PENDAHULUAN
Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit
gawat darurat suatu rumah sakit. Menurut hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala
yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga
keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta
khasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap.
Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma
yang dikaitkan dengan kematian. Menurut penelitian yang dilakukan oleh National
Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma
tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling
banyak juga disebabkan oleh trauma kepala.
Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan
terjatuh. Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan
penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan
pasien dewasa. Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima
perawatan kecederaan yang tidak fatal akibat kekerasan.
Medulla spinalis adalah bagian dari system saraf yang membentuk system
kontinu dengan batang otak yang keluar dari hemisfer, serebral dan memberikan
tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti pada kulit dan otot.
Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Medulla spinalis ini
pemanjangan dari foramen magnum di dasar tengkorak sampai ke bagian lumbai
kedua tulang belakang, yang berakhir di dalam berkas serabut yang disebut konus
medullaris. Seterusnya di bawah lumbal kedua adalah akar saraf yang memanjang
melebihi konus, dan disebut kauda equine dimana akar saraf ini menyerupai akar
kuda.
Selain cedera kepala, medulla spinalis juga lebih dominan pada pria, kasus ini
akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor , selain itu banyak akibat jatuh, olahraga dan
kejadian industry dan luka tembak. Sehingga terjadi masalah atau gangguan yang
menghambat kerja saraf. Dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai asuhan
keperawatan dengan klien trauma kepala dan trauma medulla spinalis.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari trauma.
2. Untuk mengetahui pengertian dari trauma kepala.
3. Untuk mengetahui pengertian dari trauma medulla spinalis.
4. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari trauma kepala.
5. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari trauma medula spnalis.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Trauma adalah keadaan yang disebabakan oleh luka atau cedera. Definisi ini
memeberikan gambaran superpisial dari respon fisik terhadap cedera.(EGC,2004)
Trauma adalah kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya
produktivitas seseorang .(EGC,2004)
Trauma adalah cedera fisik dan atau psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera
.(EGC,2004)
Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah pengumpulan darah pada ruang diantara dura mater
dan dasar otak, yang pada keadaan normal. Hematoma subdural paling sering
disebabkan karena trauma tetapi dapat terjadi karena kecenderungan perdarahan
yang serius dan aneurisma.
Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut, atau kronis, bergantung pada
ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang terjadi.
Hematoma subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang
meliputi kontosio atau laserasi. Biaanya klien dalam keadaan koma atau
mempunyai tanda klinis yang sama denga hematoma epidural, tekanan darah
meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernapasan cepat sesuai dengan
peningkatan hematoma yang cepat.
Hematoma subbral subakut adalah sekuel dari kontusio sedikit berat dan
dicurigai ada klien dengan kegagalan untuk meningkatkan kesadaran setelah
trauma kepala. Tanda dan gejala yang timbul sama seperti ada hematoma
subdural akut.
Hematoma subdural kronik tampaknya dapat terjadi karena cedera kepala minor
dan terlihat sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera kepala tipe
ini akibat atrofi otak, yang diperkirakan karena penuaan. Hematoma subdural
kronik menyerupai kondisi klien dan mungkin dianggap sebagai stroke tindakan
terhadap hematoma subdural kronis terdiri atas bedah penggangkatan bekuan
dengan menggunakan penghisap dan pengirigasian area tersebut. Proses ini
dapat dilakukan melalui pembuatan lubang (burr) ganda atau kraniotomi yang
dilakukan untuk lesi massa subdural yang cukup besar yang tidak dapat
dilakukan melalui pembuatan lubang (burr)
Hemoragik intraserebral dan hematoma
Hemoragik inraserebral adalah perdarahan dalam substansia otak. Hemoragik
ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala
sampai ke daerah kecil (cedar peluru atau luka tembak, cedera tumpul).
Hemoragik ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sitemik
yang menyebabkan degenerasi dan rupture pembuluh darah, rupture kantong
aneurisma, anomaly vascular, tumor intracranial, penyebab sistemik termasuk
gangguan perdarahan seperti leukemia, hemophilia, anemia aplastik dan
trombositopenia serta komplika terapi antikoagulan.
Terapi medis meliputi pemberian cairan dan elktrolit yang cermat, medikasi
antihipertensi, control TIK, dan perawatan pendukung. Intervensi pembedahan
dengan kraniotomi atau kraniektomi memungkinkan pengangkatan bekuan
darah dan control hemoragik tetapi tidak mungkin baik karena lokasi persrshsn
yang tidak mungkin baik karena lokasi perdarahan yang tidak dapat diakses atau
kurang jelasnya batas sel darah yang dapat diangkat. Tetapi fisik biasanya
diperlukan untuk rehabilitasi optimal pada klien dengan hemoagik intraserebral
dan semua klien cedera kepala.
Gejala klinis
Gejala klinis yang timbul dapat berupa gangguan kesadaran, konfusi,
abnormalitas pupil, serangan (onset) tiba-tiba berupa deficit neurologis
perubahan tanda vital, gangguan penglihatan, difusi sensorik, kejang otot, sakit
kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan syok dan akibat cedera
multisystem
Pathway
Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang biasanya dilakukan pada trauma kepala yaitu:
1. Pengkajian neurologis,
2. Pemeriksaan CT-Scan
Penatalaksanaan medis
1. Angkat klien dengan papan datar untuk mepertahankan posisi kepala dan
leher sejajar
2. Traksi ringan pada kepala
3. Kolar servikal
4. Terapi untuk mempertahankan hemoestatis otak untuk mencegah kerusakan
otak sekunder seperti stabilitas sistem kardiovaskular dan fungsi pernapasan
untuk mempertahankan perfusi serbral yang adekuat. Control perdarahan,
perbaiki hipovolemik, dan evaluasi gas darah.
5. Tindakan terhadap peningkatan TIK dengan melakukan dengan pemantauan
TIK bila terjadi peningkatan TIK, pertahankan oksigenansi yang adekuat,
pemberian menitol untuk mengurang edema kepala dengan dehidrasi
osmotic, hiperventilasi, penggunaan steroid, meninggikan posisi kepala di
tempal tidur, kolaborasi beda neuro untuk ngangkat bekuan darah, dan
jahitan terhadap laserasi di kepala. Pasang pementau TIk selama
pembedahan atau dengan teknik aspetik di tempat tidur. Perawat klien di
ICU.
6. Tindakan keperawatan pendukung, yaitu pemantau ventilasi dan penceghan
kejang serta pemantauan cairan elektrolit, dan keseimbangan nutrisi.
Lakukan intubasi dan ventilasi mekanik (ventilator) bila klien koma berat
untuk mengontrol jalan napas. Hiperventilasi terkontrol mencakup
hipokapnia, pencegahan vasodilatasi, penurunan volume darah serebral, dan
penurunan TIK. Pemberian antikonvulsan untuk mencegah kejang setelah
trauma kepala yang menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia
(seperti klorpromazin tanpa tingkat kesadaran. Pasang NGT bila terjadi
penurunan motilitas lambung dan peristaltic akibat cedera kepala.
Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif ataupun objektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tegantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan
cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda), jenis
kelamin (banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan dengan motor tanpa
pengaman helm),
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah
sakit, nomor register, diagnosis medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan
tingkat kesadaran.
Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarahkan pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan fisik pada B3 (brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Keadaan Umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran (cedera
kepala ringan/cedera otak ringan, GCS13-15, cedera kepala sedang GCS 9-12,
cedera kepala berat/cedera otak besar, bila GCS kurang atau sama dengan 8) dan
terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari perubahan
karingan serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan hasil dari
pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :
Inspeksi, didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Terdapat retraksi klavikula/dada, pengembangan paru tidak simestis.
Ekspansi dada: dinilai penuh/tidak penuh dan kesimetrisannya.
Ketidaksimetrisan mungkin menunjukkan adanya atelektasis, lesi pada paru,
obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pneumothoraks, atau penempatan
endotrakeal dan tube traekostomi yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi
dada juga perlu dinilai; retraksi dari otot-otot interkostal,
substernal,pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi abdomen
saat inspirasi)
Palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
Perkusi,adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma
pada thoraks/hemothoraks.
Auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi
pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk yang
menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan
tingkat kesadaran koma.
Pada klien cedera otak berat dan sudah terjadi difungsi pusat pernapasan,
klien biasanya terpasang EET dengan ventilator dan biasanya dirawat di uang
perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil. Pengkajian klien
cedera otak berat dengan pemasangan ventilator secara komprehensif
merupakan jalur keperawatan kritis.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis pada pengkajian
inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi thoraks didapatkan taktil
pemitus seimbang kanan dan kiri, Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas
tambahan.
B2 Blood
Pengkajian pada kardiovaskular didapatkan renjatan (syok) hipovolemik
yang sering tejadi pada klien cedera kepala sedang dan berat. Hasil
pemerikaan kardiovakular klien cedera kepala pada beberapa keadaan dapat
ditemukan tekanan darah normal atau beubah, nadi bradikardi, takikardi, dan
aritmia.
Fekuansi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh
dalam tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat
menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi
menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari
suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan
merangasang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak pada
kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air
oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatakan konsentrasi elektrolit
meningkat sehingga memberikan risiko terjadinya gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskular.
B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai neurologis terutama disebabkan
pengaruh peningkata tekanan intrakranial akibat adanya perdarahan baik
bersifat intrasebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator
paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.
Sistem sensorik.
Dapat terjadi hemihipertensi. Pada persepsi terjadi ketidakmapuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensori primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-
spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensori karena cedera kepala dapat berupa kerusakan sentuhan
ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan
untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
B4(Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal. Setelah cedera
kepala, klien mungkin mengalami inkontensia urine karena konfusi,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
untuk menggunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik
dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intemitten dengan
steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual
dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungakan dengan
peningkatan produksi asalam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontensia alvi yang berkelanju
menunjukkan k erusakan neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi
pada mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau
perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan
bising usus untuk menilaiada atau tidaknya dan kualitas bsising usus harus
dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menuun atau
hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi
atau bising usus selama +2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi
akibat tertelannya udata yang berasal dari sekitar slang endotrakela dan
nasotrakeal.
B6 (Blone)
Difungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh ekstermitas.
Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya perubahan
kulit; warna \\menunjukkan adanya sianosis (ujung kuku, ekstermitas,
telinga, hidung, dan memban mukosa). Pucat pada wajah dan membran
mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok.
Pucat dan sianosis pada klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi
akibat adanya hipoksemia. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukkan
adanya demam, dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan
dekubitus. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensori atau paalise/hemiplegi, mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
Pemeriksaan diagnostik
Pemeiksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedea kepala, meliputi
hal-hal di bawah ini.
1. CT-scan (dengan tanpa kontras)
2. MRI
3. Angiografi serebral
4. EEG berkala
5. Foto rontgen, medeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur
garis (pedarahan/edema), fragmen tulang.
6. PET, mendeteksi perubahan metabolisme otak.
7. Pemeriksaan CFS, lumbal pungsi: dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subraraknoid.
8. Kadar elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan tekanan intrakranial.
9. Skrining toksikologi, untuk mendektesi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
10. Analisis Gas Darah (AGD), adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan
status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan
AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa.
Pengkajian Panatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain mempertahan
fungsi ABC (Airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologi
(disatibilitas dan pajanan), penurunan resiko iskemi serebri juga harus
dilakukan. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberikan oksigen dan glukosa
sekalipun pada otak yang mengalami trauma relatif memerlukan oksigen dan
glukosa yang lebih rendah.
Selain itu, perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang
meningkat disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial yang
meningkat disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat
dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hipeventilasi yang
menurunkan asidosis intraserebral dan meningkatkan metabolisme
intraserebral.
Diagnosis Keperawatan
1. Risiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompersi korteks serebri akibat pendarahan, baik bersifat
hematom intraserebral, subdural, maupun epidural.
2. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan dan perubahan perbandingan O2
dengan CO2, serta kegagalan ventilator.
3. Kebersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan penumpukan
sputum, peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri
dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan
batuk/batuk efektif.
4. Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan
dan refleks spasme otot sekunder.
5. Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan edema pada otak.
6. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan
kemampuan mencerna makan, peningkatan kebutuhan metabolisme.
7. Gangguan komunikasi verbal, yang berbuhungan dengan terpasangnya
endotrakeal/slang traekostomi dan paralisis neuromuskular.
8. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan
dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
9. Keterbatasan aktivitas yang berhubungan dengan penurunan kesadaran
(sopororus koma)
10. Ansietas/takut yang berhubungan dengan krisis situsional; ancaman terhadap
konsep diri, takut mati/ketergantungan pada alat bantu/perubahan status
kesahatan/status ekonomi/fungsi peran, hubungan interpersonal/penularan.
11. Ansietas keluarga yang berhubungan dengan keadaan kritis pada klien.
12. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan misintepretasi informasi, tidak
mengenal sumber-sumber informasi, ketegangan akibat krisis situsional.
13. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage.
14. Risiko gangguan intergritas kulit yang berhubungan dengan imobilisasi, tidak
adekuatnya aliran perifer.
15. Risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang berhubungan dengan
penggunaan alat bantu napas,
16. Risiko perubahan membran mukosa mulut berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan cairan melalui oral, adanya tube dalam mulut,
kurang/menurunnya salivasi, dan tidak efektifnya kebersihan mulut.
17. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan penurunan sistem pertahanan
primer (cedera pada jaringan paru, penurunan aktivitas silia bronkus), dan
tindakan invasif.
18. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan tempat masuknya organisme
sekunder terhadap trauma.
Klasifikasi
1. Cedera Tulang
a. Stabil. Bila kemampuan fragmen tulang tidak mempengaruhi kemampuan
untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera. Komponen arkus
neural intak serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang belakang,
terutama ligamen longitudinal posterior tidak robek. Cedera stabil
disebabkan oleh tenaga fleksi, ekstensi, dan kompresi yang sederhana
terhadap kolumna tulang belakang dan paling sering tampak pada daerah
thoraks bawah serta lumbal (fraktir baji badan ruas tulang belakang sering
disebabkan oleh fleksi akut pada tulang belakang).
b. Tidak stabil. Frraktur memengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh.
Hal ini disebabkan oleh adanya elemen rotasi terhadap cedera fleksi atau
ekstensi yang cukup untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta
merusak keutuhan arkus neural, baik akibat fraktur pada fedekel da lamina,
maupun oleh dislokasi sendi apofiseal.
2. Cedera Neurologis
a. Tanpa defisit neurologis.
b. Disertai defisit neurologis, dapat terjadi di daerah punggung karena kanal
spiral terkecil terdapat di daerah ini.
Mekanisme cedera
Perawat perlu mengenal mekanisme trauma yang trauma yang terjadi pada tulang
belakang yang memungkinkan gangguan pada medulla spinalis meliput :
1. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada vertebra.
Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat menyebabkan
kerusakanatau tanpa kerusakan ligament posterior apabila terdapat kerusakan
ligament posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi
(dapat dilihat pada gambar 5-10).
5. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan
menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra
dan sendi faser.
6. Fraktur dislokasi
Suatu trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang dan terjadi
dislokasi pada ruas tulang belakang (dspst dilihat pada Gambar 5-14)
Gejala Klinis
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus dimana seteah cedera klien
mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan klien dan punggung.
Penatalaksanaan Medis
1. Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada,
memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan cedera lain yang menyertai,
mencegah, serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih lanjut.
Reabduksi atas sublukasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu tulang)
untuk mendekompresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang belakang
untuk melindungi koral spiral.
2. Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal, atau
debridemen luka terbuka.
3. Fiksasi internal elektif dilakukan pada klein dengan ketidakstabilan tulang
belakang, cedera ligament tanpa fraktur, deformitas tulang belakang progresif,
edera yang tidak dapat direabduksi, dan fraktur non-union.
4. Tetapi steroid, nomidipin, atau dopamine untuk perbaiki aliran darah koral
spiral. Dosis tertinggi metil prednisolon/bolus adalah 30mg/kgBB diikiuti
5,4mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya. Bila diberikan dala 8 jam sejak
cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga
akan memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral.
5. Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan fungsi sensorik,
motorik, dan penting untuk melacak deficit yang progresif atau asenden.
6. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi, dan melacak
keadaan dekompensasi.
7. Pengelolaan cedera stabil tanpa deficit neurologis seperti angulasi atau baji dari
badan ruas tulang belakang, fraktur proses transverses, spinosus, dan lainnya.
Tindakannya simptomatis (istirahat baring hingga nyeri berkurang), imobilisasi
dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap.
8. Cedera tak stabil disertai deficit neurologis bila terjadi pergeseran, fraktur
memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan.
a. Metode reabduksi antara lain :
Traksi memakai spit (tang) metal yang dipasang pada tengkorak beban
20kg tergantung dari tingkat ruas tulang belakang, mulai sekitar 2,5kg
pada fraktur C1.
Manipulasi dengan anestesi umum.
Reabduksi terbuak melalui operasi.
b. Metode imobilisasi antara lain :
Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester.
Traksi tengkorak perlu beban sedang untuk mempertahankan cedera
yang sudah di reabduksi.
Plester paris dan splin eksternal lain.
Operasi.
9. Cedera stabil disertai deficit neurologis. Bila fraktur stabil, kerusakan neurologis
disebabkan oleh :
a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma
langsung terhadap koral spiral atau kerusakan vascular.
b. Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya
seperti spondiliosis servical.
c. Fragmen tulang atau dishus terdorong ke kanan spiral. Pengelolaan kelompok
ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak pada saat pertama kali
diperiksa :
Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif.
Cedera di daerah servical, leher di imobilisasi dengan koral atau sepit
(kapiler) dan diberi metil prednisolon.
Pemeriksaan penunjang MRI.
Cedera neurologis tak lengap konservatif.
Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servical, traksi
tengkorak, dan metil prednisolon.
Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya.
Bila tak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan meburuk maka
lakukan mielografi.
Cedera tulang tak stabil.
Bila lesinya total dilakukan reabduksi yang diikuti imobilisasi.
Melindungi dengan imobilisasi seperti penambahan perawatan para
legia.
Bila deficit neurologis tak lengkap maka dilaukan reabduksi, diikuti
imobilisasi untuk sesuai jenis cederanya.
Bila diperlukan operasi dekompesi kanal spiral dilakukan pada saat
yang sama.
Cedera yang menyertai dan komplikasi :
o Cedera mayor berupa cedera kepala atau otak, toraks, berhubungan
dengan ominal dan vascular.
o Cedera berat yang dapat menyebabkan kematian, aspirasi, dan
shock.
Pengelolaan Cedera
1. Pengelolaan hemodinamik.
a. Bila terjadi hipotensi, cari sumber perdarahan dan atasi shock
neurogenik akibat hilangnya aliran adrenergic ari sistem saraf simapatis
pada jantung dan vascular perifer setelah cedera diatas tingkat T 6.
Terjadi hipotensi, bradikardia, dan hpotermi. Shock neurogenik lebih
mengganggu distribusi volume intravascular daripada menyebabkan
hipovalensi sejati sehingga perlu pertimbangan terapi atropine,
dopamine, atau fenilefrin jika pengatian volume intavasular tidak
bereaksi.
b. Pada fase akut setelah cedera dipasang beberap jalur intra vena perifer
(no 16) dan pengamatan tekanan darah melaui jalur arteri dipasang, dan
resusitasi cairan dimulai.
c. Bila hipotensi tak bereaksi tas cairan dan pemberian tranfusi, lakukan
kateterisasi pada arteri pulmonal untuk mengarahkan ke perbedaan
mekanisme hipovolemik, kardiogenik, atau neurogenik.
2. Pengelolaan sistem pernapasan.
a. Ganti posisi tubuh berulang.
b. Perangsangan batuk.
c. Pernapsan dalam.
d. Spirometri intensif.
e. Pernapasan tekanan (+) yang berkesinambungan masker adalah cara
mempertahankan ekspansi paru atau kapasitas residual fungsional.
f. Klien yang mengalami gangguan fungsi ventilasi dilakukan
trakeostomi.
3. Pengelolaan nutrisional dan sistem pencernaan.
a. Lakuakn pemeriksaan CT-Scan berhubungan dengan omen atau lavasi
peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera berhubugan dengan
ominal.
b. Bila ada ileus lakukan pengisapan (suction) nasogatrik, penggantian
elektrolit, dan pengamatan status cairan.
c. Terapi nutrisiolnal awal yang harus di metabolisme (50-100% diatas
normal).
d. Bila ada hiperlalimentasi internal elemental, pasang Duocleno yang
fleksibel melaui atau dengan bantuan fluoroskopi (ileus).
e. Pencegahan ulkus dengan antaginis Hz atau antacid.
f. Bila mendapat gastric feeding, pasang duodenal feeding (NGT).
g. Beri difonoksilat hidroklorida dengan atropine sulfat bia mendapat
NGT untuk mencegah diare.
h. Jiak terjadi kehilangan fungsi spinchter anal beri Dulcolax.
4. Pengelolaan gangguan koagulasi.
a. Untuk mencegah terjadi nya thrombosis vena dan emboli paru beri
heparin dosis minimal (500 untuk subcutan, 2-3x sehari).
b. Ekspansi volume.
c. Stoking elastic tinggi paha.
d. Strokeing prenmatis anti emboli.
e. Anti platelet serta antikoagulasi untuk pencegahan.
5. Pengelolaan genitorenia.
a. Pasang kateter Dower.
b. Amati urine output.
6. Pengelolaan ulkus dekubitus.
a. Untuk cegah tekanan langsung pada kulit, kurang berfungsi jaringan,
dan kurangnya mobilitas, gunakan busa atau kuit kambing penyangga
tonjolan tulang.
b. Putar atau ganti posisi tubuh berulang.
c. Perawatan kulit yang baik.
7. Pengelolaan klien para plegia.
a. Respirasi dengan pemasangan endotrakeal, kemudian trakeostomi serta
perbaikan keadaan neurologi dengan menutup trakeostomi.
b. Perawatan kulit dengan mengubah posisi tidur klien setiap 2 jam.
c. Kandung kemih.
Lakukan kompersi manual untuk mengosongkan kandung kemih
secara teratur agar mencegahterjadi inkontinensia overflow dan
dribbling.
Kateterisasi intermitten.
Kateterisasi indwelling.
Tindakan bedah jika cara-cara tersebut gagal.
d. Buang air besar (BAB)
Untuk mendapatkan pengosongan rectum mendadak dilakukan cara :
Tambahan diet serat.
Gunakan laksatif.
Pemberian supositoria.
Enema untuk BAB atau pengosongan rectum teratur tanpa
inkontinensia mendadak.
e. Anggota gerak.
Cegah kontraktur akibat pembedahan spastisitas kelompok otot
berlawan dengan latihan memperbaiki medikasi dan mencegah
pemisahan tendo tertentu.
Nutrisi umum tinggi kalori.
Rehabilitasi klien yang mengalami paraplegia.
1. Rehabilitasi fisik.
a. Fisioterapi dan latihan peregangan otot yang masih aktif pada lengan atas
dan tubuh bagian bawah.
b. Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga.
c. Perlengkapan splint dan kapiler.
d. Transplantasi tendon.
2. Perbaiki mobilisasi.
a. Latihan dengan kapiler dan kruk untuk klien cedera tulang belakang bawah.
b. Latihan kursi roda untuk klien dengan otot tulang belakang dan tungkai
yang tak berfungsi.
c. Kendaraan khusus untuk di jalan raya.
d. Rehabilitasi psikologis.
e. Penerimaan di rumah.
Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebralis
dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Chairuddin
Rasjad (1998) menegaskan bahwa semua trauma tulang belakang harus dianggap
suatu trauma yang hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi
ke rumah sakit penderita harus diperlakukan secara hati – hati. Trauma pada tulang
belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligament dan
diskus, tulang belakang dan sumsum tulang belakang (medulla spinalis).
Sebagian besar trauma tulang belakang yang mengenai tulang tidak disertai kelainan
pada medulla spinalis (80%) dan hanya (20%) yang disertai kelainan pada medulla
spinalis.
Penyebab cedera medulla spinalis akibat trauma langsung yang mengenai tulang
belakang dan melampaui batas kemampuan tilang belakang dalam melindungi saraf
– saraf yang berada di dalamnya. Traumatersebut meliputi kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olahraga, kecelakaan industry, kecelakaan lain seperti jatuh dari pohin
atau bangunan, luka tusuk, luka tembak dan kejatuhan benda keras.
Pengkajian
Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya riwayat
trauma pada servikal memerlukan hal yang penting diwaspadai. Tingkat kehati –
hatian dari perawat yang tinggi dapat mencegah cedera spinal servikal yang stabil
dapat tidak menjadi cedera spinal yang tidak stabil karena pada setiap fase awal
kondisi trauma servikal,perawat adalah orang yang pertama dan paling sering
melakuan intervensi.
Adanya riwayat trauma servikal harus dikaji sepenuhnnya untuk mencari
ada tidaknya cedera spinal. Untuk melakukan hal tersebut, pakaiannya mungkin
posisi kenetralan leher. Adanya keluhan nyeri atau kekakuan pada leher atau
punggung harus ditanggapi secara serius sekalipun klien dapat berjalan atau
bergerak tanpa banyak mengalami gangguan. Tanyakan megenai rasa baal,
paraestesia atau kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah.
Mekanisme trauma dari riwayat kecelakaan dapat memberi petunjuk yang
penting seperti jatuh dari tempat tinggi, cedera akibat terjun, benturan pada kepala,
tertimpa reruntuhan atau ambruknya langit – langit atau sentakan mendadak pada
leher akibat tubrukan dari belakang (whiplash injury) ini semua merupakan
penyebab kerusakan spinal yang sering ditemukan. Tanyakan apakah klien yang
mengalami cedera sebelumnya, menggunakan obat – obatan, atau jatuh setelah
menggunakan alkohol
Pada status emergensi klien dengan riwayat servikal yang jelas dan
diindikasikan cedera spinal tidak stabil apabila pengkajian anamnesis dapat
dilakukan maka stasus jalan napas optimal dan anamesis diusahakan terfokus pada
pengkajian primer karena pada fase ini klien beresiko tinggi untuk mengalami
kompresi korda yang berdampak pada henti jantung – paru. Implikasi dari situasi ini
adalah pengkajian primer dilakukan disertai intervensi dengan suatu hal yang prinsip
untuk selalu menjaga posisi leher/servikal dalam posisi netral dan kalau perlu klien
dipasang ban servikal. Apabila pada kondisi di tempat kejadian di mana klien
mengalami cedera spinal servikal tetapi masih memakai helm, maka diperlukan
teknik melepas helm dengan tetap menjaga posisi leher dalam posisi netral.
Selanjutnya peran perawat dalam melakukan transportasi dari tempat kejadian ke
tempat intervensi lanjutan trauma servikal di RS harus secara hati – hati, peran
menitoring dan kolaborasi untuk secepatnya untuk dilakukan stabilitas.
Gejala awal syok, klien akan mengalami paralis, kehilangan reflex tendon
dan abdominal, reflex Babinski positif dan terjadi retensi urin dan retensi alvi, dapat
pula diikuti syok. Apabila adanya kompresi korda penialaian fungsi repirasi di mana
kapasitas vital (VC) menurun. Dalam keadaan ini diperlukan intubasi dan ventilasi
mekanik. Kelumpuhan saraf perifer memerlukan evaluasi sampai diputuskan untuk
dilakukan oprasi.
Klien dengan cedera spinal stabil, keadaan umum, TTV, deficit neurologis
dan status kesadaran biasanya tidak mengalami perubahan.
Bila klien terlentang, dada dan perut dapat diperiksa untuk mencari ada
tidaknya sedera yang menyertai, kemuadian tungkai dengan cept diperiksa untuk
mencari ada tidaknya tanda – tanda deficit neurologis.
Untuk memeriksa punggung klien diputas oada satu dengan sangat berhati
hati dengan menggunakan teknik log rolling (mengulingkan kayu).
Pada pemeriksaan primer pakaian klien tidak dilepas dan hanya diperiksan
dengan cara palpasi punggung. Pada pemeriksaan sekunder di rumah sakit, pakaian
perlu dibuka untuk menilai adanya kelainan pada punggung. Adanya memar
menunjukan kemungkinan tingkat cedera. Prosesus spinous dipalpasi dengan hati –
hati. Kadang – kadang suatu celah dapat teraba bila ligament tersobek; keadaan ini
atau hematoma pda spinal merupakan tanda yang menakutkan (berbahaya). Tulang
pada jaringan lunak diperiksa dengan pelan – pelan untuk mencari ada tidaknya
nyeri tekan, Gerakan pada spinal dapat berbahaya karenadapat membahayakan
korda jadi manipulasi gerakan berlebihan harus dihindarisebelum diagnosis
diitegakan.
Pemeriksaan neurologis penuh dilakukan pada semua hal, pemeriksaan
ini mungkin harus diulangi beberapa kali selama beberapa hari pertama. Pada
awalnya, selama fase syok spinal mungkin terdapat paralisis lengkap dan hilangnya
perasaan di bawah tingkat cedera. Keadaan ini dapat berlangsung selama 48 jam
atau lebih dan selama periode ininsulit diketahui apakah lesi neurologis lengkap atai
tidak lengkap. Penting untuk menguji ada tidaknya reflex primitive kulit anal
dansensai perianal. Sekali reflex primitive muncul kembali, syok spinal telah
berakhir; kalau semua fungsi mototrik dan sensorik masih tidak ada, lesi neurologis
bersifat lengkap. Sensasi perianal yang utuh menunjukan lesi yang tidak lengkap
dan dapat terjadi penyembuhan lebih jauh.
Diagnosa Keperawatan
1. Aktual/resiko tinggi injuri (cedera) korda spinalis yang berhubungan dengan
kompresi korda sekunder dari cedera spinal servikal tidak stabil, manipulasi
berlebihan pda leher.
2. Aktual/resiko tinggi pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan
kelemahan otot – otot pernapasa, kelumpuhan otot diagfragma.
3. Aktual/resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
penurunan denyut jantung, dilatasi pembuluh darah, penurunan kontraksi otot
jantung sekunder dari hilangnya control pengiriman dari reflex baroreseptor
akibat kompresi korda.
4. Nyeri yang berhuungan dengan kompresi akar saraf servikalis, spasme otot
servikalis sekunder dari cedera spinal stabil dan tidak stabil.
5. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan tidak adekuatnya
pengirimanpesan kontol motoriksekunder dari kompresi akar saraf servikal.
6. Kecemasan yang berhubungan dengan prognosis penyakit sekunder dari respons
psikologis atau kondisi penyakit.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Trauma adalah keadaan yang disebabakan oleh luka atau cedera. Definisi ini
memeberikan gambaran superpisial dari respon fisik terhadap cedera. Dalam
makalah ini penulis membahas dua jenis trauma yaitu trauma kepala dan trauma
medulla spinalis.
Trauma atau cedera kepala dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Deficit
neurologis terjadi karena robeknya substansi alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak.
Medulla spinalis (spinal cord) merupakan bagian susunan saraf pusat yang terletak
di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum ke bagian atas
region lumbalis. Trauma medulla spinalis terbagi menjadi dua macam yaitu trauma
medula spinalis torakalis dan trauma medulla spinalis torkal-lumbal.
1.2 Saran
Trauma kepala dan trauma medulla spinalis merupakan trauma serius yang
menyerang sistem syaraf pusat. Oleh sebab itu, perawat harus memilki kemampuan
yang baik dalam memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan
klien nya.
DAFTAR PUSTAKA