Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KOAS THT

Disusun oleh:
Catharina (22010118220123); Della Amanda (22010119220155); Melinda Fiska
(22010118220180); Nabila Dini (22010119220159); Pratiwi Diah Pitaloka (22010118220080);
Sri Suci Ningtyas Ardi (22010119220033); Titisari Wardani (22010119220200); Vivi Nurmalita
(22010118220081)

SKENARIO KANKER NASOFARING

Seorang laki-laki 50 tahun datang dengan keluhan benjolan di leher kanan yang dirasakan sejak 6
bulan lalu dan dirasakan makin membesar. Tidak dirasakan nyeri pada benjolan tersebut. 2 bulan
sebelum timbulnya benjolan tersebut, penderita mengeluh telinga gemrebeg terutama telinga
kanan disertai adanya hidung tersumbat dan mimisan yang terjadi 1 bulan sebelum timbulnya
benjolan tersebut. 3 bulan terakhir ini penderita mengeluhkan sering nyeri kepala yang hebat,
dirasakan terus menerus, serta tidak berkurang dengan konsumsi obat. Sejak 1 bulan terakhir,
penderita mengeluh pandangan mata (terutama kanan) terasa dobel.

PF tampak benjolan di leher kanan atas 4x6x6 cm, batas tidak tegas, warna sama dengan kulit
sekitar, tidak nyeri, konsistensi kenyal keras. Mata kanan tampak ptosis disertai dengan
strabismus konvergen. Pemeriksaan cavum nasi / rhinoskopi anterior tidak tampak jelas dan
tidak bisa evaluasi adanya massa di cavum nasi.

I. TERMINOLOGI
1. Ptosis
Ptosis adalah kondisi di mana kelopak mata bagian atas turun. Kondisi ini terjadi
ketika otot levator yang memegang kendali atas kelopak mata melemah. Jika kelopak
mata turun cukup parah, maka dapat menghalangi pupil dan menyebabkan kebutaan
parsial. Beberapa anak terlahir dengan ptosis. Sementara, ada beberapa kasus yang
kondisi berkembang saat penderita bertambah tua. Melemahnya otot levator
merupakan bagian dari proses penuaan.
2. Strabismus konvergen
Secara umum dikenal sebagai “mata juling” adalah suatu kelainan mata dimana visual
axis mata tidak mengarah bersamaan ke titik fiksasi, dengan kata lain terjadi
ketidakseimbangan (imbalance) dalam kedudukan bola mata. Ketidakseimbangan
tersebut dapat terjadi di segala arah; Konvergen/Esotropia (kedalam),
Divergen/Eksotropia (keluar), Hypertropia (keatas), Hipotropia (kebawah).
3. Rhinoskopi anterior
Pemeriksaan rhinoskopi anterior merupakan pemeriksaan hidung menggunakan
spekulum hidung yang dimasukkan ke cavum nasi. Organ yang dapat dilihat antara lain:
konka nasi inferior, vestibulum nasi, meatus inferior, meatus media, konka media, dan
septum nasi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk identifikasi adanya tumor atau
peradangan.
4. Mimisan
Mimisan atau “epistaksis” merupakan suatu perdarahan dari hidung. dapat berasal dari
bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior rongga hidung. Dapat terjadi
akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Kebanyakan ringan dan sering
berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun
jarang, merupakan masalah kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak segera ditangani.
5. Cavum nasi
Cavum nasi merupakan rongga traktus respiratorius yang pertama sekali yang langsung
berhubungan dengan udara luar.

II. SKEMA TATALAKSANA KASUS

Laki-laki
50 tahun
Gejala: PF:
- Telinga gemrebeg - Benjolan di leher
- Hidung tersumbat kanan atas
- Mimisan - Mata ptosis dengan
- Nyeri kepala strabismus konvergen
- Pengelihatan dobel

Dx
Kanker Nasofaring
- Etiologi & faktor risiko
- Insidensi
- Gejala & tanda
- Anamnesis, PF & penunjang
- Tumor staging
- Diagnosis banding
- Tatalaksana & edukasi
III. SASARAN BELAJAR
1. Etiologi & faktor risiko kanker nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan
predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring dan merupakan suatu tumor ganas utama di
nasofaring pada daerah endemis. Penyebab KNF bersifat multifaktorial, dikaitkan dengan adanya
interaksi antara infeksi kronik oncogenic gamma herpesvirus Epstein-Barr virus yang mana virus
Epstein-Barr telah menginfeksi lebih dari 95% populasi dunia. Selain itu faktor lingkungan dan
faktor genetik, juga terlibat dalan proses multistep karsinogenik. Transformasi ganas terjadi pada
sel-sel permukaan di daerah nasofaring namun penyebab sebenarnya belum diketahui.

Penyebab Karsinoma Nasofaring belum sepenuhnya diketahui. Beberapa faktor risiko yang
berkemungkinan menjadi pemicu timbulnya Kanker Nasofaring:

- Jenis Kelamin
- Ras Asia dan Afrika Utara
- Umur 30–50 tahun
- Sering konsumsi makanan yang diawetkan
- Infeksi Virus Epstein-Barr
- Riwayat keluarga
- Faktor Gen HLA (Human Leokcyte Antigen) dan Genetik
- Merokok
- Konsumsi Alkohol

2. Insidensi kanker nasofaring


Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit keganasan yang terjadi di sebagian
besar belahan dunia, dengan prevalensi <1/100.000. Angka kejadian tertinggi di dunia
terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni sebesar 40 - 50 kasus kanker nasofaring
diantara 100.000 penduduk. Di Amerika Serikat angka insiden kurang dari 1 kasus per
100.000 penduduk setiap tahunnya. Namun, di beberapa Negara di Asia (terutama di
Cina bagian selatan) dan Afrika bagian utara kasus kanker nasofaring banyak ditemukan
Tingkat insidensi KNF terlihat di Asia Tenggara, termasuk Singapura (15/100.000),
Malaysia (9,7/100.000), Vietnam (7,5/100.000), Taiwan (7/100.000), dan Filipina
(6,4/100.000). Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara
yakni sebesar 40 - 50 kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk. Kanker
nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka
kejadian sekitar kurang dari 1 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya. KNF adalah
kanker yang memiliki karakteristik epidemiologi yang unik, dengan insiden yang
bervariasi sesuai ras dan perbedaan geografi. Insiden kanker nasofaring pada beberapa
tempat di dunia masih sangat jarang.
Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang sering
ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia setelah kanker
payudara, kanker serviks, dan kanker kulit, dan keganasan paling umum di kepala dan
leher. Berdasarkan GLOBOCAN 2012, terdapat 87.000 kasus baru kanker nasofaring
muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan 26.000
kasus baru pada perempuan) dengan 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki,
dan 15.000 pada perempuan). KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif
(perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25
hingga 60 tahun.

3. Gejala dan tanda kanker nasofaring

Gejala dan tanda karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu: gejala telinga,
gejala hidung, metastasis atau gejala di leher, gejala mata, serta gejala intrakranial.
1) Gejala Telinga (Ear Sign)
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini karsinoma nasofaring yang timbul karena
tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa
:1
a. Rasa penuh di telinga dan berdengung (tinitus)
b. Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
c. Terasa tersumbat
d. Kurang pendengaran ringan
e. OME / OMSK berulang
Gejala ini muncul karena gangguan fungsi tuba eustachius akibat tumor yang menutupi
muara tuba atau perluasan tumor ke lateroposterior sehingga mengganggu kerja otot
untuk membuka tuba. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat
penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang
diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi perforasi membran
timpani dengan akibat gangguan pendengaran. Jenis gangguan pendengaran yang timbul
biasanya konduktif karena timbulnya otitis media efusi.

Gambar 1. Tumor Nasofaring

Gambar 2. Anatomi Telinga Tengah


Gambar 3. Otitis Media
2) Gejala Hidung ( Nose Sign )
Gejala hidung dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring
harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala
belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di
bawah mukosa (creeping tumor). Pada keadaan lanjut tumor masuk ke dalam rongga hidung
dan sinus paranasal.
a. Epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan
dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-
ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
merah muda.
b. Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga
hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai
dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
Gejala hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga
dijumpai pada infeksi biasa, misalnya rhinitis kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Namun jika
gejala terus terjadi tanpa adanya respons yang baik pada pengobatan, maka perlu dicurigai
akan adanya penyebab lain yang ada pada penderita, salah satu di antaranya adalah
Karsinoma Nasofaring.
Gambar 4. Anatomi Nasofaring

Gambar 5. Tumor Nasofaring

3) Gejala Leher ( Neck Sign )


Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien
untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain. Lebih dari 50% pasien
Karsinoma Nasofaring datang dengan keluhan benjolan di leher. Benjolan ini merupakan
pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian
tubuh yang lebih jauh. Pembesaran kelenjer limfe ini biasanya timbul di daerah samping
leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan tidak nyeri, sesuai dengan lokasi tumor
(ipsilateral), namun tidak jarang bilateral. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang
terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat
pada otot dan sulit digerakan. Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut
mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari
nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan
paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.

Gambar 6. Pembesaran kelenjar limfe leher level II

Gambar 7. Benjolan leher

4) Gejala Mata ( Eye Sign )


Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tenggorok melalui beberapa lobang,
maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Tumor
dapat meluas kearah superior menuju ke intrakranial dan menjalar sepanjang fossa kranii
media (penjalaran petrosfenoid). Kemudian infiltrasi tumor ke intrakranial melalui foramen
laserum akan menimbulkan kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak yaitu N. III, IV,
V dan VI. Paling sering terjadi gangguan N.VI dengan keluhan pandangan ganda (diplopia)
yang disusul N.V dengan keluhan neuralgi trigeminal dan parestesi wajah. Bila semua saraf
grup anterior terkena gangguan maka timbul kumpulan gejala yang disebut sebagai
sindroma petrosfenoid yaitu neuralgia trigeminal dan oftalmoplegia unilateral, amaurosis
dan nyeri kepala hebat karena penekanan tumor pada duramater.
a. Terkenanya N. III menimbulkan gejala ptosis dan klinis didapatkan fiksasi bola mata
(oftalmoplegi) kecuali untuk pergerakan ke lateral karena kelumpuhan muskulus rektus
internus superior dan inferior serta muskulus palpebrae inferior dan obliqus.

Gambar 8. Ptosis7
b. Gangguan N. IV menimbulkan kelumpuhan m. obliqus superior bola mata. Lesi saraf ini
jarang merupakan kelainan yang berdiri sendiri tetapi lebih sering diikuti kelumpuhan
N.III. Biasanya penekanan saraf-saraf ini terjadi di dalam atau pada dinding lateral sinus
kavernosus.

Gambar 9. Otot bola mata8


c. Gangguan N.VI mengakibatkan kelumpuhan m. rektus lateralis sehingga timbul keluhan
penglihatan dobel dan mata tampak juling (strabismus konvergen/esotropia).
Gambar 10. Strabismus
5) Gejala intrakranial (intracranial sign)
Proses karsinoma lebih lanjut akan mengenai saraf otak IX, X, XI, dan XII jika menjalar
melalui foramen jugular, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini
sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut
sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah
terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk.

Gambar 11. Anatomi Basis Cranii3


Perluasan tumor kearah postero-lateral menuju ke ruang parafaring dan fosa pterigopalatina
yang kemudian masuk foramen jugular (penjalaran retroparotidian). Disini yang terkena
adalah grup posterior saraf otak yaitu N. VII sampai dengan N. XII, serta nervus simpatikus
servikalis yang berjalan menuju fasia orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII
disebut sebagai sindroma retroparotidean, atau sindroma Jackson. Manifestasi kelumpuhan
saraf tersebut adalah sebagai berikut :
a. N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior, dan gangguan
pengecapan pada sepertiga belakang lidah.
b. N. X : hiper/hipo/anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring (gejala regurgitasi,
bindeng) disertai gangguan menelan, respirasi dan salivasi.
c. N. XI : hemiparesis palatum mole dan sulit mengangkat bahu karena kelumpuhan atau
atrofi otot trapesius dan sternokleidomastoid.
d. N. XII : gangguan menelan, hemiparalisis dan atrofi lidah unilateral. Gejala penekanan
saraf-saraf ini dapat disertai gejala akibat kelumpuhan dari nervus simpatikus servikalis
berupa penyempitan fisura palpebralis, enoftalmi dan miosis yang dikenal sebagai
sindroma Horner.
e. Nervus VII dan N.VIII jarang terkena karena letaknya tinggi dan berada dalam kanal
tulang.
Gejala kranial lain:
 Trismus yang disebabkan oleh infiltrasi tumor pada muskulus pterigoideus yang
menyebabkan gangguan membuka mulut. Apabila tumor telah menginvasi otot
levator velli palatini maka akan mengakibatkan paralisis palatum. Keadaan ini
jarang terjadi, dan biasanya akibat gejala sisa radioterapi berupa fibrosis otot
tersebut.
 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen.
 Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang.
 Afonia

Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan dengan elevasi
dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri pada wajah dan  bagian
lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus trigeminal). Ketiga gejala ini  jika
ditemukan bersamaan, maka disebut Trotter’s Triad.
4. Pemeriksaan fisik kanker nasofaring

1. Anamnesis

Gejala yang muncul dapat berupa :

 Telinga terasa penuh


 Tinnitus
 Otalgia
 Hidung tersumbat
 Lendir bercampur darah.

Pada stadium lanjut dapat ditemukan

 Benjolan pada leher


 Terjadi gangguan saraf, diplopa
 Neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI).

2. Pemeriksaan Fisik

 Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.


 Pemeriksaan nasofaring:
 Rinoskopi posterior
 Nasofaringoskop ( fiber / rigid )
 Laringoskopi
 Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging) digunakan untuk
skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan kanker nasofaring, panduan lokasi biopsi,
dan follow up terapi pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif.
Nasoendoskopi pada Karsinoma Nasofaring

5. Pemeriksaan penunjang kanker nasofaring


 Pemeriksaan darah perifer lengkap
 Radiologi:
o CT scan atau MRI
o Foto toraks
o USG abdomen
o Bone scan
Penentuan stadium membutuhkan CT scan nasofaring dengan kontras untuk
menentukan perluasan tumor. MRI sebaiknya digunakan bila ada kecurigaan
keterlibatan intrakranial. Foto toraks, USG abdomen, dan bone scan digunakan
untuk mencari adanya metastasis jauh di paru, hepar dan tulang.
 Biopsi massa nasofaring

6. TNM & tumor staging


STAGING TNM
Stadium 0 : Tis N0 M0
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T1 N1 M0
T2 N0 M0
T2 N1 M0
Stadium III : T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N0 M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0
Stadium IVA : T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
Stadium IVB : T apapun N3 M0
Stadium IVC : T apapun N apapun M1
7. Diagnosis banding kanker nasofaring
1. TBC nasofaring
 Gejala yang ditimbulkan pada umumnya adalah pembesaran kelenjar getah bening pada
leher sehingga “ mimicking “ karsinoma nasofaring hal ini terjadi 70% dalam TB
nasofaring.
Pembesaran kelenjar getah bening pertama kali pada retrofaringeal kemudian terakhir
pada supraclavicula dan bagian posterior; unilateral, multipel, dan tetap. Pembesaran ini
dapat dilihat lewat imaging, apabila dengan pemeriksaan fisik pada kelenjar limfe
cervial; multipel dan bilateral.
 Gangguan telinga : telinga terasa penuh, gangguan pendengaran, ottorhea, otalgia,
tinnitus, efusi telinga tengah
Gangguan hidung : Hidung beringus, postnasal drip, obstruksi nasal, epistaksis
Gangguan lain : Mendengkur, sakit kepala, diplopia, Batuk produktif, penurunan
berat badan, keringat malam, suhu tinggi pada malam hari, malaise, demam ringan.
 Biopsi Nasofaring dan kultur sputum
2. Adenoid persisten
 Terjadi pada anak – anak akibat infeksi berulang.
 Foto polos pada bagian atas nasofaring terlihat massa jaringan lunak, berbatas tegas dan
simetris serta struktur –struktur sekitarnya tidak tampak tanda infiltrasi seperti pada
KNF
 Adenoid facies
 Biopsi
3. Angiofibroma nasofaring juvenilis
 Pada laki – laki muda
 Gejala : Epitaksis dan obstruksi nasal
 Lokasi tipikal pada nasal choana, nasofaring, dana pterygopalatina
 Foto polos : Massa pada bagian atas nasofaring yang berbatas tegas
 Mengalami perluasan tetapi jarang menimbulkan destruksi tulang hanya erosi akibat
penekanan tumor
 Menggunakan angiografi
4. PA pada nasofaring :
 Adenosarkoma
 Karsimona
 adenokistik ( silidroma )
 melanoma malogna
 limfoma maligna

8. Tatalaksana dan edukasi kanker nasofaring

TERAPI CA NASOFARING

 Pengobatan utama: Radioterapi (RT)


- KNF stadium I dan IIa (T1N0M0, T2aN0M0)  Radioterapi definitive (70 Gy) dan
elektif RT di daerah leher (N0)  40 Gy.
- Pengobatan sebanyak 5 hari per minggu selama 6 – 7 minggu. Jadwal pemberian dosis
yang sama digunakan untuk penyakit yang lebih lanjut, dengan 66 - 70 Gy untuk kasus
dengan ketelibatan kelenjar getah bening.
 Pengobatan tambahan:
- Diseksi leher
o Dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran
(residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai.
o Syarat:
 Tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologis dan serologis.
 Tidak ditemukan adanya metastasis jauh.
- Pemberian tetrasiklin, Faktor transfer, Interferon
- Kemoterapi: masih tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan).
- Seroterapi
- Vaksin dan Antivirus
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam tahap pengembangan.

1. EARLY (STAGE I) DISEASE


Kanker nasofaring awal (stadium I) diobati dengan terapi radiasi (RT) saja, dengan kontrol
locoregional yang baik. Tingkat kelangsungan hidup keseluruhan lima tahun sebesar 90 persen
untuk stadium I telah dilaporkan oleh penelitian sebelumnya (tabel 1).
Tabel 1. Tingkat kelangsungan hidup pada pasien KNF pada populasi endemik

Bukti dari studi retrospektif menunjukkan bahwa hasil telah membaik karena kemajuan
dalam perencanaan dan prosedur RT. Pada kasus peningkatan staging, khususnya penggunaan
magnetic resonance imaging (MRI) lebih dipilih dibandingkan computed tomography (CT).
Sejumlah besar pasien dengan penyakit tahap awal belum dimasukkan dalam uji coba kemoterapi
induksi, kemoterapi adjuvan, atau kemoradioterapi bersamaan, dan masih belum jelas apakah
kelompok ini mendapat manfaat dari terapi modalitas kombinasi.

2. INTERMEDIATE (STAGE II) DISEASE


Strategi pengobatan modalitas kombinasi umumnya direkomendasikan untuk penyakit
stadium II karena tingkat kegagalan jauh yang terlihat pada pasien pada stadium ini. Data yang
paling luas berasal dari uji coba fase III di mana 230 pasien yang sebelumnya tidak diobati
dengan kanker nasofaring stadium II secara acak ditugaskan untuk terapi radiasi dua dimensi
(RT) ditambah cisplatin mingguan bersamaan (30 mg / m2) dibandingkan dengan diberikan RT
saja. Semua pasien memiliki penyakit T1-2N1M0 atau T2N0M0 dengan keterlibatan ruang
parapharyngeal. Ketika pasien di staging ulang sesuai dengan sistem staging tumor, nodul,
metastasis (TNM) 2010, 31 pasien (13 persen) direklasifikasi sebagai stadium III.
Dengan tindak lanjut rata-rata 10 tahun, kelangsungan hidup secara keseluruhan meningkat
dengan penambahan cisplatin pada terapi (kelangsungan hidup 5 tahun keseluruhan 95 vs 86
persen, kelangsungan hidup keseluruhan 10 tahun 84 vs 66 persen, rasio hazard 0,40, 95% CI
0,23- 0,68). Perbedaan ini terutama karena peningkatan kelangsungan hidup bebas metastasis
jauh lebih tinggi (94 vs 83 persen). Analisis multivariat menunjukkan bahwa jumlah siklus
kemoterapi yang diberikan adalah satu-satunya faktor independen yang dikaitkan dengan
kelangsungan hidup, perkembangan, dan kontrol jarak jauh dalam penelitian ini.
Dalam uji coba ini, penambahan cisplatin mingguan ke RT dikaitkan dengan peningkatan
leukopenia / neutropenia berat, mual / muntah, dan mucositis dibandingkan dengan RT saja (12
banding 0, 8,6 lawan 0, dan 46 versus Masing-masing 33 persen). Tidak ada peningkatan yang
signifikan dalam toksisitas terlambat. Tingkat toksisitas akut dan lambat yang dilaporkan lebih
rendah dari yang diharapkan untuk protokol perawatan ini.
3. ADVANCED (STAGE III & IVA) DISEASE
Pendekatan modalitas gabungan yang mencakup kemoradioterapi bersamaan adalah standar
perawatan untuk pasien dengan karsinoma nasofaring nonmetastatik stadium lanjut (stadium III,
IVA, dan IVB). Pendekatan ini juga dapat mencakup penggunaan kemoterapi adjuvan setelah
kemoradioterapi bersamaan atau, dalam beberapa kasus, kemoterapi induksi sebelum
kemoradioterapi bersamaan.2

Penanganan Suportif

 Bila ada nyeri hebat di kepala harus diatasi sebagai nyeri kanker  sesuai protocol nyeri
(stepladder WHO).
 Bila ada kesulitan makan/asupan nutrisi kurang, pasang NGT/gastrotomi.
 Bila ada tanda-tanda infeksi di daerah saluran napas atas, telinga tengah, diberikan antibiotik
sistemik (oral/injeksi) atau dan topikal tetes telinga  konsultasi ke ahli otologi.
 Bila terdapat obstruksi jalan napas atas  sesuai dengan protocol obstruksi jalan napas atas.

Perawatan Paliatif

 Terutama pada pasien dengan pengobatan radiasi.


 Edukasi mengenai gangguan yang dapat terjadi:
- Mulut terasa kering oleh karena kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran.
Edukasi:
o Makan dengan banyak kuah;
o Membawa minuman kemanapun pergi;
o Mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang
keluarnya air liur.
- Mucositis rongga mulut karena jamur.
- Rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran.
- Sakit kepala.
- Kehilangan napsu makan.
- Terkadang muntah atau rasa mual.
 Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap: Tumor tetap ada
(residu) atau kambuh kembali (residif), serta dapat timbul metastasis jauh pasca pengobatan (ke
tulang, paru hati, otak).
Pada keadaan ini, hanya dapat diberikan pengobatan simptomatis untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien:
- Pengurangan rasa nyeri  radiasi sangat efektif untuk mengurangi rasa nyeri akibat
metastasis tulang
- Mengontrol gejala
- Memperpanjang usia.
Follow-Up

 KNF memiliki resiko terjadinya rekurensi, dan diperlukan follow-up jangka panjang.
 Kekambuhan tersering terjadi <5 tahun, 5-15% antara 5-10 tahun.
 Sehingga pasien KNF perlu di follow-up setidaknya 10 tahun setelah terapi.

EDUKASI

Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai:

 Tujuan dan resiko biopsy


 Penjelasan tentang stadium tumor
 Hasil penemuan tumor
 Rencana terapi
 Akibat dan efek samping yang dapat terjadi selama dan setelah pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

Endang, M., Retno, W. (2008). Epistaksis. Soepardi EA, Iskandar NH. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT-KL, edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: hal 155-9.
IARC. GLOBOCAN 2012: Estimated Cancer Incidence, Mortality and Prevalence Worldwide in 2012.
Globocan 2012;2012:3–6.
Ferlay J. Cancer incidence and mortality worldwide: sources, methods and major patterns in
GLOBOCAN 2012. Int. J. Cancer. 2015; 136
Adham, Marlinda dkk, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, Kanker Nasofaring. Jakarta.
2017
Endang M, Damajanti S. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala &
Leher. Buku Ajar Telinga Hidung tenggorokan Kepala Leher. 2010;145–53.
Watkinson J, Gilbert R. Stell & Maran’s Textbook of Head and Neck Surgery and Oncology.
Stell & Maran’s Textbook of Head and Neck Surgery and Oncology. 2011.
Bruce 2011. Gray`s Anatomy for Students 4th. Vol. 53, Journal of Chemical Information and
Modeling. 2020. 1689-1699 p.
Bansal M, Bansal M. Acute otitis media and otitis media with effusion. In: Essentials of Ear,
Nose and Throat. 2016. p. 101–101.
Wei WI, Sham JST. Nasopharyngeal carcinoma. In: Lancet. 2005. p. 2041–54.
Suzina SAH, Hamzah M. Clinical Presentation of Patients with Nasopharyngeal Carcinoma.
Med J Malaysia. 2003;58(4):539–45.
Ahmad K, Wright M, Lueck CJ. Ptosis. Practical Neurology.
Trimartani, Rasad, S. A., Rosalina, D., et al. 2020. Panduan Praktik Klinis, Panduan Praktik
Klinis Prosedur Tindakan, dan Clinical pathways di Bidang THT-KL. Volume 2. Jakarta:
PERHATI THT-KL.
Soepardi, E., Iskandar, N., Bashiruddin, J., et al. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Hui, E.P., Chan, A.P., Le, Q.T. 2020. Treatment of Early and Locoregionally Advanced
Nasopharyngeal Carcinoma. In: Shah, S(Ed), UpToDate.

Anda mungkin juga menyukai