Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA KAPITIS

A.  KONSEP DASAR

1. Definisi dan Etiologi


Cedera kepala adalah suatu ganguan traumatic dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa dikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala (cedera kranioserebral) merpakan salah satu penyebab utama
kecacatan dan kematian. Di RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta tahun 1992
angka mortaltas 4,91% dan mortalitas 9,44% dari 1281 orang yang dirawat
dengan kasus cedera kepala. Lebih dari 50% cedera kepala disebabkan karena
kecelakaan lalu lintas, selebihnya disebabkan karena factor lain seperti terjatuh,
terpuku, kecelakaan industry, dan lain-lain.
Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada
kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau
kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma
langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-
deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi
tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya
otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.

2. MEKANISME CEDERA

Cedera kepala disebabkan karena adanya daya/kekuatan yang mendadak di


kepala. Ada tiga mekanisme yang berpengaruh dalam trauma kepala, yaitu
akselerasi, deselari dan deformitas. Akselerasi yaitu jika benda bergerak
membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang diam kemudian dipukul
atau terlempar batu. Deselerasi yaitu jika kepala bergerak membentur benda yang
diam, misalnya pada saat kepala terbentur. Deformitas adalah perubahan atau
kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, misalnya ada fraktur
kepala, kompresi, ketegangan atau pemtongan pada jaringan otak. Pada saat
terjadinya deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga dapat
menambah kerusakan. Mekanisme cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan
pada daerah dekat benturan (kup) dan kerusakan pada daerah yang berlawanan
dengan benturan (kontra kup).
Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan gangguan atau kerusakan
struktur, misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosine
trifosfat dalam mitokondria, perubahan permeabilitas vaskuler.
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat benda tumpul, atau karena terkena lemparan benda tumpul.
Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara
relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersaman bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada
kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan
batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar
pada permukan otak, laserasi substansia alba, cedara robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedaea sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi
hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.

3. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

1.  Klasifikasi Patologi Cedera Kepala


a. Cedera kepala primer
Cedera kepal primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal, dan cedera
otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etiologis dan
patofisiologi yang unik.
1. Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak,
naumun biasanya jejas ini bukan merupakan penyebab utama
timbulnya kecacatan neurologis.
2. Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya
dijumpai pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat.
Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural,
dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata
telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
3. Cedera otak difusa pada dasarnya berbeda dengan cedera fokal, di
mana keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta
biasanya tidak tampak secara makroskopis. Mengingat bahwa
kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka
cedar ini juga dikenal dengan cedera aksional difusa.
b. Kerusakan otak sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan abnormalitas/gangguan
sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, di mana keadaan-keadaan ini
merupakan penyebab tersering dari kerusakan otak sekunder. Hipoksia dan
hipotensi semata akan menyebabkan perubahan-perubahan minimal, yang
kemusian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat gangguan-
gangguan metabolisme serebral.
Hipoksia dapat merupakan akibat dari kejadian aspirasi, obstyruksi
jalan nafas, atau cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma
kepala, namun sering juga terjadi hipoksia pascacedera kepala dengan
ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas.
Hipotensi pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara
yaitu sesaat setelah konkusi atau merupaka tahap akhir dari kegagalan
meduler yang berkaitan dengan herniasi serebral.
1. Edema serebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepal madalah edema
vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh
adanya peningkatan oermeabilitas kapiler akibat sawar darah otak
sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di
massa putih serebral. Edema iskemik merupakan penimbunan cairan
intraseluler sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan
keseimbangan cairannya.
Edema serebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga
pascacedera, dapat menimbulkan suatu efek massa yang bermakna.
Di samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa adanya
tampilan suatu kontusi atau perdarahan intraserebral. Keadaan ini
dapat terjadi akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan
hipoksia, cedera arterial atau hipertensi intracranial. Gangguan aliran
darah serebral traumayika yang mengakibatkan anoksia jaringan juga
tampil sebagai daerah “swelling” hipodens difus.
2. Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak
Adanya suatu massa yang berkembang membesar (hematom, abses
atau pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas intracranial
(epidural/subdural/intraserebral,supra-/infratentorial)biasanya akan
menyebabkan pergeseran dan distorsi otak, yang bersamaan dengan
peningkatan intracranial akan mengarah terjadi herniasi otak, keluar
dari kompartemen intracranial di mana massa tersebut berada.
3. Berdasarkan kerusakan jaringan otak
a. Komosio serebri (geger otak) : gangguan fungsi neurologic ringan
tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya kesadaran
kurangdari 10 enit atau tanpa disertai amnesia, retrograde, mual,
muntah, nyeri kepala.
b. Kontusio serebri (memar) : gangguan fungsi neurologic diserti
keruakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh,
hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit.
c. Laserasio serebri : gangguan fungsi neurologic disertai kerusakan
otak yang berat dengan fraktur tengkorak terbuka.massa otak
terkelupas ke luar dari rongga intracranial.
4. Berdasarkan Beart Ringannya cedera kepala
a. Cedera kepala ringan : Jika GCS antara 15-13, dapat terjadi
kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur
tengkorak, kontusio atau hematom.
b. Cedera kepala sedang : Jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadran
antar 30 menit sampai dengan 24 jam, dapat disertai fraktur
tengkorak, disorientasi ringan.
c. Cedera kepala berat : JikaGCS anatar 3-8, hilang kesadaran lebih
dari 24 jam, biasanya disertai kontuso, laserasi atau adanya
hematom, edema serebral.
2. Klasifikasi Klinis Cedera Kepala
Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat
gradasi sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita,
pemantauan diagnostic-klinik penanganan dan prognosisnya, yaitu :
Tingkat I : bila dijumpai adanya riwayat kehilangan
kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengalami trauma, dan kemudian
sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi
baik, dan tidak ada deficit neurologist.
Tingkat II : kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-
perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya deficit neurologist fokal.
Tingkat III : kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti
perintah (walaupun sederhana)sana sekali. Penderita masih bisa bersuara ,
namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon
motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit
sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan
posisi dekortikasi-deserebrasi.
Tingkat IV : tidak ada fungsi neurologist sama sekali.

Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow Coma


Scale(GCS).
Penentuan
Deskripsi Frekuensi
keparahan
Minor GCS 13 – 15 55 %
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia
tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio
serebral, hematoma
Sedang GCS 9 – 12 24 %
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari
30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak
Berat GCS 3 – 8 21 %
Kehilanmgan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau
hematoma intracranial.

4.   MANIFESTASI KLINIS

Secara umum tanda dan gejala pada cedera kepala meliputi ada taua tidaknya
fraktur tengkorak, tingkat kesadaran dan kerusakan jaringan otak.
1. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf otak, merobek
durameter yang mengakibatkan perembesan cairan serebrospinal. Jika terjadi
fraktur tengkorak, kemungkinana yang terjedi aalah:
- Keluarnya cairan seebrospinal atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe) dan
telinga (otorrhoe).
- Kerusakan saraf cranial.
- Perdarhan di belakang membrane timpani
- Ekimosis pada periorbital
Jika terjadi fraktur basiler kemungkinana adanya gangguan pada saraf cranial dan
kerusakan bagian dalam telinga sehingga kemungkinana tanda dan gejalanya:
- Perubahan tajam penglihatan karena kerusakan nervus optikus
- Kehilangan pendengaran karena keusakan paad nervu auditorius
- Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot mata
karena kerusakan nervus okulomotoris
- Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis
- Vertigo karena kerusakan otolith dalam telinga bagian dalam
- Nigtagmus karena kerusakan pada system vestibular
- Warna kebiruan di belakang telinga di atas mastois (Battle sign)
2. Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien bergantung dari berta ringannya cedera kepala, ada
atau tidaknya amnesia retrograt, mual dan muntah.
3. Kerusakan jaringan otak
Manifestasi klinik kerusakan jaringan otak bervariasai bergantung dari cedera
kepala. Untuk melihat adanya kerusakan cedera kepala perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan atau MRI.
Trauma otak mempengaruhi setiap system tubuh. Manifestasi klinis cedera
otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba
deficit neurologik, dan perubahan tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan
dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan
pergerakan, kejang, dan banyak efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak
meyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan cedera
multisistem.

5.  TES DIAGNOSTIK

1. Foto tengkorak : mengetahui adanya fraktur tengkorak (simpel, depresi,


kommunit) fragmen tulang.
2. Foto servikal : mengetahui adanya fraktur servikal.
3. CT Scan : kemungkinan adanya subdural hematom, intra serebral hematom,
keadaan ventrikel.
4. MRI : kemungkinan adanya subdural hematom, intra serebral hematom, keadaan
ventrikel.
5. Serum alcohol : mendeteksi penggunaan alcohol sebelum cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas.
6. Serum obat : mengetahui penyalahgunaan obat sebelum cedera kepala.
7. Pemeriksaaan obat dalam urine : mengetahui penggunaan obat sebelum kejadian.

6.  PENANGANAN CEDERA KEPALA

Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/emergensi


didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6 B”, yakni :
1. Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya
obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan : suction,
intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu,
merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edem serebri.
2. Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb,
leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan
adanya suatu peninggian tekanan intracranial; sebaliknya tekanan darah yang
menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok
mhipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari kepala/otak)dan
memerlukan tindakan transfusi.
3. Brain
Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata,
motorik, dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi
perbaikan/perburukan cedera kepal tersebut, dan bila pada pemantauan
menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebnih mendalam
mengenai keadaan pupil(ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta
gerakan-gerakan bola mata.
4. Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan(pemasangan kateter) mengingat bahwa
kandung kemih yang epnuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan
sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
5. Bowel
Seperti halnya di atas, bahwa usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan
TIK.
6. Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

Data tergantung pada tipe, lokasi, dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit
oleh cedera tambahan pada organ-organ vital.

Aktivitas/Istirahat
Gejala :Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan.
Tanda :Perubahan kesadaran,letargi,hemiparese quadreplegia, ataksia, cara
berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma) ortopedi,
kehilangan tonus otot, otot spastik.

Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).

Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan


bradikardia, disritmia).

Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
Eliminasi
Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.

Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.

Tanda : :Muntah (mungkin proyektil).

Gangguan menelan (batuk, air liur keluar disfagia)

Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas.
Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, fotofobia.

Gangguan pengecapan dan juga penciuman.

Tanda ; Perubahan kesadaran sampai koma.

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,


pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti.

Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.

Wajah tidak simetri.

Genggaman lemah, tidak seimbang.

Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah.

Apraksia, hemiparise, quedreplegia.

Postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang.

Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan.

Kehilangan sensasi sebagian tubuh.

Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.

Pernapasan

Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi, stridor, tersedak.

Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).

Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi.

Gangguan penglihatan

Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle di sekitar
telinga (merupakan tanda adanya trauma).. Adanya aliran cairan (drainase) dari
telinga/hidung (CSS).

Gangguan kognitif.

Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralysis.
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.

Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,
disartria, anomia.

Pemenuhan Pembelajaran

Gejala : penggunaan alkohol/obnat lain.

Pertimbangan Rencana Pemulangan :

Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan


makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata
ruang dan penempatan fasilitas lainnya di rumah.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Skan CT (tanpa/dengan kontras: mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic,


menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan
berulang mungkin diperlukan karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi
dalam 24 – 72 jam pascatrauma.

MRI : sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras.

Angiografi serebral : menunjukan kelaianan sirkulasi serebral, seperti pergeseran


jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.

EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang


patologis,

Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran


struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.

BAER (Brain Auditori Evoked Respons). : menentuk fungsi korteks dan batang
otak.

PET (Positron Emission Tomografi) : menunjukan perubahan aktivitas


metabolisme dalam otak.

Pungsi Lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan


subarachniod .
GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang dapat meningkatkan TIK..

Kimia/Eolektrolit Darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam


peningkatan TIK/perubahan mental.

Pemeriksaan Toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab


dalam penurunan kesadaran.

Kadar Antikonvulsan Darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi


yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

PRIORITAS KEPERAWATAN

1. Memaksimalkan perfusi/fungsi serebral.


2. Mencegah atau meminimalkan komplikasi.
3. Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum terjadi
trauma.
4. Menyokong proses koping dan pemulihan keluarga.
5. Memberikan informasi mengenai proses/prognosis penyakit, rencana tindakan
dan sumber daya yang ada .

TUJUAN PEMULANGAN

1. Fungsi serebral meningkat ; defisit neurology dapat diperbaiki atau distabilkan


(tidak berkembang lagi)
2. Komplikasi tidak terjadi.
3. AKS (Aktivitas Kegiatan sehari-hari) dapat terpenuhi sendiri atau dengan
bantuan orang lain.
4. Keluarga memahami keadaan yang sebenarnya dan dapat terlibat dalam proses
pemulihan.
5. Proses/prognosis penyakit dan penanganan (tindakannya) dapat dipahami dan
mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran


darah oleh SOL (hemoragi dan hematom), edema serebral, penurunan
TD/hipoksia ditandai dengan :
Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, peruhan respon motorik,
sernsorik, gelisah, perubahan tanda vital

Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan


fungsi motorik/sesnsorik.

Kriteria : Tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.

Intervensi :

a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau


yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial
peningkatan TIK.
R/ : menentukkan pilihan intervensi, penurunan tanda gwjala neurologis
atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal mungkin
menunjukan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan
intensif untuk memantau TIK dan atau pembedahan

b. Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai


standar (misalnya Skala Coms Glascow)
R/ : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan
potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan
lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

c. Evaluasi kemampuan membuka mata, seperti spontan (sadar penuh),


membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap tertutup (koma).
R/ : Menentukan tingkat kesadaran.

d. Kaji respon verbal; catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap orang,
waktu dan tempat baik atau malah bingung; menggunakan kata-kata/frase
yang tidak sesuai
R/ : Mengukur kesesuaian dalam berbicara dan menentukan tingkat
kesadaran.
e. Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan yang
bertujuan (patuh terhadap perintah, berusaha untuk menghilangkan
rangsang nyeri yang diberikan) dan gerakan yang tidak bertujuan (kelainan
postur tubuh). Catat gerakan anggota tubuh dan catat sisi kiri dan kanan
secara terpisah .
R/ : Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemamppuam untuk
berespon pada rangsangan eksternal dan merupakan petunjuk
keadaan kesadaran terbaik pada pasien yang matanya tertutup
sebagai akibat pasien trauma atau afasia. Pasien dikatakan sadar
apabila pasien dapat meremas atau melepas tangan pemeriksa atau
dapat menggerakan tangan sesuai dengan perintah. Gerakan yang
bertujuan dapat meliputi mimik kesakitan atau gerakan menarik atau
menjauhi rangsangan nyeri. Gerakan lain (fleksi abnormal dari
ekstremitas tubuh) biasanya sebagai indikasi kerusakan serebral
yang menyebar. Tidak adanya gerakan spontan pada salah satu sisi
tubuh yang menandakan kerusakan pada jalan motorik pada
hemisfer otak yang berlawanan (kontralateral).

f. Pantau TD
- Catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus dan tenaga
nadi yang semakin berat; observasi terhadap hipertensi pada pasien
yang mengalami trauma multiple.
R/ : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak
yang konstan pada saat ada fluktasi tekanan darah sistemik.
Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakakan
vaskularisasi serebral lokal atau menyebar. Peningkatan tekanan
darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan darah
diastole merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika
diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran.
Hipovolemia/hipertensi dapat juga mengakibatkan
kerusakan/iskemia serebral.

- Frekwensi jantung, catat adanya bradikardia, takikardia, atau bentuk


disritmia lainnya.
R/ : Perubahan pada ritme (paling sering bradikaria) dan disritmia
dapat timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada
batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung
sebelumnya.

- Pantau pernapasan meliputi pola dan iramanya, seperti adanya


periode apnue setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan
cheynestokes.
R/ : Napas yang tidak teratur dapat menunjukan adanya gangguan
serebral/peningkatan TIK dan memerlukan intervensi yang lebih
lanjut termasuk kemungkinan dukungan napas buatan.

g. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketjaman, kesamaan antara kiri dan
kanan, dan reaksinya terhadap cahaya.
R/ : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (N.III) dan
berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.
Ukuran/kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan
simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan
fungsi yang terkoordinasi dari saraf cranial optikus dan
okulomtorius.

h. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur,


ganda, lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
R/ : Gangguan penglihatan, yang dapat diakibatkan oleh kerusakan
mikroskopik pada otak, mempunyai konsekwensi terhadap
keamanan dan juga akan mempengaruhi pilihan intervensi.

i. Kaji l;etak/gerakan mata, catat apakah pada posisi tengah atau ada deviasi
pada satu sisi atau kebawah. Catat pula hilangnya refleks DOLLS EYE.
R/ : Posisi dan gerakan mata membantu menemukan lokasi area otak
yang terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah kegagalan
dalam kegagalan dalam abduksi pada mata, mengindikasikan
penekanan/trauma pada saraf cranial V.Hilangnya DOLLS EYE
mengindikasikan adanya penurunan pada fungsi batang otak dan
prognosisnya jelek.
j. Catat ada tidaknya refelks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk
dan Babinski dan sebagainya.
R/ : Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak
tengah atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap
pasien. Refleks Babinski positif mengindikasikan adanya trauma
sepanjang jalur piramida pada otak

k. Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah/posisi netral, sokong dengan


gulungan handuk kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
R/ : Kepala yang miring pada satu sisi akan menekan vena jugularis dan
menghambat aliran darah vena.yang selanjutnya akan
meningkatkan TIK.

l. Kolaborasi :
- Tinggikan kepala pasien 15 – 45 derajat sesuai indikasi yang
dapat ditoleransi.
R/ : Meningkatkan aliran balik vena dari kepal sehingga akan
mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya
peningkatan TIK.

- Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.


R/ : menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan
vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.

- Berikan obat sesuai indikasi.


Diuretik (manitol, furosemid)

R/ :   Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air


dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.

Steroid (dexametason, metilprednisolon).

R/ : menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema


jaringan.

Antikonvulsan (Fenitoin).

R/ : untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang.

Analgetik (Kodein).
R/ : Untuk menghilangkan nyeri.

Sedatif (Difenhidramin).

R/ : untuk mengendalikan kegelisahan.

Antipiretik ( asetaminofen).

R/ : Mengendalikan demam.

2. Risiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler,


obstruksi trakeobronchial.
Tujuan : mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas sianosis
dengan GDA dalam batas normal pasien.

Intervensi :

a. Pantau frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidak teraturan


pernapasan.
R/ : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal
(umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi /luasnya
keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat
menandakan perlunya ventilasi mekanis.

b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
R/ : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan
kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.

c. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien
sadar.
R/ : mencegah/menurunkan atelektasis.

d. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15


detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
R/ : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam
keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya
sendiri. Penghisapapan pada trachea yang lebih dalam harus
dilakukan dengan ekstra hati-hati, karena hal tersebut dapat
mengakibatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang
pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar terhadap perfusi
serebral.

e. Kolaborasi :
- Pantau atau gambarkan analisa gas darah, tekanan oksimetri
R/ : Menentukan kecukupan pernapasan. Keseimbangan asam basa
dan kebutuhan akan terapi.

- Lakukan ronsen toraks ulang


R/ : melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi
yang berkembang (seperti atelektasis atau bronkopneumonia).

- Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.


R/ : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
peningkatan TIK fase akut namun tindakan ini seringkali
berguna pada pada akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan
memberikan jalan napas dan menurunkan risiko
atelektasis/komplikasi paru lainnya.

3. Perubahan Persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori,


transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neureologis, ditandai dengan :
Disorientasi waktu, tempat dan orang; perubahan dalam respons terhadap
rangsang; inkoordinasi motorik; perubahan dalam postur; ketidakmampuan
untuk memberitahu posisi bagian tubuh (propiosepsi); perubahan pola
komunikasi, distorsi audiotorius dan visual; konsentrasi buruk, perubahan
proses berpikir/berpikir ngacau.

Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan


fungsi persepsi.

Kriteria :       mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya


keterlambatan residu. Mendemonstrasikan perubahan
perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi/defisit hasil.

Intervensi :
a. Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara,
alam perasaan/afektif, sensorik dan proses piker
R/ : Fungsi serebral bagian atas biasanya terlebih dahulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksigenasi. Kerusakan dapat terjadi saat trauma
awal atau kadang-kadang berkembang setelahnya akibat dari
pembengkakan atau perdarahan. Perubahan motorik, persepsi,
kognitif dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan
perbaikan respons secara perlahan-lahan atau tetap bertahan secara
terus menerus pada derajat tertentu.

b. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda


tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan
adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain.
R/ : Informasi penting untuk keamanan pasien. Semua sistem sensorik
dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan
peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan
sensasi/kemampuan untuk menerima dan berespons secara sesuai
pada suatu stimuli.

c. Hilangkan suara bising/stimuli yang berlebihan sesuai kebutuhan


R/ : menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/bingung yang
berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.

d. Buat jadual istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan.


R/ : Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan
kesempatan untuk tidur REM (ketidakadanya tidur REM ini dapat
meningkatkan gangguan persepsi sensorik).

e. Gunakan penerangan siang atau malam hari.


R/ : Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan waktu dan
pola tidur/bangun.

f. Kolaborasi :
- Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terpi wicara, dan
terapi kognitif.
R/ : Pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana
penatalaksanaan terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi
kemampuan/ketidakmampuan secara individu yang unik dengan
berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, dan
ketrampilan perceptual.

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau


kognitif ditandai dengan : ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam
lingkungan fisik, termasuk mobilitas ditempat tidur, pemindahan, ambulasi.
Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan
kontrol otot.
Tujuan : melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal
dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur, footdrop.

Kriteria hasil : Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi


bagian    tubuh yang sakit dan /atau kompensasi.
Mendemonstrasikan    teknik/perilaku yang memungkinkan
dilakukannya kembali                             aktivitas.
Mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan
fungsi usus.

Intervensi :

a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada


kerusakan yang terjadi.
R/ : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan
mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.

b. Kaji derajat imobilisasi dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4).


R/ : Pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/peralatan
yang       minimal (nilai 1); memerlukan bantuan sedang/dengan
pengawasan/      diajarkan (nilai 2); memerlukan bantuan/peralatan
yang terus menerus dan      alat khusus (nilai 3); atau tergantung
secara total pada pemberi asuhan      (nilai 4). Seseorang dalam semua
kategori sama-sama mempunyai risiko      kecelakaan, namun
kategori dengan nilai 2 – 4 mempunyai risiko yang      terbesar untuk
terjadinya bahaya tersebut sehubungan imobilisasi.

c. Beri/Bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.


R/ :  Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal
ekstremitas       dan menurunkan terjadinya vena yang statis.

d. Berikan perawatan kulit yang cermat, masase dengan pelembab, dan ganti
linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan
bebas dari kerutan (jaga tetap tegang).
R/ : Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko
terjadinya ekskoriasi kulit.

e. Pantau haluaran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan
latihan kandung kemih jika memungkinkan.
R/ : Pemakaian kateter Foley selama fase akut memungkinkan dibutuhkan
untuk jangka waktu yang panjang sebelum memungkinkan untuk
dilakukan latihan kandung kemih. Saat kateter dilepas, beberapa
metode         kontrol dapat dicoba seperti kateterisasi intermiten
(selama pengosongan         sebagian atau seluruhnya);kateter
eksternal, interval diatas pispot         memberikan duk inkontinen.

f. Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (contoh toleransi


neurologis dan jantung).
R/ : sesaat setelah fase akut cedera kepala, dan jika pasien tidak memiliki
faktor kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan
menurunkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih/batu ginjal/batu
kandung kemih dan berpengaruh cukup baik terhadap konsistensi
feses        yang normal dan turgor kulit menjadi optimal.

5. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit


rusak, prosedur invasif, penurunan kerja sillia, statis cairan tubuh, kekurangan
nutrisi, respon inflamasi (penggunaan steroid), perubahan sistem integritas
tertutup (kebocoran CSS).
Tujuan :   mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, mencapai
penyembuhan luka tepat waktu bila ada

Intervensi :

a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan


yang baik.
R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis
jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan
sebagainya), catat karakterisitik dari drainase dan adanya inflamasi.
R/ :   Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya.

c. Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, mengigil,


diaforosis, dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
R/: Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.

d. Anjurkan untk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru


secara terus menerus, observasi karakterisitk sputum.
R/ : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk
menurunkan        risiko terjadinya pneumonia, atelektasis. Catatan
Drainase postural        harus digunakan dengan hati-hati jika ada
risiko terjadinya peningkatan        TIK.

e. Berikan perawatan perawatan perineal. Pertahankan integritas dan sistem


drainase urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum
adekuat.
R/ :   Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau
infeksi         yang merambah naik.

f. Observasi warna/kejernihan urine. Catat adanya bau busuk (yang tidak


enak).
R/ : Sebagai indicator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih
yang         memerlukan tindakan dengan segera.

g. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung


yang mengalami infeksi saluran infeksi bagian atas.
R/ : Menurunkan pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab
infeksi”
h. Kolaborasi :
- Berikan antibiotik sesuai indikasi.
R/ : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami
trauma (perlukaan), kebocoran CSS atau setelah dilakukan
pembedahan untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi
nosokomial.

- Ambil bahan pemeriksaan (spesimen) sesuai indikasi.


R/ : Kultur/sensitivitas, pewarnaan gram Gram dapat dilakukan untuk
memastikan adanya infeksi dan mengidentifikasi organisme
penyebab dan untuk menentukan obat pilihan yang sesuai.

6. Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat
kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan,
status hipermetabolik.
Tujuan : mendemonstrasikan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan.
Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium
dalam batas-batas normal.

Intervensi :

a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi


sekresi.
R/ : menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien
terlindung        dari aspirasi

b. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang


hiperaktif.
R/ : Bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau
berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.

c. Timbang berat badan sesuai indikasi.


R/ : mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian
nutrisi.

d. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien seperti tinggikan


kepala tempat tidur selama makan atau selamam pemberian makan lewat
NGT.
R/ : menurunkan risiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi.

e. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan
teratur.
R/ :  meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi
yang diberikan yang dapat meningkatkan kerjasama pasien saat
makan.

f. Tingkatkan kenyaman, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat


makan. Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai
pasien.
R/ : Dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.

g. Kolaborasi :
- Konsultasi dengan ahli gizi.
R/ : merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi
kebutuhan          kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat
badan, ukuran tubuh, dan          keadaan penyakit sekarang.

- Pantau pemeriksaan laboratorium seperti albumin darah, zat besi,


ureum/kreatinin, glukosa, AST/ALT dan elektrolit darah.
R/ : mengidentifikasi defisiensi nutrisi. Fungsi organ dan respons
terhadap        terapi nutrisi tersebut.

7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal sumber-sumber
informasi, kurang mengingat/keterbatasan kognitif ditandai dengan meminta
informasi, pernyataan salah konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi.
- Berikan makan dengan cara yang sesuai seperti melalui NGT, melalui oral
dengan makanan lunak dan cairan yang agak kental.
R/ : pemilihan rute pemberian tergantung pada kebutuhan dan
kemampuan        pasien.

Tujuan :

- Berpartisipasi dalam proses belajar.


- Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan
pengobatan, potensial komplikasi.
- Melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.
Intervensi :

a. Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga
keluarganya.
R/ : memungkinkan untuk menyampaikan informasi yang didasarkan atas
kebutuhan secara kebutuhan.

b. Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan


pengaruh sesudahnya.
R/ : membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan
meningkatkan         pemahaman pada keadaan saat ini.

c. Diskusikan rancana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.


R/ : berbagai tingkat bantuan perlu direncanakan yang didasarkan atas
kebutuhan yang bersifat individual.

d. Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas,


obat-obatan dan faktor-faktor penting lainnya.
R/ : memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.

e. Diskusikan dengan pasien dan orang terdekat perkembangan dari gejala


seperti munculnya tanda dan gejala yang pernah dialaminya saat trauma
terjadi (pikiran melayang, pikiran kacau, mimpi berulang/mimpi buruk),
emosi/fisik yang sulit berespon; perubahan gaya hidup termasuk adaptasi
dan tingkah laku yang merusak.
R/ :  Dapat menjadi tanda adanya eksaserbasi respon pasca traumatik yang
dapat terjadi dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah
mengalami trauma.

Anda mungkin juga menyukai