Anda di halaman 1dari 12

KARSINOMA NASOFARING

A. PENGERTIAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001)
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap
nasofaring.Keganasan ini termasuk 5 besar bersama kanker mulut rahim,
payudara, kulit dan getah bening sedangkan pada laki-laki merupak tumor yang
paling banyak ditemukan (Roezin, 2003).
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang mempunyai
predisposisi rasial yang sangat mencolok. Insidennya paling tinggi pada ras
Mongoloid terutama pada penduduk di daerah Cina bagian selatan, Hongkong,
Singapura, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia penyakit ini ditemukan
pertamakali oleh Banker pada tahun 1926, kemudian laporan kasus dalam
jumlah cukup banyak baru setelah tahun 1953. Keganasan ini ditemukan lebih
banyak pada laki-laki dari perempuan dalam perbandingan 2,5:1.
Nasofaring sendiri merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai
struktur berbentuk kuboid.Banyak terdapat struktur anatomis penting di
sekitarnya. Banyak saraf kranial yang berada di dekatnya, dan juga pada
nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai darah.Struktur anatomis ini
mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker tersebut.
B. ETIOLOGI
Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan
kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997).
Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan
hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat
mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat
dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr,
karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang
cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001).
C. TANDA DAN GEJALA
Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu
antara lain:
1. Gejala nasofaring
Adanya epistaksis ringan atau sumbatan hidung.Terkadang gejala belum
ada tapi tumor sudah tumbuh karena tumor masih terdapat dibawah
mukosa (creeping tumor)
2. Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba
Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan yang timbul akibat sumbatan
pada tuba eustachius seperti tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di telinga
sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
3. Gangguan mata dan saraf
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui
foramen laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga
dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan
motorik dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson.
Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral.Prognosis jelek
bila sudah disertai destruksi tulang tengkorak.
4. Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus
sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit
mengkilat. Hal inilah yang mendorong pasien untuk berobat.Suatu
kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN
telah diteliti dicina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring
seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan
mukositis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun
tahun akan menjadi karsinoma nasofaring.
D. PATOFISIOLOGI DAN PATHWAY
Terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma
nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan
protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini
sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang
berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di
dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam
mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan
LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita
karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum
semua pasien karsinoma nasofaring.
Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam
Rusdiana (2006) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum
penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada
karsinoma nasofaring primer.
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga
dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini .Pada
pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV
(EBNA-1) di dalam serum plasma.EBNA-1 adalah protein nuklear yang
berperan dalam mempertahankan genom virus.Huang dalam penelitiannya,
mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita
karsinoma nasofaring. Terdapat 5 stadium pada karsinoma nasofaring yaitu:
PENENTUAN STADIUM :
TUMOR SIZE (T)
T Tumor primer
T0 Tidak tampak tumor
T1 Tumor terbatas pada satu lokasi saja
T2 Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas
pada rongga nasofaring
T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring
T4 Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang
tengkorak atau saraf-saraf otak
Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkan
N2 Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat
digerakkan
N3 Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun
bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar
METASTASE JAUH (M)
M0 Tidak ada metastase jauh
M1 Metastase jauh
- Stadium I : T1 N0 dan M0
- Stadium II : T2 N0 dan M0
- Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan M0 atau T3 dan N0 dan M0
- Stadium IV : T4 dan N0/N1 dan Moatau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0
atau T1/T2/T3/t4 dan N0/N1/N3/N4 dan M1
1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa
disebut nasopharynx in situ
2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing
3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke
rongga hidung. Atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening
pada salah satu sisi leher.
4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di
semua sisi leher
5. Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah.
Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen
dapat mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan
terjadinya stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga
terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang
memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada
fossa Rossenmuller.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui
keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan
ditemukan.
2. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui
infeksi virus E-B
3. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan ane\stesi
topikal dengan Xylocain 10 %.
4. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Radioterapi
Sebelumnya persiapan pasien dengan oral hygiene, dan apabila
infeksi/kerusakan gigi harus diobati terlebih dahulu. Dosis yang diberikan
200 rad/hari sampai 6000-6600 rad untuk tumor primer, sedangkan kelenjar
leher yang membesar diberi 6000 rad. Jika tidak ada pembesaran kelenjar
diberikan juga radiasi efektif sebesar 4000 rad. Ini dapat diberikan pada
keadaan kambuh atau pada metastasis tulang yang belum menimbulkan
keadaan fraktur patologik. Radiasi dapat menyembuhkan lesi, dan
mengurangi rasa nyeri.
2. Pengobatan tambahan
Yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak
menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan
tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik
dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi,
seroterapi, vaksin dan antivirus.
3. Kemoterapi
Sebagai terapi tambahan dan diberikan pada stadium lanjut.Biasanya dapat
digabungkan dengan radiasi dengan urutan kemoterapi-radiasi-kemoterapi.
Kemoterapi yang dipakai yaitu Methotrexate (50 mg IV hari 1 dan 8);
Vincristin (2 mg IV hari1); Platamin (100 mg IV hari 1); Cyclophosphamide
(2 x 50 mg oral, hari 1 s/d 10); Bleomycin (15 mg IV hari 8). Pada
kemoterapi harus dilakukan kontrol terhadap efek samping fingsi
hemopoitik, fungsi ginjal dan lain-lain.
4. Operasi
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat
bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih.
G. PENGKAJIAN
1. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek
dengan riwayat kanker payudara
2. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu.
3. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan
kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang
diawetkan ( daging dan ikan).
4. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan
lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
5. Tanda dan gejala :
a. Aktivitas
Kelemahan atau keletihan.Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-
faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
b. Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan
c. Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal
diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik
diri, marah.
d. Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin,
perubahan bising usus, distensi abdomen.
e. Makanan/cairan
Kebiasaan diet buruk (rendah serat, aditif, bahan pengawet), anoreksia,
mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat
badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
f. Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
g. Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa
kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran
h. Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang
merokok), pemajanan
i. Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama /
berlebihan, demam, ruam kulit.
j. Seksualitas
Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat
kepuasan.
k. Interaksi sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
H. DIAGNOSA
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi berlebihan
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan pemasukan nutrisi
3. Risiko infeksi b.d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
4. Resiko Aspirasi b.d inefektif reflek menelan
5. Defisit self care b.d kelemahan
6. Nyeri akut b.d gangguan pertumbuhan sel
I. RENCANA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi berlebihan
Tujuan : bersihan jalan nafas tidak efektif tidak terjadi dengan KH
NOC :
- Obstruksi tidak ada
- Respirasi dalam batas normal 16-20x/mnt
- Pengeluaran sputum dari jalan nafas
NIC :
- Bebaskan jalan nafas
- Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
- Atur pemberian O2, jika perlu
- Atur intake cairan agar seimbang
- Atur posisi untuk mengurangi dyspnea
- Monitor status pernafasan dan oksigenasi
- Keluarkan sekret dengan dorongan batuk/suctioning
- Lakukan suction pada endotrakhel/nasotrakhel, jika perlu
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan pemasukan nutrisi
Tujuan : ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak
terjadi dengan KH
NOC :
- BB stabil
- Tidak terjadi malnutrisi
- Tingkat energi adekuat
- Masukan nutrisi adekuat
NIC :
- Kaji pola makan klien
- Kaji makanan yang disukai oleh klien
- Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisinya.
- Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung cukup serat untuk
mencegah konstipasi.
- Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan pentingnya bagi tubuh
klien.
- Monitor adanya mual muntah.
- Monitor adanya gangguan dalam proses mastikasi/input makanan
misalnya perdarahan, bengkak dsb
3. Resiko infeksi b.d imunitas tubuh primer menurun, prosedur invasive
Tujuan : resiko infeksi tidak terjadi dengan KH
NOC :
- Bebas dari gejala infeksi
- Leukosit normal (4.000-11.000)
NIC :
- Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
- Intruksikan kepada keluarga untuk mencuci tangan saat kontak dan
sesudahnya.
- Gunakan sabun anti miroba untuk mencuci tangan.
- Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
- Gunakan sarung tangan sebagai alat pelindung.
- Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
- Monitor hitung granulosit dan WBC.
4. Resiko aspirasi b.d inefektifnya reflek menelan
Tujuan : resiko aspirasi tidak terjadi dengan KH
NOC :
- Dapat bernafas dengan mudah dan frekuensi normal (16-20x/mnt).
- Pasien mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan mampu
melakukan oral hygiene
- Menghindari faktor risiko
- Jalan nafas paten, mudah bernafas, tidak merasa tercekik dan tidak ada
suara nafas abnormal
NIC :
- Pelihara jalan nafas
- Potong makanan kecil kecil
- Naikkan kepala 30-45 derajat pada saat dan setelah makan
- Jika pasien menunjukkan gejala mual muntah, posisikan klien miring.
- Jika perlu suapi klien perlahan dan berikan waktu cukup untuk
mengunyah / menelan
5. Defisit self care b.d kelemahan
Tujuan : defisit self care tidak terjadi dengan KH
NOC :
- Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari (makan, berpakaian,
kebersihan, toileting, ambulasi)
- Kebersihan diri pasien terpenuhi
NIC :
- Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan diri
- Monitor kebutuhan akan personal hygiene, berpakaian, toileting dan
makan
- Beri bantuan sampai klien mempunyai kemapuan untuk merawat diri
- Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya.
- Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai
kemampuannya
- Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin
- Evaluasi kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Berikan reinforcement atas usaha yang dilakukan dalam melakukan
perawatan diri sehari hari.
6. Nyeri akut b.d gangguan pertumbuhan sel
Tujuan : nyeri akut tidak terjadi dengan KH
NOC :
- Klien melaporkan nyeri berkurang skala nyeri 2-3
- Ekspresi wajah tenang, klien mampu istirahat dan tidur
- Vital Sign dalam batas normal (TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt,
RR: 16-20x/mnt)
NIC :
- Kaji tingkat nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
- Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
- Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan
- Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologis/non farmakologis)..
- Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri
- Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
- Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
- Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
DAFTAR PUSTAKA

Arya, Fandy. 2013. Laporan Pendahuluan Askep Pada


klien (dalam:http://fandyarya2.blogspot.com/2013/05/laporan-pendahuluan-
askep-pada-klien.html ). diakses tanggal 15 september 2014.
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made
Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999

Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001

Moorhead, Sue, et.al. Nursing Outcomes Classification (NOC).Fourth Edition. St.


Louis Missouri : Mosby Elsevier.

Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa keperawatan : Definisi dan Klasifikasi


2012-2014 oleh NANDA International. Jakarta : EGC

Bulechek, Dochterman. Nursing Interventions Classification (NIC). Fourth


Edition. St. Louis Missouri : Mosby Elsevier.

Putra, semara. 2012. Laporan pendahuluan pada klien dengan ca nasofaring


(dalam : :http://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/10/29/laporan-
pendahuluan-askep-pada-klien-dengan-ca-nasofaring-2/). Diakses tanggal 15
September 2014

R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta :
EGC ; 1997

Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &


Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8.
Jakarta : EGC; 2001.

ANATOMI FISIOLOGI
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi,
sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Ke arah
posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah
os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang
retrofaring, fasia pre vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral
nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior
dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan
menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu
pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius terdapat fossa
Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap
nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan
lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring
umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid.
Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama
mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).

Anda mungkin juga menyukai