Anda di halaman 1dari 56

BLOK EMERGENCY

SKENARIO 2
TRAUMA PADA KEPALA
KELOMPOK B-12
Ketua : Yonanda Alvino (1102014286)
Sekretaris : Putri Kurnia (1102014214)
Anggota : Milati Wicahyaning Sukma (1102013170)
Nour Indah Ogita (1102013213)
Meutia Sandia Meiviana (1102014154)
Muhammad Rayi Wicaksono (1102014170)
Nesya Iryani (1102014191)
Saisabela Prima Andina (1102014235)
Syafhira Ayu Alawiyah (1102014258)
Zahra Faras Sukma (1102014291)
SKENARIO 2 : TRAUMA PADA KEPALA
Perempuan berusia 25 tahun dibawa ke UGD RS dengan penurunan kesadaran
setelah tertabrak motor saat menyebrang jalan 2 jam yang lalu. Sesaat setelah
ditabrak pasien pingsan. Dalam perjalanan ke RS pasien sempat tersadar sekitar 10
menit, kemudian mengeluh nyeri kepala, muntah, dan kembali tidak sadar. Keluar
darah dari hidung dan telinga.

Tanda Vital
-Airway : terdengar bunyi snoring
-Breathing : frekuensi nafas 10x/menit
-Circulation : tekanan darah 160/90 mmHg, frekuensi madi 40x/menit

Wajah
-Terlihat adanya brill hematoma
-Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya
cerebrospinal rhinorrhea, mobilitas dari maxilla, krepitasi, dan maloklusi dari
gigi.
Hidung
-Inspeksi : adanya edema atau deformitas pada hidung
tidak ada
-Palpasi : terdapat kreptasi pada hidung
-Pemeriksaan fisik menggunakan rinoskopi anterior : terdapat
clothing perdarahan aktif tidak ada, tampak laserasi di
septum dan konka inferior

Telinga
Liang telinga : lapang, terdapat laserasi, cloting (+), tidak
terdapat perdarahan aktif dan membrane timpani utuh

Status Neurologi
GCS E1 M1 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 5mm/3mm,
RCL -/+, RCTL -/+, kesan hemiparesis dekstra, reflex
patologis Babinsky +/-
KATA SULIT
Maloklusi : Rahang atas dan bawah menyimpang dan tidak ada
keseimbangan dento fascia

Brill hematoma : Tanda dari pecahnya A.ophtalmica sehingga darah


masuk ke rongga orbita melalui fissure orbita

Anisokor : Ukuran pupil yang tidak sama


Cerebrospinal rhinorrhea : Secret cairan cerebrospinal melalui hidung
Krepitasi : Bunyi akibat pergeseran antar ujung tulang

Reflex patologis Babinsky : Dorso flexi ibu jari kaku pada stimuli
telapak kaki, Normal pada bayi dan pada lainnya merupakan lesi
pada system saraf pusat terutama pada tractus pyramidalis
PERTANYAAN

1.Mengapa terdapat hipertensi?


2.Mengapa pasien pingsan-sadar-pingsan?
3.Mengapa terdapat cerebrospinal rhinorrhea?
4.Mengapa terdapat snoring?
5.Apa pertolongan pertama pada pasien?
6.Mengapa diastole tidak ikut naik?
7.Mengapa keluar darah dari hidung dan telinga?
8.Apa penyebab pupil anisokor?
JAWABAN
1.Karena merupakan kompensasi jantung yang terus memompa darah
2.Karena terjadinya lucid interval sehingga menimbulkan epidural hematoma. Selain
itu juga terdapat peningkatan tekanan intracranial yang memengaruhi pons (pusat
kesadaran)
3.Karena antara kapitasi sino nasal dan mediocranial saat terjadi benturan dapat
menyebabkan distrupting sehingga keluar cairan cerebrospinal akibat pecahnya
pembuluh darah yang ada di meningen mediae
4.Karena terhambatnya jalan pernapasan oleh lidah
5.Airway, Breathing, and Circulation, GCS, dan mencari etiologi
6.Karena saat hipoksia (penurunan oksigen), jantung melakukan kompensasi
sehingga sistolik terus meningkat. Sementara diastolik tidak terlalu naik mungkin
karena penyempitan pembuluh darah akibat benturan sehingga sistolik tidak akan
semakin meningkat.
7.Karena pecahnya pembuluh darah yang ada di meningen madiae
8. Karena adanya peningkatan tekanan intracranial yang dapat menyebabkan anisokor
HIPOTESIS
Trauma kepala dapat menyebabkan hipertensi akibat dari
kompensasi jantung yg terus memompa darah.

Trauma ini menyebabkan pasien mengalami gangguan


kesadaran akibat lucid interval dan peningkatan tekanan
intracranial sehingga terjadi :
- Gangguan di pons (pusat kesadaran), terdapat cerebrospinal
rhinorrhea karena krepitasi, adanya snoring akibat gangguan
jalan pernapasan, dan terdapat anisokor akibat peningkatan
tekanan intrakranial.

Trauma kepala dapat ditangani dengan pemeriksaan Airway,


Breathing, and Circulation, GCS, dan mencari etiologi.
1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN
TRAUMA KEPALA
1.1. DEFINISI
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah
suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat
menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak
(Sastrodiningrat, 2009).
1.2. ETIOLOGI
Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu
lintas, jatuh/pukulan benda tumpul
Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam
disebabkan oleh luka tembak atau tusukan
Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak
1.3. KLASIFIKASI
Trauma Kepala Ringan
adalah hilangnya fungsi neurologi atau menurunnya kesadaran
tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001). Nilai
GCS: 15 (sadar penuh) tidak kehilangan kesadaran, mengeluh
pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi
(Mansjoer, 2000).

Trauma Kepala Sedang


Nilai GCS: 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-scan
dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes,
1999). Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap
mampu untuk mengikuti perintah sederhana.

Trauma Kepala Berat


Nilai GCS: < 8 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner C,
Choi S, Barnes Y, 1999)
Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka
ataupun tertutup. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan
adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak
karena robeknya selaput dura.

Menurut American Accreditation Health Care Commission,


terdapat 4 jenis fraktur yaitu sebagai berikut :
Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
Linear or hairline : retak pada kranial yang berbentuk garis halus
tanpa depresi, distorsi dan splintering
Depressed : retak pada kranial dengan depresi ke arah otak
Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada
tengkorak. Selain retak terdapat juga hematoma subdural (Duldner,
2008).
Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
Calvarium / Konveksitas (kubah/atap tengkorak)
Basis cranii (dasar tengkorak)

Keadaan luka, dibedakan atas :


Terbuka
adalah yaitu luka tampak telah menembus sampai kepada
duramater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006).
Tertutup
adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-
tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.
Luka pada kepala :
Laserasi kulit kepala
Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini.
Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat
longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan
perdarahan yang cukup banyak.
Luka memar (kontusio)
adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh
darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya,
kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.
Abrasi
Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat
nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
Avulsi
Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian
masih berhubungan dengan tulang kranial.
Lesi Intra Kranial

Cedera otak difus


biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang
berkepanjangan, atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk
mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk.

Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo
parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea
media akibat fraktur tulang tengkorak.
Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural.
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di
permukaan korteks serebri.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan
hemisfer otak.
Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di
lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi
pada setiap bagian dari otak.
Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari,
berubah menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan
tindakan operasi.
FRAKTUR BASIS CRANII
adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan
robekan pada duramater. Paling sering terjadi pada dua
lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio
occipital condylar.
Calvarium
Fraktur linear (garis)
merupakan garis fraktur tunggal pada tulang tengkorak yang meliputi seluruh
ketebalan tulang. Bila fraktur linear melibatkan rongga udara perinasal maka
ada kemungkinan untuk timbulnya rinorea atau otau otorea LCS.
Fraktur Diastase
adalah fraktur yang terjai pada sutura sehingga terjadi pemisahan sutura
kranial. Sering terjadi pada anak dibawah usia 3 tahun.
Fraktur communited
Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur
Fraktur Depressed
adalah fraktur dengan tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur
tergeser dibawah tingkat dari tabula interna tulang tengkorak utuh
sekelilingnya. Fraktur jenis ini terjadi bila energi benturan relatif besar
terhadap area benturan yang relatif kecil, misalnya benturan oleh kayu, batu,
pipa besi, martil. Pada gambaran radiologis akan terlihat suatu area double
density lebih radioopaq karena ada bagian tulang yang tumpang tindih.
Basis cranium
Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posteriornya dibatasi oleh os. Sphenoid, prosessus clinoidalis anterior dan
jugum sphenoidalis. Gejalanya berupa kimosis periorbita bisa bilateral dan disebut
brill hematoma atau racoon eyes,anosmia jika cedera melibatkan N. Olfctorius,
Rhinorea.

Fraktur basis cranii Fossa Media


Manifestasi klinisnya : ecchimosis pada mastoid (battles sign), otorrhea,
hemotympanum (bila membran tympaninya robek), kelumpuhan N.VII dan N. VIII
(hal ni terutama terjadijika garis frakturnya transversal terhadap aksis pyramida
petrosus). Carotid-cavernosusfistula (CCF) yang ditandai dengan chymosis, sakit
kepala, adanya bruit, exophtalmus yang berdenyut.

Fraktur Basis Cranii Fossa posterior


Merupakan dasar ari kompartment infratentorial. Sering tidak disertai gejala dan
tanda yang jelas, tetapi dapat segera menyebabkan kematian karena penekanan
terhadap batang otak. Kadang-kadang terdapat battles sign.

Untuk mendiagnosis fraktur basis cranii di lakukan pemeriksaan :


Radiografi
Foto x-ray tulang tengkorak menujukan pada kriteria panel memutuskan bahwa skull
film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii.
CT scan
CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis
skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur
condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
MRI
MRI merupakan suatu nilai tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera
pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan
dengan menggunakan CT scan.
Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF,
dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan
darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin
yang jelas yang melingkari darah, maka disebut halo atau ring sign. Kebocoran
dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan
mengukur transferrin.
FRAKTUR 1/3 TENGAH WAJAH
Fraktur Le Fort tipe I (Guerins)
merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan menyebabkan terpisahnya
prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas
mengalami pergerakan yang disebut floating jaw.

Fraktur Le Fort tipe II


disebut juga dengan fraktur piramidal. Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di
kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign.
Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan
dari edema. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi
di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan
epistaksis juga dapat ditemukan.

Fraktur Le Fort III


disebut juga fraktur tarnsversal. Menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial.
Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah serta adanya
mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks dan disertai pula dengan keluarnya
cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.
Penatalaksanaannya meliputi :
A : Airway maintenance with cervical spine control/ protection
Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.
Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur wajah
untuk membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal.
Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur
kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas atas.

B : Breathing and adequate ventilation


Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior dengan
fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas pada
pasien yang sadar.

C : Circulation with control of hemorrhage


Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk meningkatkan jalan
nafas dan mengontrol perdarahan.
Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan perdarahan di kepala.
Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi wajah yang
meluas dan perdarahan kepala.
D : Disability: neurologic examination
Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran,
ukuran pupil, dan reaksi.
Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular
secara langsung maupun tdak langsung yang dapat dilihat
dari ukuran pupil, kontur, dan respon

E : Exposure/ enviromental control


Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.
Menghilangkan lensa kontak.
FRAKTUR OS NASAL
Jenis fraktur nasal meliputi :
Fraktur nasal sederhana
Jika hanya terjadi fraktur tulang hidung saja dapat dilakukan reposisi fraktur
dengan analgesia lokal
Fraktur nasal kominunitiva
Ditandai dengan batang hidung nampak rata (pesek); tulang hidung mungkin
dinaikkan ke posisi yang aman tetapi beberapa fragmen tulang tetap hilang.
Fraktur tulang hidung terbuka
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang
hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum
rongga hidung.
Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks
Jika nasal piramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat akan
menimbulkan fraktur hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila dan
frontal. Tulang hidung bersambungan dengan prossesus frontalis os maksila dan
prossesus nasalis os frontal.
Tanda yang mendukung terjadinya fraktur tulang hidung dapat
berupa :

-Depresi atau pergeseran tulang tulang hidung.


-Terasa lembut saat menyentuh hidung.
- Adanya pembengkakan pada hidung atau muka.
- Memar pada hidung atau di bawah kelopak mata (black eye).
- Deformitas hidung.
- Keluarnya darah dari lubang hidung (epistaksis).
- Saat menyentuh hidung terasa krepitasi.
- Rasa nyeri dan kesulitan bernapas dari lubang hidung.
Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan
fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.
Teknik reduksi tertutup
adalah tindakan yang dianjurkan pada fraktur hidung akut yang sederhana dan
unilateral untuk mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi. Tindakan reduksi ini
dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma. Namun demikian tindakan reduksi secara lokal
masih dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. Setelah waktu tersebut
tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah terbentuk proses
kalsifikasi pada tulang hidung sehingga perlu dilakukan tindakan rinoplasti
estetomi.
Teknik reduksi terbuka
Fraktur nasal reduksi terbuka cenderung tidak memberikan keuntungan. Pada
daerah dimana fraktur berada sangat beresiko mengalami infeksi sampai ke dalam
tulang. Masalah pada hidung menjadi kecil karena hidung mempunyai banyak suplai
aliran darah bahkan pada masa sebelum adanya antibiotik, komplikasi infeksi
setelah fraktur nasal dan rhinoplasti sangat jarang terjadi
1.4. PATOFISIOLOGI
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang
bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang
berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio coup di
seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi,
sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup.
1.5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan :
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
c. Mual atau dan muntah
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
e. Perubahan keperibadian diri
f. Letargi
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat :
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau
meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)
1.6. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
1. Pemeriksaan kesadaran
Paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS
merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu : pembukaan
mata, respon motorik, dan respon verbal. Menurut Japardi (2004), GCS bisa
digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi :
GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat
GCS 9 13: cedera kepala sedang
GCS > 13 : cedera kepala ringan

2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah
abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap
saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa
merupakan akibat dari cedera kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf
kranial dan saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi,
sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya
harus dicatat.
4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan
memar. Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing
harus dicatat.
Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur
yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.
1.7. TATALAKSANA
Pemeriksaan penunjang :
X-ray Tengkorak
Untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau
rongga tengkorak. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila
CT scan tidak ada (State of Colorado Department of Labor
and Employment, 2006).
CT-Scan
CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio
atau perdarahan.Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu
menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering
luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita
dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang
otak.

Medikamentosa
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya
cedera sekunder terhadap otak yang telah mengaalami cedera.
Cairan Intravena
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau
Rl
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal,
keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus
dicegah dan diobati.
Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan
secara hati-hati, HV dapat menurunkan PCo2
sehingga menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah otak
Pertahankan level PCo2 pada 25 30 mmHg
bila TIK tinggi.
Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV. Indikasi penderita koma yang
semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi
dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis.
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi
karena akan memperberat hypovolemia.
Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK
dan akan meningkatkan diuresis. Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB
IV.
1.8. PENCEGAHAN
Gunakan helm saat mengendarai sepeda motor
Perhatikan rambu-rambu lalu lintas
Hati-hati saat menyebrang jalan raya
Berkendaralah dengan kecepatan standard
Pastikan mesin kendaraan dalam kondisi yang baik
sebelum dikendarai
1.9. KOMPLIKASI
Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah
trauma disebut early seizure, dan yang terjadi
setelahnya disebut late seizure.
Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi,
yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial,
kontusio di daerah korteks
diberi profilaksis fenitoin dengan dosis 3x100
mg/hari selama 7-10 hari.
Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti
pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii.
Pemberian profilaksis antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada
kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis
meningitis.

Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering
ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di
antaranya akan berdarah.
Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran
cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor
yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal.
Umumnya tukak stres terjadi karena hiperasiditas.
Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral
atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin)
dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.
1.10. PROGNOSIS

Prognosis TK tergantung berat dan letak TK.Jika


kesadarannya baik, maka prognosisnya dubia,
tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat pulih kembali
atau traumanya bertambah berat.
Faktor yang memperjelek prognosis adalah
terlambatnya penanganan awal/resusitasi,
transportasi yang lambat, dikirim ke RS yang tidak
memadai, terlambat dilakukan tindakan pembedahan
dan disertai trauma multipel yang lain.
2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN
PERDARAHAN INTRAKRANIAL
2.1. DEFINISI

Perdarahan intrakranial adalah perdarahan


(patologis) yang terjadi di dalam kranium, yang mungkin
ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral
(parenkimatosa). Perdarahan intrakranial dapat terjadi
pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti
kapitis,tumor otak dan lain-lain.
2.2. ETIOLOGI

8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke


dan kelainan dengan spectrum yang luas.

Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau


perdarahan subaraknoid, ICH umumnya lebih
banyak mengakibatkan kematian atau cacat
mayor.
2.3. KLASIFIKASI
Perdarahan Epidural
- Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin
menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi
hemiparese kontralateral.

Perdarahan Subdural
- Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang
biasanya meliputi perdarahan vena.

Perdarahan Subaraknoid
- Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak
yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).
Cedera orak difus meliputi :
Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang
menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut
proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu
hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan
kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan.
Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara inti profunda
dengan inti permukaan .
Kontsuio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan
karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang
menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan
countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang
sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat
oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak.
Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim
otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai
kepala.
Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat
trauma kepala
Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan
parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada
daerah yang mengalami edema.
Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode
hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan
hipovolemik.
Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian
otak berkurang atau terhenti.Kejadian iskemia cerebri
berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena
penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
2.4. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi berdasarkan klasifikasinya, yaitu sebagai berikut :
Epidural Hematom
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan
dalam waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini
hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan
pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau
keduanya.Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi g
aris fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.
Subdural Hematom
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau
laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat
berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak.
CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam
exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
Intraserebral Hematom
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau
di daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer
lainnya serta fraktur kalvaria.
2.5. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis yang ditimbulkan berdasarkan klasifikasinya meliputi :
Epidural Hematom
Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita
karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial.
Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan
berasal dari arteri. Hemiparesis Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis,
tergantung dari efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis
sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle
pada permukaan tentorial.
Anisokor pupil Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan
mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi
negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran
menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai
akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Subdural Hematom
Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari peninggian tekanan
intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat
kelumpuhan N. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang
riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.
Intraserebral Hematom
Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan
adanya scan computer tomografi otakdiagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
2.6. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDUNG
Pemeriksaan penunjang
Radiografi
Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga
mungkin diamati.

CT-scan
Ruang yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke
skema bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan
lentikular atau bikonveks. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda
terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4
minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya.

MRI
Perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat
untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun,
dapat diamati ketika meluas.

2.7. TATALAKSANA

Tatalaksana berdasarkan klasifikasi meliputi :


Epidural Hematom
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan. Biasanya pasca
operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya pengumpulan
darah yamg baru. Trepanasi-kraniotomi, evakuasi hematom Kraniotomi-evakuasi hematom
Subdural Hematom
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya
dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua
dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah
mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi
(diandingkan dengan burr-hole saja).
Intraserebral Hematom
Intra cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan
steroid dengan monitoring tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari
pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan
kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis
Konservatif
Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebellar
Bila perdarahan pons batang otak
Pembedahan
Kraniotomi
Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc
dengan effek massa
Bila perdarahan cerebellar lebih dari 15 cc dengan
effek massa
2.8. PENCEGAHAN
Hati-hati saat berjalan supaya tidak terjatuh
Lindungi kepala saat akan terjatuh
Gunakan helm saat berkendara
Hati-hati menyebrang jalan
Perhatikan rambu-rambu lalu lintas

2.9. KOMPLIKASI
Epidural Hematom
Edema serebri merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun tampilan
ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada
kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intracranial.
Kompresi batang otak meninggal
Subdural Hematom, Hemiparese/hemiplegia, Disfasia/afasia, Epilepsi,
Hidrosepalus, Subdural empyema, Intraserebral Hematom, Oedem serebri,
pembengkakan otak, dan Kompresi batang otak, meninggal
2.10. PROGNOSIS
Prognosis berdasarkan klasifikasinya meliputi :
Eidural Hematom
Mortalitas 20% -30%
Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
Sembuh tanpa defisit neurologik
Hidup dalam kondisi status vegetatif

Subdural Hematom
Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
Pada subdural hematom kronis : Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%
dan Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%

Intraserebral Hematom
Mortalitas 20%-30%
Sembuh tanpa defisit neurologis
Sembuh denga defisit neurologis
Hidup dalam kondisi status vegetatif
3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN
TRIAS CUSHING
3.1. DEFINISI
Adanya hipertensi dan bradikardia yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan intrakranial.

3.2. PATOFISIOLOGI
Semua jaringan menanggapi cedera dengan pembengkakan dan pendarahan.
Setelah cedera, otak akan membengkak. Ketika ini terjadi, tekanan dalam
tengkorak mulai meningkat. Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah
secara berangsur-angsur.
Hingga tekanan intrakranial sampai 33 mmHg (TIK normal berkisar 5-15 mmHg)
mengurangi aliran darah otak secara bermakna (iskemia).
Hal ini akan mengurangi kemampuan kapiler di otak untuk berfungsi secara
normal dan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran
DAFTAR PUSTAKA
De Jong, W. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Masjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Haryono Y. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK USU. 2006
Nadeau K. Neurologic injury(chapter 29) in Jones and barlett learning.com. 2004
Bamberger D. Diagnosis, initial management and prevention of meningitis,
University of MissouriKansas City School of Medicine, Kansas City, Missouri.
Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas, Papadimos ,
Stawicki SPA. raumatic tension pneumocephalus: Two cases and comprehensive
review of literature. OPUS 12 Scientist 2010;4(1):6-11
Efiaty A S, Nurbaiti I, Jenny B, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Cetakan ke-1. Jakarta: FKUI;2007.h.118-
122,199-202.
R.Sjamsuhidajat, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Fraktur Tulang Hidung.
Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2005.h.338.
Lalwani AK. Current Diagnosis dan Treatment : Otolaryngology Head and Neck
Surgery. Edisi ke-2. USA; McGraw-Hill Medical;2007.Chapter 11.
George L Adams. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT. Fraktur Hidung. Edisi ke-6. Cetakan
ke-3. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC;1997.h.513.
Fraktur Hidung Sederhana. Di unduh dari : www.healthline.com/adamimage.
Diakses pada 23 September 2017.
Anonymus. Fraktur nasal. Di unduh dari: http://ilmubedah.info/definisi-anatomi-
diagnosis-penatalaksanaan-fraktur-nasal. Diakses pada 23 September 2017
Foto x-ray fraktur hidung. Diunduh dari: www.emedicine.medscape.com. Diakses
pada23 September 2017
CT-scan fraktur nasal. Diunduh dari: rhinoplastyinseattle.com. Diakses pada 23
September 2017
Reposisi dan reduksi fraktur hidung. Diunduh dari: www.primary-surgery.org.
Diakses pada 23 September 2017
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai