PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ke orang lain melalui tranmisi udara atau droplet dahak pasien tuberculosis
ketakutan dalam dirinya, ketakutan itu dapat berupa ketakutan akan pengobatan,
pekerjaan, ditolak, perasaan rendah diri, selalu mengisolasi diri karena malu
menurun.
Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia
sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak
(Budiman, 2011).
dunia telah terinfeksi kuman tuberculosis. Setiap detik ada satu orang yang
angka prevalensi semua tipe TB adalah sebesar 289 per 100.000 penduduk atau
sekitar 690.000 kasus. Insidensi kasus baru TBC dengan BTA positif sebesar
1
2
189 per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus. Kematian akibat TB
diluar HIV sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 per hari Jurnal Kesehatan
Masyrakat, 2013).
sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 persen dari kasus TBC di dunia
Indonesia terdapat 130 penderita baru TB paru BTA positif (Depkes RI, 2012).
jumlah kasus tuberculosis setelah India dan Cina dengan jumlah sebesar 700 ribu
kasus. Angka kematian masih sama dengan tahun 2011 sebesar 27 per 100.000
penduduk, tetapi angka insidensinya turun menjadi 185 per 100.000 penduduk di
Provinsi Sulawesi Utara sebesar 85,2%, diikuti DKI Jakarta sebesar 81 % dan
Kalimantan Tengah sebesar 30,6 % diikuti oleh Kalimantan Timur sebesar 31,1
provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2007 dan 2013 prevalensi penduduk yang
Wajo (0,46 %), Bantaeng (0,44%), Jeneponto (0,44%), dan Gowa (0,40%)
(dinkes.sulselprov.go.id).
3
yang diawasi langsung oleh pengawas menelan obat (PMO), ketersediaan obat
Menurut Smeltzer dan Bare dalam Sujanam (2010), yang menjadi alasan
utama gagalnya pengobatan adalah pasien tidak mau minum obat secara teratur
dalam waktu yang diharuskan. Pasien biasanya bosan harus minum banyak obat
setiap hari selama beberapa bulan, karena itu pasien cenderung menghentikan
tergantung pada aspek medis. Tetapi juga pada aspek sosial yang sangat
penggerak dalam diri individu sebagai upaya untuk pulih dari penyakitnya.
Walaupun obat yang digunakan baik tetapi apabila penderita tidak berobat
2011).
komunikasi yang kurang baik antara pasien TB paru dengan petugas kesehatan.
Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi pasien TB paru tetap menjadi
tidak datang selama fase intensif karena tidak adekuatnya motivasi terhadap
kepatuhan berobat dan kebanyakan pasien merasa enak pada akhir fase intensif
dan merasa tidak perlu kembali untuk pengobatan selanjutnya. (Boyle, 2011).
yang besar dalam memberikan dorongan berobat kepada pasien. Keluarga adalah
orang pertama yang tahu tentang kondisi sebenarnya dari penderita TB paru dan
orang yang paling dekat serta berkomunikasi setiap hari dengan penderita.
Dorongan anggota keluarga untuk berobat secara teratur dan adanya dukungan
penderita diuntungkan lebih dari sekedar obat saja, melainkan juga membantu
pasien tetap baik dan patuh meminum obatnya. Pengaruh peran keluarga
5
banyak dan besar-besar, merasa sudah sembuh yang ditandai dengan batuk berkurang,
perasaan sudah enak badan, sesak napas berkurang, nafsu makan baik.
dapat menular kepada anggota keluarga yang lain. Selain itu penelitian yang
memiliki pengaruh yang paling besar terhadap peningkatan kepatuhan minum OAT
penderita TB paru.
efek samping dari obat, perasaan rendah diri akan dapat diatasi oleh penderita
sepenuhnya terlaksana. Hal ini terlihat bahwa walaupun pengobatan gratis sudah
6
tersedia, namun hasil yang dicapai tidak maksimal yang diakibatkan oleh
B. Rumusan Masalah
keluarga dengan kepatuhan berobat pada pasien TB Paru rawat jalan di RSU.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
pada pasien TB Paru rawat jalan di RSU. Elim Rantepao Tahun 2016.
2. Tujuan Khusus
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan atau sumbangan dalam ilmu
c. Bagi peneliti
penelitian kuantitatif.