDOQI),
PGK didefiniskan sebagai kerusakan ginjal persisten dengan karakterisitik adanya kerusakan
structural atau fungsional (seperti mikroalbuminuria/proteinuria, hematuria, kelainan histologis
ataupun radiologis), dan atau menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) menjadi <60
ml/menit/1,73 m2 selama sedikitnya 3 bulan.

1.5 Pneumonia
Pneumonia komunitas adalah peradangan akut pada parenkim paru yang didapatkan di
masyarakat. Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam kuman, yaitu bakteri, virus,
jamur dan protozoa. Pneumonia komunitas adalah infeksi pneumonia yang terjadi akibat infeksi
diluar RS, sedangkan pneumonia nosokomial adalah yang terjadi > 48 jam setelah dirawat di
Rumah sakit.1 Penelitian dibeberapa negara melaporkan bahwa bakteri gram positif penyebab
utama pneumonia komunitas. Data dari rumah sakit di Indonesia tahun 2012 menunjukkan
bahwa penyebab terbanyak pneumonia komunitas adalah kuman negatif seperti Kleibseilla
pneumonia (29%), Acinetobacter baumanii (27%), Pseudomonas aeruginosa (6%), sedangkan
gram positif Streptococcus pneumonia (12%), Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus
(16%).
Diagnosis pneumonia didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto thorax dan
laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto thorax terdapat
infiltrat/ air bronchogram ditambah dengan gejala dibawah ini :
1. Batuk
2. Perubahan karakteristik sputum/purulent
3. Demam ≥ 38o C (aksila)/ riwayat demam
4. Sesak nafas (RR≥24X/menit)
5. Nyeri dada
6. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara nafas bronkial
dan ronkhi.
7. Leukosit ≥ 10.000 atau < 4500
Pemeriksaan biakan diperlukan untuk menentukan kuman penyebab menggunakan bahan
sputum, darah, atau aspirat endotrakheal, aspirat jaringan paru dan bilasan bronkus. Penyebab
spesifik pneumonia harus dicari karena dapat mengubah penatalaksanaan standar yang bersifat
empiris.
Pada pasien ini ditemukan adanya corakan vascular yang meningkat pada pemeriksaan x
foto thorax dan ditemukan leukositosis pada pemeriksaan darah rutin.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A, et al.


Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2015.
2. Ozougwu, J. C.1*, Obimba, K. C.2, Belonwu, C. D.3, and Unakalamba, C. B. The
pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Vol. 4(4), pp.
46-57, September, 2013
3. Pia V Röder, Bingbing Wu, Yixian Liu, Weiping Han. Pancreatic regulation of glucose
homeostasis. Experimental & Molecular Medicine (2016) 48
4. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 19th Ed
5. Khardori R. Changing paradigms in type 2 diabetes mellitus. Indian J Endocrinol Metab
[Internet]. 2013 Oct;17(Suppl1):S68–71
6. Defronzo RA. From the Triumvirate to the Ominous Octet : A New Paradigm for the
Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. :773–95
7. World Health Organization. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia
and assessment of severity. Geneva; 2011
8. Jessica Hwang and Roy E. Weiss. Steroid-induced diabetes: a clinical and molecular
approach to understanding and treatment. Diabetes Metab Res Rev. 2014 Feb; 30(2): 96–
102.
9. Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) No 67 Tahun 2016
10. Walter Siegenthaler. Differential Diagnosis in Internal Medicine From Symptom to
Diagnosis. Georg Thieme Verlag, Rüdigerstrasse 14, 70469 Stuttgart, Germany. 2007.
11. Mark E. Molitch, MD (chair); Ralph A. DeFronzo, MD; Marion J. Franz, et all.
Nephropathy in Diabetes. American Diabetes Association. Diabetes Care, Volume 27,
Supplement 1, Januari 2004.
12. Jain, Amit Kumar C. a new classification of diabetic foot complications: a simple and
effective teaching tool. The Journal of Diabetic Foot Complications, 2012; Volume 4,
Issue 1, No. 1, Pages 1-5.
13. Benjamin A. Lipsky , Anthony R. Berendt, Paul B. Cornia et al. Infectious Diseases
Society of America ( IDSA) Guideline for Diabetic Foot Infections.2012
14. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simardibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. VI. Jakarta; 2014. 2575 p.

Anda mungkin juga menyukai