Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Topik : Fraktur Tengkorak


Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Pengampu :
Andi Buidyanto, S.kep.Ns.M.Kep
Ns Ilhamsyah, S.Kep, M.Kep
Ns Ardian, S.Kep, M.Kep
Ns Eva Yustilawati, S.kep, M.Kep
Ns Musdalifah, S.Kep, M.Kep

OLEH :
Rahmat Setiawan 70300113059

Nurul Fajriah 70300117044

Ayu Satriana 70300117067

Erlinda 70300117075

Rita Tendriani 70300117074


Program Studi Keperawatan

Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

2020

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang
disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat
thorax akut (Sudoyo,2010).
Trauma adalah penyebab kematian terbanyak pada decade 3 kehidupan diseluruh
kota besar didunia dan diperkirakan 16.000 kasus kematian akibat trauma per tahun yang
disebabkan oleh trauma toaks di amerika serikat diperkirakan 12 penderita per seribu
po[ulasi per hari dan kematian yang disebabkan oleh trauma toraks sebesar 20-25%. Dan
hanya 10-15% penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi
sebagian besar hanya memerlukan tindakan sederhana untuk meolong korban dari
ancaman kematian (Nugroho, 2015)
Trauma dada menyebabkan hampir 25% dari semua kematian yang berhubungan
dengan trauma di amerika serikat dan berkaitan dengan 50% kematian yang berhubungan
dengan trauma yang mencakup cedera sistem multiple. Trauma dada diklasifikasikan
dengan tumpul atau tembus (penetrasi). Meski trauma tumpul dada lebih umum, pada
trauma ini seringtimbul kesulitan dalam mengidentifikasi keluasan kerusakan karena
gejala-gejala mungkin umum dan rancu.
Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu atau lebih
mekanisme ptologi berikut:
 Hipoksemia akibat gangguan jalan napas, cedera pada parenkim paru, sangkar iga,
dan otot pernapasan , kolaps paru dan pneumonia.
 Hipovolemia akibat kehilangan cairan masif dari pembuluh besar, ruptur jantung, atau
hemotoraks.
 Gagal jantung akibat tamponade jantung, kontusio jantung, atau tekanan intra toraks
yang meningkat.

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
1.2.2

Agar mahasiswa/i keperawatan mengetahui rencana asuhan keperawatan dengan


gangguan sistem pernafasan pada pasien dengan trauma toraks secara langsung dan tepat.

1.2.2 Tujuan Khusus


Agar mahasiswa/i keperawatan mampu :
1. Mengkaji pasien gangguan sistem pernafasan dengan trauma toraks
2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem pernafasan
trauma toraks
3. Menentukan tujuan dan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan gangguan
sistem pernafasan trauma toraks
4. Mengimplementasikan rencana yang telah disusun dalam bentuk pelaksanaan
tindakan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem pernafasan trauma toraks
5. Melakukan evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan pada pasien
dengan gangguan sistem pernafasan trauma toraks
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Medik


2.1.1 Pengertian
Fraktur cranium yaitu rusaknya kontinuitas tulang tengkorak yang disebabkan oleh
trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa adanya kerusakan otak. Adanya fraktur tulang
tengkorak (cranium) biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. (Brunner &
Suddarth, 2001)
Fraktur cranium yaitu patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi akibat benturan
langsung. Suatu fraktur menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala
dan kemungkinan besar menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium.
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis (Sjamsuhidayat &
Jong, 1997).

Klasifikasi
Fraktur tulang tengkorak dapat di klasifikasikan antara lain :
a. Fraktur sederhana (simple) merupakan suatu fraktur linear pada tulang tengkorak
b. Fraktur depresi (depressed) terjadi apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih
dalam dari tulang tengkorak
c. Fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan
luar. Dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang
biasanya melalui sinus-sinus.

2.1.2 Anatomi Fisiologi


2.1.3 Etiologi

2.14. Manifestasi klinis


 Luka di kulit kepala (abrasi, kontusi, laserasi, atau avulsi), yang bisa menyebabkan
pendarahan profusi karena kulit kepala mengandung banyak pembuluh darah, sehingga
meyebabkan syok hipovolemik jika darah yang hilang cukup banyak.
 Tanda cedera otak: agitasi dan iritabilitas, hilang kesadaran, perubahan pola respiratori,
reflek tendon dalam (deep tendon reflex – DTR) abnormal, dan perubahan respon pupil
dan motorik.
 Sakit kepala setempat dan persisten
 Hemoragi atau hematoma subdural, epidural, atau intraserebral, jika fragmen tulang yang
bergerigi menembus dura meter atau korteks serebral, yang bisa menyebabkan
hemiparesis, pupil tidak sama, pusing, sawan, muntah proyektil, denyut nadi dan tingkat
respiratorik menurun, dan ketidakresponsifan progresif.
 Kebutaan jika pasien mengalami fraktur sfenoidal yang merusak saraf optic
 Ketulian unilateral atau paralisis fasial jika pasien mengalami fraktur temporal.
 Pembengkakan jaringan lunak di dekat terjadinya fraktur kubah, sehingga membuatnya
sulit dideteksi tanda computed tomography (CT) scan.
 Pada fraktur basilar: hemoragi dari hidung, faring atau telinga, darah dibawah kulit
periorbital (“racoon eyes”) dan dibawah konjungtiva; dan battle sign (ekimosis
sepramastoid), kadang-kadang disertai pendarahan di belakang gendang telinga; cairan
serebrospinal (cerebrospinal fluid-CSF) atau bahkan jaringan otak bocor dari hidung atau
telinga.
 Efek residual yang bisa muncul: gangguan sawan (epilepsy), hidrosefalus, dan sindrom
otak organik.
 Pada anak-anak: sakit kepala, pusing, mudah letih, neurosis, dan gangguan perilaku.
 Pada pasien lansia: tekanan intracranial (intracranial pressure-ICP) yang tidak
menunjukkan tanda sampai mencapai tingkat yang sangat tinggi akibat atrofi otak kortikal,
sehingga membuat lebih banyak ruang untuk pembengkakan otak dibawah cranium.
Patofisiologi/ Pathway
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma.
Meskipun tengkorak sangat sulit retak dan memberikan perlindungan yang sangat baik
untuk otak, trauma yang parah atau pukulan dapat mengakibatkan fraktur tengkorak. Ini
dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat
menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan
terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak.
Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan kurang
akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak
cenderung melintasi sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang
temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah
terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari
telinga dan hidung. Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian
berdarah ke dalam ruang di sekitar jaringan otak. Patah tulang, terutama pada bagian
belakang dan bawah (dasar) dari tengkorak, bisa merobek meninges, lapisan jaringan yang
menutupi otak. Bakteri dapat masuk ke tengkorak melalui patah tulang tersebut,
menyebabkan infeksi dan kerusakan otak parah. Kadang-kadang, potongan tulang
tengkoraknya retak tekan ke dalam dan merusak otak. Jenis patah tulang fraktur disebut
depresi. Patah tulang tengkorak depresi mungkin mengekspos otak ke lingkungan dan bahan
asing, menyebabkan infeksi atau pembentukan abses (pengumpulan nanah) di dalam otak.

2.1.4 Komplikasi
 Infeksi. Infeksi dapat menyebar langsung dari luka terbuka akibat fraktur, atau melalui
hidung (setelah fraktur tulang ethmoid) dan bisa juga melalui sinus lain (misalnya
mastoid).
 Kebocoran CSF. Mempengaruhi sekitar 10% dari fraktur cranium, terutama fraktur basis
cranium. Dapat didiagnosis secara klinis dengan drainase cairan jelas atau
serosanguineous dari telinga hidung, atau patah tulang terbuka. Cairan dapat diuji
menggunakan beta-2 transferin dengan cara elektroforesis immunofixation untuk
mengetahui ada tidaknya CSF. Endoskopi intranasal dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sumber kebocoran. Jika terus-menerus, lumbal pungsi dapat dilakukan
untuk menurunkan tekanan intratekal dan untuk mendapatkan CSF untuk memantau
komplikasi meningitis.
 Meningitis. Meningitis dilaporkan dalam 0,7%-15,3% kasus fraktur cranium. Faktor
risiko meliputi adanya fraktur terbuka, kontaminasi kotor, dan keterlambatan dalam
pengobatan. Prompt debridement dan penutupan luka terbuka akan meminimalkan risiko
komplikasi infeksi.
 Perdarahan intracranial. Biasanya muncul dengan gejala hilangnya kesadaran atau
menurun, kejang, sakit kepala, kelemahan atau perubahan sensoris, atau perubahan dalam
kognitif, berbicara, atau penglihatan. Hasil CT scan akan menunjukkan pengumpulan
cairan subdural/epidural.
 Defisit Neurologis. Fraktur basilar dapat merusak saraf kranial sehingga dapat terjadi
defisit pendengaran, kelumpuhan wajah (VII) atau mati rasa (V), dan nystagmus.
 Fraktur dasar tengkorak dapat menyebabkan echymosis pada tonjolan mastoid pada
tulang temporal (Battle’s Sign), perdarahan konjungtiva atau ekimosis periorbital (racoon
eyes).

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang


 CT Scan bias diperlukan untuk menentukan lokasi fraktur (terutama pada fraktur kubah
yang tidak bisa dilihat maupun diraba)
 Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk memeriksa fungsi cerebral (staus mental,
orientasi waktu, tempat, dan orang), tingkat kesadaran, respon pupil, fungsi motoric.
 Strip reagens digunakan untuk menguji cairan nasal atau telinga yang mengalir untuk
melihat adakah Cerebro Spinal Fluid (CSF). Strip akan berubah warna menjadi biru jika
CSF, tetapi strip tidak akan berubah warna jika hanya ada darah. Akan tetapi, pita juga
akan berwarna menjadi biru jika pasien mengalami hiperglikemia.
 CT scan dan magnetic resonance imaging melihathemoragi intracranial dari pembuluh
darah yang mengalami rupture dan pembengkakan untuk mengkaji kerusakan otak.
 EEG untuk mengetahui pergeseran susunan garis tengah otak
 Rontgen tengkorak untuk mengetahui perubahan struktur tengkorak.
 Angiografi serebral untuk mengetahui hematoma serebral, kelainan sirkulasi serebral
(seperti pergeseran otak akibat edema, pendarahan dan trauma).
 Sinar X untuk menentukan adanya fraktur tengkorak.
 PTT dan APTT
Partial Tromboplastin Time (PTT) dan Activated Partial Thromboplastine Time (APTT)
pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi terapi penggunaan heparin serta
sebagai pemeriksaan penyaring awal untuk mendeteksi ada tidaknya gangguan system
koagulasi.
Perbedaan prinsip keduanya adalah jika indicator standar yang digunakan berasal dari
jaringan alamiah maka disebut dengan PTT, namun jika indicator standar yang digunakan
adalah hasil sintesis pabrik maka disebut APTT.

2.1.8 Penatalaksanaan
Penanganan fraktur cranium dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat,
dan aman. Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita fraktur kranium sangat berbahaya,
karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting.
a. Primary Survey (ABCDE)
Adalah penilaian utama terhadap pasien, dilakukan dengan cepat, bila ditemukan
hal yang membahayakan nyawa pasien, langsung dilakukan tindakan resusitasi.
Penanganan atau Pertolongan pertama dari penderita dengan fraktur cranium mengikuti
standart yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang
meliputi;
 Pertahankan A (airway)
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil. Dengarkan suara yang
dikeluarkan pasien, ada obstruksi airway atau tidak. Jika pasien tidak sadar lihat ada
s u m b a t a n a i r w a y a t a u t i d a k d a n s u a r a - s u a r a n a f a s s e r t a hembusan nafas
pasien. Pemeriksaan jalan napas pasien dilakukan dengan cara kepala dimiringkan, buka
mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher,
Immobilisasi, Cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi.
 Pertahankan B (Breathing)
Dapat segera dinilai dengan cara menentukan apakah pasien bernafas
spontan/tidak kemudain pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2 minimum
95%. Jika tidak usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan dengan
memberikan masker O2 sesuai indikasi. Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin
pernafasannya diperhatikan frekwensi normalnya antara 16 – 20X/menit, kemudian
lakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 – 35 mmHg .
 Pertahankan C (Circulation)
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan
tekanan darah jika diperlukan pasang EKG. Apabila denyut nadi/jantung, tidak teraba
lakukan resusitasi jantung, Kemudian tentukan perdarahan dan kenali tanda-tanda
siaonosis. Waspada terjadinya shock dan lakukan penanganan luka secara baik serta
pasang infus dengan larutan RL.
 Disability
Pada pemeriksaan disability, pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma
scale (GCS). Penilaian neorologis untuk menilai apakah pasien sadar, memeberi respon
suara terhadap rangsang nyeri atau pasien tidak sadar. Periksa kedua pupil bentuk dan
besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa
adanya reflek patologis kanan kiri,
 Exposure.
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka atau trauma lain secara
generalis. Tetapi jaga agar pasien tidak hipotermi.

b. Secondary survey
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai dan ABC sudah
mulai stabil dan membaik. Dilakukan secondary survey dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik lebih lanjut dan melakukan pemeriksaan tambahan seperti skull foto,
foto thorax, MRI dan CT Scan. (ATLS).

2.2 Konsep Dasar Keperawatan


2.2.1 Pengkajian Keperawatan
I. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan,
pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.
II. Identitas penanggungjawab
III. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat kesehatan saat ini
Klien mengeluh mual, nyeri pada kepala, sesak napas
b. Riwayat kesehatan masa lalu
Pernah mengalami cedera kepala sebelumnya atau tidak
c. Riwayat kesehatan dan Pemeriksaan fisik
Keadaan umum baik/sedang/lemah, kesadaran CM/somnolen/delirium/koma
d. Sistem pernapasan
Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronkhi,mengi
e. Sistem kardiovaskuler
Palpitasi, perubahan tekanan darah atau normal, perubahan frekuensi jantung
(bradikardia,takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)
f. Sistem gastrointestinal
Penurunan fungsi kontraksi otot polos lambung, penurunan fungsi usus dalam
mengabsorbsi makanan
g. Sistem urinarius
Inkontensia kandung kemih
h. Sistem reproduksi
i. Sistem saraf
GCS, Penurunan fungsi kontraksi otot polos lambung(saraf vagus), gangguan fungsi
otot respirasi dan jantung(saraf pada medulla oblongata), gangguan penglihatan,
pengecapan, penciuman, kaji fungsi motorik, fungsi sensorik, dan fungsi serebral.
j. Sistem musculoskeletal
Kekuatan otot skala 1-5, gangguan pergerakan ektremitas atas/bawah, nyeri tekan,
pembengkakan, kesimetrisan.
k. Sistem endokrin
Hipoglikemia
2.2.1. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan materi asing dalam jalan
napas (lidah mengarah ke belakang) ditandai dengan terdengar wheezing, klien
tampak kesulitan berbicara, klien terlihat sesak.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular (gangguan
pada pusat kardiorespiratorik) ditandai dengan chyne-stokes, dispnea, perubahan
kedalaman pernapasan.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (histamin, bradikinin, serotonin,
dan glutamin) dan penumpukan asam laktat ditandai dengan mengekuh nyeri, klien
tampak meringis, klien tampak melindungi area nyeri yaitu kepala.

2.2.3 Intervensi keperawatan


Intervensi 1
DX :

Tujun/Hasil luaran
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam, maka didapatkan hasil :
Intervensi 2

DX :

Tujun/Hasil luaran
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam, maka didapatkan hasil :
Intervensi 3

DX :

Tujun/Hasil luaran
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam, maka didapatkan hasil :

Intervensi 4

DX :

Tujun/Hasil luaran
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam, maka didapatkan hasil :

Intervensi 5

DX :

Tujun/Hasil luaran

Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam, maka didapatkan hasil :


enurun
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Dilakukan sesuai dengan intervensi

2.2.5 Evaluasi Keperawatan


1. Bersihan jalan napas klien kembali efektif:
 RR klien normal 16-20 x/menit (Skala 5).
 Irama pernapasan teratur (Skala 5).
 Kedalamanm inspirasi normal (Skala 5).
 Mampu mengeluarkan secret (Skala 5)
2. Pola nafas pasien kembali efektif:
 RR pasien dalam batas normal (16-20 x/menit) skala : 4
 Irama pernafasan pasien teratur skala : 4
 Kedalaman inspirasi pasien (normal) skala: 4
 Penggunaan otot bantu nafas berkurang skala : 4
3. Keluhan nyeri klien berkurang:
 Melaporkan nyeri berkurang menjadi skala 4 (dari 1-5).
 Onset nyeri berkurang menjadi skala 4 (dari1-5).
 Melaporkan nyeri terkontrol menjadi skala 4 (dari 1-5).
 Mampu mendeskripsikan penyebab nyeri, skala 4 (dari 1-5)

2.2.6 Discharge Planning


BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan

1.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2009. Cedera Kepala. (ONLINE: www.scribd.com/doc/20357839/Cedera-Kepala,
AKSES:27 oktober 2011)

DN, Fitrian. 2011. Advance Trauma Life Support. http://www.scribd.com/doc/54664762/ATLS-


advance-trauma-life-support.
Dochterman, Joanne M., Gloria N. Bulecheck. 2004. Nursing Interventions Classifications (NIC)
Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.

Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson. 2008. Nursing
Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.

NANDA International. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.


Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Sjamsuhidajat & Jong, W.D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Smelzer, Suzanne. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Ed. 8
Vol. 3. Jakarta: EGC
r

Anda mungkin juga menyukai