Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan

oleh Mycobacterium Tuberculosis. Tuberculosis dapat menyebar dari satu orang

ke orang lain melalui tranmisi udara atau droplet dahak pasien tuberculosis

(Depkes, 2011). Internasional Union Against Tuberculosis and Lung Disease

(2010) menyatakan bahwa pasien ketika didiagnosis Tuberkulosis paru timbul

ketakutan dalam dirinya, ketakutan itu dapat berupa ketakutan akan pengobatan,

kematian, efek samping obat, menularkan penyakit ke orang lain, kehilangan

pekerjaan, ditolak, perasaan rendah diri, selalu mengisolasi diri karena malu

dengan keadaan penyakitnya dan diskriminasinya sehingga kualitas hidup pasien

menurun.

Tuberculosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia

sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak

(Budiman, 2011).

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sepertiga penduduk

dunia telah terinfeksi kuman tuberculosis. Setiap detik ada satu orang yang

terinfeksi tuberculosis. Berdasarkan Global Tuberculosis Kontrol tahun 2011

angka prevalensi semua tipe TB adalah sebesar 289 per 100.000 penduduk atau

sekitar 690.000 kasus. Insidensi kasus baru TBC dengan BTA positif sebesar

1
2

189 per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus. Kematian akibat TB

diluar HIV sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 per hari Jurnal Kesehatan

Masyrakat, 2013).

Di kawasan Asia Tenggara, data WHO menunjukkan bahwa TBC membunuh

sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 persen dari kasus TBC di dunia

berada di Asia Tenggara. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk

Indonesia terdapat 130 penderita baru TB paru BTA positif (Depkes RI, 2012).

Menurut laporan WHO tahun 2013, Indonesia menempati urutan ketiga

jumlah kasus tuberculosis setelah India dan Cina dengan jumlah sebesar 700 ribu

kasus. Angka kematian masih sama dengan tahun 2011 sebesar 27 per 100.000

penduduk, tetapi angka insidensinya turun menjadi 185 per 100.000 penduduk di

tahun 2012 (WHO, 2013).

Pada tingkat provinsi, Case Detection Rate (CDR) tertinggi terdapat di

Provinsi Sulawesi Utara sebesar 85,2%, diikuti DKI Jakarta sebesar 81 % dan

Banten sebesar 77,7%. Sedangkan provinsi dengan CDR terendah adalah

Kalimantan Tengah sebesar 30,6 % diikuti oleh Kalimantan Timur sebesar 31,1

% dan Kepulauan Riau sebesar 32,3% (Kemenkes, 2013). Sedangkan untuk

provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2007 dan 2013 prevalensi penduduk yang

didiagnosis TB paru oleh petugas kesehatan masing-masing 0,2 % dan 0,3 %.

Lima Kabupaten/kota dengan TB paru tertinggi adalah Luwu Utara (0,54%),

Wajo (0,46 %), Bantaeng (0,44%), Jeneponto (0,44%), dan Gowa (0,40%)

(dinkes.sulselprov.go.id).
3

Sedangkan di Kabupaten Toraja Utara jumlah penderita TB paru

berjumlah sekitar 150 orang.

Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit TB paru serta

mencegah terjadinya resistensi obat telah dilaksanakan program nasional

penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment

Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO. Metode DOTS telah

diterapkan di Indonesia mulai tahun 1995 dengan 5 komponen yaitu komitmen

politik kebijakan dan dukungan dana penganggulangan TB paru, diagnosis TB

paru dengan pemeriksaan secara mikroskopik, pengobatan dengan Obat Anti TB

yang diawasi langsung oleh pengawas menelan obat (PMO), ketersediaan obat

dan pencatatan hasil kinerja program TB paru (Kemenkes R1, 2012).

Menurut Smeltzer dan Bare dalam Sujanam (2010), yang menjadi alasan

utama gagalnya pengobatan adalah pasien tidak mau minum obat secara teratur

dalam waktu yang diharuskan. Pasien biasanya bosan harus minum banyak obat

setiap hari selama beberapa bulan, karena itu pasien cenderung menghentikan

pengobatan secara sepihak. Keberhasilan pengobatan TB paru tidak hanya

tergantung pada aspek medis. Tetapi juga pada aspek sosial yang sangat

berperan dalam motivasi pasien menjalani pengobatan yang teratur (Helper,

2011). Menurut Harita dalam Nasution (2012), untuk mencapai keberhasilan

pengobatan dibutuhkan motivasi kesembuhan dari penderita yang menjadi daya

penggerak dalam diri individu sebagai upaya untuk pulih dari penyakitnya.

Kesembuhan yang ingin dicapai diperlukan keteraturan berobat bagi setiap

penderita. Diharapkan partisipasi pasien minum obat yang akan meningkatkan


4

kepatuhan minum obat pasien TB paru (Kartikasari, 2011). Panduan OAT

jangka pendek merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita.

Walaupun obat yang digunakan baik tetapi apabila penderita tidak berobat

dengan teratur maka umumnya hasil pengobatan akan mengecewakan (Manalu,

2011).

Pada negara berkembang terjadi kegagalan pengobatan karena hilangnya

motivasi pasien, informasi mengenai penyakitnya, efek samping obat, problem

ekonomi, sulitnya transportasi, faktor sosiopsikologis, alamat yang salah,

komunikasi yang kurang baik antara pasien TB paru dengan petugas kesehatan.

Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi pasien TB paru tetap menjadi

hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Kebanyakan pasien

tidak datang selama fase intensif karena tidak adekuatnya motivasi terhadap

kepatuhan berobat dan kebanyakan pasien merasa enak pada akhir fase intensif

dan merasa tidak perlu kembali untuk pengobatan selanjutnya. (Boyle, 2011).

Salah satu sumber motivasi bagi penderita TB untuk patuh dalam

menjalani pengobatan adalah keluarga. Dukungan keluarga memiliki peranan

yang besar dalam memberikan dorongan berobat kepada pasien. Keluarga adalah

orang pertama yang tahu tentang kondisi sebenarnya dari penderita TB paru dan

orang yang paling dekat serta berkomunikasi setiap hari dengan penderita.

Dorongan anggota keluarga untuk berobat secara teratur dan adanya dukungan

keluarga yang menjalin hubungan yang harmonis dengan penderita membuat

penderita diuntungkan lebih dari sekedar obat saja, melainkan juga membantu

pasien tetap baik dan patuh meminum obatnya. Pengaruh peran keluarga
5

terhadap kepatuhan minum obat penderita sangat besar. Namun sebaliknya,

penderita memiliki alasan tersendiri untuk tidak melanjutkan pengobatan. Pada

umumnya alasan responden menghentikan pengobatan karena paket obat terlalu

banyak dan besar-besar, merasa sudah sembuh yang ditandai dengan batuk berkurang,

perasaan sudah enak badan, sesak napas berkurang, nafsu makan baik.

Penelitian yang dilakukan Jojo (2006) tentang ketidakpatuhan TB Paru

dalam pengobatan menemukan bahwa pengobatan pasien TB paru yang tidak

lengkap disebabkan oleh peranan anggota keluarga yang tidak sepenuhnya

mendampingi penderita. Akibatnya penyakit yang diderita kambuh kembali dan

dapat menular kepada anggota keluarga yang lain. Selain itu penelitian yang

dilakukan oleh Hutapea (2009) menunjukkan dukungan keluarga dapat meningkatkan

kepatuhan minum obat penderita TB paru. Perhatian atas kemajuan pengobatan

memiliki pengaruh yang paling besar terhadap peningkatan kepatuhan minum OAT

penderita TB paru.

Motivasi dari keluarga kepada penderita TB paru untuk patuh menjalani

pengobatan sangat penting. Motivasi yang diberikan keluarga akan menjadi

semangat untuk penderita TB paru untuk sembuh. Kebosanan untuk berobat,

efek samping dari obat, perasaan rendah diri akan dapat diatasi oleh penderita

TB paru dengan adanya pendampingan serta motivasi dari keluarga.

Pada tahun 2015 jumlah penderita TB Paru di RSU. Elim Rantepao

adalah 71 orang. Fenomena yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa

motivasi keluarga dalam pengobatan TB paru terhadap penderita tidak

sepenuhnya terlaksana. Hal ini terlihat bahwa walaupun pengobatan gratis sudah
6

tersedia, namun hasil yang dicapai tidak maksimal yang diakibatkan oleh

kurangnya motivasi dari keluarga, malas dan penderita melakukan pengobatan

kembali manakala penyakit yang diderita kambuh kembali. Bahkan akibat

pengobatan yang tidak tuntas tersebut menyebabkan anggota keluarga lain

tertular penyakit tersebut.

Berdasarkan fakta-fakta dan masalah yang telah dipaparkan di atas maka

penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan

motivasi keluarga dengan kepatuhan berobat pada pasien TB Paru rawat

jalan di RSU. Elim Rantepao”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat dirumuskan

masalah penelitian sebagai berikut “Apakah ada hubungan antara motivasi

keluarga dengan kepatuhan berobat pada pasien TB Paru rawat jalan di RSU.

Elim Rantepao Tahun 2016”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan motivasi keluarga dengan kepatuhan berobat

pada pasien TB Paru rawat jalan di RSU. Elim Rantepao Tahun 2016.

2. Tujuan Khusus

Diketahuinya hubungan motivasi keluarga dengan kepatuhan berobat pasien

TB Paru rawat jalan di RSU. Elim Rantepao Tahun 2016.


7

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan memberikan manfaat bagi

pihak-pihak terkait, antara lain:

a. Bagi rumah sakit

Hasil penelitian ini sebagai informasi yang objektif mengenai hubungan

motivasi keluarga dengan kepatuhan berobat pada pasien TB paru rawat

jalan khususnya bagi RSU. Elim Rantepao.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan atau sumbangan dalam ilmu

pengetahuan terutama dalam bidang keperawatan di instalasi pendidikan dan

sebagai acuan penelitian lebih lanjut mengenai TB paru

c. Bagi peneliti

Sebagai pengalaman baru bagi peneliti dan menambah wawasan mengenai

penelitian kuantitatif.

Anda mungkin juga menyukai