OLEH :
Rahmat Setiawan 70300113059
Erlinda 70300117075
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang
disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat
thorax akut (Sudoyo,2010).
Trauma adalah penyebab kematian terbanyak pada decade 3 kehidupan diseluruh
kota besar didunia dan diperkirakan 16.000 kasus kematian akibat trauma per tahun yang
disebabkan oleh trauma toaks di amerika serikat diperkirakan 12 penderita per seribu
po[ulasi per hari dan kematian yang disebabkan oleh trauma toraks sebesar 20-25%. Dan
hanya 10-15% penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi
sebagian besar hanya memerlukan tindakan sederhana untuk meolong korban dari
ancaman kematian (Nugroho, 2015)
Trauma dada menyebabkan hampir 25% dari semua kematian yang berhubungan
dengan trauma di amerika serikat dan berkaitan dengan 50% kematian yang berhubungan
dengan trauma yang mencakup cedera sistem multiple. Trauma dada diklasifikasikan
dengan tumpul atau tembus (penetrasi). Meski trauma tumpul dada lebih umum, pada
trauma ini seringtimbul kesulitan dalam mengidentifikasi keluasan kerusakan karena
gejala-gejala mungkin umum dan rancu.
Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu atau lebih
mekanisme ptologi berikut:
Hipoksemia akibat gangguan jalan napas, cedera pada parenkim paru, sangkar iga,
dan otot pernapasan , kolaps paru dan pneumonia.
Hipovolemia akibat kehilangan cairan masif dari pembuluh besar, ruptur jantung, atau
hemotoraks.
Gagal jantung akibat tamponade jantung, kontusio jantung, atau tekanan intra toraks
yang meningkat.
TINJAUAN TEORI
Klasifikasi
Fraktur tulang tengkorak dapat di klasifikasikan antara lain :
a. Fraktur sederhana (simple) merupakan suatu fraktur linear pada tulang tengkorak
b. Fraktur depresi (depressed) terjadi apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih
dalam dari tulang tengkorak
c. Fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan
luar. Dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang
biasanya melalui sinus-sinus.
2.1.4 Komplikasi
Infeksi. Infeksi dapat menyebar langsung dari luka terbuka akibat fraktur, atau melalui
hidung (setelah fraktur tulang ethmoid) dan bisa juga melalui sinus lain (misalnya
mastoid).
Kebocoran CSF. Mempengaruhi sekitar 10% dari fraktur cranium, terutama fraktur basis
cranium. Dapat didiagnosis secara klinis dengan drainase cairan jelas atau
serosanguineous dari telinga hidung, atau patah tulang terbuka. Cairan dapat diuji
menggunakan beta-2 transferin dengan cara elektroforesis immunofixation untuk
mengetahui ada tidaknya CSF. Endoskopi intranasal dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sumber kebocoran. Jika terus-menerus, lumbal pungsi dapat dilakukan
untuk menurunkan tekanan intratekal dan untuk mendapatkan CSF untuk memantau
komplikasi meningitis.
Meningitis. Meningitis dilaporkan dalam 0,7%-15,3% kasus fraktur cranium. Faktor
risiko meliputi adanya fraktur terbuka, kontaminasi kotor, dan keterlambatan dalam
pengobatan. Prompt debridement dan penutupan luka terbuka akan meminimalkan risiko
komplikasi infeksi.
Perdarahan intracranial. Biasanya muncul dengan gejala hilangnya kesadaran atau
menurun, kejang, sakit kepala, kelemahan atau perubahan sensoris, atau perubahan dalam
kognitif, berbicara, atau penglihatan. Hasil CT scan akan menunjukkan pengumpulan
cairan subdural/epidural.
Defisit Neurologis. Fraktur basilar dapat merusak saraf kranial sehingga dapat terjadi
defisit pendengaran, kelumpuhan wajah (VII) atau mati rasa (V), dan nystagmus.
Fraktur dasar tengkorak dapat menyebabkan echymosis pada tonjolan mastoid pada
tulang temporal (Battle’s Sign), perdarahan konjungtiva atau ekimosis periorbital (racoon
eyes).
2.1.8 Penatalaksanaan
Penanganan fraktur cranium dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat,
dan aman. Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita fraktur kranium sangat berbahaya,
karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting.
a. Primary Survey (ABCDE)
Adalah penilaian utama terhadap pasien, dilakukan dengan cepat, bila ditemukan
hal yang membahayakan nyawa pasien, langsung dilakukan tindakan resusitasi.
Penanganan atau Pertolongan pertama dari penderita dengan fraktur cranium mengikuti
standart yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang
meliputi;
Pertahankan A (airway)
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil. Dengarkan suara yang
dikeluarkan pasien, ada obstruksi airway atau tidak. Jika pasien tidak sadar lihat ada
s u m b a t a n a i r w a y a t a u t i d a k d a n s u a r a - s u a r a n a f a s s e r t a hembusan nafas
pasien. Pemeriksaan jalan napas pasien dilakukan dengan cara kepala dimiringkan, buka
mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher,
Immobilisasi, Cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi.
Pertahankan B (Breathing)
Dapat segera dinilai dengan cara menentukan apakah pasien bernafas
spontan/tidak kemudain pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2 minimum
95%. Jika tidak usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan dengan
memberikan masker O2 sesuai indikasi. Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin
pernafasannya diperhatikan frekwensi normalnya antara 16 – 20X/menit, kemudian
lakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 – 35 mmHg .
Pertahankan C (Circulation)
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan
tekanan darah jika diperlukan pasang EKG. Apabila denyut nadi/jantung, tidak teraba
lakukan resusitasi jantung, Kemudian tentukan perdarahan dan kenali tanda-tanda
siaonosis. Waspada terjadinya shock dan lakukan penanganan luka secara baik serta
pasang infus dengan larutan RL.
Disability
Pada pemeriksaan disability, pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma
scale (GCS). Penilaian neorologis untuk menilai apakah pasien sadar, memeberi respon
suara terhadap rangsang nyeri atau pasien tidak sadar. Periksa kedua pupil bentuk dan
besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa
adanya reflek patologis kanan kiri,
Exposure.
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka atau trauma lain secara
generalis. Tetapi jaga agar pasien tidak hipotermi.
b. Secondary survey
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai dan ABC sudah
mulai stabil dan membaik. Dilakukan secondary survey dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik lebih lanjut dan melakukan pemeriksaan tambahan seperti skull foto,
foto thorax, MRI dan CT Scan. (ATLS).
Tujun/Hasil luaran
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam, maka didapatkan hasil :
Intervensi 2
DX :
Tujun/Hasil luaran
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam, maka didapatkan hasil :
Intervensi 3
DX :
Tujun/Hasil luaran
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam, maka didapatkan hasil :
Intervensi 4
DX :
Tujun/Hasil luaran
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam, maka didapatkan hasil :
Intervensi 5
DX :
Tujun/Hasil luaran
1.1 Kesimpulan
1.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2009. Cedera Kepala. (ONLINE: www.scribd.com/doc/20357839/Cedera-Kepala,
AKSES:27 oktober 2011)
Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson. 2008. Nursing
Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat & Jong, W.D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Smelzer, Suzanne. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Ed. 8
Vol. 3. Jakarta: EGC
r