B. Epidemiologi
Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker
payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru. Berdasarkan
GLOBOCAN 2012 87.000 kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya
(dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru
pada perempuan) 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki,
dan 15.000 pada perempuan). KNF terutama ditemukan pada pria usia
produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60%
pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun. Angka kejadian tertinggi di
dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni sebesar 40 - 50 kasus
kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk. Kanker nasofaring sangat
jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka
kejadian sekitar <1/100.000 penduduk (Kemkes, 2015).
C. Faktor Resiko
Faktor resiko yang meningkatkan terjadinya karsinoma nasofaring
menurut Kemkes, 2015 adalah :
1) Jenis Kelamin
Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
2) Ras
Kanker jenis ini lebih sering mempengaruhi orang-orang di Asia dan
Afrika Utara. Di Amerika Serikat, imigran Asia memiliki risiko lebih
tinggi dari jenis kanker, dibandingkan orang Asia kelahiran Amerika.
3) Umur
Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering
didiagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun.
4) Makanan yang diawetkan
Bahan kimia yang dilepaskan dalam uap saat memasak makanan,
seperti ikan dan sayuran diawetkan, dapat masuk ke rongga hidung,
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Paparan bahan kimia ini
pada usia dini, lebih dapat meningkatkan risiko.
5) Virus Epstein-Barr Virus
umumnya ini biasanya menghasilkan tanda-tanda dan gejala ringan,
seperti pilek. Kadang-kadang dapat menyebabkan infeksi
mononucleosis. Virus Epstein-Barr juga terkait dengan beberapa
kanker langka, termasuk karsinoma nasofaring.
6) Sejarah keluarga
Memiliki anggota keluarga dengan karsinoma nasofaring
meningkatkan risiko penyakit.
D. Patofisiologi
Infeksi EBV terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva
dan sel limfosit. Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan
menjadi laten dalam limfosit B. Mula-mula, glikoprotein (gp350/220)
pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 (reseptor virus) di
permukaan limfosit B. Masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B
menyebabkan limfosit B menjadi imortal. Namun, mekanisme masuknya
EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti.
Namun demikian, terdapat dua reseptor yang diduga berperan dalam
masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR
(Polimeris Imunoglobin Receptor).
Sel yang terinfeksi oleh EBV dapat menimbulkan beberapa kemungkinan
yaitu :
Sel yang terinfeksi EBV akan mati dan virus akan bereplikasi
EBV yang menginfeksi sel akan mati sehingga sel menjadi normal
kembali
Terjadi reaksi antara sel dan virus yang mengakibatkan
transformasi/perubahan sifat sel menjadi ganas sehingga
terbentutlah sel kanker
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten yaitu
EBERs,EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B.
Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi
laten.
Protein transmembran LMP2A dan LMP2B à menghambat
sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik
virus.
Protein transmembran LMP1 (gen yang paling berperan dalam
transformasi sel) menjadi perantara sinyal TNF (Tumor Necrosi
Factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang meningkatkan
proliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal
E. Manifestasi Klinis
Pada stadium dini tumor ini sulit dikenali. Penderita biasanya datang pada
stadium lanjut saat sudah muncul benjolan pada leher, terjadi gangguan
saraf, atau metastasis jauh. Gejala yang muncul dapat berupa hidung
tersumbat, epistaksis ringan, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia
dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada
leher (Kemkes, 2015).
F. Klasifikasi
Klasifikasi menurut Kemkes, 2015 berdasarkan klasifikasi TNM (AJCC,
7 th ed, 2010), dapat ditentukan dengan menilai karakteristik massa
tumor, kelenjar getah bening yang terlibat, dan metastasis ke organ lain.
Tumor Primer
1) (T) Tx Tumor primer tidak dapat dinilai T0 Tidak terdapat tumor
primer Tis Karsinoma in situ
2) T1 Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring
dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal
3) T2 Tumor dengan perluasan ke parafaringeal
4) T3 Tumor melibatkan struktur tulang dari basis kranii dan atau sinus
paranasal
5) T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau keterlibatan saraf
kranial, hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa
infratemporal / masticator space
Stadium T N M
Stadium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T1 N1 M0
T2 N0-N1 M
Stadium III T1-T2 N2 0
T3 N0-N2 M
Stadium IVA T4 N0-N2 0
Stadium IVB T1-T4 N3 M0
Stadium IV T1-T4 N0-N3 M1
G. Diagnostik
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang
1) Anamnesis
Terdiri dari gejala hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta
gejala metastasis/ leher. Gejala tersebut mencakup hidung tersumbat,
lendir bercampur darah, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia
dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan
pada leher.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan status generalis dan status lokalis. Pemeriksaan
nasofaring dapat dilakukan dengan rinoskopi posterior dan
nasofaringoskop (fiber/rigid)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan/MRI nasofaring potongan
koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras berguna
untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitar
dan penyebaran kelenjar getah bening. Untuk metastasis jauh
dilakukan pemeriksaan foto toraks, bone scan, dan USG abdomen.
b) Pemeriksaan Patologi Anatomi
Karsinoma nasofaring dibuktikan melalui pemeriksaan patologi
anatomi dengan spesimen berasal dari biopsi nasofaring. Hasil
biopsi menunjukkan jenis keganasan dan derajat diferensiasi.
Pengambilan spesimen biopsi dari nasofaring dapat dikerjakan
dengan bantuan anestesi lokal ataupun dengan anestesi umum.
c) Biopsi Nasofaring
Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari biopsi
nasofaring. Sementara biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH) atau
biopsi insisional/eksisional kelenjar getah bening leher bukan
merupakan diagnosis pasti. Biopsi dilakukan dengan
menggunakan tang biopsi yang dimasukkan melalui hidung atau
mulut dengan tuntunan rinoskopi posterior atau tuntunan
nasofaringoskopi rigid/fiber.
d) Biopsi Aspirasi Jarum Halus Kelenjar Leher
Pembesaran kelenjar leher yang diduga keras sebagai metastasis
tumor ganas nasofaring yaitu, internal jugular chain superior,
posterior cervical triangle node, dan supraclavicular node jangan
di biopsi terlebih dulu sebelum ditemukan tumor induknya. Yang
mungkin dilakukan adalah Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH).
H. Penatalaksanaan
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan
didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala. Koordinasi
antara bagian THT, Onkologi Radiasi, dan Onkologi Medik merupakan
hal penting yang harus dikerjakan sejak awal. Sebelum dilakukan terapi
radiasi dan kemoterapi dilakukan persiapan pemeriksaan gigi, mata, dan
neurologi. Penderita dengan status performa kurang baik atau penderita
yang status performanya menurun selama pengobatan, sebaiknya
disarankan rawat inap agar dapat dilakukan monitor ketat untuk
mencegah timbulnya efek samping yang berat.
1) Radioterapi
Radioterapi merupakan pengobatan terpilih dalam tatalaksana kanker
nasofaring yang telah diakui sejak lama dan dilakukan di berbagai
sentra dunia. Radioterapi dalam tatalaksana kanker nasofaring dapat
diberikan sebagai terapi kuratif definitif dan paliatif.
2) Kemoterapi
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan
pada pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai
radiosensitizer diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m2
sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum
dilakukan radiasi. Pada kasus N3 > 6 cm, diberikan kemoterapi dosis
penuh neo adjuvant atau adjuvan. Terapi sistemik pada Karsinoma
Nasofaring adalah dengan kemoradiasi dilanjutkan dengan
kemoterapi adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-
FU atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40
mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali. Adapun terapi
sistemik pada Karsinoma Nasofaring kasus Rekuren/Metastatik
adalah:
a. Terapi Kombinasi
Cisplatin or carboplatin + docetaxel or paclitaxel
Cisplatin/5-FU
Carboplatin
Cisplatin/gemcitabine
Gemcitabine
Taxans + Patinum +5FU
b. Terapi Tunggal
Cisplatin
Carboplatin
Paclitaxel
Docetaxel
5-FU
Methotrexate
Gemcitabine
3) Dukungan Nutrisi
Pasien karsinoma nasofaring (KNF) sering mengalami malnutrisi
dengan prevalensi 35% dan sekitar 6,7% mengalami malnutrisi berat.
Prevalensi kaheksia pada kanker kepala-leher (termasuk KNF) dapat
mencapai 67%. Malnutrisi dan kaheksia dapat mempengaruhi respons
terapi, kualitas hidup, dan survival pasien. Pasien KNF juga sering
mengalami efek samping terapi, berupa mukositis, xerostomia, mual,
muntah, diare, disgeusia, dan lain-lain. Berbagai kondisi tersebut
dapat meningkatkan meningkatkan stres metabolisme, sehingga
pasien perlu mendapatkan tatalaksana nutrisi secara optimal.
Tatalaksana nutrisi dimulai dari skrining, diagnosis, serta tatalaksana,
baik umum maupun khusus, sesuai dengan kondisi dan terapi yang
dijalani pasien. Selain itu, pasien KNF memiliki angka harapan hidup
yang cukup baik, sehingga para penyintas tetap perlu mendapatkan
edukasi dan terapi gizi untuk meningkatkan keluaran klinis dan
kualitas hidup pasien.
4) Prinsip rehab medik pasien kanker nasofaring
Rehabilitasi medik bertujuan untuk mengoptimalkan pengembalian
kemampuan fungsi dan aktivitas kehidupan sehari-hari serta
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara aman & efektif,
sesuai kemampuan yang ada. Pendekatan rehabilitasi medik dapat
diberikan sedini mungkin sejak sebelum pengobatan definitif
diberikan dan dapat dilakukan pada berbagai tingkat tahapan &
pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan penanganan
rehabilitasi kanker: preventif, restorasi, suportif atau paliatif.
5) Edukasi
6) Follow Up
Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi & pemeriksaan fisik :
Tahun 1 : setiap 1-3 bulan
Tahun 2 : setiap 2-6 bulan
Tahun 3-5 : setiap 4-8 bulan
> 5 tahun : setiap 12 bulan
Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca
terapi :
a) MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC
b) Bone Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis
tulang.
Follow-up imaging terapi paliatif (dengan terapi kemoterapi); Follow-
up dengan CT Scan pada siklus pertengahan terapi untuk melihat
respon kemoterapi terhadap tumor atau bone scan untuk melihat
metastasis tulang.
I. Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada
pertumbuhan lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi
cenderung lebih agresif daripada yang non keratinasi dan tidak
berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering
pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai
limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus
berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti
stadium yang lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada
perempuan dan ras Cina daripada ras kulit putih (Arima, 2006)
J. Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme,
fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak,
trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi.
Retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap
kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa
kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan
penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada
pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin
beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula
merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan
perawatan gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009)
3 Resiko perdarahan Setelah diberikan asuhan keperawatan selama…. NIC Label : Bleeding Precaution
berhubungan dengan x 24 jam diharapkan tidak terdapat tanda-tanda 1. Monitor dari tanda dan gejala perdarahan yang berlebihan
program pengobatan perdarahan dengan kriteria hasil: 2. Monitor vital sign
NOC Label: Blood Loss Severity 3. Monitor adanya perdarahan tertutup
a. Tidak terlihat kehilangan darah berlebihan 4. Menghindari memasukan benda asing ke daerah yang benda
b. Tekanan darah dalam batas normal (100- asing kedalam hidung yang dapat menyebabkan perdarahan
120/60-80 mmHg) 5. Instruksikan pasien atau keluarga untuk memperhatikan tanda-
c. Nadi dalam batas normal (60-100 tanda perdarahan
kali/menit)
d. Tidak terjadi Penurunan kadar darah (HGB)
4 Risiko infeksi berhubungan Setelah diberikan asuhan keperawatan selama…. NIC Label: Infection Control
dengan ketidakadekuatan x 24 jam diharapkan tidak terdapat tanda-tanda 1. Inspeksi kulit dan mukosa membrane terhadap kemerahan,
pertahan sekunder infeksi dengan kriteria hasil: kehangatan ekstrem, atau drainase
(imunmosupresi) NOC Label: Infection Severity 2. Monitor suhu tubuh pasien
3. Tingkatkan asupan cairan, dengan tepat
a. Tidak terdapat tanda kemerahan
4. Ajarkan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan
b. Temperature tubuh pasien stabil
melaporkan kepada penyedia pelayan kesehatan pabila ada tanda
c. Pasien tidak mengalami demam
dan gejala infeksi
d. WBC dalam batas normal (4.000-
5. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai cara mencuci tangan
11.000/mm3)
dengan tepat
5 Gangguan sensori Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … NIC Label: Communication Enhancement: Hearing Deficit
persepsi: pendengaran x 24 jam, diharapkan gangguan sensori 1. Orientasikan dengan kenyataan
berhubungan dengan persepsi: pendengaran berkurang dengan 2. Memberikan dukungan secara emosional
3. Ajarkan klien perawatan telinga yang sesuai indikasi
perubahan sensori kriteria hasil: 4. Memperbaiki cara komunikasi dengan bicara pelan di dekat
persepsi pendengaran klien dan tidak berteriak-teriak
yang ditandai dengan NOC Label: Sensory Function: Hearing 5. Berikan posisi yang nyaman dan tidak bising
a. Tidak terjadi distorsi pendengaran 6. Mengurangi kegaduhan pada lingkungan klien.
distorsi pendengaran,
b. Komunikasi yang dilakukan dapat diterima 7. Memberikan pencahayaan yang memadai bila klien bergantung
perubahan pola
klien pada gerak bibir
komunikasi dan gelisah
c. Klien memahami apa yang sedang 8. Menggunakan tanda-tanda nonverbal
dibicarakan 9. Instruksikan kepada keluarga atau orang terdekat klien tentang
d. Klien tidak berbicara keras dan berteriak bagaimana teknik komunikasi yang efektif
e. Klien tidak berulang kali bertanya mengenai 10. Bila klien menginginkan dapat digunakan alat bantu
apa yang dibicarakan pendengaran
Daftar Pustaka
Nanda 2015-2017. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi. Edisi 10. Jakarta :
EGC