Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

“FRAKTUR BASIS CRANII”

IGD RSUD Bangil

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Profesi Ners

Departemen Emergency

Oleh :
Krismaya Ismayanti
NIM. 180070300111025

PROGRAM PROFESI NERS

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019
A. Definisi
Fraktur basis cranii yaitu rusaknya kontinuitas tulang tengkorak
yang disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa adanya
kerusakan otak. Adanya fraktur tulang tengkorak (cranium) biasanya
dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. (Brunner & Suddarth,
2010).
Fraktur basis crani yaitu patahnya tulang tengkorak dan biasanya
terjadi akibat benturan langsung. Suatu fraktur menunjukkan adanya
sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan besar
menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium. Fraktur
tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis
(Sjamsuhidayat & Jong, 2007).

B. Klasifikasi
Fraktur basis cranii dapat di klasifikasikan antara lain:
a. Fraktur sederhana (simple) merupakan suatu fraktur linear pada
tulang tengkorak
b. Fraktur depresi (depressed) terjadi apabila fragmen tulang tertekan
ke bagian lebih dalam dari tulang tengkorak
c. Fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung
dengan lingkungan luar. Dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur
atau suatu fraktur basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus.
(Suzanne, 2011)
Fraktur basis cranii regio temporal terjadi pada 75 % dari seluruh kasus
fraktur basis cranii. Adapun tiga subtipe dari fraktur cranium regio
temporal (Rasjad C, 2003), antara lain :
a) Tipe longitudinal, terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan
pars skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna,
dan segmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan
ke posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di
fossa media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid
secara berurut.
b) Tipe tranversal, mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea
dan labyrinth, berakhir di fossa media.
c) Tipe campuran, merupakan gabungan dari tipe fraktur longitudinal
dan tipe tranversal

C. Etiologi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur basis cranii :
1. Kecelakaan lalu lintas(penyebab terbanyak).
2. Pertengkaran.
3. Jatuh.
4. Kecelakaan olahraga.
5. Tindakan kriminal.
(Suzanne, 2011)

D. Manifestasi Klinis
Beberapa manifestasi klinis menurut (Sjamsuhidajat,2007) :
a) Luka di kulit kepala (abrasi, kontusi, laserasi, atau avulsi), yang bisa
menyebabkan pendarahan profusi karena kulit kepala mengandung
banyak pembuluh darah, sehingga meyebabkan syok hipovolemik
jika darah yang hilang cukup banyak.
b) Tanda cedera otak: agitasi dan iritabilitas, hilang kesadaran,
perubahan pola respiratori, reflek tendon dalam (deep tendon reflex –
DTR) abnormal, dan perubahan respon pupil dan motorik.
c) Sakit kepala setempat dan persisten.
d) Hemoragi atau hematoma subdural, epidural, atau intraserebral, jika
fragmen tulang yang bergerigi menembus dura meter atau korteks
serebral, yang bisa menyebabkan hemiparesis, pupil tidak sama,
pusing, sawan, muntah proyektil, denyut nadi dan tingkat respiratorik
menurun, dan ketidakresponsifan progresif.
e) Kebutaan jika pasien mengalami fraktur sfenoidal yang merusak saraf
optic.
f) Ketulian unilateral atau paralisis fasial jika pasien mengalami fraktur
temporal.
g) Pembengkakan jaringan lunak di dekat terjadinya fraktur kubah,
sehingga membuatnya sulit dideteksi tanda computed tomography
(CT) scan.
h) Pada fraktur basilar: hemoragi dari hidung, faring atau telinga, darah
dibawah kulit periorbital (“racoon eyes”) dan dibawah konjungtiva;
dan battle sign (ekimosis sepramastoid), kadang-kadang disertai
pendarahan di belakang gendang telinga; cairan serebrospinal
(cerebrospinal fluid-CSF) atau bahkan jaringan otak bocor dari hidung
atau telinga.
i) Efek residual yang bisa muncul: gangguan sawan (epilepsy),
hidrosefalus, dan sindrom otak organik.
j) Pada anak-anak: sakit kepala, pusing, mudah letih, neurosis, dan
gangguan perilaku.
k) Pada pasien lansia: tekanan intracranial (intracranial pressure-ICP)
yang tidak menunjukkan tanda sampai mencapai tingkat yang sangat
tinggi akibat atrofi otak kortikal, sehingga membuat lebih banyak
ruang untuk pembengkakan otak dibawah cranium.
E. Patofisiologi
Fraktur basis cranii adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak
disebabkan oleh trauma. Meskipun tengkorak sangat sulit retak dan
memberikan perlindungan yang sangat baik untuk otak, trauma yang
parah atau pukulan dapat mengakibatkan fraktur tengkorak. Ini dapat
terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak
biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur
tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura
rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial
menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan kurang
akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur
dasar tengkorak cenderung melintasi sinus paranasal pada tulang frontal
atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan
hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah
konjungtiva.
Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga
dan hidung. Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang
kemudian berdarah ke dalam ruang di sekitar jaringan otak. Patah tulang,
terutama pada bagian belakang dan bawah (dasar) dari tengkorak, bisa
merobek meninges, lapisan jaringan yang menutupi otak. Bakteri dapat
masuk ke tengkorak melalui patah tulang tersebut, menyebabkan infeksi
dan kerusakan otak parah. Kadang-kadang, potongan tulang
tengkoraknya retak tekan ke dalam dan merusak otak. Jenis patah tulang
fraktur disebut depresi. Patah tulang tengkorak depresi mungkin
mengekspos otak ke lingkungan dan bahan asing, menyebabkan infeksi
atau pembentukan abses (pengumpulan nanah) di dalam otak.

F. Komplikasi
Beberapa komplikasi dari fraktur basis cranii menurut (Smelzer, 2007) :
1. Infeksi. Infeksi dapat menyebar langsung dari luka terbuka akibat
fraktur, atau melalui hidung (setelah fraktur tulang ethmoid) dan bisa
juga melalui sinus lain (misalnya mastoid).
2. Kebocoran CSF. Mempengaruhi sekitar 10% dari fraktur cranium,
terutama fraktur basis cranium. Dapat didiagnosis secara klinis
dengan drainase cairan jelas atau serosanguineous dari telinga
hidung, atau patah tulang terbuka. Cairan dapat diuji menggunakan
beta-2 transferin dengan cara elektroforesis immunofixation untuk
mengetahui ada tidaknya CSF. Endoskopi intranasal dapat digunakan
untuk mengidentifikasi sumber kebocoran. Jika terus-menerus,
lumbal pungsi dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan intratekal
dan untuk mendapatkan CSF untuk memantau komplikasi meningitis.
3. Meningitis. Meningitis dilaporkan dalam 0,7%-15,3% kasus fraktur
cranium. Faktor risiko meliputi adanya fraktur terbuka, kontaminasi
kotor, dan keterlambatan dalam pengobatan. Prompt debridement
dan penutupan luka terbuka akan meminimalkan risiko komplikasi
infeksi.
4. Perdarahan intracranial. Biasanya muncul dengan gejala hilangnya
kesadaran atau menurun, kejang, sakit kepala, kelemahan atau
perubahan sensoris, atau perubahan dalam kognitif, berbicara, atau
penglihatan. Hasil CT scan akan menunjukkan pengumpulan cairan
subdural/epidural.
5. Defisit Neurologis. Fraktur basilar dapat merusak saraf kranial
sehingga dapat terjadi defisit pendengaran, kelumpuhan wajah (VII)
atau mati rasa (V), dan nystagmus.
6. Fraktur dasar tengkorak dapat menyebabkan echymosis pada
tonjolan mastoid pada tulang temporal (Battle’s Sign), perdarahan
konjungtiva atau ekimosis periorbital (racoon eyes).

G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan bisa diperlukan untuk menentukan lokasi fraktur (terutama
pada fraktur kubah yang tidak bisa dilihat maupun diraba).
2. CT scan dan magnetic resonance imaging melihat hemoragi
intracranial dari pembuluh darah yang mengalami rupture dan
pembengkakan untuk mengkaji kerusakan otak.
3. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk memeriksa fungsi cerebral
(staus mental, orientasi waktu, tempat, dan orang), tingkat
kesadaran, respon pupil, fungsi motoric.
4. Strip reagens digunakan untuk menguji cairan nasal atau telinga
yang mengalir untuk melihat adakah Cerebro Spinal Fluid (CSF).
Strip akan berubah warna menjadi biru jika CSF, tetapi strip tidak
akan berubah warna jika hanya ada darah. Akan tetapi, pita juga
akan berwarna menjadi biru jika pasien mengalami hiperglikemia.
5. EEG untuk mengetahui pergeseran susunan garis tengah otak.
6. Rontgen tengkorak untuk mengetahui perubahan struktur tengkorak.
7. Angiografi serebral untuk mengetahui hematoma serebral, kelainan
sirkulasi serebral (seperti pergeseran otak akibat edema,
pendarahan dan trauma).
8. Sinar X untuk menentukan adanya fraktur tengkorak.
9. PTT dan APTT
Partial Tromboplastin Time (PTT) dan Activated Partial
Thromboplastine Time (APTT) pemeriksaan yang sering digunakan
untuk evaluasi terapi penggunaan heparin serta sebagai
pemeriksaan penyaring awal untuk mendeteksi ada tidaknya
gangguan system koagulasi. Perbedaan prinsip keduanya adalah
jika indicator standar yang digunakan berasal dari jaringan alamiah
maka disebut dengan PTT, namun jika indicator standar yang
digunakan adalah hasil sintesis pabrik maka disebut APTT.

H. Penatalaksanaan
Penanganan fraktur cranium dimulai sejak di tempat kejadian secara
cepat, tepat, dan aman. Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita fraktur
kranium sangat berbahaya, karena diagnosis dan penanganan yang
cepat sangatlah penting. (Smelzer, 2007)
a) Primary Survey (ABCDE)
Adalah penilaian utama terhadap pasien, dilakukan dengan cepat, bila
ditemukan hal yang membahayakan nyawa pasien, langsung
dilakukan tindakan resusitasi. Penanganan atau Pertolongan pertama
dari penderita dengan fraktur cranium mengikuti standart yang telah
ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang
meliputi:
 Pertahankan A (airway)
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil. Dengarkan
suara yang dikeluarkan pasien, ada obstruksi airway atau tidak.
Jika pasien tidak sadar lihat ada sumbatan airway atau tidak dan
suara-suara nafas serta hembusan nafas pasien. Pemeriksaan
jalan napas pasien dilakukan dengan cara kepala dimiringkan,
buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing.
Perhatikan tulang leher, Immobilisasi, Cegah gerakan
hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi.

 Pertahankan B (Breathing)
Dapat segera dinilai dengan cara menentukan apakah pasien
bernafas spontan/tidak kemudain pasang oksimeter nadi untuk
menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika tidak usahakan untuk
dilakukan intubasi dan support pernafasan dengan memberikan
masker O2 sesuai indikasi. Setelah jalan nafas bebas sedapat
mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensi normalnya antara
16 – 20X/menit, kemudian lakukan monitor terhadap gas darah
dan pertahankan PCO 2 antara 28 – 35 mmHg .
 Pertahankan C (Circulation)
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi ukur dan catat frekuensi
denyut jantung dan tekanan darah jika diperlukan pasang EKG.
Apabila denyut nadi/jantung, tidak teraba lakukan resusitasi
jantung, Kemudian tentukan perdarahan dan kenali tanda-tanda
siaonosis. Waspada terjadinya shock dan lakukan penanganan
luka secara baik serta pasang infus dengan larutan RL.
 Disability
Pada pemeriksaan disability, pemeriksaan kesadaran memakai
glasgow coma scale (GCS). Penilaian neorologis untuk menilai
apakah pasien sadar, memeberi respon suara terhadap rangsang
nyeri atau pasien tidak sadar. Periksa kedua pupil bentuk dan
besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya, Periksa adanya
hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri,
 Exposure
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka atau trauma
lain secara generalis. Tetapi jaga agar pasien tidak hipotermi.
b) Secondary Survey
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai dan
ABC sudah mulai stabil dan membaik. Dilakukan secondary survey
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik lebih lanjut dan melakukan
pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, MRI dan CT
Scan. (ATLS).
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.
2. Identitas penanggungjawab
3. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat kesehatan saat ini
Klien mengeluh mual, nyeri pada kepala, sesak napas
b. Riwayat kesehatan masa lalu
Pernah mengalami cedera kepala sebelumnya atau tidak
c. Riwayat kesehatan dan Pemeriksaan fisik
Keadaan umum baik/ sedang/ lemah, kesadaran CM/ somnolen/
delirium/ koma
d. Sistem pernapasan
Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronkhi,mengi
e. Sistem kardiovaskuler
Palpitasi, perubahan tekanan darah atau normal, perubahan frekuensi
jantung (bradikardia,takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)
f. Sistem gastrointestinal
Penurunan fungsi kontraksi otot polos lambung, penurunan fungsi
usus dalam mengabsorbsi makanan
g. Sistem urinarius
Inkontensia kandung kemih
h. Sistem saraf
GCS, Penurunan fungsi kontraksi otot polos lambung(saraf vagus),
gangguan fungsi otot respirasi dan jantung(saraf pada medulla
oblongata), gangguan penglihatan, pengecapan, penciuman, kaji
fungsi motorik, fungsi sensorik, dan fungsi serebral.
i. Sistem musculoskeletal
Kekuatan otot skala 1-5, gangguan pergerakan ektremitas
atas/bawah, nyeri tekan, pembengkakan, kesimetrisan.
j. Sistem endokrin : Hipoglikemia
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan epistaksis,
dengan benda asing dalam jalan napas (lidah mengarah ke belakang)
ditandai dengan terdengar wheezing, klien tampak kesulitan
berbicara, klien terlihat sesak.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi
neuromuskular (gangguan pada pusat kardiorespiratorik) ditandai
dengan chyne-stokes, dispnea, perubahan kedalaman pernapasan.
3. Nyeri akut berhubungan dengan TIK yang meningkat, agen cedera
biologis (histamin, bradikinin, serotonin, dan glutamin) dan
penumpukan asam laktat ditandai dengan mengekuh nyeri, klien
tampak meringis, klien tampak melindungi area nyeri yaitu kepala.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan larerasi dan kontinuitas yang
rusak.
5. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhudungan dengan
anoreksia, mual muntah.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan KH Intervensi
1 Ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan asuhan <<NIC LABEL1 : Airway
jalan napas berhubungan keperawatan selama 1x8 jam, suction>>
dengan epistaksis, materi diharapkan jalan napas klien  Tentukan
asing dalam jalan napas efektif dengan criteria hasil : kebutuhan
(lidah mengarah ke <<NOC LABEL : Respitory suction
belakang) ditandai dengan Status : Airway Patency>>  Auskultasi suara

terdengar wheezing, klien  RR klien normal 16-20 napas sebelum

tampak kesulitan berbicara, dan sesudah


x/menit
klien terlihat sesak  Irama pernapasan suction.
 Informasikan ke
teratur
 Kedalamanm inspirasi pasien atau
normal keluarga tentang
 Mampu mengeluarkan tindakan suction.
secret  Monitor status
oksigen klien.
<<NIC LABEL 2 : Airway
management>>

Posisikan klien
Head Up 15-30o

Auskultasi suara
napas klien

Ajarkan klien
batuk efektif

Monitor cairan
masuk dan
keluar.

Lakukan
fisioterapi dada
jika diperlukan.

Lakukan batuk
efektif atau
suction untuk
menghilangkan
secret
2 Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan <<NIC LABEL 1 : Airway
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 8 jam management>>
disfungsi neuromuskular diharapakan pola nafas pasien 1. Posisikan pasien
(gangguan pada pusat efektif dengan kriteria hasil : untuk
kardiorespiratorik) ditandai <<NOC LABEL : Respitory mendapatkan
dengan chyne-stokes, Status : Airway Patency>> ventilasi yang
dispnea, perubahan  RR pasien dalam batas maksimal, sesuai
kedalaman pernapasan. normal (16-20 x/menit) kebutuhan
 Irama pernafasan pasien 2. Identifikasi
teratur keadaan jalan
 Kedalaman inspirasi nafas pasien
pasien (normal) 3. Auskultasi jalan
 Penggunaan otot bantu nafas, dengarkan
nafas berkurang suara nafas
pasien
4. Posisiskan pasien
pada posisi
elevasi jika
pasien merasa
sesak
5. Monitoring status
pernafasan dan
status oksigen
6. Berikan bantuan
oksigen sesuai
kebutuhan

3 Nyeri akut berhubungan Setelah diberikan tindakan <<NIC LABEL 1 : Pain


dengan, TIK yang keperawatan selama 1 x 24 management>>
meningkat, agen cedera jam, diharapkan tingkat nyeri 1. Kaji lokasi,
biologis (histamin, dapat terkontrol dengan karakteristik, onset,
bradikinin, serotonin, dan kriteria hasil : frekuensi, kualitas,
glutamin) dan penumpukan <<NOC LABEL 1: Comfort tingkat, dan
asam laktat ditandai dengan Status: Physical >> penyebab nyeri.
2. Observasi tanda
mengekuh nyeri, klien  Melaporkan nyeri
nonverbal terhadap
tampak meringis, klien berkurang menjadi skala 4
ketidaknyamanan,
tampak melindungi area  Onset nyeri berkurang
menjadi skala 4 terutama pada pasien
nyeri yaitu kepala.
<<NOC LABEL 2: Pain yang tidak dapat
berkumunikasi
Control>> dengan efektif.
3. Pastikan pasien
 Melaporkan nyeri terkontrol
mendapatkan terapi
menjadi skala 4
 Mampu mendeskripsikan analgesik dengan
penyebab nyeri baik.
4. Kaji dampak nyeri
terhadap kualitas
hidup (misal terhadap
tidur, selera makan,
aktivitas, kognitif, dan
lainnya).
5. Diskusikan dengan
pasien faktor yang
dapat mengurangi
nyeri.
6. Ajarkan prinsip
manajemen nyeri
(relaksasi, guided
imagery, distraksi,
dan lainnya).
7. Berikan informasi
tentang nyeri, seperti
penyebab nyeri,
berapa lama nyeri
akan berlangsung,
dan antisipasi
ketidaknyamanan.
<<NIC LABEL 1 :
Analgesic
Administration>>
1. Kaji lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan tingkat nyeri
sebelum pengobatan.
2. Cek program
pemberian analgesik;
jenis, dosis, dan
frekuensi.
3. Evaluasi efektivitas
analgesik dan efek
sampingnya.
4. Dokumentasikan
respon pasien
terhadap analgesik.
5. Ajarkan tentang
penggunaan
analgesik, misal
strategi menurunkan
efek samping.
4. Resiko infeksi berhubungan Setelah dilakuakn tindakan 1. Pertahankan teknik
dengan larerasi dan keperawatan selama 1x24 aseptik dan teknik
kontinuitas yang rusak. jam, diharapkan pasien tidak cuci tangan yang
mengalami infeksi dengan tepat bagi pasien,
kriteria hasil : pengunjung maupun
1. Tidak ada tanda-tanda
staf.
infeksi, rubor, kalor, dolor.
2. Pantau suhu secara
2. Suhu tubuh 36,5-37,5 oC
3. Mencapai penyembuhan teratur
tepat waktu 3. Ubah posisi klien
4. Berpartisipasi dalam
dengan sering.
intervensi dalam
Pertahankan linen
pencegahan infeksi
tetap kering dan
bebas dari kerutan.
4. Batasi/hindari
prosedur invansif
5. Kolaborasi dalam
pemberi antibiotik
sesuai indikasi
5. Resiko ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan 1. Ukur haluaran dan
volume cairan berhudungan keperawatan selama 1x24 berat jenis urine.
2. Catat
dengan anoreksia, mual jam, diharapkan klien tidak
ketidakseimbangan
muntah. mengalami infeksi dengan
input dan output.
kriteria hasil:
3. Dorong masukan
1. TTV dalam batas normal
cairan peroral
TD 120/80 mmHg, nadi
60-100x/menit, suhu 36,5- sesuai toleransi
4. Pantau tekanan
37,5 oC, RR 16-24x/menit
2. Nadi perifer teraba kuat darah dan denyut
3. Haluaran urin adekuat
jantung
5. Berikan tambahan
cairan parenteral
sesuai indikasi

DAFTAR PUSTAKA
DN, Fitrian. 2011. Advance Trauma Life Support.
http://www.scribd.com/doc/54664762/ATLS-advance-trauma-life-support.
Dochterman, Joanne M., Gloria N. Bulecheck. 2004. Nursing Interventions
Classifications (NIC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson.
2008. Nursing Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri:
Mosby Elsevier.
NANDA International. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2009-2011. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat & Jong, W.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Smelzer, Suzanne. C. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth Ed. 8 Vol. 3. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai