Anda di halaman 1dari 23

CA.

SINONASAL

LAPORAN PENDAHULUAN CA SINONASAL

A. Konsep Dasar Medis

1. Pengertian

Karsinoma sinonasal adalah penyakit dimana kanker (ganas) sel ditemuka dalam

jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung.

2. Etiologi

1) Eksposur kepada asap industri, debu kayu, penyulingan nikel, dan penyamakan

kulit

2) Rokok dan alkohol

3) Makanan yang diasinkan

4) Human papilloma virus (HPV)

3. Patofisiologi

Eksposur kepada asap industri, debu kayu, penyulungan nikel dan

penyamakan kulit semua telah terlibat dalam karsinogenesis berbagai jenis tumor

ganas sinonasal. Eksposur khusus, kayu debu dan penyamakan kulit baik

berhubungan dengan peningkatan resiko adenokarsinoma lain. Agen etiologi telah

dilaporkan termasuk minyak mineral, dan senyawa kromium, minyak isosopril, cat

pernis, dan las. Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu

keras, merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas

sinonasal. Peningkatn resiko (5-50 kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor

ganas yang berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau

lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian paparan. Paparan

terhadap throtrast, agen kontras, radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan.

Tembakau dan penggunaan alkohol belum dibuktikan secara meyakinkan sebagai

Lidya Sampe P., S. Kep Page 1


CA. SINONASAL

faktor penyebab dalam pengembangan tumor sinus paranasal. Namun, agen virus

khususnya human papilloma virus (HPV), juga memainkan peran penyebab. Semua

agen karsinogen tersebut memicu timbulnya pertumbuhan yang abnormal pada sinus.

4. Klasifikasi Tumor

a. Tumor jinak

Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makrokopis

mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis

papiloma, pertama eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut

papiloma inverted. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah

menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua. Terapi adalah

bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi media.

Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai

massa yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus

paranasal dan mendorong bola ke anterior.

b. Tumor ganas

Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70

%),disusul oleh karsinoma yang berdeferensiasi dann tumor kelenjar. Sinus

maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus ethmoid (15-

25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang

terkena.

Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 55 %) karena

rongga sinus sangat miskin dengan system limfa kecuali bila tumor sudah

menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan system limfatik.

Lidya Sampe P., S. Kep Page 2


CA. SINONASAL

Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10 %) dan organ yang sering

tertekan metastasis jauh adalah hati dan paru.

c. Invasi Sekunder

1) Pituitary adenomas

2) Chordomas

3) Invasi sekunder lain ( karsinoma nasofaring, meningioma, tumor

ondontogenik, neoplasma skeleton kraniofasial jinak dan ganas, tumor orbita

dan apparatus lakrimal.

Klasifikasi histologi tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasalis

menurut WHO :

a) Karsinoma Sel skuamosa

Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma epitelial

maligna yang berasal dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus

paranasal termasuk tipe keratinizing dan non keratinizing. Karsinoma sel

skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus maksilaris (sekitar

60 -70 %), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus sfeinodalis

dan frontalis (sekitar 1 %). Simpton berupa rasa penuh atau hidung

tersumbat, epitaksis, rinorea, nyeri, parastesia, pembengkakan pada

hidung, pipi dan palatum, luka yang tidak kunjung sembuh atau ulkus,

adanya massa pada kavum nasi, pada kasus lanjut dapat terjadi proptosis,

diplopia, atau lakrimasi. Pemeriksaaan radiologis, CT scan, atau MRI

dapat didapatkan perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan pada struktur-

struktur yang bersebelahan seperti mata, pterygopalatine atau ruang

infratemporal. Secara makroskopik, karsinoma sel skuamosa

kemungkinan berupa exophtic, fungating atau papiler. Biasanya rapuh,

Lidya Sampe P., S. Kep Page 3


CA. SINONASAL

berdarah, terutama berupa nekrotik, atau indurated, dermacated atau

infiltratif.

b) Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carsinoma

Secara histologi, tumor ini identik dengan carsinoma sel

skuamosa dari lokasi mukosa lain pada daeah kepala dan leher.

Ditemukan diferensial skuamosa, di dalamm bentuk keratin ekstraseluler

atau keratin intraseluler (sitoplasma merah muda, sel-sel diskerotik) dan /

atau / intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam sarang – sarang,

massa atau sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi

ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik.

Karsinoma ini dinilai berupa diferensiansi baik, sedang atau buruk.

c) Mikroskopik Non- Keatinizing (Cylindrical Cell, transitional)

Carsinoma

Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus

sinonasal yang dikarakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like

growth pattern. Dapat menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan

batas yang jelas. Tumor ini dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun

buruk. Diferensiasi buruk sulit sebagai skuamosa, dan harus dibedakan

dari olfactory neruoblastoma atau karsinoma neuroendokrin.

d) Undifferentiated Carsinoma

Undifferentiated Carsinoma merupakan karsinoma yang jarang

ditemukan, sangat agresif dan histogenesisnya tidak pasti.

Undifferentiated carcinoma berupa massa yang cepat membesar sering

melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan melampaui batas-

batas anatomi dari saluran sinonasal. Gambaran mikroskopik berupa

Lidya Sampe P., S. Kep Page 4


CA. SINONASAL

proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi,

termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid.

Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat hingga oval

dan memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol,

sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis

meningkat dengan gambaran mitosis atipikal, nekrosis tumor dan

apoptosis. Pemeriksaan tambahan seperti imunohistokimia, mikroskop

elektron dan biologi molekuler seringkali diperlukan dalam diagnosis

undifferentiated carcinoma dan dapat membedakan keganasan ini dari

neoplasma ganas lainnya.

e) Limfona Maligna

Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal

dari sel natural killer (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus

mengidentifasikan bahwa limfoma primer dapat juga berasal dari sel B

dan T. Limfoma pada nasal jarang ditemukan di western countries,

umumnya dijumpai di negara-negara Asia. Dikarakteristikkan dengan

infiltrat limfotomas difus yang meluas ke mukosa nasal dan sinus

paranasal, dengan pemisahan yang luas dan destruksi mukosa kelenjar

sehingga memperlihatkan clear cell change. Nekrosis koagulatif luas dan

apoptotic bodies selalu diterapkan. Dinding pembuluh darah sering

ditemukan angiosentrik, angiodestruksi dan deposit fibrinoid. Sel-sel

limfoma ukurannya bervariasi mulai dari kecil, medium hingga berukuran

besar. Sel-sel memiliki sitoplasma pucat dan granul azurofilik pada

sitoplasmanya yang dapat dilihat dengan pewarnaan Giemsa. Beberapa

kasus berhubungan dengan infiltrat inflamatori yang mengandung limfosit

Lidya Sampe P., S. Kep Page 5


CA. SINONASAL

kecil, histiosit, sel-sel plasma dan eosinofil. Terkadang hiperflasia

pseudoepiteliomatosa pada pelapis epitel skuamosa dapat ditemukan,

menyerupai karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik.

f) Adenokarsinoma

Sinonasal adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandullar

maligna dan tidak menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma

dijumpai 10 hingga 14 % keseluruhan tumor ganas dan sinus paranasal.

Secara klinis merupakan neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada

laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di

dalam kelenjar salivasi minor dari traktrus aerodigestivus bagian atas.

Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan ethmoid. Simton primer

berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi dan /

atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya.

Adenokarsinoma menunjukkan tiga pola pertumbuhan yaitu sessile,

papilari, dan alveolar mucoid. Adenokarsinoma menyerbar dengan

minginvasi dan merusak jaringan lunak dan tulang disekitarnya dan jarang

bermetastasis. Prognosis jelek dan biasanya penderita meninggal dunia

disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya metastasis.

g) Melanoma Maligna

Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan

yang signifikan antara pria dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis

kelamin. Secara makroskopik, masaa polipoid berwarna keabu-abuan atau

hitam kebiru-biruan pada 45 % kasus. Di dalam kavum nasi, lokasi yang

sering ditemukan melanoma maligna ini adalah daerah posterior septum

nasal diikuti dengan turbinate medial dan inferior. Tumor menyebar

Lidya Sampe P., S. Kep Page 6


CA. SINONASAL

melalui aliran darah atau limfatik. Metastasis nodul servikal dapat

ditemukan pada pemeriksaan awal.

Pembagian sistem TNM menurut Simson sebagai berikut :

T :

T–1:

a. Tumor pada dinding anterior antrum

b. Tumor pada dinding nasoantral inferior

c. Tumor pada palatum bagian anteromedial

T–2:

a. Invasi ke dinding lateral tanpa mengenai otot

b. Invasi ke dinding superior tanpa mengenai orbita

T–3:

a. Invasi ke m.pterigoid

b. Invasi ke orbita

c. Invasi ke selule etmoid anterior tanpa mengenai lamina kribrosa

d. Invasi ke dinding anterior dan kulit diatasnya

T–4 :

a. Invasi ke lamina kribrosa

b. Invasi ke fosa pterigoid

c. Invasi ke rongga hidung atau sinus maksila kontra lateral

d. Invasi ke lamina pterigoid

e. Invasi ke selule etmoid posterior

f. Ekstensi ke resesus etmo-sfenoid

N : Kelenjar getah bening regional

N – 1 : Klinis teraba kelenjar, dapat digerakkan

Lidya Sampe P., S. Kep Page 7


CA. SINONASAL

N – 2 : Tidak dapat digerakkan

M : Metastasis

M – 1 : Stadium dini, tumor terbatas di sinus

M – 2 : Stadium lanjut, tumor meluas ke struktur yang berdekatan

Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium yaitu stadium dini (stadium 1

dan 2), stadium lanjut (stadium 3 dan 4). Lebih dari 90 % pasien datang

dalam stadium lanjut dan sulit menentukan asal tumor primernya karena

hampir seluruh hidung dan sinus paranasal sudah terkena tumor.

 Stadium

Stadium 0 T 1s N0 M0

Stadium 1 T1 N0 M0

Stadium II A T2a N0 M0

Stadium II B T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0,N1 M0

Stadium III T1 N2 M0

T2a, T2b N2 M0

T3 N2 M0

Stadium IV a T4 N0, NI, N2 M0

Stadium IV b Semua T N3 M0

Stadium IV c Semua T Semua N M1

Lidya Sampe P., S. Kep Page 8


CA. SINONASAL

5. Manifestasi Klinik

Gejala tergantung dari asal tumor primer serta arah dan perluasannya. Tumor di

dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar,

sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga

mulut, pipi, orbita atau intrakranial.

Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut :

1) Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea.

Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistasksis. Tumor yang besar

dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada

tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.

2) Gejala orbital. Perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala diplopia,

protosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan

epifora.

3) Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau

ulkus di palatum atau di prossesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya

tidak pas lagi, atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter

karena gigi nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah

dicabut.

4) Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi.

Disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus

trigeminus.

5) Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkann sakit

kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu

cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii

media maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang,

Lidya Sampe P., S. Kep Page 9


CA. SINONASAL

terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan

parestesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.

6. Pemeriksaan Penunjang

1) Radiologic Imaging

Radiologic imaging penting untuk menentukan staging. Plain film menunjukkan

destruksi tulang, meskipun demikian pada beberapa kasus dapat menunjukkan

keadaan normal.

2) Screening Computed Tomography (CT) Scan

3) MRI

Digunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan soft tissue, membedakan

sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying lesion, menunjukkan

penyebaran perineural, membuktikan keunggulan imaging pada sagital plane,

dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image

terdepan untuk mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale

dan optic canal. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal

berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi

dari lemak di dalam pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip dengan

otak.

4) Positron Emission Tomography (PET)

5) Angiography dengan carotid –flow study

6) CT scan dada dan abdomen

Lidya Sampe P., S. Kep Page 10


CA. SINONASAL

7. Komplikasi

1) Perdarahan

Perdarahan dapat terjadi jika arteri pada awalnya di vasospasme dan jika tidak

ada perdarahan aktif dicatat sampai setelah operasi.

2) CSF

3) Epiphora

Epiphora adalah komplikasi umum dari operasi yang disebabkan oleh obstruksi

4) Diplopia. Diplopia adalah komplikasi yang dikenal dalam setiap operasi yang

melibatkan kerucut orbital.

5) Rekonstruksi

8. Penatalaksanaan

1) Bedah. Mungkin diperlukan untuk menghilangkan bagian dari rongga hidung

atau sinus paranasal pada setiap tahap penyakit ini. Juga, beberapa diseksi

kelenjar getah bening mungkin diperlukan di leher, tergantung pada pementasan

dan grading. Dapat dikombinasikan dengan radioterapi di setiap tahap,

tergantung pada jenis kanker dan lokasinya.

2) Radioterapi. Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan

sendiri pada tahap I dan penyakit II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam

setiap tahap penyakit. Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi

dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan

penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel – sel kanker

di zona diobati. Terapi radiasi juga digunakan untuk paliatif (kontrol gejala) pada

pasien dengan kanker tingkat lanjut.

3) Kemoterapi. Biasanya digunakan untuk tahap III dan IV penyakit.

Lidya Sampe P., S. Kep Page 11


CA. SINONASAL

B. Konsep Keperawatan

1. PENGKAJIAN

a. Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:

Gejala-gejala khas tergantung ukuran tumor, kegansan dan stadium penyakit, antara

lain:

Gejala hidung:

 Buntu hidung unilateral dan progresif.

 Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.

 Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.

 Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan

kemungkinan keganasan.

 Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus,

sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi

tumor ganas.

Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:

 Pembengkakan pipi

 Pembengkakan palatum durum

 Geraham atas goyah, maloklusi gigi

 Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.

Pada tumor ganas didapati gejala sistemik:

 Penurunan berat badan lebih dari 10 %

 Kelelahan/malaise umum

Lidya Sampe P., S. Kep Page 12


CA. SINONASAL

 Napsu makan berkurang (anoreksia)

 Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum: didapatkan

pembengkakan sesuai lokasi pertumbuhan tumor

 Palpasi, teraba tumor dan pembesaran kelenjar leher

b. Pengkajian Diagnostik:

 Rinoskopi anterior untuk menilai tumor dalam rongga hidung

 Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring

 Foto sinar X:

- WATER (untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus maksilaris dan

sinus frontal)

-Tengkorak lateral ( untuk melihat ekstensi ke fosa kranii anterior/medial)

-RHEZZE (untuk melihat foramen optikum dan dinding orbita)

-CT Scan (bila diperlukan dan fasilitas tersedia)

 Biopsi:

- Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada tumor yang tampak.

Tumor dalam sinus maksilaris dibiopsi dngan pungsi melalui meatus

nasi inferior. Bila perlu dapat dilakukan biopsi dengan pendekatan

Caldwell-Luc. Tumor yang tidak mungkin/sulit dibiopsi langsung

dilakukan operasi. Untuk kecurigaan terhadap keganasan bila perlu

dilakukan potong beku untuk diperiksa lebih lanjut.

Lidya Sampe P., S. Kep Page 13


CA. SINONASAL

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1) Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status kesehatan-

sosial-ekonomik, perubahan fungsi-peran, perubahan interaksi sosial, ancaman

kematian, perpisahan dari keluarga.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Orientasikan klien dan orang terdekat


Informasi yang tepat tentang situasi yang
terhadap prosedur rutin dan aktivitas
dihadapi klien dapat menurunkan
yang diharapkan.
kecemasan/rasa asing terhadap lingkungan

sekitar dan membantu klien mengantisipasi

dan menerima situasi yang terjadi.

2. Eksplorasi kecemasan klien dan

berikan umpan balik. Mengidentifikasi faktor pencetus/pemberat

masalah kecemasan dan menawarkan

solusi yang dapat dilakukan klien.

3. Tekankan bahwa kecemasan adalah

masalah yang lazim dialami oleh

banyak orang dalam situasi klien saat Menunjukkan bahwa kecemasan adalah

ini. wajar dan tidak hanya dialami oleh klien

satu-satunya dengan harapan klien dapat

Lidya Sampe P., S. Kep Page 14


CA. SINONASAL

4. Ijinkan klien ditemani keluarga memahami dan menerima keadaanya.

(significant others) selama fase

kecemasan dan pertahankan


Memobilisasi sistem pendukung,
ketenangan lingkungan.
mencegah perasaan terisolasi dan

menurunkan kecemsan.
5. Kolaborasi pemberian obat sedatif.

6. Pantau dan catat respon verbal dan non

verbal klien yang menunjukan Menurunkan kecemasan, memudahkan

kecemasan. istirahat.

Menilai perkembangan masalah klien.

Lidya Sampe P., S. Kep Page 15


CA. SINONASAL

2) Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan, efek-efek

radioterapi/kemoterapi.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Diskusikan dengan klien dan keluarga


Membantu klien dan keluarga memahami
pengaruh diagnosis dan terapi
masalah yang dihadapinya sebagai langkah
terhadap kehidupan pribadi klien dan
awal proses pemecahan masalah.
aktiviats kerja.

2. Jelaskan efek samping dari

pembedahan, radiasi dan kemoterapi


Efek terapi yang diantisipasi lebih
yang perlu diantisipasi klien
memudahkan proses adaptasi klien

terhadap masalah yang mungkin timbul.


3. Diskusikan tentang upaya pemecahan

masalah perubahan peran klien dalam

keluarga dan masyarakat berkaitan Perubahan status kesehatan yang


dengan penyakitnya. membawa perubahan status sosial-

ekonomi-fungsi-peran merupakan masalah


4. Terima kesulitan adaptasi klien yang sering terjadi pada klien keganasan.

terhadap masalah yang dihadapinya

dan informasikan kemungkinan

perlunya konseling psikologis Menginformasikan alternatif konseling

profesional yang mungkin dapat ditempuh

Lidya Sampe P., S. Kep Page 16


CA. SINONASAL

5. Evaluasi support sistem yang dapat dalam penyelesaian masalah klien.

membantu klien (keluarga, kerabat,

organisasi sosial, tokoh spiritual)

Mengidentifikasi sumber-sumber

6. Evaluasi gejala keputusasaan, tidak pendukung yang mungkin dapat

berdaya, penolakan terapi dan dimanfaatkan dalam meringankan masalah

perasaan tidak berharga yang klien.

menunjukkan gangguan harga diri

klien.
Menilai perkembangan masalah klien.

3) Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Lakukan tindakan kenyamanan dasar


Meningkatkan relaksasi dan mengalihkan
(reposisi, masase punggung) dan
fokus perhatian klien dari nyeri.
pertahankan aktivitas hiburan (koran,

radio)

Lidya Sampe P., S. Kep Page 17


CA. SINONASAL

2. Ajarkan kepada klien manajemen

penatalaksanaan nyeri (teknik


Meningkatkan partisipasi klien secara aktif
relaksasi, napas dalam, visualisasi,
dalam pemecahan masalah dan
bimbingan imajinasi)
meningkatkan rasa kontrol diri/keman-

dirian.

Analgetik mengurangi respon nyeri.


3. Berikan analgetik sesuai program

terapi.

4. Evaluasi keluhan nyeri (skala, lokasi,

frekuensi, durasi) Menilai perkembangan masalah klien.

Lidya Sampe P., S. Kep Page 18


CA. SINONASAL

4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status metabolik

akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan distres emosional.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Dorong klien untuk meningkatkan


Asupan nutrisi dan cairan yang adekuat
asupan nutrisi (tinggi kalori tinggi
diperlukan untuk mengimbangi status
protein) dan asupan cairan yang
hipermetabolik pada klien dengan
adekuat.
keganasan.

2. Kolaborasi dengan tim gizi untuk

menetapkan program diet pemulihan Kebutuhan nutrisi perlu diprogramkan

bagi klien. secara individual dengan melibatkan klien

dan tim gizi bila diperlukan.

3. Berikan obat anti emetik dan roborans

sesuai program terapi.


Anti emetik diberikan bila klien mengalami

mual dan roborans mungkin diperlukan

untuk meningkatkan napsu makan dan

4. Dampingi klien pada saat makan, membantu proses metabolisme.

identifikasi keluhan klien tentang

makan yang disajikan.


Mencegah masalah kekurangan asupan

yang disebabkan oleh diet yang disajikan.


5. Timbang berat badan dan ketebalan

lipatan kulit trisep (ukuran

Lidya Sampe P., S. Kep Page 19


CA. SINONASAL

antropometrik lainnya) sekali

seminggu
Menilai perkembangan masalah klien.

6. Kaji hasil pemeriksaan laboratorium

(Hb, limfosit total, transferin serum,

albumin serum)

Menilai perkembangan masalah klien.

5) Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi

radioterapi/kemoterapi

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Tekankan penting oral hygiene.


Infeksi pada cavum nasi dapat bersumber

dari ketidakadekuatan oral hygiene.

2. Ajarkan teknik mencuci tangan

kepada klien dan keluarga, tekankan Mengajarkan upaya preventif untuk

untuk menghindari mengorek/me-

Lidya Sampe P., S. Kep Page 20


CA. SINONASAL

nyentuh area luka pada rongga hidung menghindari infeksi sekunder.

(area operasi).

3. Kaji hasil pemeriksaan laboratorium

yang menunjukkan penurunana fungsi

pertahanan tubuh (lekosit, eritrosit,

trombosit, Hb, albumin plasma)


Menilai perkembagan imunitas seluler/

4. Berikan antibiotik sesuai dengan humoral.

program terapi.

5. Tekankan pentingnya asupan nutrisi

kaya protein sehubungan dengan


Antibiotik digunakan untuk mengatasi
penurunan daya tahan tubuh.
infeksi atau diberikan secara profilaksis

pada pasien dengan risiko infeksi.


6. Kaji tanda-tanda vital dan gejala/tanda

infeksi pada seluruh sistem tubuh.

Protein diperlukan sebagai prekusor

pembentukan asam amino penyusun

antibodi.

Efek imunosupresif terapi radiasi dan

kemoterapi dapat mempermudah timbulnya

Lidya Sampe P., S. Kep Page 21


CA. SINONASAL

infeksi lokal dan sistemik.

Lidya Sampe P., S. Kep Page 22


CA. SINONASAL

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams at al (1997), Buku Ajar Penyakit THT, Ed. 6, EGC, Jakarta

2. Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC,

Jakarta

3. Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

4. Tim RSUD Dr. Soetomo (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit THT,

RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

5. Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4,

EGC, Jakarta

Lidya Sampe P., S. Kep Page 23

Anda mungkin juga menyukai