Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

“ FRAKTUR BASIS CRANII “

OLEH :

YOHANA SIMUN

NIM : 21203007

PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN

PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS

RUTENG

TAHUN 2021

1
A. Definisi
Fraktur basis cranii yaitu rusaknya kontinuitas tulang tengkorak
yang disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa adanya
kerusakan otak. Adanya fraktur tulang tengkorak (cranium) biasanya dapat
menimbulkan dampak tekanan yang kuat. (Brunner & Suddarth, 2010).
Fraktur basis crani yaitu patahnya tulang tengkorak dan biasanya
terjadi akibat benturan langsung. Suatu fraktur menunjukkan adanya
sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan besar
menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium. Fraktur
tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis
(Sjamsuhidayat & Jong, 2007).
B. Klasifikasi
Fraktur basis cranii dapat di klasifikasikan antara lain:
a. Fraktur sederhana (simple) merupakan suatu fraktur linear pada tulang
tengkorak
b. Fraktur depresi (depressed) terjadi apabila fragmen tulang tertekan ke
bagian lebih dalam dari tulang tengkorak
c. Fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung
dengan lingkungan luar. Dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur
atau suatu fraktur basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus.
(Suzanne, 2011)
Fraktur basis cranii regio temporal terjadi pada 75 % dari seluruh kasus
fraktur basis cranii. Adapun tiga subtipe dari fraktur cranium regio
temporal (Rasjad C, 2003), antara lain :
a) Tipe longitudinal, terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan
pars skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan
segmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke
posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di fossa
media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid secara
berurut.
b) Tipe tranversal, mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea
dan labyrinth, berakhir di fossa media.

2
c) Tipe campuran, merupakan gabungan dari tipe fraktur longitudinal
dan tipe tranversal

C. Etiologi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur basis cranii :
1. Kecelakaan lalu lintas(penyebab terbanyak).
2. Pertengkaran.
3. Jatuh.
4. Kecelakaan olahraga.
5. Tindakan kriminal.
(Suzanne, 2011)
D. Manifestasi Klinis
Beberapa manifestasi klinis menurut (Sjamsuhidajat,2007) :
a) Luka di kulit kepala (abrasi, kontusi, laserasi, atau avulsi), yang bisa
menyebabkan pendarahan profusi karena kulit kepala mengandung
banyak pembuluh darah, sehingga meyebabkan syok hipovolemik jika
darah yang hilang cukup banyak.
b) Tanda cedera otak: agitasi dan iritabilitas, hilang kesadaran,
perubahan pola respiratori, reflek tendon dalam (deep tendon reflex –
DTR) abnormal, dan perubahan respon pupil dan motorik.
c) Sakit kepala setempat dan persisten.
d) Hemoragi atau hematoma subdural, epidural, atau intraserebral, jika
fragmen tulang yang bergerigi menembus dura meter atau korteks
serebral, yang bisa menyebabkan hemiparesis, pupil tidak sama,
pusing, sawan, muntah proyektil, denyut nadi dan tingkat respiratorik
menurun, dan ketidakresponsifan progresif.
e) Kebutaan jika pasien mengalami fraktur sfenoidal yang merusak saraf
optic.
f) Ketulian unilateral atau paralisis fasial jika pasien mengalami fraktur
temporal.

3
g) Pembengkakan jaringan lunak di dekat terjadinya fraktur kubah,
sehingga membuatnya sulit dideteksi tanda computed tomography
(CT) scan.
h) Pada fraktur basilar: hemoragi dari hidung, faring atau telinga, darah
dibawah kulit periorbital (“racoon eyes”) dan dibawah konjungtiva;
dan battle sign (ekimosis sepramastoid), kadang-kadang disertai
pendarahan di belakang gendang telinga; cairan serebrospinal
(cerebrospinal fluid-CSF) atau bahkan jaringan otak bocor dari hidung
atau telinga.
i) Efek residual yang bisa muncul: gangguan sawan (epilepsy),
hidrosefalus, dan sindrom otak organik.
j) Pada anak-anak: sakit kepala, pusing, mudah letih, neurosis, dan
gangguan perilaku.
k) Pada pasien lansia: tekanan intracranial (intracranial pressure-ICP)
yang tidak menunjukkan tanda sampai mencapai tingkat yang sangat
tinggi akibat atrofi otak kortikal, sehingga membuat lebih banyak
ruang untuk pembengkakan otak dibawah cranium.

E. Patofisiologi
Fraktur basis cranii adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak
disebabkan oleh trauma. Meskipun tengkorak sangat sulit retak dan
memberikan perlindungan yang sangat baik untuk otak, trauma yang parah
atau pukulan dapat mengakibatkan fraktur tengkorak. Ini dapat terjadi
dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya
dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak
diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan
fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan
bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan kurang akurat tidak dapat
ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak
cenderung melintasi sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah
telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari
hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva.

4
Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga
dan hidung. Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang
kemudian berdarah ke dalam ruang di sekitar jaringan otak. Patah tulang,
terutama pada bagian belakang dan bawah (dasar) dari tengkorak, bisa
merobek meninges, lapisan jaringan yang menutupi otak. Bakteri dapat
masuk ke tengkorak melalui patah tulang tersebut, menyebabkan infeksi
dan kerusakan otak parah. Kadang-kadang, potongan tulang tengkoraknya
retak tekan ke dalam dan merusak otak. Jenis patah tulang fraktur disebut
depresi. Patah tulang tengkorak depresi mungkin mengekspos otak ke
lingkungan dan bahan asing, menyebabkan infeksi atau pembentukan
abses (pengumpulan nanah) di dalam otak.

F. Komplikasi
Beberapa komplikasi dari fraktur basis cranii menurut (Smelzer, 2007) :
1. Infeksi. Infeksi dapat menyebar langsung dari luka terbuka akibat
fraktur, atau melalui hidung (setelah fraktur tulang ethmoid) dan bisa
juga melalui sinus lain (misalnya mastoid).
2. Kebocoran CSF. Mempengaruhi sekitar 10% dari fraktur cranium,
terutama fraktur basis cranium. Dapat didiagnosis secara klinis dengan
drainase cairan jelas atau serosanguineous dari telinga hidung, atau
patah tulang terbuka. Cairan dapat diuji menggunakan beta-2
transferin dengan cara elektroforesis immunofixation untuk
mengetahui ada tidaknya CSF. Endoskopi intranasal dapat digunakan
untuk mengidentifikasi sumber kebocoran. Jika terus-menerus, lumbal
pungsi dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan intratekal dan
untuk mendapatkan CSF untuk memantau komplikasi meningitis.
3. Meningitis. Meningitis dilaporkan dalam 0,7%-15,3% kasus fraktur
cranium. Faktor risiko meliputi adanya fraktur terbuka, kontaminasi
kotor, dan keterlambatan dalam pengobatan. Prompt debridement dan
penutupan luka terbuka akan meminimalkan risiko komplikasi infeksi.
4. Perdarahan intracranial. Biasanya muncul dengan gejala hilangnya
kesadaran atau menurun, kejang, sakit kepala, kelemahan atau

5
perubahan sensoris, atau perubahan dalam kognitif, berbicara, atau
penglihatan. Hasil CT scan akan menunjukkan pengumpulan cairan
subdural/epidural.
5. Defisit Neurologis. Fraktur basilar dapat merusak saraf kranial
sehingga dapat terjadi defisit pendengaran, kelumpuhan wajah (VII)
atau mati rasa (V), dan nystagmus.
6. Fraktur dasar tengkorak dapat menyebabkan echymosis pada tonjolan
mastoid pada tulang temporal (Battle’s Sign), perdarahan konjungtiva
atau ekimosis periorbital (racoon eyes).

G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan bisa diperlukan untuk menentukan lokasi fraktur (terutama
pada fraktur kubah yang tidak bisa dilihat maupun diraba).
2. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk memeriksa fungsi cerebral
(staus mental, orientasi waktu, tempat, dan orang), tingkat kesadaran,
respon pupil, fungsi motoric.
3. Strip reagens digunakan untuk menguji cairan nasal atau telinga yang
mengalir untuk melihat adakah Cerebro Spinal Fluid (CSF). Strip
akan berubah warna menjadi biru jika CSF, tetapi strip tidak akan
berubah warna jika hanya ada darah. Akan tetapi, pita juga akan
berwarna menjadi biru jika pasien mengalami hiperglikemia.
4. CT scan dan magnetic resonance imaging melihathemoragi
intracranial dari pembuluh darah yang mengalami rupture dan
pembengkakan untuk mengkaji kerusakan otak.
5. EEG untuk mengetahui pergeseran susunan garis tengah otak.
6. Rontgen tengkorak untuk mengetahui perubahan struktur tengkorak.
7. Angiografi serebral untuk mengetahui hematoma serebral, kelainan
sirkulasi serebral (seperti pergeseran otak akibat edema, pendarahan
dan trauma).
8. Sinar X untuk menentukan adanya fraktur tengkorak.
9. PTT dan APTT

6
Partial Tromboplastin Time (PTT) dan Activated Partial
Thromboplastine Time (APTT) pemeriksaan yang sering digunakan
untuk evaluasi terapi penggunaan heparin serta sebagai pemeriksaan
penyaring awal untuk mendeteksi ada tidaknya gangguan system
koagulasi. Perbedaan prinsip keduanya adalah jika indicator standar
yang digunakan berasal dari jaringan alamiah maka disebut dengan
PTT, namun jika indicator standar yang digunakan adalah hasil
sintesis pabrik maka disebut APTT.

H. Penatalaksanaan
Penanganan fraktur cranium dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat,
tepat, dan aman. Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita fraktur kranium
sangat berbahaya, karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah
penting. (Smelzer, 2007)
a) Primary Survey (ABCDE)
Adalah penilaian utama terhadap pasien, dilakukan dengan cepat, bila
ditemukan hal yang membahayakan nyawa pasien, langsung dilakukan
tindakan resusitasi. Penanganan atau Pertolongan pertama dari
penderita dengan fraktur cranium mengikuti standart yang telah
ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang
meliputi,
 Pertahankan A (airway)
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil. Dengarkan
suara yang dikeluarkan pasien, ada obstruksi airway atau tidak.
Jika pasien tidak sadar lihat ada sumbatan airway atau
t i d a k d a n s u a r a - s u a r a n a f a s s e r t a hembusan nafas pasien.
Pemeriksaan jalan napas pasien dilakukan dengan cara kepala
dimiringkan, buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya
benda asing. Perhatikan tulang leher, Immobilisasi, Cegah gerakan
hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi.

7
 Pertahankan B (Breathing)
Dapat segera dinilai dengan cara menentukan apakah pasien
bernafas spontan/tidak kemudain pasang oksimeter nadi untuk
menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika tidak usahakan untuk
dilakukan intubasi dan support pernafasan dengan memberikan
masker O2 sesuai indikasi. Setelah jalan nafas bebas sedapat
mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensi normalnya antara
16 – 20X/menit, kemudian lakukan monitor terhadap gas darah dan
pertahankan PCO 2 antara 28 – 35 mmHg .
 Pertahankan C (Circulation)
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi ukur dan catat frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah jika diperlukan pasang EKG. Apabila
denyut nadi/jantung, tidak teraba lakukan resusitasi jantung,
Kemudian tentukan perdarahan dan kenali tanda-tanda siaonosis.
Waspada terjadinya shock dan lakukan penanganan luka secara
baik serta pasang infus dengan larutan RL.
 Disability
Pada pemeriksaan disability, pemeriksaan kesadaran memakai
glasgow coma scale (GCS). Penilaian neorologis untuk menilai
apakah pasien sadar, memeberi respon suara terhadap rangsang
nyeri atau pasien tidak sadar. Periksa kedua pupil bentuk dan
besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya, Periksa adanya
hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri,
 Exposure.
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka atau trauma
lain secara generalis. Tetapi jaga agar pasien tidak hipotermi.
b) Secondary Survey
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai dan
ABC sudah mulai stabil dan membaik. Dilakukan secondary survey
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik lebih lanjut dan melakukan
pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, MRI dan CT
Scan. (ATLS).

8
I. PATWAY
Kecelakaan lalu lintas

Cedera Tumpul Pada Kepala

Cedera Primer Proses Akselerasi


Rotatorik

Fraktur Basis Cranii

Robeknya Meningeal Resiko Laserasi


Infeksi

Menutupi Mukoperiostium Aliran darah otak

Suplai Nutruen ke Otak


Epistaksis

Rhinnore Perubahan Metabolisme


Anaerob
Asam Laktat
Ketidakefektifan Hipoksia
BersihanJalan
Nafas Tidak Efektif Vasodilatasi cerebri
Edema
jaringan Otak
Aliran Darah ke Otak
bertambah
Disfungsi TIK
Neuromuskular
Penekanan Pembulu Darah dan
Jaringan Cerebral Muntah
Pola Nafas Tidak Nyeri Akut
Efektif
Resiko Ketidakefektifan Resiko Ketidak seimbangan
Perfusi Jaringan Otak volume

9
DAFTAR PUSTAKA
DN, Fitrian. 2011. Advance Trauma Life Support.
http://www.scribd.com/doc/54664762/ATLS-advance-trauma-life-support.

Dochterman, Joanne M., Gloria N. Bulecheck. 2004. Nursing Interventions


Classifications (NIC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.

Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson.


2008. Nursing Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri:
Mosby Elsevier.

NANDA International. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi


2009-2011. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: EGC

Sjamsuhidajat & Jong, W.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Smelzer, Suzanne. C. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth Ed. 8 Vol. 3. Jakarta: EGC

10

Anda mungkin juga menyukai