OLEH
lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus ini
tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.
c. Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya
kanker nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi
pada nelayan tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton yang
diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan
buah segar. Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring
adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, serbuk kayu
industri, dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat
tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat dijelaskan.
Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup,
kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit
kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab
karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring
didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001).
3. Patofisiologi
Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal
dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai
pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan
jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah
pada Fossa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kjelenjar limfa sekitarnya
kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya.
Penyebaran KNF dapat berupa :
a. Penyebaran ke atas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut
penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus
kavernosus dan Fossa kranii media dan fossa kranii anterior mengenai saraf-saraf
kranialis anterior ( n.I n VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf
kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang
paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal.
b. Penyebaran ke belakang
Tumor meluas ke
belakang
secara
ekstrakranial
menembus
fascia
otak yaitu n VII - n XII beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat
kerusakan pada n IX n XII disebut sindroma retroparotidean atau disebut juga
sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat
tumor karena letaknya yang tonggi dalam sistem anatomi tubuh,
Gejala yang muncul umumnya antara lain:
1) Trismus
2) Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis)
3) Afonia akibat paralisis pita suara
4) Gangguan menelan
c. Penyebaran ke kelenjar getah bening
Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama
sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran ke
kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah
bening pada lapisan sub mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah
bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu
Nodus Rouvier. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak
sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian
samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai
otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini
merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala
utama yang mendorong pasien datang ke dokter.
4. Pathway
(Terlampir)
5. Stadium
Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium kanker nasofaring. Di Amerika
dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC /
UICC (American Joint Committe on Cancer / International Union Against Cancer). Cara
penentuan stadium kanker nasofaring yang terbaru adalah menurut AJCC/UICC edisi ke6 tahun 2002, yaitu:
Tis
Carcinoma in situ
T1
T2
T2a
Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa perluasan
ke depan parafaring
T2b
T3
T4
N1
N2
N3
Metastasis ke KGB:
N3a : Ukuran KGB > 6 cm, di atas fossa supraklavikula
M1
: Tis No Mo
: T1 No Mo
IIa
: T2a No Mo
IIb
III
Iva
T4 No-2 Mo
IVb
: Semua T N3 Mo
IVc
: Semua T No-3 M1
6. Gejala Klinis
Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring
termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar
nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau
palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening
servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang).
Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena1. Sekitar separuh pasien
memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar
getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Gejala
dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan infeksi saluran nafas
atas.
Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala telinga. Ini terjadi
karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring. Tumor tumbuh mula-mula di fossa
Rosenmuller di dinding lateral nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap
nasofaring, menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor biasanya
rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan. Timbul keluhan pilek berulang
dengan ingus yang bercampur darah. Kadang-kadang dapat dijumpai epistaksis. Tumor
juga dapat menyumbat muara tuba eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh
di telinga, rasa berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala
ini umumnya unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma
nasofaring. Sehingga bila timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui
perlu diwaspadai sebagai karsinoma nasofaring.
Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga pada
umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer telah
meluas ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah
bening servikal. Pada stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf
otak karena pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran kelenjarleher. Tumor
yang meluas ke rongga tengkorak melalui foramen laserasum dan mengenai grup anterior
saraf otak yaitu syaraf otak III, IV dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf
otak VI (paresis abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah
sisi yang sakit. Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi (rasa
tebal) pada pipi dan wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf
penggerak mata terkena. Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan
intrakrania.
Metastasis
mengakibatkantimbulnya
sel-sel
pembesaran
tumor
melalui
kelenjar
getah
kelenjar
getah
bening
bening
bagian
samping
2)
3)
4)
5)
ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paruparu dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4
%, dan tiroid 0.4 %.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor
sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.
b. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus
E-B.
c. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan anestesi topikal dengan
Xylocain 10 %.
d. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis
9. Therapy
a. Radioterapi merupakan pengobatan utama
b. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan
tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan
serologik) , pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan antivirus. Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin
dan 5-fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cisplatinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral
sebelum diberikan radiasi yang bersifat RADIOSENSITIZER.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajiaan
a. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan
riwayat kanker payudara
b. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
c. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan
makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).
d. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan
dan kebiasaan hidup.
e. Tanda dan gejala :
1) Aktivitas
diit
buruk
(rendah
serat,
aditif,
bahanpengawet),
anoreksia,
2) Palpasi : saat dipalpasi adanya massa yang besar, selain itu terasa nyeri apabila
ditekan.
3) Pemeriksaan THT
a) Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.
b) Rinoskopia anterior, yaitu :
- Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya
-
banyak sekret.
Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung,
efek
radiasi kemoterapi
f. Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
g. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya berhubungan dengan mis
intepretasi informasi, ketidak familiernya sumber informasi.
h. Defisit self care berhubungan dengan kelemahan
i. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit,
pengobatan penyakit.
3. Rencana Keperawatan
NO
DIAGNOSA
TUJUAN
INTERVENSI
1 Bersihan jalan nafasSetelah dilakukan asuhanAirway (Manajemen Jalan Nafas)
tidak
efektif
b.dkeperawatanjam
a. Bebaskan jalan nafas
sekresi berlebihan
diharapkan terjadi kepatenan b. Posisikan
klien
untuk
jalan nafas pada status
memaksimalkan ventilasi
respirasi pasien dengan
c. Identifikasi
apakah
klien
kriteria hasil :
membutuhkan insertion airway
1. Tidak ada panas
d. Jika perlu, lakukan terapi fisik
2. Cemas tidak ada
(dada)
3. Obstruksi tidak ada
4. Respirasi dalam batas e. Auskultasi suara nafas, catat daerah
normal 16-20x/mnt
yang terjadi penurunan atau tidak
5. Pengeluaran sputum dari
adanya ventilasi
jalan nafas
f. Berikan bronkhodilator, jika perlu
6. Suara nafas: vesikuler
g. Atur pemberian O2, jika perlu
h. Atur intake cairan agar seimbang
i. Atur posisi untuk mengurangi
dyspnea
j. Monitor status pernafasan dan
oksigenasi
Airway Suctioning (Suction Jalan
Nafas)
a. Keluarkan sekret dengan dorongan
batuk atau suctioning
b. Lakukan suction pada endotrakhel
atau nasotrakhel, jika perlu
2
37,5C)
g.
h.
i.
j.
k.
farmakologis)
Ajarkan teknik non farmakologis
(relaksasi, distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri
Berikan
analgetik
untuk
mengurangi nyeri
Evaluasi tindakan pengurang nyeri
atau kontrol nyeri
Kolaborasi dengan dokter bila ada
komplain
tentang
pemberian
analgetik tidak berhasil
Monitor penerimaan klien tentang
manajemen nyeri
Administrasi Analgetik
a. Cek riwayat alergi
b. Cek program pemberian analgetik
(jenis, dosis, dan frekuensi)
c. Monitor TTV sebelum dan sesudah
pemberian analgetik.
d. Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul
e. Evaluasi efektifitas analgetik, tanda
dan gejala efek samping
3
Gangguan
sensoriSetelah dilakukan asuhanSensori
persepsi b/d gangguankeperawatanjam a. Tentukan ketajaman penglihatan,
status organ sekunderdiharapkan klien mampu apakah satu atau dua mata terlibat
metastase tumor
beradaptasi
terhadap b. Orientasikan
pasien
terhadap
perubahan sensori pesepsi
lingkungan
dengan kriteria hasil :
1. Mengenal gangguan dan c. Observasi tanda-tanda dan gejala
berkompensasi terhadap disorientasi
d. Perhatikan tentang suram atau
perubahan
penglihatan kabur
e. Bicara dengan gerak mulut yang
jelas
f. Bicara pada sisi telinga yang sehat
f. Tinjau
ulang
efek
samping
dermatologis yang dicurigai pada
kemoterapi
Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan intervensi
j. Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
k. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya berhubungan dengan mis
intepretasi informasi, ketidak familiernya sumber informasi.
l. Defisit self care berhubungan dengan kelemahan
Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit,
pengobatan penyakit.
4. Evaluasi
Dx 1
Dx 2
Dx 3
Dx 4
Dx 5
Dx 6
Dx 7
Dx 8
Dx 9
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Vol.2. Jakarta: EGC.
Cottrill CP, Nutting CM. Tumors at The Nasopharynx. In: Principles and Practice of Head
and Neck Oncology. London: Martin Dunitz; 2003. p. 193214.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Doengoes E.Marilyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dn Klasifikasi. Jakarta: EGC
J. C. E. Underwood. 2002. Patologi Umum dan Sistemik. Jakarta: EGC
Kowalak, Jenifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
National Comprehensive Cancer Network (NCCN). NCCN Clinical Practice Guidelines in
Oncology (NCCN Guidelines) : Head and Neck Cancers Version 2.2013. NCCN;
2013.
Diakses
tanggal
1
Januari
2015
http://oralcancerfoundation.org/treatment/pdf/head-and-neck.pdf
Sylvia A. Price. 2006. Patofosiologi Konsep Penyakit. Jakarta: EGC